Aib Kepahlawanan


Pernahkah Anda melihat orang-orang yang Anda anggap hebat, berbakat potensial, tetapi kemudian tidak menjadi apa-apa? Atau dengan kata lain, kehidupannya dan prestasi-prestasinya dalam hidup tidak menunjukkan bakat dan potensi yang sebenarnya ia miliki.

Di sekeliling kita banyak orang-orang seperti itu. Mungkin juga saya dan Anda. Mereka adalah orang-orang yang tidak mengetahui bahwa mereka menyimpan kehebatan yang dahsyat, atau mungkin mereka merasakannya, tetapi tidak berminat memunculkannya, atau mungkin berminat, tetapi ia kalah dengan godaan untuk menjadi ”orang biasa”. Sebab, menjadi orang biasa membuat hidup lebih santai, relatif tanpa beban, tanpa sorotan, tanpa stres, tanpa depresi.

Menjadi orang biasa adalah godaan bagi para pahlawan inilah yang membuat mata air kecemerlangan di dalam dirinya hanya keluar dan kemudian tergenang. Dan di mana pun ada genangan air, di situ selalu ada kemungkinan pembusukan. Air itu tidak menggelombang, maka tidak ada debur kehebatan di dalam dirinya. Air itu tergenang teduh, dan dalam keteduhannya ia tersedot oleh cahaya matahari kehidupan, maka ia mengering dan habis. Atau ia terkotori oleh sampah yang terbuang dalam genangan itu, maka ia mengeruh dan kemudian membusuk.

Para pahlawan adalah sungai yang mengalir deras, atau air yang menggelombang dahsyat. Semua potensi di dalam dirinya keluar satu demi satu, semua kehebatan di dalam dirinya menggelora ke permukaan bagai gelombang, semua bakat di dalam dirinya bertiup kencang bagaikan badai. Ia menantang kehidupan, maka ia mengukir sejarah, sebab sejarah adalah catatan petualangan hidup. Ia mengejar dan menangkap takdirnya, maka ia mendapatkan mahkota kepahlawanan. Sebab, mahkota itu tidak pernah dihadiahkan, ia diperoleh karena ia direbut. Sebagaimana kemerdekaan adalah piala yang direbut oleh bangsa-bangsa yang terjajah, seperti itulah kepahlawanan menjadi mahkota yang dinobatkan kepada para pengejarnya.

Karena itulah kepahlawanan senantiasa menjadi beban yang berat bagi jiwa manusia. Karena itulah, tidak banyak manusia yang bersedia menempuh jalan panjang kepahlawanan. Jika pun ada di antara mereka yang bersedia, mungkin dia tidak akan bertahan lama. Lalu berhenti, dan menerima hidupnya yang mungkin hanya ala kadarnya.

Itulah sebabnya mengapa pahlawan selalu sedikit. Bukan karena tidak banyak yang bisa menjadi pahlawan. Itu lebih karena orang-orang berbakat itu tidak mau dan tidak bersedia memenuhi syarat-syarat kepahlawanan. Itulah yang membuat para pahlawan selalu ”menderita”, karena beban hidup yang banyak ini akhirnya hanya dipikul oleh sedikit orang. Hidup ini seringkali tampak tidak adil dalam pandangan ini, karena ia mendistribusi beban-bebannya secara tidak merata.

Dulu, Abu Tammam, sang penyair hikmah dari tanah arab, pernah berkata, ”Tidak ada aib kutemukan dalam diri manusia, melebihi aib orang-orang yang sanggup menjadi sempurna, namun tidak mau menjadi sempurna.”

[Sebelumnya]

Rachmat Naimulloh

Ingin artikel seperti diatas langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.




1 komentar

  1. Anonim mengatakan.... [Jawab]
    pada tanggal 30 Mei 2010 pukul 12.00

    hello... hapi blogging... have a nice day! just visiting here....

Silahkan tinggalkan komentar Anda disini