Para pahlawan mengajarkan sebuah kaidah kepada kita; seseorang hanya akan menjadi bisa meledak sebagai pahlawan jika ia bekerja secara optimal pada kompetensi intinya. Sebab, pekerjaan-pekerjaan yang kita tuntaskan yang kemudian membuat kita dicatat sebagai pahlawan, akan dijadikan mudah oleh Allah SWT karena Ia memang menyiapkan kita untuk pekerjaan itu.
Akan tetapi, sebenarnya tidak ada manusia yang dapat menemukan seluruh potensi dalam dirinya sekaligus. Seperti tambang yang tersembunyi di perut bumi, setiap kita membutuhkan waktu yang panjang untuk mengeksplorasi, menemukan, baru kemudian menggali dan mengeksploitasinya. Sebelum diakhiri oleh kematian, setiap potensi yang kita temukan dalam diri kita tidak pernah bersifat final. Yang bisa kita lakukan adalah membuat model-model analog, misalnya peta, yang dapat menghampiri gambaran keseluruhan potensi diri kita.
Karena itu, pencarian tidak boleh berhenti. Proses pemotretan dan pemetaan harus terus berlanjut. Kita hanya harus memastikan bahwa semua potensi yang telah kita temukan langsung terpakai secara maksimal. Inilah konsep yang disebut sebagai pengenalan berkesinambungan.
Namun, di sini muncul sebuah pertanyaan, “Bagaimana cara mengetahui, pada akhirnya bahwa inilah kompetensi inti kita, atau bahwa inilah pusat keunggulan kita?”
Kompetensi inti atau pusat keunggulan biasanya dicirikan beberapa hal. Misalnya, adanya minat yang tinggi terhadap suatu bidang, kemampuan penguasaan cepat dalam bidang itu, kegembiraan natural saat menjalaninya, oplimisme pada kemampuan pengembangan lebih jauh, dan seterusnya.
Lihatlah misalnya dua tokoh yang sudah berulang kali kita kaji: Umar Bin Khattab dan Khalid Bin Walid. Mereka sama-sama berasal dari klan Bani Makhzum, memiliki postur tubuh yang tinggi dan besar, wajah yang sangat mirip, dan bangunan karakter yang sama, yang digambarkan dengan kata kunci “prajurit”.
Akan tetapi, Abbas Mahmud A1-’Aqqad, yang menulis biografi kedua pahlawan yang jenius itu, menemukan perbedaan yang tipis pada tipologi keprajuritan di antara keduanya. Keprajuritan pada Khalid bersifat agresif, sementara keprajuritan pada Umar bersifat pembelaan. Kedua tipologi ini, tentu saja, baru akan optimal, jika masing- masing disalurkan pada peran dan fungsi yang sesuai dengan tabiatnya.
Agaknya inilah yang menjelaskan mengapa Khalid Bin Walid selalu mendapat peran sebagai panglima perang, khususnya di era ekspansi, sementara Umar Bin Khattab lebih tepat memimpin negara. Sifat agresif lebih dibutuhkan dalam perang, apalagi yang bersifat ekspansif, sementara semangat pembelaan butuhkan dalam kepemimpinan negara yang mudah terseret oleh godaan arogansi dan kediktatoran.
Begitulah akhirnya kedua pahlawan itu menjadi ulung pada perannya masing-masing. Khalid dikenal karena keberanian dan kehebatan strategi perangnya, sementara Umar dikenal karena kasih sayang keadilannya kepada rakyatnya. Dari klan bani Makhzum itu, dua legenda Islam meniti jalan kepahlawanannya pada jalur kompetensi intinya masing-masing.
[Sebelumnya]
[Sebelumnya]
0 komentar