Terbunuhnya Sang Imam
Lokasi: Kairo, di distrik Al-Himliyah. Waktu: Pertengahan malam tanggal 12 Februari 1949. Kronologi: terdapat beberapa kendaraan polisi melaju di tengah keheningan malam, hingga mencapai pada salah satu jalan di distrik Al-Hilmiyah, Kairo, mereka bertugas menghentikan kendaraan yang melaju di jalan tersebut, beberapa tentara memblokade jalan dengan senjata lengkap,dan penjagaan diperketat terutama di sebuah rumah sederhana di yang ada di jalan tersebut, lalu sebuah mobil polisi melaju menuju rumah tersebut, satu barisan tentara memindahkan mayat dari mobil ke rumah tersebut dengan cepat, lalu mengetuk pintu yang ada di atasnya, seorang Syeikh berumur sembilan puluhan tahun membuka, lalu beberapa tentara masuk ke rumah tersebut sebelum mereka memasukkan tubuh yang sudah mati tersebut untuk mengkonfirmasi tidak ada orang lain di rumah tersebut, ultimatum yang keras disampaikan kepda syekh tersebut; tidak boleh ada suara, tidak boleh ada kegaduhan, dan bahkan tidak boleh ada seorangpun yang boleh mengurus mayat tersebut, cukup anda dan keluarta yang ada di rumah, dan tepat jam sembilan esok pagi beliau harus dimakamkan.
Adapun Syeikh tersebut adalah orang tua almarhum, meskipun ia terketut, sekalipun ia sudah tua, dirinya mampu memakamkan anaknya sendirian, beliau membersihkan darah anaknya yang terkena peluru dan mendarat di sekujur tubuhnya.
Pada pagi harinya, petugas datang tepat waktu, mereka berkata: bawa sini anakmu untuk segera dikubur. Maka syeikh yang sudah berumur 90 tahun tersebut berseloroh: bagaimana saya membawanya? Seharusnya sebagian prajurit ikut membawanya! Namun para prajurit menolak, dan responnya adalah hendaknya orang-orang rumah yang membawanya. Saat itu almarhum meninggalkan beberapa anak perempuan dan seorang anak laki-laki yang masih bayi.
Akhirnya tubuh yang sudah menjadi mayat dibawa oleh istrinya dan anak perempuannya dan dibantu oleh ayahnya, dan bagi siapa yang berani ikut membantunya maka akan ditangkap dan di penjara, akhirnya jenazah sampai ke masjid untuk di shalatkan, tidak ada yang ikut menyolatkannya kecuali ayahnya dan dibelakangnya anaknya (istri sang imam) dan anak-anak perempuan dari keturunannya, dan mereka juga yang turun ke kubur, lalu kembali ke rumah dengan penjagaan yang super ketat, demikian kronologi pembunuhan dan prosesi pemakaman As-Syahid Imam “Hassan al-Banna”, setelah itu banyak tetangganya yang ditangkap, tidak ada alasan lain kecuali hanya karena mengungkapkan takziah (belasungkawa) kepada keluarga yang ditinggal, dan blokade terus berlanjut tidak hanya di rumah karena khawatir banyak yang berdatangan untuk takziya, namun juga di sekitar kuburan sang imam, karena takut ada yang berani mengeluarkan mayatnya dan mengekspos kejahatan yang telah terjadi, bahkan banyak dari pihak kepolisian disebar di beberapa masjid; untuk segera ditutup kembali setelah ibadah shalat ditunaikan, karena takut ada seseorang yang berani menshalatkannya.
Di sisi lain seorang raja negara tersebut menunda dalam merayakan ulang tahun ke 11 Februari dari 12 Februari; untuk ikut merayakan bersama orang merayakan kematian sang imam, dan salah seorang intelektual menceritakan bahwa dirinya menyaksikan salah satu perayaan di sebuah hotel di Amerika Serikat, dan ketika diceritakan alasan perayaan ini, ia dapat mengetahui bahwa perayaan tersebut dilakukan untuk mengungkapkan kegembiraan karena kematian Imam As-Syahid Hasan Al-Banna. Jika kebenaran ada pada musuh, maka sesungguhnya pusat penelitian di Prancis dan Amerika ikut berpartisipasi dalam peletakan seratus orang yang paling terpengaruh di dunia pada abad kedua puluh, dua dari dunia Arab adalah: Imam As-Syahid “Hassan al-Banna”, dan yang lainnya adalah Gamal Abdul Nasser.
Buku-buku karangan Imam Hasan Al-Banna
Tidak ada yang dimiliki oleh Hassan al-Banna dari literatur buku atau karangan-karangannya kecuali berupa risalah, baik kumpulan dan cetakan dengan judul buku “Majmuah Rasail imam Hasan Al-Banna” sebagai referensi utama dalam memahami pemikiran dan manhaj Ikhwanul Muslimin secara umum. Beliau juga memiliki buku mudzakarah yang dicetak beberapa kali dengan judul “Mudzakirah da’wah wa da’iyah”, selain itu beliau juga memiliki majalah dan riset-riset kecil dalam jumlah yang besar, seluruhnya tersebar dalam koran-koran dan majalah Ikhwanul Muslimin yang dimuat pada tahun tiga puluh dan empatpuluhan tahun yang lalu.
[Tamat]
Dalam sajak Aku, Chairil Anwar mengungkap sebuah obsesi tentang nafas dan stamina kehidupan, vitalitas, dinamika, dan yang jauh lebih penting: perlawanan. Dia ingin melawan ketidakmungkinan; dia ingin menembus masa; dia ingin mengabdi, maka dia berkata, “Aku mau hidup seribu tahun lagi.”
Akan tetapi, beberapa saat menjelang wafatnya, Chairil Anwar ternyata menyerah. Sakitnya parah. Ia mati muda. Namun, sebelumnya dia berkata, “Hidup hanya menunda kekalahan.”
Seorang pahlawan boleh salah, boleh gagal, boleh tertimpa musibah. Akan tetapi, dia tidak boleh kalah. Dia tidak boleh menyerah kepada kelemahannya; dia tidak boleh menyerah kepada tantangannya; dia tidak boleh menyerah kepada keterbatasannya. Dia harus tetap melawan, menembus gelap, supaya dia bisa menjemput fajar. Sebab, kepahlawanan adalah piala yang direbut, bukan kado yang dihadiahkan.
Di bawah godaan keterbatasan dan kelemahan, di bawah tekanan realitas tantangan yang sering terlihat seperti kabut tebal dari ketidakmungkinan, semangat perlawanan seorang pahlawan teruji. Maka di alam jiwa individu, selalu ada yang kalah, lalu ia menjadi pengkhianat: sebab dia mengkhianati cita-citanya. Maka, dalam sejarah sebuah bangsa, selalu ada noda yang diteteskan pengkhianat: ketika mereka menyerah kepada kodrat mereka sebagai bangsa yang lemah; ketika mereka merasa bangga bernaung di bawah ketiak bangsa-bangsa lain; ketika sekelompok pengkhianat dari bangsa itu melepaskan diri dari identitas dan harga diri bangsa, lalu menjual bangsanya, semata karena mereka kehilangan kepercayaan untuk melawan.
Perlawanan bukanlah keberanian, walaupun ia merupakan bagiannya terpenting. Keberanian adalah anugrah. Akan tetapi, perlawanan adalah keharusan. Ketika Hekmatyar bersama tiga puluh orang Mujahidin Afganistan dikepung tentara Uni Soviet, mereka memutuskan untuk tidak menyerah. Mereka tidak mau sia-sia. Mereka harus melawan tank-tank sadis itu, walaupun hanya dengan batu. Jihad pun dimulai, sampai empat belas tahun kemudian mereka menang, walaupun dengan dua syuhada. Uni Soviet pun puntuh.
Begitulah sejarah kepahlawanan ditulis dari perlawanan. Satu setengah juta orang Aljazair syahid untuk melawan penjajah Perancis. Adapun Bangsa Indonesia mengusir penjajah Belanda dan Jepang hanya dengan bambu runcing.
Akan tetapi, perlawanan bukanlah kenekatan. Tidak ada pertentangan antara perlawanan dengan realisme yang mengharuskan kita mempertimbangkan semua aspek secara utuh. Perlawanan adalah ruh dan jasadnya adalah realisme. Maka, ketika ruh itu hilang dalam diri kita, segeralah membuat keranda jenazah untuk mengubur mimpi kepahlawanan.
Dalam semangat perpacuan itu, semua tantangan yang mereka temui hanya berfungsi melahirkan bakat-bakat baru, kecerdasan-kecerdasan baru, kehendak-kehendak baru.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hidup adalah masa karya. Setiap kita diberi rentang waktu, yang kemudian kita sebut umur, untuk berkarya. Harga hidup kita, di mata kebenaran, ditentukan oleh kualitas karya kita. Maka sesungguhnya waktu yang berhak diklaim sebagai umur kita adalah sebatas waktu yang kita isi dengan karya dan amal. Selain itu, ia bukan milikmu.
Itulah undang-undang kebenaran tentang hakikat waktu. Kita bukan waktu yang kita miliki. Tapi kita adalah amal yang kita lakukan.
Dalam relung hakikat itulah Allah SWT menurunkan titahNya untuk ‘berpacu’ dan ‘berlomba’ dalam medan kehidupan (As-Sibaq). Hidup ini adalah jalan panjang yang harus kita lalui. Tak satupun diantara peserta kehidupan itu yang diberitahu dimana dan kapan ia harus berhenti. Sebab tempat perhentian pertama yang engkau tempati berhenti adalah ajalmu. Akhir masa karyamu.
Begitulah para sahabat dan semua manusia muslim yang agung dan besar yang pernah hadir di pelataran sejarah, memahami makna waktu dan hidup, serta melaluinya dengan semangat perpacuan yang tak pernah dapat digoda oleh kelelahan.
Apa yang mereka pakai adalah kendaraan jiwa yang seluruh muatannya adalah makna hidup itu sendiri, serta kehendak yang telah terwarnai oleh makna itu. Tak ada ruang kosong dalam kendaraan jiwa mereka yang tak terisi oleh kehendak dan azimah.
Perjuangan, bagi manusia-manusia agung itu, adalah sebuah instink yang sama kuatnya dengan instink lain dalam diri mereka. Sebab, kata sastrawan Mesir, Musthofa Shodiq Ar-Rofi’i, “Rupanya perjuangan itu mempunyai instink yang sanggup mengubah seluruh kehidupan ini menjadi kemenangan. Sebab setiap anak pikiran yang hinggap disitu, selalu langsung menjelma jadi pembunuh-pembunuh kekalahan.”
Mengeluh, dalam insting perjuangan mereka, hanyalah sepoi yang hendak merayu benteng obsesi mereka. Kelelahan, dalam tradisi keagungan mereka, bagai sebatang lilin yang ingin menghisap gelombang. Semua yang ada di permukaan bumi ini adalah tanah tempat kaki kebesarannya mengayuh derap langkah melewati hari-hari.
Dalam semangat perpacuan itu, semua tantangan yang mereka temui hanya berfungsi melahirkan bakat-bakat baru, kecerdasan-kecerdasan baru, kehendak-kehendak baru.
Inilah rahasia besar yang menyingkap tabir kebesaran sahabat, tabi’in serta ulama, zu’ama dan mujahidin besar yang pernah menggoreskan tinta emas dalam sejarah Islam kita. Banyak diantara mereka yang syahid dalam usia yang teramat muda. Imam al-Ghazali meninggal dalam usia 45 tahun, Umar bin Abdul Azis dalam usia 39 tahun, dan Hasan al Banna dalam usia 41 tahun. Tapi ‘usia’ mereka bagai memanjang mengikuti rentang panjang keabadian.
“Sebab ketika jiwa itu kosong, pikirannya akan lebih kosong. Ia akan terus mencari semua yang akan membuatnya lupa pada sang jiwa. Sedang manusia agung itu, hidup penuh sepenuh jiwanya,” kata Musthofa Shodiq Ar-Rofi’i.
Kebijaksanaan Ilahi adalah takdir dan suratan nasib yang membuat kita saling mencintai satu sama lain.
Karena takdir itulah setiap bagian dari dunia ini bertemu dengan pasangannya Dalam pandangan orang-orang bijak langit adalah laki-laki dan bumi adalah perempuan; bumi memupuk apa yang telah dijatuhkan oleh langit.
Jika bumi kekurangan panas maka langit mengirimkan panas kepadanya, jika bumi kehilangan kesegaran dan kelembaban, langit segera memulihkannya.
Langit memeyungi bumi layaknya seorang suami yang menafkahi istrinya; dan bumi pun sibuk dengan urusan rumah tangga; ia melahirkan dan menyusui segala yang telah ia lahirkan.
Jika bumi kekurangan panas maka langit mengirimkan panas kepadanya, jika bumi kehilangan kesegaran dan kelembaban, langit segera memulihkannya.
Langit memeyungi bumi layaknya seorang suami yang menafkahi istrinya; dan bumi pun sibuk dengan urusan rumah tangga; ia melahirkan dan menyusui segala yang telah ia lahirkan.
Erich Fromm mengutip syair Jalaluddin Rummi itu dalam bukunya, The Art of Loving. Cinta, kata Fromm, adalah kebutuhan eksitensial manusia untuk mengatasi masalah "keterpisahannya" sekaligus kerinduannya akan kesatuan. Tapi dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan, cinta bukan hanya kebutuhan biologis: hasrat kesatuan dari kutub-kutub maskulin dan feminim. Karena dalam diri laki-laki dan perempuan terkadang prinsip menerima dan penetrasi, baik atas hal material maupun spiritual, maka mereka menemukan kesatuan dalam dirinya hanya dalam kesatuan atas polaritas kelelakian dan keperempuanan. Polaritas inilah, kata Fromm, yang menjadi dasar dari segala kreativitas.
Tapi saat hubungan murni ini terganggu oleh tirani sosial yang melahirkan ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial, tiba-tiba kaum Feminis membawa bias ini: harus ada perlawanan untuk merebut kesetaraan itu. Itu tafsir paling sentimentil atas fenomena kedzaliman dalam masyarkat. Kesetaraan itu mungkin saja tercapai. Tapi korbannya juga sadis: lubang keterpisahan itu makin menganga lebar, dan hidup berujung dalam kesendirian dan kesunyian yang menyiksa.
Cinta mengajarkan kita untuk memperoleh hak-hak kita dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban kita kepada orang-orang lain. Itulah yang mempertemukan dua kutub jiwa. Pertemuan itulah yang membuat kita genap menggenapi, dan saling menyempurnakan karya kehidupan. Dan persoalan kesetaraan menjadi tidak relevan di tengah hidup yang bergerak kreatif begitu menuju kesatuan dan kesempurnaan. Simaklah senandung Rumi kembali:
Tak ubahnya langit dan bumi dikaruniai kecerdasan; mengapa mereka bersanding seperti sepasang kekasih?
Sebagaimana Tuhan memberikan hasrat kepada laki-laki dan perempuan sehingga menjadi terpelihara oleh kesatuan mereka.
Tuhan juga menanamkan ke semua eksistensi, hasrat untuk mencari belahannya.
Masing-masing saling mencintai untuk menyempurnakan karya bersama mereka.
[Sebelumnya]
Sebagai manusia, setaip pahlawan pasti pernah dan selalu pernah melakukan kesalahan. Dalam diri mereka, bukan cuma ada nalar dan nurani, tetapi juga ada naluri. Dalam diri mereka, tidak hanya ada akal dan iman, namun juga ada syahwat. Mereka bukan hanya memiliki kekuatan, namun juga kelemahan. Mereka tidak menjadi malaikat manakala mereka menjadi pahlawan; mereka hanya menjadi sempurna secara relatif sebagai manusia.
Laiknya sebuah karya, demikian pula kesalahan: ada yang besar dan ada juga yang kecil. Para pahlawan sejati itu pasti pernah melakukan kesalahan, entah besar entah kecil. Namun, seseorang sampai disebut pahlawan karena kebaikannya lebih besar daripada kesalahannya; karena kekuatannya lebih menonjol daripada kelemahannya. Maka, kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para pahlawan itu biasanya lebih banyak yang kecil, dan tidak sering terulang, serta umumnya tidak disengaja, kecuali kalau itu menjadi sumber kelemahannya.
Sebenarnya, kuantitas kesalahan tidaklah sepenting katagori kesalahan. Yang terakhir inilah sebenarnya yag menentukan peluang kepahlawanan seseorang. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan para pahlawan umumnya tidak secara langsung menunjukkan karakter yang buruk, tetapi lebih banyak pada tingkat kematangan dalam profesi atau kepribadian yang dibentuk oleh ilmu pengetahuan, pendidikan, pengalaman, dan kesiapan dasarnya sebagai pahlawan.
Kesalahan-kesalahan itu biasanya lebih terkait pada masalah strategi dan teknis. Kendati demikian, kedua jenis kesalahan itu ― kepribadian atau profesi, tidak boleh bersifat fatal. Adapun ukuran kesalahan fatal itu adalah habisnya peluang untuk memperbaikinya. Misalnya, kesalahan fatal yang dilakukan oleh seorang politisi pada akhir karirnya sebagai politisi. Begitu pula tatkala seorang pebisnis, di usia senjanya, melakukan kesalahan fatal yang menghabiskan asset bisnisnya. Akan tetapi, kesalahan ijtihad yang dilakukan oleh seorang ulama, mungkin tidak akan mematikan namanya sebagai ulama. Andaikan ia melakukan kesalahan akhlak, mungkin hal itu lebih efektif mematikan peluangnya sebagai ulama.
Selain itu, ada pula masalah efek kesalahan: kepada pribadi atau kepada publik? Para pahlawan akan menutup peluang kepahlawanannya manakala ia melakukan kesalahan yang berefek kepada publik. Sebab, salah sat ukuran kepahlawanan adalah manfaat publik yang diberikan oleh pahlawan tersebut. Ketika Khalid bin Walid menikahi janda Malik bin Nuwairah, Umar bin Khattab meminta Abu Bakar untuk memecat Khalid. Malik bin Nuwairah yang mengaku Nabi itu tewas dibunuh Khalid pada Perang Riddah. Umar beralasan, Malik bin Nuwairah telah mengucapkan syahadat, namun Khalid tetap membunuhnya, kemudian malah menikahi jandanya.
Meski demikian, Abu Bakar tidak mengabulkannya. Entah karena Abu Bakar membenarkan ijtihad Khalid yang menganggap syahadat itu hanya karena terdesak, atau karena alasan lain. Yang pasti, seperti yang terlihat, efek kesalahan itu ― jika itu bisa disebut kesalahan ― tidak sampai kepada publik.
Di balik itu semua, yang jauh lebih penting dalam perspektif Islam adalah semangat bertaubat secara konstan. Sebab, taubat hakikatnya adalah proses perbaikan diri secara berkelanjutan. Dengan taubat itulah, seorang pahlawan mukmin sejati mengubah setiap kesalahan menjadi pelajaran mahal bagi kelanjutan langkah-langkah kepahlawanannya.
Umar marah besar. "Siapa yang mengatakan Muhammad sudah mati", katanya saat mendengar berita kematian itu, "niscaya akan kupenggal lehernya." Ali terdiam tak sanggup bicara, Usman tergagap tak sanggup berkata. Hanya Abu Bakar yang masuk membuka kafan yang menutupi tubuh Muhammad. Setelah melihat wajahnya, Abu Bakar lantas mencium keningnya lalu berkata: "Alangkah baiknya kamu saat hidup dan saat wafat." Setelah itu keluarlah beliau sambil berkata: "Siapa yang menyembah Muhammad, maka Muhammad sudah mati. Dan siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tak akan mati."
Sang Nabi telah wafat. Berita kematian itu segera mengguncang seluruh Madinah, jazirah Arab bahkan dunia. Tapi ada peristiwa yang jauh lebih penting dari itu: kematian Muhammad juga telah menjadi penutup mata rantai kenabian yang panjang yang telah mengisi lembar kehidupan umat manusia. Itu adalah kesedihan di atas kesedihan.
Sang Nabi telah wafat. Berita kematian itu segera mengguncang seluruh Madinah, jazirah Arab bahkan dunia. Tapi ada peristiwa yang jauh lebih penting dari itu: kematian Muhammad juga telah menjadi penutup mata rantai kenabian yang panjang yang telah mengisi lembar kehidupan umat manusia. Itu adalah kesedihan di atas kesedihan.
Selama ini kita hanya membaca 25 kisah nabi dan rasul dalam Al-Qur'an. Padahal jumlah nabi dan rasul jauh lebih banyak dari itu. Beberapa ulama bahkan menyebut angkanya sekitar 350 nabi dan rasul. Kehidupan manusia dimulai dari seorang lelaki, Adam, dan seorang perempuan, Hawa, yang kemudian membentuk keluarga. Keluarga itu kemudian beranak pinak dan secara perlahan membentuk suku. Lalu suku yang menjadi simpul besar keluarga berkembang makin banyak sampai pada suatu skala yang kemudian kita sebut bangsa. Bersamaan dengan itu wilayah bumi yang dihuni manusia juga makin luas.
Pada setiap tahapan pertumbuhan itu selalu ada nabi dan rasul yang datang membawa risalah yang sesuai dengan keadaan dan kondisi mereka. Pesan intinya adalah tauhid, tapi syariatnya yang disesuaikan dengan situasi mereka. Mereka adalah kafilah para pengajar yang datang membawa kitab suci. Ada guru ada kitab. Itulah inti dari semua proses pembelajaran. Tapi ketika Muhammad diutus, manusia telah sampai pada tahap kematangan akal yang memungkinkannya belajar melalui kitab tanpa kehadiran sang guru.
Pada setiap tahapan pertumbuhan itu selalu ada nabi dan rasul yang datang membawa risalah yang sesuai dengan keadaan dan kondisi mereka. Pesan intinya adalah tauhid, tapi syariatnya yang disesuaikan dengan situasi mereka. Mereka adalah kafilah para pengajar yang datang membawa kitab suci. Ada guru ada kitab. Itulah inti dari semua proses pembelajaran. Tapi ketika Muhammad diutus, manusia telah sampai pada tahap kematangan akal yang memungkinkannya belajar melalui kitab tanpa kehadiran sang guru.
Maka menutup mata rantai kenabian setelah Muhammad adalah manifestasi kepercayaan Allah kepada kemampuan akal manusia untuk belajar melalui hanya narasi, tanpa narator. Itu sebabnya Allah berkata: "Sungguh telah Kami mudahkan Al-Qur'an ini, adakah yang mau memahami?"
Taman punya kita berdua
Tak lebar luas, kecil saja
Satu tak kelihatan lain dalamnya
Bagi kau dan aku cukuplah
Itu penggalan puisi Chairil Anwar, 1943, tentang rumahnya yang disebutnya taman. Taman hati. Taman hidup. Sempit ruangnya. Tapi cinta membuatnya jadi terasa cukup lapang dalam dada. Cinta membuatnya nyaman dihuni.
Kecil, penuh surya taman kita
Tempat merenggut dari dunia dan 'nusia
Kenyamanan. Itu rahasia jiwa yang diciptakan cinta: maka kita mampu bertahan memikul beban hidup, melintasi aral kehidupan, melampaui gelombang peristiwa, sambil tetap merasa nyaman dan teduh. Cinta menciptkan kenyamanan yang bekerja menyerap semua emosi negatif masuk ke dalam serat-serat jiwa melalui himpitan peristiwa kehidupan. Luka-luka emosi yang kita alami di sepanjang jalan kehidupan ini hanya meungkin dirawat di sana: dalam rumah cinta.
Dalam rumah cinta itu kita menemukan sistem perlindungan emosi yang ampuh. Mary Carolyn Davies mengungkapkannya dengan manis:
Ada sebuah tembok yang kuatDi sekelilingku yang melindungiku
Dibangun dari kata-kata yang kau ucapkan padaku
Jiwa yang terlindung akan cepat bertumbuh dan berbuah. Sederhana saja. Karena hakikat cinta selamanya hanya satu: memberi. Memberi semua kebaikan yang tersimpan dalam jiwa. Melalui tatapan mata, kata atau tindakan. Jika kita terus menerus memberi maka kita akan terus menerus menerima. Pemberian jiwa itu menghidupkan kekuatan kebajikan yang sering tertidur dalam jiwa manusia. Seperti pohon: pada mulanya ia menyerap matahari dan air, untuk kemudian mengeluarkan semua kebajikan yang ada dalam dirinya: buahnya keindahan.
Dalam rumah yang penuh cinta itu kita menemukan rasa aman, kenyamanan dan kekuatan untuk terus bertumbuh. Itu sebabnya rumah yang begitu seperti menghadirkan surga dalam kehidupan kita. Rumah itu pasti utuh. Dan Abadi. Adakah doa cinta yang lebih agung daripada apa yang diajarkan sang Rasul kepada kita di malam pertama saat kita meletakkan dasar bangunan hubungan jiwa yang abadi? Letakkan tangan kananmu di atas ubun-ubun istrimu, lalu ucapka doa ini dengan lembut:
Ya Allah, aku mohon pada-Mu kebaikan perempuan inidan semua kebaikan yang tercipta
bersama penciptanya.
[Sebelumnya]
“Aku bisa berdoa kepada Allah untuk menyembuhkan butamu dan mengembalikan penglihatanmu. Tapi jika kamu bisa bersabar dalam kebutaan itu, kamu akan masuk surga. Kamu pilih yang mana?”
Itu dialog Nabi Muhammad dengan seorang wanita buta yang datang mengadukan kebutaannya kepada beliau, dan meminta didoakan agar Allah mengembalikan penglihatannya. Dialog yang diriwayatkan Imam Bukhori dari Ibnu Abbas itu berujung dengan pilihan yang begitu mengharukan: “Saya akan bersabar, dan berdoalah agar Allah tidak mengembalikan penglihatanku.”
Beliau juga bisa menyembuhkan seperti Nabi Isa, tapi beliau menawarkan pilihan lain: bersabar. Sebab kesabaran adalah karakter inti yang memungkinkan kita survive dan bertahan melalui seluruh rintangan kehidupan. Kesabaran adalah karakter orang kuat. Sebaliknya, tidak ada jaminan bahwa dengan bisa melihat, wanita itu akan bisa melakukan lebih banyak amal saleh yang bisa mengantarnya ke surga. Tapi di sini, kesabaran itu adalah jalan pintas ke surga. Selain itu, di depan Allah, karena fasilitas berbanding lurus dengan beban dan pertanggungjawaban. Ada manusia, kata Ibnu Taimiyah, lebih bisa lulus dalam ujian kesulitan yang alatnya adalah sabar ketimbang ujian kebaikan yang alatnya adalah syukur.
Nabi Muhammad juga berperang seperti Nabi Musa. Bahkan malaikat Jibril pun pernah meminta beliau menyetujui untuk menghancurkan Thoif. Tapi beliau menolaknya. Sembari mengucurkan darah dari kakinya beliau malah balik berdoa: “Saya berharap semoga Allah melahirkan dari tulang sulbi mereka anak-anak yang akan menyembah Allah.”
Muhammad bisa menyembuhkan seperti Isa. Juga bisa membelah laut seperti Musa. Bahkan bulan pun bisa dibelahnya. Muhammad punya dua jenis kekuatan itu: soft power dan hard power. Muhammad mempunyai semua mukjizat yang pernah diberikan kepada seluruh Nabi dan Rasul sebelumnya. Tapi beliau selalu menghindari penggunaannya sebagai alat untuk meyakinkan orang kepada agama yang dibawanya. Beliau memilih kata. Beliau memilih narasi. Karena itu mukjizatnya adalah kata: Al-Qur’an. Karena itu sabdanya pun di atas semua kata yang mungkin diciptakan oleh manusia.
Itu karena narasi bisa menembus tembok penglihatan manusia menuju pusat eksistensi dan jantung kehidupannya: akal dan hatinya. Jauh lebih dalam daripada apa yang mungkin dirasakan manusia yang kaget terbelalak seketika saat menyaksikan laut terbelah, atau saat menyaksikan orang buta melihat kembali.
[Sebelumnya]
[Sebelumnya]
Pertarungan dua kubu ini nyaris tak pernah berakhir, kecuali di tangan ulama yang menjadikan kefaqihan dan "kesufian" sebagai pakaian diri sebelum menjadi tarikan grafitasi in grouping. Cukup adil vonis yang dijatuhkan Alim Quraisy bagi perseteruan klasik ini.
Menjadi faqih dan sufi, jangan jadi satu saja.
Kunasehati engkau agar waspada.
Yang ini keras, hatinya tak pernah mengenyam
takwa.
Yang ini jahil, apa dengan jahil bisa lurus suatu
perkara?
Ketika bidikan menympang satu millimeter, apakah peluru yang melelat dari laras juga akan menympang satu millimeter dar sasaran? Sebagian kaum sufi yang memuja dzauq (rasa) sebagai ukuran absolute, kerap melecehkan fuqaha yang bersiteguh pada dhawabith (patokan-patokan) yang terkadang terkesan formalistik. Kelak akan bermunculan kaum pencinta kebenaran yang begitu santun, berbinar hati dan bermagnet besar, dengan kadar penympangan fiqh sampai tingkat yang tak bisa ditoleransikan. Para fanatikus fiqh yang kering ruhani, kerap jatuh pada fatwa yang sofistik (safsathah) dan anarkis. Walaupun terdengar naïf, namun nyata ada kebanggaan fatwa: "Seseorang yang menggauli istrinya di siang hari bulan Ramadhan, dapat membayar qadha’nya hanya sehari. Syaratnya ia harus membatalkan puasanya terlebih dahulu dengan makan atau minum!"
Atau kisah 50 santri yang sangat bangga dengan kealiman mereka seraya melecehkan orang-orang yang beragama dengan jahil yang karenanya menjadi susah. Mereka duduk membuat lingkaran. Yang pertama mengikrarkan, 3 ½ liter beras di tangannya menjadi zakat fithr yang ia serahkan kepada santri disampingnya. Santri kedua menjadikan zakat yang telah menjadi miliknya itu sebagai zakat bagi santri ketiga dan seterusnya sampai kembali ke muzakki pertama. Dengan cerdas mereka berhasil membayar zakat fithr 3 ½ liter untuk 50 orang! Semoga ini terobosan "cerdas" 50 orang yang sudah tak punya apa-apa lagi, selain 3 ½ liter pada seseorang diantara mereka.
Di seberang sana tanpa label faqih atau sufi ada seorang perempuan yang menolak kehadiran mertua, karena suami berpesan jangan menerima kehadiran siapa pun selama ia musafir. Atau ada seorang lelaki yang pergi berbulan-bulan meninggalkan anak dan istri tanpa nafkah, karena alasan perjuangan yang sangat mulia, berdakwah ke segala penjuru mata angin.
Jangan pernah menyangka bahwa seseorang pahlawan selalu meraih prestasi-prestasinya dengan mulus, atau bahkan tidak pernah mengenal kegagalan. Kesulitan-kesulitan adalah rintangan yang diciptakan oleh sejarah dalam perjalanan menuju kepahlawanan. Karena itu, peluang kegagalan sama besarnya dengan peluang keberhasilan. “Kalau bukan karena kesulitan, maka semua orang akan menjadi pahlawan,” kata seorang penyair Arab, Al-Mutanabbi.
Membebaskan konstantinopel bukanlah pekerjaan mudah bagi seorang pemuda berusia 23 tahun setangguh Muhammad Al-Fatih Murad. Pembebasan pusat kekuasaan Imperium Romawi itu, kata orientalis Hamilton gibb, adalah mimpi delapan abad dari kaum muslimin. Semua serangan gagal meruntuhkan perlawanan kota itu sepanjang abad-abad itu. Dan serangan-serangan awal Muhammad Al-Fatih Murad juga mengalami kegagalan. Kegagalan itu sama dengan kegagalannya sebagai pemimpin negara, ketika pada usia 16 tahun ayahnya menyerahkan kekuasaan kepadanya.
Akan tetapi, bila Muhammad Al-Fatih kemudian berhasil merebut kota itu, kita memang perlu mencatat pelajaran ini: “Bagaimana seorang pahlawan dapat melampaui kegagalan-kegagalannya dan merebut takdirnya sebagai pahlawan?”
Rahasia pertama adalah mimpi yang tidak selesai. Kegagalan adalah perkara teknis bagi sang pahlawan. Kegagalan tidak boleh menyentuh sedikit pun wilayah mimpinya. Mimpi tidak boleh selesai karena kegagalan. “Dan tekad seperti ini akan merubah rintangan dan kesulitan menjadi sarana mencapai tujuan,” kata Said bin Al-Musayyib.
Begitulah, tekad mereka melampaui kegagalan, sampai rintangan yang menghadang jalannya tak sanggup menatap tekadnya, maka ia tunduk, lalu memberinya jalan menuju penghentian terakhir dari mimpinya. “Kalau tekad seseorang benar adanya, maka jalan menuju tujuannya pastilah jelas,” kata pepatah Arab.
Rahasia kedua adalah semangat pembelajaran yang konstan. Seorang pahlawan tidak pernah memandang dirinya sebagai Superman atau Malaikat. Ia tetaplah manusia biasa. Dan kegagalan merupakan bagian dari tabiat kehidupan manusia, maka ia “memaafkan” dirinya untuk kegagalan itu. Namun, ia tidak berhenti sampai disitu. Kegagalan adalah objek pengalaman yang harus dipelajari, untuk kemudian dirubah menjadi pintu kemenangan. Demikianlah seharusnya kita mendefenisikan pengalaman: bahwa ia adalah investasi pembelajaran yang membantu proses penyempurnaan seluruh faktor keberhasilan dalam hidup.
Rahasia ketiga adalah kepercayaan pada waktu. Setiap peristiwa ada waktunya, maka setiap kemenangan ada jadwalnya. Ada banyak rahasia yang tersimpan dalam rahim sang waktu, dan biasanya tidak tercatat dalam kesadaran kita. Akan tetapi, para pahlawan biasanya mempunyai cara lain untuk mengenalinya, atau setidaknya meraba-rabanya, yaitu firasat. Mereka “memfirasati zaman” walaupun ia mungkin benar mungkin salah, tetapi ia berguna untuk membentuk kecendrungannya. Firasat bagi mereka adalah faktor rasional. Perhitungan-perhitungan rasional harus tetap ada, tetapi keputusan untuk melangkah pada akhirnya bersifat intuitif. Begitulah akhirnya takdir kepahlawanan terjembatani dengan firasat untuk sampai ke kenyataan.
"Cintamu pada sesuatu bisa membuatmu buta dan tuli" (Pepatah Arab)
JATUH CINTA? Tak ada satu pun makhluk berhati di muka bumi ini yang bisa menghindari virus ini. Hidup terasa penuh angan-angan dan indah. Tapi, sesungguhnya, musuh tengah menggiring kita perlahan ke sebuah jurang yang mengangah penuh bara dan nanah.
Perempuan adalah objek yang paling banyak mengalami virus ini. Walau lelaki tak kalah banyaknya, namun biasanya kaum perempuanlah yang paling banyak menderita dan rugi dengan virus ini.
Cara terbaik, berusaha untuk sembuh dan menghilangkan virus itu dalam hati. Sulit? Pasti. Tak akan semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan pada masa itu, hidup akan terasa tak berarti. Hampa. Dan ingin mati saja. Namun, yakinlah Allah beserta orang yang sabar. Cobalah beberapa terapi untuk sembuh dari viruss cinta di bawah ini:
Ikhlas kepada Allah
Ikhlas merupakan obat penawar paling manjur. Jika seseorang sedang terkena virus ini, hadapkanlah wajah kepada Allah dengan tulus niscaya Allah akan menolong dengan kelemahlembutan-Nya. Karena sesungguhnya, apabila hati telah merasa manisnya ibadah kepada Allah dan ikhlas kepada-Nya, maka tidak akan ada yang lebih manis, indah, nikmat, dan berbunga-bunga daripada-Nya.
BerdoaMerendahkan diri kepada Allah secara tulus menyerahkan diri kepada-Nya. Memohon kepada-Nya. Sesungguhnya, seseorang yang sedang diuji dengan virus ini berarti dalam keadaan terjepit, sedang Allah berjanji akan memenuhi doa hamba-Nya yang dalam kondisi terjepit.
Menahan pandangan
Menahan pandangan akan melahirkan ketentraman jiwa. Ketika seorang hamba menahan pandangannya, maka hati turut menahan syahwat serta keinginannya. Firman Allah SWT:
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman; ‘hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikianlah itu adalah lebih suci dari mereka.’” (Q.S An-Nur:30)
Berpikir dan berdzikir
Saat seperti ini, merenunglah. Pikirkan bahwa hidup ini hanya sementara, bahwa semua apa yang kita lakukan di dunia ini akan menjadi pertanggungan kita dihadapan Allah. Sangguplah kita menjawab jika Ia menanyakan apa yang kita sembunyikan dalam hati kita sekali pun? Sungguh, tak ada apa pun yang bisa menolong kita. Dan berdzikir, agar hati selalu ingat dengan Rabb dan kampung akhirat yang sedang kita tuju.
Menjauh dari orang yang kita cintai
Inilah yang paling sulit untuk dilakukan. Padahal menjauhkan diri akan mengusir bayangan orang yang dicintai dalam hati. Tapi, awal-awalnya “amat sangat” berat. Sebagaimana seseorang sedang ditimpa musibah, awalnya pasti sangat menyakitkan. Jangan sampai ia melihat, mendengar perkataannya dan jangan melihat segala sesuatu yang dapat mengingatkan kepadanya. Nomor teleponnya. Kenangannya. Dan semua hal yang terasa indah. Buang semua itu! Difase ini, kita harus kuat dan benar-benar punya niat yang kokoh. Sebab, perasaan akan terombang-ambing. Sedih. Rindu. Hidup tak berarti tanpanya. Ingin bertemu. Ingin melihat senyumnya. Ingin dekat kembali. Dan semua rasa yang tertuju pada satu hal; kembali mencintainya.
Menikah
Walaupun bukan dengan orang yang dicintai, menikah merupakan solusi yang paling bagus. Penuh berkah dan ridho-Nya. Tak menutup kemungkinan jika orang yang dicintai bisa menjadi pendamping hidup, mengapa tidak menikah dengannya?
Shalat dan mengaji
Jagalah shalat, sesungguhnya shalat bisa mencegah perbuatan keji dan munkar. Hadirilah majelis-majelis ilmu, duduk bersama orang-orang zuhud, mendengar dan membaca kisah-kisah orang shalih. Sibukkanlah diri dengan hal-hal yang bermanfaat.
Bercintalah dengan Allah
Sungguh cinta-Nya jauh lebih manis. Mengadulah kepada-Nya dalam setiap detik. Menangislah kepadanya dalam tiap kedipan mata. Karena Ia pasti akan mendengar; Rabbku sungguh, aku ini hina dan kotor. Aku telah melakukan dosa yang sangat besar. tapi, aku yakin dengan janji-Mu. Jikalau hamba-Ku datang kepada-Ku dengan dosa sebesar bumi dan isinya, lalu ia bertaubat. Maka Aku akan mengampuninya.
Sumber :Sabili
Sumber :Sabili
“KALAU BUTIR-BUTIR KORMA INI HARUS KUTELAN SEMUA BARU MAJU BERPERANG …. OH BETAPA JAUH SUNGGUH JARAK ANTARA AKU DENGAN SURGA.”
lnilah ungkapan seorang sahabat ketika mendengar Rasulullah SAW bersabda menjelang berkecamuknya perang Badar: 'Majulah kalian semua menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi.'
KECEMERLANGAN sahabat-sahabat Rasulullah SAW, serta semua manusia Muslim yang agung yang pernah memenuhi lembaran sejarah kejayaan umat ini, sesungguhnya difaktori - salah satunya - oleh 'hadirnya' akhirat - dan semua makna yang terkait dengan kata ini dalam benak mereka setiap saat.
Lukisan kenikmatan surga meringankan semua beban kehidupan duniawi dalam diri mereka. Lukisan kenikmatan surga meringankan langkah kaki mereka menyusuri napak tilas perjuangan yang penuh onak dan duri. Tak ada duri yang sanggup menghentikan langkah mereka. Sebab duri itu justru memberinya kenikmatan jiwa saat jiwa duniawinya sedang bermandikan sungai surga. Lukisan kenikmatan surga melahirkan semua kehendak dan kekuatan yang terpendam dalam dasar kepribadiannya. Tak ada kehendak akan kebaikan yang tak menjelma jadi realita. Tak ada tenaga raga yang tersisa dalam dirinya, semua larut dalam arus karya dan amal.
Lukisan kedahsyatan neraka memburamkan semua keindahan syahwat dalam pandangan mata hatinya. Lukisan kedahsyatan neraka mematikan semua kecendrungan pada kejahatan. Sebab kejahatan itu sendiri telah berubah menjadi neraka dalam jiwanya, saat sebelah kakinya telah terjerembab kedalam neraka dengan satu kejahatan, dan kaki yang satu akan menyusul dengan kejahatan kedua. Lukisan kedahsyatan neraka menghilangkan semua rasa 'kehilangan, kepahitan dan penyesalan' dalam dirinya saat ia mencampakkan kenikmatan syahwati.
Lukisan surga dan neraka memberi mereka kesadaran yang teramat dalam akan waktu. Makna kehidupan menjadi begitu sakral, suci dan agung ketika ia diletakkan dalam bingkai kesadaran akan keabadian. Kaki mereka menapak di bumi, tapi jiwa mereka mengembara di langit keabadian. Dari telaga keimanan ini mereka meneguk semua kekuatan jiwa untuk dapat mengalahkan hari-hari. Seperti apakah kenikmatan yang bisa diberikan syahwat duniawi kepadamu, jika ia engkau letakkan dalam neraka jiwamu. Seperti apa pulakah kepahitan yang dapat diberikan penderitaan duniawi kepadamu, jika ia engkau simpan dalam surga jiwamu.
Lukisan surga dan neraka yang memenuhi lembaran surat-surat Makkiyah, terkadang dipaparkan Allah SWT dengan gaya ilmiah yang begitu logis. Sama seperti ia terkadang melukiskannya dengan gaya deskripsi, begitu sastrawi dan menyeni, seindah-indahnya. Atau semengeri-ngerikannya. Lukisan pertama menyentuh instrumen akal dan melahirkan 'Al-Yaqin' akan kebenaran hari kebangkitan (akhirat). Lukisan kedua menyentuh instrumen hati dan selanjutnya melahirkan 'Khaufan Wa Thoma'an'.
Begitulah Al-Iman Bil Yaumil Akhir itu menjadi telaga tempat kita meneguk semua kekuatan jiwa untuk berkarya. Begitulah Al-Iman Bil Yaumil Akhir itu menjadi mesin yang setiap saat 'memproduksi' watak-watak baru yang positif dan Islami dalam struktur kepribadian kita.
Untuk 'memfungsikan' keimanan ini seperti ini, kita harus 'menghadirkan' maknanya setiap saat dalam benak dan hati kita. Sebab “…dari makna-makna kubur inilah akan lahir akal yang kuat dan tegar bagi sang kehendak," kata Musthofa Shidiq Al-Rofi’i.
Mereka semua gusar. Tuan rumah, tetamu dan seluruh penghuni rumah itu yang umumnya kaum fakir miskin dan nestapa. Pasalnya, tuan rumah kehilangan uangnya dalam rumahnya. Tentu saja sang tamu, seorang ibu dan anak lelakinya, yang paling gusar di antara mereka. Karena kejadiannya bertepatan dengan kedatangan mereka. Pantaslah kalau kecurigaan gampang tertuju pada mereka. Dan anak lelaki kecil itu menangkap kegusaran yang hebat di wajah ibunya, selain kegusaran di wajah tuan rumah dan segenap penghuni rumah lainnya. Ia pun segera bertindak.
Diantara para penghuni itu ada seorang lelaki buta dan seorang lelaki lumpuh. Tiba-tiba anak kecil itu mendatangi mereka berdua dan berkata kepada si buta: “Ambil tangan sahabatmu yang lumpuh itu. Lalu bawa dia ke tempat kalian mengambil uang itu.” Si buta terhenyak lalu menjawab: “Aku tidak bisa melihat dan sahabatku tidak bisa bergerak.” Tapi anak kecil itu terus mendesak mereka dan berkata: “Kamu pasti bisa. Sebab tadi kalian berdua yang mengambil uang itu.” Akhirnya si buta dan si lumpuh mengakui perbuatan mereka dan segera mengembalikan uang itu.
Semua terkesima menyaksikan keajaiban anak itu. Tapi mereka lebih terkesima lagi ketika di lain kesempatan tuan rumah menghadapi masalah yang bisa sangat mempermalukannya. Ketika hendak mengadakan pesta makan malam, tiba-tiba semua botol anggurnya kosong. Ia panik dan semua keluarga panik. Akan kecil itu menyaksikan kepanikan mereka. Ia pun datang memegang botol-botol itu. Dan seketika botol-botol itu terisi kembali. Bukan dengan anggur. Tapi dengan minuman lain yang lebih segar yang tidak mereka rasakan sebelumnya.
Itulah Isa putera Maryam. Itulah ia di masa kecilnya yang diceritakan dengan indah oleh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah Wan Nihayah. Selalu menjadi solusi. Selalu hadir menyelesaikan masalah. Selalu mengurai kerumitan. Selalu menenangkan kepanikan. Selalu datang membawa kelapangan di tengah kesempitan. Selalu meniupkan harapan di tengah keputusasaan. Sejak kecil hingga kelak menjadi nabi dan rasul dimana sentuhan tangannya menyembuhkan orang sakit, membuka mata orang buta, memperjalankan orang lumpuh, menghilangkan kusta hingga menghidupkan orang mati.
Ia disebut Al-Masih, yang salah satu maknanya adalah pengasih dan penyayang. Mukjizatnya ada pada sentuhan tangannya. Dan sentuhan tangannya adalah sentuhan kasih yang menyelesaikan masalah. Sentuhan tangannya adalah solusi. Sentuhan tangannya adalah mukjizat; pengetahuan di atas pengetahuan yang bersumber dari Allah SWT. Sentuhan tangannya adalah kebalikan dari tongkat Musa yang merupakan simbol hard power. Sentuhan tangannya adalah simbol dari soft power. Namun keduanya menjalankan fungsi yang sama: persuasi untuk meyakinkan orang kepada hakikat keimanan.
Fungsi persuasi dengan menggunakan hard power dan soft power itu dilakukan di tengah masyarakat manusia yang kemampuan pembelajarannya terutama bertumpu pada dimensi visual. Mereka tidak bisa menalar. Mereka hanya bisa mengindera. Mereka terpengaruh oleh apa yang mereka lihat, bukan oleh apa yang mereka pikirkan. Tapi yang pasti mereka harus mengungguli kaumnya. Pengetahuan mereka harus ada di atas pengetahuan kaum mereka.
Kalau Musa mengubah dengan kemenangan yang keras, maka Isa mengubah dengan solusi. Tapi kemenangan Musa dan solusi Isa sama-sama membawa satu pesan: bahwa perubahan itu adalah fungsi pengetahuan.
[Sebelumnya]
Ya Allah Engkau tahu
Hati-hati ini telah
Berkumpul dalam cinta-Mu
Bertemu dalam taat-Mu
Menyatu menolong dakwah-Mu
Berjanji perjuangkan syariat-Mu
Maka eratkan ikatannya
Dan abadikan cintanya
Hati-hati ini telah
Berkumpul dalam cinta-Mu
Bertemu dalam taat-Mu
Menyatu menolong dakwah-Mu
Berjanji perjuangkan syariat-Mu
Maka eratkan ikatannya
Dan abadikan cintanya
Tidak ada penjelasan historis tentang suasana yang melatari Imam Syahid Hasan Al Banna saat menulis potongan doa itu. Ia menyebutnya Wirid Pengikat. Pengikat hati. Hati yang sedang dibangunkan untuk memikul beban kebangkitan umat. Beban mereka berat. Jumlah mereka sedikit. Musuh mereka banyak. Jadi mereka butuh landasan yang kokoh dan pengikat yang kuat. Landasannya adalah iman. Pengikatnya adalah cinta.
Cinta menjalin jiwa-jiwa mereka dalam kelembutan yang menyamankan: maka setiap mereka adalah pernadani sutera yang empuk, setiap orang dengan tipenya bisa duduk santai di situ. Cinta mereka selalu mampu menampung semua bentuk perbedaan: ada kebebasan berpendapat tapi tidak ada sikap yang melukai, ada keterbukaan tapi objektivitas tetap di atas segalanya. Cinta melahirkan pertanggungjawaban: setiap mereka selalu bertanya tentang sejauh mana mereka mampu mempertanggungjawabkan sikap mereka di depan Allah?
Tapi cinta juga melahirkan kelembutan: maka perbedaan-perbedaan mereka terkelola dalam etika yang menyamankan jiwa. Karena setiap pembicaraan mereka selalu berujung amal. Beban. Perbedaan diantara mereka tidak akan mengubah situasi mereka, seperti kata Iqbal, sebagai sapu lidi yang diikat cinta untuk membersihkan kehidupan.
Tapi cinta juga memberi mereka energi. Para pemikul beban kebangkitan itu pastilah akan menempuh jalan perjuangan penuh liku dan pendakian. Pada setiap satu jarak waktu dan tempat beban mereka bertambah. Mereka pasti mengalami penuaan dini, seperti kata Rasulullah saw: "Surat Hud dan saudara-saudaranya telah mengubankan rambutku." Kalau bukan dengan energi yang dahsyat, siapakah yang sanggup mendaki gunung sembari memikul beban? Dan cintalah sumbernya.
Energi cinta memicu mereka untuk bergerak dan bertumbuh dalam tempo yang cepat. Tapi ikatan cinta mengatur irama mereka dalam keserasian yang indah. Itu sebabnya mereka kuat. Nyaman. Dan abadi. Jadi biarkan Sang Imam mengumumkan kembali dia cintanya:
Maka eratkan ikatannya. Dan abadikan cintanya?
[Sebelumnya]
Nama para pahlawan mukmin sejati senantiasa harum sepanjang sejarah. Akan tetapi, hanya sedikit orang yang mengetahui betapa besar pajak yg telah mereka bayar untuk keharuman itu. Masyarakat manusia pada umumnya selalu mempunyai dua sikap terhadap keharuman itu. Pertama, mereka biasanya akan mengagumi para pahlawan itu, bahkan terkadang sampai pada tingkat pendewaan. Kedua, mereka akan merasa kasihan kepada para pahlawan tersebut, karena mereka tidak sempat menikmati hidup secara wajar. Yang kedua ini biasanya datang dari keluarga dekat sang pahlawan.
Apa yang dirasakan “orang luar” berbeda dengan apa yang dirasakan oleh sang pahlawan itu sendiri. Kekaguman, mungkin merupakan sesuatu yang indah bagi banyak orang. Namun, para pahlawanlah yang membayar harga keharuman itu. Dan, harga itu tidah diketahui orang banyak. Maka, seorang penyair arab terbesar, Al-Mutanabbi mengatakan, “Orang luar mengagumi kedermawanan sang pahlawan, tetapi tidak merasakan kemiskinan yang mungkin dicipatakan oleh kedermawanan. Orang luar mengagumi keberanian sang pahlawan, tetapi mereka tidak merasakan luka yang menghantarnya menuju kematian.”
Akan tetapi, ada juga kenyataan lain yang sama sekali terbalik. Keluarga para pahlawan seringkali tidak merasakan gaung kebesaran atau semerbak harum nama sang pahlawan. Karena ia hidup ditengah tengah mereka, setiap hari bahkan setiap saat. Bagi mereka, sang pahlawan adalah juga manusia biasa, yang mempunyai keinginan-keinginan dan kegemaran-kegemaran tertentu seperti mereka. Dan mereka harus menikmatinya. Maka, merekalah yang sering menggoda sang pahlawan untuk tidak melulu “mendaki” langit, tapi juga sekali-kali “turun” ke bumi.
Kedua sikap tersebut adalah jebakan. Kekaguman dan pendewaan sering menjebak para pahlawan. Sebab, hal itu akan mempercepat munculnya rasa uas dalam dirinya, sehingga karya yang sebenarnya belum sampai ke puncak, akhirnya terhenti di pertengahan jalan akibat rasa puas. Itulah sebabnya Imam Ghozali mengatakan, “Siapa yang mengatakan saya sudah berilmu, maka sesungguhnya orang itulah yang paling bodoh.”
Panggilan turun ke bumi adalah jebakan lain. Menjadi pahlawan memang akan menyebabkan kita meninggalkan sangat banyak kegemaran dan kenikmatan hidup. Bahkan, privasi kita akan sangat terganggu. Namun, itulah pajaknya. Akan tetapi, banyak orang gagal melanjutkan perjalanan menuju puncak kepahlawanan karena tergoda untuk “kembali” ke habitat manusia biasa. Seperti angin sepoi yang mengirim kantuk kepada orang yang sedang membaca, seperti itulah panggilan turum ke bumi menggoda sang pahlawan untuk berhenti mendaki. Itulah sebabnya Allah menegur para mujahidin yang mencintai keluarga mereka melebihi cinta mereka terhadap Allah, rasul-Nya dan jihad di jalan-Nya.
Maka, para pahlawan mukmin sejati berdiri tegak di sana; di antara tipuan pendewaan dan godaan kenikmatan bumi. Mereka terus berjalan dengan mantap menuju puncak kepahlawanan: tidak ada kepuasan sampai karya jadi tuntas, dan tidak ada kenikmatan melebihi apa yang mungkin diciptakan oleh kelelahan.
Tongkat itu seketika menjelma menjadi ular raksasa. Para penyihir Fir’aun terperangah. Fir’aun dan rakyat Mesir yang menyaksikan pertarungan itu terkesiap. Tapi semua hanya berlangsung sesaat. Karena ular-ular mereka seketika ditelan habis oleh ular raksasa Musa. Dan panggung pun jadi gaduh. Para penyihir it u takluk. Lalu bersujud dan menyatakan ikrar iman kepada Tuhan yang disembah Musa. Namun pertarungan tak selesai disitu.
Fir’aun terus mengejar Musa. Kisah itupun berkembang menjadi sebuah drama paling kolosal sepanjang sejarah manusia. Puncaknya adalah pengejaran fisik terhadap Musa bersama seluruh pengikutnya. Dalam situasi terpojok seperti itu seharusnya Musa berlari ke gunung seperti yang kit abaca dalam ilmu strategi perang. Tapi Musa justru berlari ke tepi laut. Berita itu membuat Fir’aun tersenyum penuh kemenangan. Seperti yakin bahwa riwayat Musa akan berakhir disitu. Namun justru riwayat Fir’aunlah yang berakhir disitu.
Sebab tongkat Musa sekali lagi bekerja dengan cara lain. Tongkat itu membelah laut merah yang kemudian member jalan bagi mereka berlari dari kejaran tentara Fir’aun. Dan Fir’aun tidak juga menyadari kalau itu adalah jebakan terakhir yang akan menutup riwayat keangkuhan dan kerajaannya, begitulah Fir’aun menyebrangi laut yang seketika tertutup kembali setelah sebelumnya dibelah oleh tongkat Musa.
Tongkat Musa bukanlah simbol pengetahuan. Itu adalah simbol dari apa yang oleh para ahli strategi sekarang disebut sebagai hard power. Itu merupakan tools yang digunakan untuk mengajar, bukan terutama untuk menghancurkan. Karena nabi-nabi itu seluruhnya diturunkan untuk satu misi: mengajar manusia. Cara manusia belajarlah yang membedakan tools yang tepat yang digunakan untuk mengajar mereka.
Dalam situasi Fir’aun dan zamannya, hanya hard power yang bisa menundukkan dan menaklukkan mereka, serta menyadarkan mereka bahwa di atas kebesaran mereka ada yang jauh lebih Maha Besar. Itu cara belajar yang primitif karena sepenuhnya bertumpu pada dimensi visual, dan relatif mengabaikan semua dimensi penalaran. Disini nasihat tidak berpengaruh. Kebenaran berpengaruh hanya ketika ia menang dalam pertarungan fisik.
Hard power itu, di zaman kita, adalah kuasa teknologi yang sebagiannya menjelma pada mesin perang modern. Jika tongkat Musa adalah simbol hard power, maka keunggulan itu berasal dari mukjizat Allah yang diwahyukan kepada Musa. Itu pengetahuan di atas pengetahuan zamannya, persis seperti Nuh yang diwahyukan membuat perahu untuk mengantisipasi banjir.
[Sebelumnya]
Ketahuilah bahwa cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan, sedangkan zuhud terhadap dunia merupakan maqom yang mulia. Dan yang dimaksud dengan zuhud adalah memalingkan diri dari sesuatu yang disukai demi untuk sesuatu yang lebih baik. Telah ma’ruf bahwa yang dimaksud zuhud adalah meninggalkan dunia, barangsiapa yang meninggalkan segala sesuatu selain ALLAH maka disebut zahid yang sempurna.
Bukanlah yang disebut Zuhud itu meninggalkan harta, tetapi yang disebut zuhud itu meninggalkan dunia karena tahu kerusakannya dan berpaling pada akhirat yang kekal. Firman ALLAH SWT: “Apa-apa yang di sisimu akan sirna, dan apa yang disisi ALLAH kan kekal” (QS An-Nahl 16/96). Berkata al-Fudhail: ALLAH menciptakan keburukan dalam satu rumah dan menjadikan cinta dunia sebagai kuncinya, dan ALLAH menciptakan kebaikan dalam satu rumah dan menjadikan Zuhud sebagai kuncinya.
Tingkatan Zuhud ada 3, yang pertama adalah orang yang berusaha untuk Zuhud terhadap dunia dan ia merasa berat, tetapi ia terus berusaha sekuat tenaga, orang ini disebut sebagai mutazahhid dan ini tingkatan yang terendah. Tingkatan kedua adalah ia telah mampu zuhud dengan sukarela tanpa harus menguras kemampuan, tetapi ia dapat melihat kezuhudannya dan dapat merasakan bahwa ia telah meninggalkan dunia dan merasa senang karenanya. Sementara derajat ketiga dan yang tertinggi adalah yang zuhud dengan mudah, dan ia sudah demikian zuhud sehingga merasa biasa saja dengan kezuhudannya karena ia sudah merasa bahwa dunia itu tidak ada nilainya sedikitpun, maka jadilah ia seperti orang yang membuang kotoran dan pergi tanpa menoleh ataupun mengingat lagi, padahal dunia jika dibandingkan dengan sampah masih lebih hina lagi nilainya.
Zuhud dilakukan terhadap berbagai hal sebagai berikut:
1. Zuhud terhadap makanan, dalam hadits Nabi SAW disebutkan kata A’isyah ra kepada keponakannya ‘Urwah: “Telah berlalu atas kami bulan baru, bulan baru, bulan baru (3 bulan) sementara tidak pernah menyala api di dapur rumah Nabi SAW dan keluarganya, maka ditanyakan oleh ‘Urwah: Wahai bibinda maka dengan apa kalian makan? Dijawab: Dengan air dan kurma.” (HR Bukhari 8/121 dan Muslim 8/217)
2. Zuhud terhadap pakaian, diriwayatkan dari Abi Bardah: “Telah keluar A’isyah ra pada kami membawa sehelai selendang kasar dan selembar kain keras sambil berkata: Telah dibungkus jasad Nabi SAW dengan kain seperti ini.” (HR Bukhari 7/195, Muslim 6/145, Abu Daud 4036 dan Turmudzi 1733) Dan berkata Al-Hasan ra: Umar ra pernah berkhutbah saat ia menjabat presiden sementara di bajunya aku hitung ada 12 bekas jahitan.
3. Zuhud terhadap tempat tinggal, dalam hadits disebutkan: “Seorang muslim diberi pahala dari semua harta yang dinafkahkannya, kecuali dari apa yang dibuatnya dari tanah ini (bangunan).” (HR Ibnu Maajah 4163), berkata al-Hasan ra: Aku jika memasuki rumah Nabi SAW, maka kepalaku menyentuh atap daun kurmanya.
4. Zuhud dalam alat rumah tangga, dalam hadits disebutkan kata Umar ra: “Saya masuk ke dalam rumah Nabi SAW, sedang ia bertelekan pada sebuah tikar kasar sehingga berbekas pada tubuhnya, maka aku melihat pada perabotannya hanya kulihat segenggam tepung sebanyak 1 sha’.” (HR Bukhari 7/38, Muslim 4/189, 191)
Zuhud yang terbaik menurut Ibnul Mubarak adalah yang menyembunyikan kezuhudannya dari manusia, ciri-cirinya adalah:
1. Ia tidak merasa senang dengan adanya sesuatu dan tidak merasa sedih dengan ketiadaannya, sebagaimana firman ALLAH SWT: “Agar engkau tidak berputus asa atas apa yang hilang darimu dan merasa senang dengan apa yang ada padamu.” (QS al-Hadiid 23) Dan inilah zuhud dalam harta.
2. Sama baginya dicela atau dipuji, ini merupakan tanda zuhud terhadap kedudukan.
3. Sangat dekat ia dengan ALLAH, dan hatinya dikuasai kelezatan taat pada ALLAH SWT.
Ketahuilah bahwa antara cinta pada ALLAH dengan cinta pada dunia sebagaimana air dengan udara dalam sebuah bejana, jika air masuk maka udara akan keluar dari bejana itu sebanyak air yang masuk, maka ada bejana yang dipenuhi air, 2/3 nya, 1/2 nya, dan seterusnya sampai ada yang kosong sama sekali dari air. Maka dimanakah letak hatimu ?!
Sumber : Irwan Prayitno
Sumber : Irwan Prayitno
Perjuangan Beliau
Adapun Perjuangan pada bidang pekerjaan dan spesialisasinya memiliki sejarah yang sangat menarik. Suatu ketika ketua mahkamah konstitusi bertanya kepadanya: Ya Hasan, bukankah engkau bersama saya, bahwa kebanyakan dari undang-undang sipil saat ini berkaitan erat dengan hukum-hukum yang ada dalam fiqh Islam? Hasan Hudaibi berkata: betul. Orang tersebut berkata lagi: jadi apa dasarnya tuntutan Anda untuk kembali pada syariat Islam dan menerapkan hukum-hukumnya?. Beliau menjawab: Hal tersebut karena Allah SWT. Dia berfirman: “Dan hendaklah saat memutuskan hukum diantara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan Allah”. Dan tidak mengatakan: Dan berhukumlah seperti yang diturunkan Allah. Dan bahwa berhukum pada syariat Allah menurut seorang muslim adalah ibadah dan menunjukkan ketaatan kepada perintah Allah, dan itulah sumber keberkahannya, rahasia kekuatan yang ada dalam jiwa orang-orang yang beriman dengannya dan dalam komunitas jamaah muslimah.
Ketika dijabarkan rancangan revisi undang-undang sipil Mesir pada tahun 1945 di hadapan ustadz Al-Hudaibi, tertulis disitu bahwa beliau menolak mendiskusikan proyek tersebut dari sisi prinsipnya; karena tidak berdasarkan pada al-kitab dan as-sunnah.
Dan pada tahun 1947 Ustadz Hasan Al-Hudaibi menerbitkan sebuah artikel di koran Mesir “Akhbar Al-Youm,” yang membantah amandemen rancangan undang-undang sipil Mesir, beliau berkata, “bahwa amandemen terbaik menurut pandangan saya adalah yang mengacu pada sebuah undang-undang yang satu; untuk menerapkan hukum syariah dalam kasus pidana dan perdata" kemudian beliau berkata: “Aku telah menyatakan pendapat di komisi revisi undang-undang sipil dalam Senat, dan saya sampaikan: Bahwa undang-undang kita harus berdasarkan Al-Quran dan Sunnah dalam berbagai sendi kehidupa, bukan hanya dalam urusan syariat saja. Bahwa Islam adalah agama yang koheren dan terpadu tidak boleh dipisah-pisah, sehingga harus diterapkan seluruh ketentuannya oleh setiap orang yang menganutnya” Inilah pendapat yang saya kemukakan, dan saya berharap bahwa saya telah menyelesaikan tugas dalam melakukan revisi undang-undang, berusaha mempelajarinya hingga tidak terdapat di dalamnya undang-undang asing yang tidak konsideran dengan Al-Qur’an Al-Karim, yang tidak bisa membedakan antara yang halal dan yang haram, padahal keduanya sangat jelas karakter dan batasan-batasannya hingga hari kiamat.
Dan inilah yang saya sampaikan di hadapan tim revisi, dan saya yakin bahwa mereka tidak akan menerima dan mengambilnya, namun bagi saya tidak mengapa selama saya yakin dengan apa yang saya sampaikan, namun menurut praduga saya, kelak setelah berjalan 20 atau 30 tahun opini akan mengarah pada pengambilan pendapat saya; setiap kali Allah melapangkan dada umat manusia dengan Al-Qur’an pada hari yang meliputi opini dan pendapat ini.
Kami telah melihat bahwa berbagai undang-undang yang bersumber pada undang-undang asing tidak memberikan kemaslahatan pada negeri kami, tidak mencapai apa yang diharapkan, penjara ini penuh narapidana, kejahatan meningkat, kemiskinan menyebar, dan moral dan akhlak menurun, hubungan sosial memburuk hingga terjadi setiap hari sejak para pendahulunya, dan ini semua tidak mampu dirubah kecuali jika kita menyusun kembali hubungan kita dengan sunnah kauniyah yang telah diturunkan melalui wahyu dengan berbagai rahasia-rahasianya, dan tanda-tandanya yang terdapat dalam Al-Qur’an, dan dengan itu semua, maka kita akan dapat tinggal di rumah, di tengah keluarga dan masyarakat, bersama anak-anak kita, dan bersama semua orang yang hidup bersama Al-Qur’an .
Pada tanggal sepuluh Desember 1952, konstitusi Klasik Mesir mengumumkan revisi dan setelah berlalu dua hari ditetapkan seratus anggota untuk membuat konstitusi baru yang mana di antara mereka ada tiga orang yang berasal dari Ikhwanul Muslimin. Akhirnya majalah “El-dakwah” menerbitkan artikel yang mengajak untuk mendukung konstitusi berdasarkan Islam. Hasan Al-Hudaibi mengajak untuk dilakukan referendum; guna mengetahui apakah Mesir memilih syariat Islam atau undang-undang barat? Jika memilih berhukum pada Islam maka pemerintah harus komitmen melaksanakan pilihan tersebut, dan jika memilih undang-undang Barat –yang tidak mungkin keluar dari diri seorang muslim- maka kita harus mengaca diri, mengajarkan umat akan perintah Tuhannya dan apa yang seharusnya mereka lakukan.
Awal Hasan Al-Hudaibi mengenal Ikhwanul Muslimin
Dikisahkan bahwa hubungan beliau dengan Ikhwanul Muslimin dimulai sejak tahun 1942, yaitu saat beliau mendapatkan kepuasan dengan dakwah al-Ikhwan melalui praktek sebelum mendapatkannya secara teori. Hal tersebut terjadi ketika beliau melihat sebagian anggota kerabatnya dari para petani yang sedang menghadapi berbagai macam masalah; agama dan politik, yang kebanyakan dari masyarakat umum tidak memahami hal tersebut, terutama karena kebanyakan dari mereka adalah berasal kalangan umi (buta huruf), dan ketika diketahui bahwa hal tersebut kembali kepada para Ikhwan, beliau tertarik dengan cara dakwahnya, sehingga beliau sangat antusias untuk menghadiri khutbah Jum’at di masjid-masjid yang diisi oleh pendiri jamaah Ikhwan; Hasan Al-Banna. Dan sejak tahun 1942 beliau mulai menjalin hubungan dengan dakwah yang penuh berkah ini melalui pendirinya langsung terutama di saat beliau melakukan kunjungan ke kota Zaqaziq.
Adapun awal begitu tertariknya beliau dengan dakwah Ikhwanul Muslimin adalah saat mendengar ceramah ustadz Hasan Al-Banna tentang masalah membersihkan jiwa, menumbuhkan perasaan, menggelorakan ruh. Ketika beliau mendengarkan uraiannya ada perasaan aliran darah yang deras dan kencang merasuk ke dalam jiwanya, bergelora ruhnya, akalnya, hatinya dan perasaannya, sehingga tidak membutuhkan waktu lama dan usaha yang keras, segera terdorong jiwanya untuk bergabung dengan dakwah yang penuh berkah ini, dakwah yang membawa kebenaran, dan siap bekerja untuknya, terikat dengannya serta komitmen untuk berjihad di jalannya. Pada saat itu Imam Hasan memandang telah terjadi kehancuran di tengah umat Islam sehingga perlu adanya kerja keras untuk menolong dan menyelamatkannya. Dan ditambah kecemburuan iman Hasan Al-Banna yang bergelora di dadanya, yang mana hal tersebut dapat diketahui saat beliau berbicara, baik dihadapan para ulama yang shalih dan dihadapan orang-orang yang duduk-duduk dan nongkrong di kedai kopi.
Pada saat itu –setelah mendengar uraian imam Hasan Al-Banna- beliau langsung menghadap, dan setelah berbicara singkat, beliau melakukan janji, ikatan dan baiat. Baiat yang mengikat dirinya dan kehidupannya untuk selamanya, dan berada di jalan dakwah yang penuh berkah ini, mengarungi masa depan dakwah. Dan inilah model kejujuran para rijal dakwah. Mengikat jiwa mereka dengan dakwah kehidupan masa lalunya, yang sedang berjalan dan yang akan datang dengan kebenaran.
Dan karena karakter imam Hasan Al-Hudaibi memiliki kecerdasan dan kejelian, jiwa yang kokoh, ruh yang bersih, sehingga ketika mendengar dakwah imam Hasan Al-Banna yang bersumber dari kejujuran dan keikhlasan, dan totalitas yang begitu dalam, beliau yakin bahwa ini adalah dakwah yang akan memberikan air kesejukan bagi siapa saja yang haus hatinya, perasaannya dan jiwanya.
[Bersambung]
Arafah. Padang luas tempat kita menghampar jiwa. Semua lebur jadi satu tanpa sekat. Semua sekat: etnis, warna kulit, postur, latar budaya dan sejarah. Ihram putih yang membalut tubuh-tubuh kita menyimbolkan kesatuan. Semua kesatuan: asal usul, tujuan hidup, jalan hidup yang kita tempuh untuk mencapai tujuan itu.
Arafah itu seperti lukisan jiwa-jiwa yang digantung di dinding sejarah. Seluruh jiwa menyatu dalam lukisan yang rumit; disatukan oleh kekuatan yang lahir kekuatan; kekuatan cinta yang lahir kekuatan iman. Tiba-tiba kita semua merasakan kerendahan hati yang tulus. Lalu jiwa kita hampar bagai permadani; silakan semua orang duduk di sana. Perbedaan-perbedaan ini, etnis, warna kulit, postur, latar budaya dan sejarah seketika berubah menjadi sumber keindahan yang menghiasi langit kehidupan kita.
Cintalah rahasianya. Maka ekspansi Islam dari jazirah Arab ke kawasan Asia Tengah, Selatan, Tenggara dan Cina, atau kawasan Afrika Selatan dan Utara sampai ke Eropa Barat dan Timur, bukanlah suatu catatan tentang pedang terhunus yang tak pernah berhenti berdarah. Itu justru serangan pasukan cinta yang datang membebaskan jiwa-jiwa manusia dari belenggu yang membatasi hidupnya dengan sekat tanah dan etnis: maka menyatulah mereka dalam cinta yang melapangkan dunia. "Akan kami perangi mereka dengan cinta," kata Hasan Al Banna.
Dalam celupan cinta jiwa-jiwa itu muncul kembali dengan kesamaan-kesamaan baru: keramahan yang tulus, kerendahan hati yang natural, kedermawanan dan kebiasaan menolong orang lain. Pergilah ke negara-negara Islam dan temuilah masyarakatnya, kamu pasti menemukan sifat-sifat itu merata di antara mereka. Itulah sifat-sifat yang lahir dari cinta.
Dan itulah yang terjadi kemudian. Bangsa-Bangsa Islam adalah rumpun ideologi yang tidak pernah bisa punah, bahkan ketika khilafah mereka runtuh dan negara-negara mereka porak-poranda. Bandingkanlah dengan imperium Romawi, atau Persia atau Uni Soviet. Bangsa-bangsa mereka pecah begitu institusi negara mereka runtuh. Nasib seperti ini rasanya juga akan dialami oleh negara-negara kosmo saat ini. Materialisme telah membangun sebuah dunia kosmo yang disatukan dan dipisahkan oleh uang.Di dunia kita saat ini, krisis ekonomi bisa dengan mudah menghancurkan sebuah bangsa, menutup riwayat sebuah negara. Seperti Uni Soviet. Walaupun tidak dapat meramalkan waktu kejadiaannya, tapi saya memiliki kepercayaan yang kuat, bahwa Amerika Serikat juga akan mengalami masa depan yang sama.
Batasan negeri kita, dan negeri mana pun, adalah ruang hati kita. Seluas apa ruang hati kita dapat menampung orang lain, seluas itulah negeri yang mungkin kita huni. Selama apa cinta dapat bertahan dalam hati kita, selama itulah umur negeri kita. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang rumit sebenarnya tersimpan sebuah rahasia yang sederhana: keutuhan kita sebagai bangsa seumur dengan umur cinta kita.
[Sebelumnya]