Wahyu dari langit sudah terputus ketika Muhammad SAW menghembuskan nafas terakhirnya. Tak ada lagi nabi. Tak ada lagi kitab suci. Tapi pembelajaran melalui wahyu tidak berakhir. Karena ada jaminan Allah bahwa kitab suci terakhir itu, Al-Qur’an Al-Karim, akan menjadi kitab yang abadi, yang autentitasnya selamanya akan terjaga, kata dan hurufnya takkan terjangkau oleh perubahan dan penyimpangan, kebenaran substansinya akan menembus semua batas ruang dan waktu hingga kiamat.
Jika sahabat-sahabat yang beriman dan hidup bersama Muhammad SAW berinteraksi dengan wahyu secara langsung bersama penerima wahyu, maka pembelajaran mereka menjadi jauh lebih mudah dan sempurna. Karena mereka mendengarkan teks, mendengarkan penjelasan atas teks, dan yang lebih penting dari itu semua, adalah melihat contoh hidup yang menerapkan teks itu. Ada kaidah ada contoh. Ada teori ada praktek. Ada ide ada gerak. Ada berita ada peristiwa. Ada bunyi ada rupa. Ada yang terdengar ada yang terlihat. Itu karunia yang merupakan takdir mereka. Takdir kita mungkin tidak sebagus mereka. Kita sekarang kehilangan satu aspek dari proses dan metode pembelajaran itu, yaitu contoh hidup yang bersanding bersama teks. Tapi kekurangan itu bisa tertutupi oleh fakta bahwa semua gerak dan kata contoh hidup tersebut tetap sampai kepada kita melalui riwayat dan metodologi periwayatan yang sangat akurat yang tidak pernah ada dalam sejarah peradaban manapun di dunia. Sedemikian akuratnya metodologi periwayatan itu, sehingga jika ia diterapkan, misalnya, pada sejarah bangsa Yunani, maka semua riwayat tentang Plato atau Aristoteles atau Socrates, takkan kita percayai seperti sekarang kita mempercayainya.
Nubuwwah adalah pemberian. Bukan pencapaian. Bukan karena kita punya otak raksasa maka kita boleh jadi nabi. Bukan karena kita punya kerajaan besar maka kita berhak jadi nabi. Bukan karena kita punya harta segudang maka kita punya alasan jadi nabi. Jadi begitu kenabian ditutup, maka yang tersisa dari pengajaran langsung hanya melalui ilham. Tapi karena ada warisan teks yang sampai pada kita, yaitu Al-Qur'an dan Hadits, maka pembelajaran langsung termediasi dengan teks.
Begitulah takdir manusia selanjutnya: mereka harus bergelut dengan teks untuk menemukan pesan langit yang bisa membimbing mereka meniti hidup di bumi. Pergelutan dengan teks itu adalah saat di mana kita berusaha menemukan alamat kehidupan di lika liku jalan bumi melalui peta langit. Tertatih mungkin. Tapi tetap terbimbing. Lelah mungin. Tapi tetap terarah. Sulitnya tidak lantas membuat kita putus asa. Mudahnya tidak juga membuat kita lantas tidak harus menggunakan akal. Tapi begitu kita menemukan alamatnya, tiba-tiba kita tersadar bahwa pergulatan dengan teks itu adalah peristiwa kehidupan yang terlalu dahsyat. Terlalu indah.
0 komentar