Oh… Akhwat
Wanita anggun pembasmi maksiat
Busananya rapi menutup aurat
Paling anti pake pakaian ketat
Katanya sich, ini salah satu ciri muslimah yang taat
Oh… Akhwat
Rajin mengaji dan tahajud dimalam yang pekat
Alasannya, biar selamat dunia dan akhirat
Ngga lupa dia doa dan munajat
Agar mendapat teman sejati dalam waktu cepat
Oh… Akhwat
Aktivitasnya begitu padat
Kuliah, organisasi sampe-sampe sehari 3 x ngikutin rapat
Ada juga yang ngajar TPA dan ngajar privat
Demi Allah, semua dilakukan dengan semangat
Oh… Akhwat
Tapi hari ini kok seperti kurang sehat?
Badan lesu dan muka keliatan pucat
Jalannya lunglai dibawah terikan matahari yang menyengat
Ooo.. ternyata dia, magh nya lagi kumat
(Abis… waktu sarapan cuma makan sepotong kue donat!)
Oh… Akhwat
Banyak juga yang berjerawat
Dari yang kecil-kecil sampe yang segede tomat
Padahal sudah nyobain semua sabun dan juga obat
( Sabar… sering wudhu lama2 juga ilang, Wat!)
Oh… Akhwat
Sering betul kirim SMS buat para sahabat
Isinya kalo ngga ngundang syuro, ya.. ngasih tausiyah atau nasihat
Walau kadang terasa bikin pulsa ngga’ bisa hemat
Oh… Akhwat
Seneng banget kalo makan coklat
Nggak sadar kalo gigi udah pada berkarat
Gara-gara sebulan sekali baru disikat
(Hiii… jorok nian kau, Wat!)
Oh… Akhwat
Paling seru waktu kumpul sesama akhwat
Ngobrolin dakwah sampe hal-hal yang kadang kurang manfaat
Apalagi kalau sudah pada saling curhat
Bisa-bisa air mata mengalir begitu lebat
( Wiih, curhat apaan tuh, Wat!)
Oh… Akhwat
Paling berani kalo di ajak debat
Siap bertahan sampe lawan bicaranya mulai sekarat
1 jam.. 2 jam.. 3 jam.. Wuiih dia masih kuat..!
4 jam….? Woy berenti…! waktunya sudah masuk sholat..!!
Oh… Akhwat
Sore-sore makan soto babat
Makannya rame-rame bareng temen satu liqo’at
Maklum, hari itu ada yang baru punya hajat
Baru wisuda… walaupun wisudanya bareng adek2 tingkat
Oh… Akhwat
Nonton konser Izzis sambil lompat-lompat
Tak terasa badan mulai capek dan mulai berkeringat
Sampai nggak sadar kalo ada copet yang mulai mendekat
( Tenang…. Si Ukhti kan sudah belajar silat..!!)
Akhwat… Akhwat…
Pergi kuliah di hari Jumat
Buru-buru karena takut datangnya telat
Padahal hawa kantuk masih terasa melekat
Gara-gara Facebookkan tengah malem sampe jam 1 lewat
( So.. What gitu Wat ?!)
Oh… Akhwat
Banyak yang nggak mau dimadu, apalagi jadi istri ke empat
( Waduh, kalau yang ini ane nggak berani nerusin, Wat!)
Oh… Akhwat
Mau lebaran bantuin ibu buat ketupat
Hati gembira karena mau ketemu sanak kerabat
Tapi kesel saat ditanya… Lebaran ini masih sendiri, Wat?
Oh… Akhwat
Berharap sang pengeran datang tidak terlambat
Untuk menjemput ke hidup baru yang penuh rahmat
Namun apa daya saat proses ta’aruf jadi tersendat
Gara-gara sang Ikhwan, malah akhirnya ngurungin niat
( Huuu.. reseh banget tuh Ikhwan, Wat!)
Oh… Akhwat
Masih Banyakkah yang seperti Fatimah Binti Muhammad?
Yang memilih pendamping bukan kerena harta, tahta dan martabat
Atau hanya tertarik pada gemerlap dunia yang sesaat
Tapi… Agama dan Akhlak itulah yang ia lihat
Wah.. kalau ada… ane pesen satu Wat!
( Please dong akh, Wat! )
Oh… Akhwat
Hidup memang tak selamanya nikmat
Kadang ringan kadang juga terasa berat
Tapi teruslah Istiqomah kau di setiap saat
Karena engkaulah…. Bidadari Harapan Ummat!
Maap ya.. Wat!
Kalau ada kata-kata salah yang didapat
Maklum, yang buat bukannya Akhwat
Udah dulu ya.. yang buat matanya udah 5 Watt!
Sumber :FBnya Fathur IzzIs
Para pahlawan mukmin sejati mempunyai pendengaran jiwa yang sangat peka. Ia dapat menangkap semua panggilan kepahlawanan, dari manapun datangnya panggilan itu dan sekecil apapun suara panggilan itu. Panggilan kepahlawanan itu senantiasa menciptakan getaran dalam jiwanya, getaran yang senantiasa menggodanya untuk mengepakkan sayap cita memenuhi panggilan itu.
Suatu ketika Rasulullah saw. mengatakan kepada sahabat-sahabatnya; Suatu saat Konstantinopel pasti akan dibebaskan, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan yang membebaskannya dan sebaik-baik komandan adalah komandan yang memimpin pembebasan itu. Demi mendengar sabda sang Rasul, para sahabat beliau segera bergegas mempersiapkan diri. Akan tetapi, hanya Abu Ayyub al-Anshari yang langsung mengambil kudanya, menerjang gurun sahara, menempuh jalan panjang menuju Konstantinopel, seorang diri.
Kota itu sendiri baru dibebaskan Kaum Muslimin delapan ratus tahun kemudian oleh Pasukan Utsmaniyah di bawah seorang pemuda berusia 23 tahun, Muhammad Al-Fatih Murad. Akan tetapi, Abu Ayyub Al-Anshari telah mencatat namanya sendiri pada sebuah ruang sejarah kepahlawanan yang terhormat sebagai syahid pertama di jalan pembebasan itu.
Apakah beliau sempat membunuh musuh-musuh Allah dalam perjalanan itu? Tidak! Namun, posisi terhormat sebagai syahid pertama di jalan pembebasan itu telah menjadi hak sejarah beliau. Jadi, apa yang tepatnya telah beliau lakukan untuk itu? Yang beliau lakukan untuk itu adalah: memenuhi panggilan kepahlawanan itu di awal suara panggilan itu, menyatakan rindu yang jujur pada kehormatan menjadi syahid di awal senandung nada kepalawanan itu, mengepakkan sayap cita menuju jalan pembebasan begitu sang Rasul menyelesaikan sabdanya.
Kepioniran adalah sebuah kehormatan tersendiri, karakter yang unik dari sebuah kepahlawanan. Karenanya, ia memppunyai ruangnya sendiri dalam sejarah kepalawanan. Dalam semangat kepioniran, tersimpan getaran kepekaan jiwa sang pahlawan, yang dapat merasakan sentuhan kepahlawanan dari kejauhan. Dalam semangat kepioniran, ada rindu yang tak pernah selesai dari sebuah penantian panjang akan datangnya momentum kepahlawanan setiap saat. Para pahlawan itu seperti berdiri disini, di ujung jalan sejarah, menanti kereta kepahlawanan yang setiap saat akan lewat.
Begitulah juga Hanzalah. Ia masih sedang menikmati dunia yang halal di malam pengantin, ketika panggilan jihad itu menggema di seantero kota Madinah. Ia segera meninggalkan kenikmatan halal itu sebelum sempat mandi, dan kemudian syahid dalam keadaan masih junub. Malaikatlah yang kemudian memandikannya.
Begitulah ia menggapai singgasananya dalam sejarah kepahlawanan. Ketika ia mempertemukan dua dunia yang tampak kontras dan berlawanan, tetapi kemudian menyatu dengan indah dan begitu mengharukan dalam rengkuhan semangat kepioniran, getaran kepekaan, dan kerinduan pada keabadian yang tak pernah selesai.
[Sebelumnya]
Seperti ketika kita sedang mencari alamat tertentu, kita biasanya bertemu dengan berbagai orang di sepanjang jalan yang dapat kita tanyai. Kita tetap memerlukan orang-orang seperti itu sekalipun ada peta di tangan kita. Bahkan sekalipun peta sudah sangat jelas dan mudah.
Allah mengerti kebutuhan itu. dan orang-orang yang kita tanyai di sepanjang jalan itu adalah para ulama. Sebagai peta jalan kehidupan, Allah telah membuat semua petunjuk dalam Al-Qur’an begitu mudah dan jelas. Sebegitu mudah dan jelasnya, hingga Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagian besar isinya dapat dipahami oleh sebagian besar manusia dengan hanya menggunakan akal sehat. Hanya sedikit sekali yang tidak kita pahami. Dan itu adalah wilayah para ulama.
Begitulah Allah SWT memfasilitasi proses pembelajaran manusia. Ketika ia memutuskan nubuwwah, dan menyisakan teks serta mengabadikannya, membiarkan manusia bergelut dengannya, Ia tetap membuatnya tidak sampai pada batas kesulitan yang bisa menghempaskan manusia dalam keputusasaan. Di samping memudahkan isi dan bahasa dari teks tersebut, Allah SWT juga membangkitkan orang-orang tertentu yang mewarisi kerja-kerja kenabian walaupun tidak memberikan status nubuwwah: yaitu mengajar manusia.
Dalam makna pewarisan itulah Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya para nabi itu tidak mewarsikan dinar dan dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambilnya, sungguh ia telah mendapatkan jatah (warisan) yang banyak”. Para pewaris nabi itu adalah kafilah panjang yang akan terus menerus mengisi ruang kehidupan manusia dan mempertahankan jejak kenabian dalam narasi zaman. Jumlah mereka tidak banyak. Tapi selalu tampak seperti tugu kehidupan yang tegak dengan kekar. Dalam rangkaian itulah Rasulullah SAW menyampaikan janji Allah SWT bahwa ia akan membangkitkan pada setiap rotasi seratus tahun para ulama yang akan memperbaharui ajaran agama ini.
Mewariskan kerja nubuwwah tanpa memberikan statusnya adalah salah satu rahasia Allah SWT dalam memudahkan manusia menemukan alamat kehidupannya. Dengan begitu Allah menutup semua pintu yang dapat dijadikan alasan oleh manusia untuk tidak menemukan alamat yang ditujunya.
Kehadiran para pewaris nabi itulah yang menjelaskan kepada kita sebuah rahhasia sejarah tentang mengapa Islam pasti akan memenangkan pertarungan dengan agama dan ideologi lain dalam merebut akal dan hati manusia. Maka keabadian teks itu bersanding harmoni dengan jumlah pemeluk agama ini yang terus bertambah dan memenuhi ruang bumi kita hingga kiamat kelak.
Oh.. Ikhwan
Apa bedanya dengan Si Marwan
Si Ali, Paijo atau Si Iwan
Oh ternyata Cuma beda sebutan
Oh.. Ikhwan
Walaupun tidak terlalu rupawan
Alias modal tampang pas-pasan
Tetep aja tebar senyuman
Oh.. Ikhwan
Gayanya sih bisa ketebak dan ketahuan
Jenggot melambai, baju koko & mata kaki keliatan
Kalo ngomong pake ane, antum, afwan-afwan
Oh.. Ikhwan
Sudah banyak yang bertebaran
Ada di masjid, kampus bahkan perkantoran
Sering kali ada yang getol nyari penghasilan
Ngga taunya nyari modal buat walimahan
Oh.. Ikhwan
Kalo lagi aksi, semangatnya nggak diragukan
Pekikan takbir selalu di kumandangkan
Ngomong2… kamar dikosan kok berantakan?
(Aduh.. pulang jangan lupa diberesin Wan!)
Oh.. Ikhwan
Sepekan sekali ikut kajian
Hujan dan badai nggak jadi halangan
Juga ngga ketinggalan tiap acara kepartaian
(Tapi.. cuci dulu tuh baju rendeman..!)
Oh.. Ikhwan
Pagi-pagi jarang sarapan
Alesannya males masak atau belum dapet kiriman
Akhirnya kena sakit magh sama panuan
(Kok yang terakhir nggak nyambung Wan!)
Oh.. Ikhwan
Jarang banget yang mata duitan
Demi dakwah, hati ikhlas tanpa harap imbalan
Walau kerasa, nih perut keroncongan
(Laporan aja Wan! Sama anggota dewan)
Oh.. Ikhwan
Anehnya kalau lagi jalan
Ngukurin tanah ape nyari duit jatoh sih wan?
Ooohh.. ternyata dia lagi jaga pandangan!!
Hati-hati Wan, awas nginjek gituan!!
Ikhwan… ikhwan…
Lucunya kalo ada akhwat berpapasan
Langsung minggir! Nunduk, acuh tak acuh kaya musuhan
(Gubrak..!! Suara apaan tuh Wan?)
Eh.. si ukhti jatuh, kagak ngeliat ada selokan
Ikhwan… ikhwan…
Uniknya kalo lagi rapat gabungan
Pake pembatas alias hijab biar nggak bisa lirik-lirikan
Sering juga rapatnya peke SMSan
Kadang SMSnya malem2 sambil bangunin tahajudan
Upppss.. Yang ini cuma sesama ikhwan kan..??
Oh.. Ikhwan
Badannya ade yang keker mirip binaragawan
Oh ternyata dia instruktur kepanduan
Biar di keroyok sama preman
Kagak bakal panggil bantuan
(Abis.. udah ga bisa lari sih Wan!)
Oh.. Ikhwan
Jarang juga yang suka jajan
Mendingan nabung buat masa depan
Sekarang duitnya sudah banyak dalam celengan
(Eh, itu utang dibayar dulu Wan!)
Oh.. Ikhwan
Merasa sepi di tengah keramaian
Merindukan hadirnya bidadari penyemangat iman
Temen sekosan terasa sudah membosankan
Ditambah bisikan-bisikan setan yang kedengeran
Hemmm.. Istigfar Wan!
Oh.. Ikhwan
Pengen dapet istri yang wajahnya mirip artis di iklan
Yang nggak malu-maluin kalo diajak kondangan
Terus mulutnya yang nggak rame kaya petasan
Tiap 3 hari khatam Al Quran
Kelompok yang dibina udah lebih dar 20an
Setia sampe mati dan nggak mata duitan
Dan… setuju aja kalau suami mau cari istri tambahan
Oh.. Ikhwan
Tapi, seringnya harapan tidak sesuai kenyataan
Abis, nyari istri yang sempurna gitu kan kagak gampangan!
Apalagi kalo modalnya serba pas-pasan
Ya.. Murobbi juga nyariinnya bakal itung-itungan
Sabar deh Wan! Percaya aja sama yang Maha Rahman!
Oh.. Ikhwan
Nggak sengaja, liat ukhti minta bantuan
Jatoh dari motor masuk paretan
Hati berdebar mungkin ada harapan
Eeehh… taunya si Ukhti istrinya temen satu Liqo’an
(Gubrak..!! sungguh kasihan)
Huuhhh… Dasar Ikhwan!!!
Afwan ya Wan!! Cuma mainan
Yang nulis juga Ikhwan.
Sumber : FBnya Fathur IzzIs
Kalau intinya cinta adalah memberi, maka pemberian pertama seorang pencinta sejati adalah perhatian. Kalau kamu mencintai seseorang, kamu harus memberi perhatian penuh kepada orang itu. Perhatian yang lahir dari lubuk hati paling dalam, dari keinginan yang tulus untuk memberikan apa saja yang diperlukan orang yang kamu cintai untuk menjadi lebih baik dan berbahagia karenanya.
Perhatian adalah pemberian jiwa: semacam penampakan emosi yang kuat dari keinginan baik kepada orang yang kita cintai. Tidak semua orang memiliki kesiapan mental untuk memperhatikan. Tidak juga semua orang yang memiliki kesiapan mental memiliki kemampuan untuk terus memperhatikan.
Memperhatikan adalah kondisi di mana kamu keluar dari dalam dirimu menuju orang lain yang ada di luar dirimu. Hati dan pikiranmu sepenuhnya tertuju kepada orang yang kamu cintai. Itu tidak sesederhana yang kita bayangkan. Mereka yang bisa keluar dari dalam dirinya adalah orang-orang yang sudah terbebas secara psikologis. Yaitu bebas dari kebutuhan untuk diperhatikan. Mereka independen secara emosional: kenyamanan psikologis tidak bersumber dari perhatian orang lain terhadap dirinya. Dan itulah musykilnya. Sebab sebagian orang besar lebih banyak terkungkung dalam dirinya sendiri. Mereka tidak bebas secara mental. Mereka lebih suka diperhatikan daripada memperhatikan. Itu sebabnya mereka selalu gagal mencintai.
Itulah kekuatan para pencinta sejati: bahwa mereka adalah pemerhati yang serius. Mereka memperhatikan orang-orang yang mereka cintai secara intens dan menyeluruh. Mereka berusaha secara terus-menerus untuk memahami latar belakang kehidupan sang kekasih, menyelidiki seluk beluk persoalan hatinya, mencoba menemukan karakter jiwanya, mendefinisikan harapan-harapan dan mimpi-mimpinya, dan mengetahui kebutuhan-kebutuhannya untuk sampai kepada harapan-harapannya.
Para pemerhati yang serius biasanya lebih suka mendengar daripada didengarkan. Mereka memiliki kesabaran yang cukup untuk mendengar dalam waktu yang lama. Kesabaran itulah yang membuat orang betah dan nyaman menumpahkan isi hatinya kepada mereka. Tapi kesabaran itu pula yang memberi mereka peluang untuk menyerap lebih banyak informasi tentang sang kekasih yang mereka cintai.
Tapi di sini juga disimpan sesuatu yang teramat agung dari rahasia cinta. Rahasia tentang pesona jiwa para pencinta. Kalau kamu terbiasa memperhatikan kekasih hatimu, secara perlahan-lahan dan tanpa ia sadari ia akan tergantung dengan perhatianmu. Secara psikologis ia akan sangat menikmati saat-saat diperhatikan itu. Bila suatu saat perhatian itu hilang, ia akan merasakan kehilangan yang sangat. Perhatian itu niscaya akan menyiksa jiwanya dengan rindu saat kamu tidak berada di sisinya. Mungkin ia tidak mengatakannya. Tapi ia pasti merasakannya.
[Sebelumnya]
[Sebelumnya]
Wahyu dari langit sudah terputus ketika Muhammad SAW menghembuskan nafas terakhirnya. Tak ada lagi nabi. Tak ada lagi kitab suci. Tapi pembelajaran melalui wahyu tidak berakhir. Karena ada jaminan Allah bahwa kitab suci terakhir itu, Al-Qur’an Al-Karim, akan menjadi kitab yang abadi, yang autentitasnya selamanya akan terjaga, kata dan hurufnya takkan terjangkau oleh perubahan dan penyimpangan, kebenaran substansinya akan menembus semua batas ruang dan waktu hingga kiamat.
Jika sahabat-sahabat yang beriman dan hidup bersama Muhammad SAW berinteraksi dengan wahyu secara langsung bersama penerima wahyu, maka pembelajaran mereka menjadi jauh lebih mudah dan sempurna. Karena mereka mendengarkan teks, mendengarkan penjelasan atas teks, dan yang lebih penting dari itu semua, adalah melihat contoh hidup yang menerapkan teks itu. Ada kaidah ada contoh. Ada teori ada praktek. Ada ide ada gerak. Ada berita ada peristiwa. Ada bunyi ada rupa. Ada yang terdengar ada yang terlihat. Itu karunia yang merupakan takdir mereka. Takdir kita mungkin tidak sebagus mereka. Kita sekarang kehilangan satu aspek dari proses dan metode pembelajaran itu, yaitu contoh hidup yang bersanding bersama teks. Tapi kekurangan itu bisa tertutupi oleh fakta bahwa semua gerak dan kata contoh hidup tersebut tetap sampai kepada kita melalui riwayat dan metodologi periwayatan yang sangat akurat yang tidak pernah ada dalam sejarah peradaban manapun di dunia. Sedemikian akuratnya metodologi periwayatan itu, sehingga jika ia diterapkan, misalnya, pada sejarah bangsa Yunani, maka semua riwayat tentang Plato atau Aristoteles atau Socrates, takkan kita percayai seperti sekarang kita mempercayainya.
Nubuwwah adalah pemberian. Bukan pencapaian. Bukan karena kita punya otak raksasa maka kita boleh jadi nabi. Bukan karena kita punya kerajaan besar maka kita berhak jadi nabi. Bukan karena kita punya harta segudang maka kita punya alasan jadi nabi. Jadi begitu kenabian ditutup, maka yang tersisa dari pengajaran langsung hanya melalui ilham. Tapi karena ada warisan teks yang sampai pada kita, yaitu Al-Qur'an dan Hadits, maka pembelajaran langsung termediasi dengan teks.
Begitulah takdir manusia selanjutnya: mereka harus bergelut dengan teks untuk menemukan pesan langit yang bisa membimbing mereka meniti hidup di bumi. Pergelutan dengan teks itu adalah saat di mana kita berusaha menemukan alamat kehidupan di lika liku jalan bumi melalui peta langit. Tertatih mungkin. Tapi tetap terbimbing. Lelah mungin. Tapi tetap terarah. Sulitnya tidak lantas membuat kita putus asa. Mudahnya tidak juga membuat kita lantas tidak harus menggunakan akal. Tapi begitu kita menemukan alamatnya, tiba-tiba kita tersadar bahwa pergulatan dengan teks itu adalah peristiwa kehidupan yang terlalu dahsyat. Terlalu indah.
Hari-hari menjelang kedatangan Rasulullah saw. Dari Tabuk sangat menegangkan. Setidaknya, bagi Ka’ab bin Malik. Jika saja ia berada dalam rombongan Rasulullah, tentu lain ceritanya. Seperti biasa, setiap pulang dari perjalanan, Rasul lebih dulu ke masjid. Ternyata, sekitar 80-an munafik telah menunggu disana. Mereka memohon kepada Rasulullah agar beliau meminta ampunan kepada Allah karena mereka tidak ikut perang. Mereka juga berharap Rasul sendiri mau memaafkan. Permintaan itu dikabulkan Rasul.
Akan tetapi, tiba-tiba wajah beliau berubah merah. Seulas senyum sinis tersungging, ketika Ka’ab bin Malik menemuinya. ”Mengapa kamu tidak ikut ke Tabuk? Bukankah kamu telah membeli kendaraan untuk itu?” tanya Rasulullah. Wajar Rasulullah bersikap seperti itu. Ka’ab termasuk jajaran para sahabat terhormat, punya track record yang baik sebagai penulis wahyu, dan relatif tanpa cacat nama baik. Tidak ikut ke Tabuk menjadi sesuatu yang tak logis untuk seorang kader yang ditarbiyah oleh Rasul.
Ka’ab terdiam. Ia sudah menduga pertanyaan itu muncul. Itulah detik-detik penuh konflik dalam batinnya. Hal ini karena ia bermuamalah dengan Allah swt. dan berhadapan dengan Rasul Allah, bukan karena ia tak mampu beralasan. Ia bisa melakukannya. Sebab, seperti katanya sendiri, ia diberi kemampuan berargumentasi yang baik. Dalam situasi seperti ini, biasanya lahir dorongan untuk berdusta. Demi mempertahankan ”air muka”, atau ”kebesaran”, atau ”kehormatan”, atau ”wibawa”, atau ”nama baik”.
Bentuk kedustaan pun bisa beragam. Yang paling sering muncul adalah rasionalisasi kesalahan, yaitu cenderung membenarkan kesalahan dengan alasan apapun. Atau dalam ungkapan Al-Qur’an : ”akhazat hul izzatu bil itsmi” (ia dipaksa oleh keangkuhan untuk membela dosanya). Konflik batin, itulah yang dirasakan Ka’ab bin Malik. Namun apa jawaban Ka’ab?
”Wahai Rasulullah, andaikan aku berhadapan dengan orang selain engkau, aku yakin aku dapat meloloskan diri dengan satu alasan. Aku dapat berdusta kepadamu yang dengan dusta itu akan membuatmu ridha padaku, tetapi aku khawatir Allah akan membuatmu marah padaku (dengan mengungkap kedustaan ini melalui wahyu). Wahai Rasulullah, tetapi jika aku jujur padamu, dan itu membuatmu marah padaku, aku masih bisa berharap agar kelak Allah mengampuni dosaku.”
Ka’ab telah melewati jenak-jenak penuh pertarungan itu, melewati detik-detik yang menegangkan dan sangat berat. Dan ia menang. Ia mengalahkan dirinya sendiri dan memenangkan kejujuran imannya atas dusta dan kemunafikan. ”Orang-orang ini benar-benar telah berkata jujur,” ucap Rasulullah. Selanjutnya, Rasul, ”Wahai Ka’ab, berdirilah, sampai Allah memutuskan sesuatu untukmu.” Ka’ab pun mendapat hukuman, pemboikotan sosial selama 50 hari. Namun itu lebih ringan daripada beratnya pertarungan batin untuk memenangkan kejujuran iman.
Kita semua akan menghadapi detik-detik seperti itu. Dan, kita bisa menang, jika di saat seperti itu menyadari bahwa kita hanya bermu’amalah dengan Allah; yang mengetahui pengkhianatan mata dan segala yang tersembunyi dalam dada. Bukan dengan manusia; yang mudah dibohongi atau bahkan senang dibohongi. Itulah yang membuat kejujuran bernilai lain di mata Allah swt. Itu pula sebabnya, mengapa banyak di antara kita yang selalu gagal di etape ini.
[Sebelumnya]
[Sebelumnya]
Manusia adalah unsur inti dari kehidupan. Peningkatan dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) senantiasa menjadi isu penting semua organisasi. Bahkan disaat teknologi dianggap sebagai parameter sebuah negara dikatakan maju, SDM tetap menjadi persoalan penting yang diyakini mempengaruhi secara signifikan eksistensi negara tersebut dalam peradaban dunia. “The man behind the gun”, begitu kira-kira orang sana membahasakan betapa pentingnya unsur manusia disamping teknologi. Bagaimanapun canggihnya teknologi, tidak akan bermanfaat bila tidak ada manusia yang bisa menggunakannya. Bahkan ia dapat menjadi bencana bila manusia menyalah gunakannya.
Dari sini, kita memperoleh dua kata kunci tentang SDM ini. Pertama, dan ini yang terpenting, adalah persoalan pembentukan kepribadian manusia, sehingga ia tak menyalah gunakan apapun yang berada ditangannya. Kedua, peningkatan kemampuan, kompetensi dan kapabilitas manusia sesuai bakat, minat dan spesialisasinya. Bahwa pengembangan dalam teknologi, metodologi atau apapun tak akan berarti apa-apa jika tak diiringi dengan peningkatan kemampuan manusianya. Singkatnya, kita dapat mengatakan bahwa teknologi, metodologi dan kawan-kawannya hanyalah tools atau alat, manusialah yang menentukan apakah ia bermanfaat atau justru menjadi bencana.
Dua aspek penting yang terkait SDM, pembentukan kepribadian dan peningkatan kemampuan manusia inilah yang menjadi core kerja tarbiyah kita. Keduanya harus berjalan seiring dan seimbang. Jadi kerja tarbiyah intinya adalah membentuk kepribadian manusia secara bertahap sehingga menjadi pribadi yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya, lalu meningkatkan kemampuannya hingga menjadi kader yang mampu melaksanakan tugas yang diamanahkan kepadanya dalam rangka mengembalikan kejayaan Islam dan kaum muslimin.
Disinilah letak persoalannya. Tarbiyah merupakan metodologi, cara, sarana, alat atau tools. Tarbiyah memerlukan unsur lain agar dapat diaplikasikan. Kita asumsikan unsur lain itu adalah manhaj, idarah (manajemen), Murabbi dan Mutarabbi.
Mari kita renungkan lebih dalam. Untuk aspek manhaj, kita sudah memilikinya. Bahkan untuk menjaga ta’shil (orisinalitas) dan mengikuti perkembangan lapangan,manhaj tarbiyah terus dievaluasi dan direvisi secara berkala. Lebih jauh, seluruh kader dapat secara langsung memiliki dan mengakses manhaj itu karena telah dibukukan. Untuk aspek idarah pun demikian, kader dapat mengakses sistem itu dengan mudah, apalagi idarah ini bukanlah suatu konsep yang sulit dan rumit bagi rata-rata kader.
Tetapi sebagaimana “kaidah” diawal tulisan ini, betapapun bagus dan lengkapnya manhaj atau idarah yang dimiliki, tak akan berarti apa-apa jika tak ada yang mampu dan mau mengaplikasikannya. Jadi, suka tidak suka kita harus kembali kepada pentingnya unsur manusia (dalam konteks ini adalah Murabbi dan Mutarabbi) untuk membuat tarbiyah berjalan dengan baik.
Maka, upaya merevisi manhaj dan idarah harus diiringi dengan upaya penyiapan dan peningkatan kemampuan para Murabbi. Ini karena para Murabbi adalah “The man behind The Manhaj and The Idarah”. Lalu, siapa yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan program penyiapan dan peningkatan kemampuan para Murabbi? Ya, jawabannya adalah struktur yang memiliki program tersebut. Dan siapa yang berada di struktur itu? Manusia juga kan? Maka upaya yang harus dilakukan juga adalah meng up grade mereka yang berada di struktur tarbiyah hingga punya kemampuan dan kemauan melaksanakan program yang menjadi tanggung jawabnya.
Demikianlah persoalan ini akan saling terkait satu dengan lainnya. Tetapi pada intinya, faktor manusia (kader) senantiasa menjadi yang sangat signifikan mempengaruhi keberhasilan dakwah, bersama faktor tools lainnya tadi.
Tengoklah sejarah. Keberhasilan dakwah Rasulullah bisa dikatakan sangat didukung oleh dua faktor SDM, disamping tentu saja faktor bimbingan manhaj Alllah SWT. Faktor pertama adalah beliau sendiri sebagai SDM Murabbi yang handal, dan faktor kedua yang tak boleh diabaikan, adalah adanya SDM mutarabbi kader-kader yang berkualitas, yang dalam istilah Syaikh Sayyid Quthb disebut sebagai al-Jiil al-Qur’an al-Fariid (Generasi Qur’ani Yang Unik). Itulah Abu Bakr ash-Sidq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Amr bin Yasir, Abdullah bin Mas’ud dan masih banyak lagi. Merekalah generasi shahabat Rasululllah SAW yang mempersembahkan hidup mati mereka demi tegaknya izzul Islam wal muslimin.
Jadi, jika ingin meraih kembali kemenangan dakwah, kita harus membenahi kader disemua jenjang dan lapisnya. Kader jajaran pimpinan, kader fungsionaris struktur, kader yang berada di lembaga legislatif atau eksekutif, kader kepala daerah, kader birokrat, kader profesional, kader Murabbi dan kader Mutarabbi, semuanya harus dikokohkan secara terus menerus tarbiyahnya. Konsekwensinya adalah program-program yang berorientasi pada pengokohan tarbiyah kader harus menjadi prioritas kita. Agar kader memiliki energi dahsyat untuk melakukan kerja-kerja dakwah. Agar Allah memberikan pertolongan- Nya. Maka dengan kekuatan kader dan pertolongan Allah, insya Allah dakwah ini akan mengembalikan izzul islam wal muslimin. Allahu Akbar!
Sumber : Al-Ikhwan
Sumber : Al-Ikhwan
Jika ratusan ribu nabi dan rasul harus diturunkan untuk satu pekerjaan yang sama, yaitu mengjar manusia, maka itu tidak hanya meyakinkan kita betapa pentingnya pengetahuan dalam kehidupan kita, tapi juga menyimpan sebuah pertanyaan mendasar: bagaimana sebenarnya cara Allah mengajar kita?
Kita tentu berangkat dari sebuah aksioma paling mendasar bahwa Allah adalah sumber dari segala sumber pengetahuan. Allah kemudian mengajar manusia dengan dua cara: langsung dan tidak langsung. Pengajaran langsung itu dilakukan dengan dua cara: yang satu melalui wahyu dan lainnya melalui ilham. Selain itu ada pengajaran yang tidak langusng yang dilakukan melalui dua cara: yang satu melalui penalaran dan lainnya melalui penginderaan. Jadi itulah empat sumber pengetahuan kita: wahyu, ilham, nalar, dan indera.
Wahyu itulah yang diberikan kepada para nabi dan rasul. Itu semacam pengetahuan yang "dipahat" ke dalam hati mereka, maka ia tertancap kuat dan dalam, terpatri dan tak terlupakan, dan harus terucap kembali sebagaimana ia adanya, dalam formulasi bahasa yang terpahami oleh manusia tapi tidak terjangkau oleh kemampuan narasi mereka yang paling maksimal. Karena itu kenabian merupakan pemberian Tuhan atau mihnah rabbaniyah, bukan hasil kerja atau usaha manusia atau iktisab basyari. Jadi sifat buta huruf misalnya pada Muhammad sebelum menjadi nabi, memang diciptakan untuk memperkuat pembuktian pengangkatan menjadi nabi.
Ilham sebenarnya agak mirip dengan wahyu pada sifat pengajaran langsung, tapi berbeda pada manusia yang menerimanya. Yang menerima ilham ini tidak disebut nabi atau rasul. Tapi biasanya diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki Allah. Contohnya panggilan shalat jamaah melalui azan. Ini berawal dari kegelisahan sejumlah kalangan sahabat untuk menemukan cara panggil yang membedakan masjid dengan gereja atau sinagog atau tempat ibadah lainnya. Rasulullah SAW memberikan kesempatan kepada para sahabat untuk memikirkan solusinya. Beberapa hari kemudian mereka datang dengan usulan azan itu yang umumnya ditemukan mereka dalam mimpi. Ia berbeda dengan cara panggil lainnya karena ia berasal dari suara manusia, bukan benda. Ia juga berbentuk kata yang punya makna, bukan sekadar bunyi tanpa makna.
Sebagian lain dari pengetahuan diturunkan Allah kepada manusia melalui akal yang berfungsi menalar, dan panca indera yang berfungsi merasa dengan cara melihat, mendengar dan meraba. Tapi yang ini mengharuskan adanya usaha dari manusia. Usaha inilah yang kelak membedakan derajat manusia di antara sesama mereka dan di depan Tuhan.
Suatu malam menjelang fajar, dalam inspeksi rutinnya, khalifah II Umar bin Khattab mendengar dialog menarik antara seorang ibu dengan gadis kencurnya.
”Cepatlah bangun, perah susu kambing kita dan campurkan dengan air sebelum orang bangun dan melihat kerja kita.”
”Bu, saya tak berani, ada yang selalu melihat gerak-gerik kita.”
”Siapa sih sepagi ini mengintai kita?”
“Bu, Allah tak pernah lepas memperhatikan kita.”
Khalifah segera kembali dengan satu tekad yang esok akan dilaksanakannya, melamar sang gadis untuk putranya, ’Ashim bin Umar. Kelak dari pernikahan ini lahir seorang cucu: Umar bin Abdul Aziz, khalifah kelima.
Tuan dan Nyonya Dakwah yang saya hormati.
Tentu saja istilah baitud dakwah ini tidak dimaksudkan sebagai rumah tempat warganya setiap hari berpidato. Juga bukan keluarga dengan aktifitas belajar mengajar seperti layaknya sebuah sekolah formal. Ia adalah sebuaha wahana tempat pendidikan berlangsung secara mandiri dan alami namun bertarget jelas.
Ada kegawatan yang sangat ketika roda keluarga meluncur tanpa kendali. Saat salah seorang anggotanya sadar apa yang sedang terjadi, segalalnya mungkin telah terlambat. ”Keterlambatan” itu dapat mengambil bentuknya pada ABG yang asing dari nilai-nilai ayah ibunya, atau ayah yang lupa basis keluarganya oleh kesibukan kerja di luar, atau ibu yang terpuruk dalam rutinitas yang membunuh kreatifitasnya, atau kariryang menggilas peran dan fitrah keibuannya.
Banyak orang merasa telah menjadi suami, istri, atau ayah dan ibu sungguhan, padahal mereka baru menjadi ayah, ibu suami atau istri biologis. Sangat kasar kalau diistilahkan menjadi jantan, betina, atau induk dan biang, walaupun dalam banyak hal ternyata ada kesamaan. Kalau hanya memberi makan dan minum kepada anak-anak: kambing, ayam, dan kerbau telah memerankan fungsi tersebut dengan sangat baik. Dan, isu sentral ”pewarisan nilai-nilai kehidupan” dalam kehidupan mereka tak ada soal. Buktinya tak satupun anak ayam yang berkelakuan kerbau, atau anak kerbau berkelakuan belut, atau anak kambing berkelakuan serigala. Adalah suatu penyimpangan bahwa anak manusia bertingkah laku babi, serigala, harimau, atau musang.
Tentu saja ini tidak dimaksud mendukung program robotisasi anak yang dipaksa menghafal seluruh program yang dijejalkan bapak ibunya tanpa punya peluang menjadi dirinya sebagai hamba Allah, karena mereka harus menjadi hamba ayah, hamba ibu, dan hamba guru. Ini tidak ada hubungannya dengan program tahfidz atau apresiasi seni Islam yang menjadi bagian dari sungai fitrah tempat air kehidupan mengalir sampai jauh.
Cinta adalah kata yang mewakili seperangkat kepribadian yang utuh: gagasan, emosi dan tindakan. Gagasannya adalah tentang bagaimana membuat orang yang kita cintai tumbuh dan berkembang menjadi baik, dan berbahagia karenanya. Ia juga emosi yang penuh kehangatan dan gelora karena seluruh isinya adalah semata-mata keinginan baik. Tapi ia harus mengejawantah dalam tindakan nyata. Sebab gagasan dan emosi tidak merubah apa pun dalam kehidupan kita kecuali setelah ia menjelma jadi aksi.
Orang-orang seringkali hanya mengambil bagian tengah dari cinta: emosi. Dalam kehidupan mereka cinta adalah gumpalan perasaan yang romantis dan penuh keindahan. Mereka bahkan meungkin bisa memutuskan untuk mempertahankan suatu penderitaan seringkali karena mereka menikmati romantikanya: hidup digubuk derita, makan sepiring berdua. Mereka melankolik. Karenanya kehidupan mereka tidak berkembang.
Cinta dalam pengertian yang luas inilah yang menjamin bahwa suatu hubungan dapat dipertahankan dalam jangka panjang. Tidak ada hubungan yang dapat dipertahankan - dalam jangka panjang- jika kita tidak mempunyai suatu gagasan tentang bagaimana membuatnya menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Kebosanan dalam hubungan suami istri, misalnya, sering terjadi karena keduanya secara personal sama-sama tidak berkembang. Mereka sama-sama mengalami "penyusutan" kualitas kepribadian bersama perjalanan umur. Karenanya mereka sama-sama membosankan.
Jika cinta adalah sebuah totalitas. Di sana gagasan, emosi dan tindakan bergabung jadi satu kesatuan yang utuh dan bekerja secara bersama-sama bagi kebahagiaan dan kebaikan orang-orang yang kita cintai. Orang-orang dengan kepribadian yang lemah dan lembek tidak mencintai dengan kuat. Para pencinta sejati selalu datang dari orang-orang dengan kepribadian yang kuat dan tangguh.
Mencintai -dengan begitu- adalah pekerjaan yang membutuhkan kemampuan kepribadian. Maka para pencinta sejati selalu mengembangkan kepribadian mereka secara terus menerus. Sebab hanya dengan begitu mereka dapat mengembangkan kemampuan mereka mencintai. Cinta dan kepribadian adalah dua kata yang tumbuh bersama dan sejajar. Makin kuat kepribadian kita makin mampu kita mencintai dengan kuat. Mengendalikan perasaan saja dalam mencintai hanya akan melahirkan para pembual yang menguasai hanya satu keterampilan menebar janji.
Mereka yang ingin menjadi pencinta sejati harus terlebih dahulu membenahi dan mengembangkan kepribadiannya. Menggagas bagaimana membuat orang yang kita cintai tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik, mempertahankan "keinginan baik" kepada orang yang kita cintai secara konstan, dan terus menerus melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk membahagiakan mereka, hanya mempunyai satu makna: itu pekerjaan orang kuat. Cinta adalah pekerjaan orang kuat. Kalau Rasulullah saw dapat menampung sembilan orang istri dalam jiwanya, itu karena ia dapat menampung sembilan kepribadian dalam kepribadiannya.