Meskipun biasanya para pahlawan muncul dari keluarga pahlawan, tetapi selalu ada pengecualian. Kepahlawanan ternyata tidak selalu terwariskan kepada anak cucu. Sebab, ada kaidah lain, yaitu kaidah pergiliran, atau yang dalam Al-Qur’an disebut dengan istilah “mudawalah“.
Allah SWT memberikan kemenangan dan kekalahan kepada setiap bangsa secara bergiliran. Demikian juga dalam sejarah setiap bangsa, masing-masing suku mendapat giliran. Dan dalam setiap suku masing-masing keluarga mendapatkan gilirannya. Kaidah mudawalah ini pula yang menjelaskan mengapa keluarga para pahlawan mengalami proses jatuh bangun dalam sejarah mereka.
Allah SWT memberikan kemenangan dan kekalahan kepada setiap bangsa secara bergiliran. Demikian juga dalam sejarah setiap bangsa, masing-masing suku mendapat giliran. Dan dalam setiap suku masing-masing keluarga mendapatkan gilirannya. Kaidah mudawalah ini pula yang menjelaskan mengapa keluarga para pahlawan mengalami proses jatuh bangun dalam sejarah mereka.
Namun, sesungguhnya di sini juga tersimpan rahasia keadilan Allah SWT. Bukankah akan tampak tidak adil, jika misalnya Allah SWT telah menciptakan manusia dari berbagai keluarga, suku dan bangsa, tetapi kemudian memberikan kehormatan sebagai pahlawan hanya kepada beberapa keluarga. suku atau bangsa?
Demikianlah, kita menyaksikan bahwa dari keturunan Umar Bin Khattab hanya Abdullah Bin Umar yang mewarisi kepahlawanan ayahnya dari satu sisi, yaitu keilmuwan, bukan sebagai pemimpin politik atau panglima perang. Setelah itu, hanya ada Umar Bin Abdul Aziz yang merupakan cicit Umar Bin Khattab. Khalid mengalami cobaan yang lebih tragis. Walaupun mempunyai lebih dari 40 anak, tetapi mereka semua meninggal muda di Syam ketika negeri itu terserang wabah penyakit.
Dari keluarga ulama juga demikian. Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Abu Hanifah sama tidak mewariskan ulama dari keturunan mereka, walaupun masing-masing mereka mewariskan murid-murid yang menjadi ulama besar. Imam Ahmad Bin Hanbal mempunyai dua orang putera sebagai ahli hadits, tetapi tidak sekaliber beliau.
Boleh jadi nilai-nilai kepahlawanan masih melandasi tradisi yang berkembang dalam keluarga itu. Namun, boleh jadi secara genetik kepahlawanan sang ayah memang tidak menurun kepada anak-anaknya. Atau ada kemungkinan lain; perubahan-perubahan jaman yang membuat kebutuhan kepada kontribusi kepahlawanan dari sebuah keluarga menjadi menurun. Misalnya, di jaman damai kebutuhan kepada kontribusi militer akan berkurang, sehingga prajurit-prajurit besar, yang lahir dari sebuah keluarga pahlawan, tidak mendapatkan situasi yang mewadahi proses munculnya kepahlawanannya sebagai prajurit dalam bidang militer.
Bukan salah sang pahlawan apabila kemudian anak-anaknya tidak menjadi pahlawan. Sebab, faktor yang mempengaruhi munculnya seorang pahlawan memang sangat beragam dan kompleks. Lebih dari itu semua, sesungguhnya keadilan Allah jugalah yang memberikan kesempatan kepada keluarga lain untuk merebut piala kepahlawanan.
Jadi diskontinyu dalam pewarisan kepahlawanan dalam sebuah keluarga, sesungguhnya merupakan bukti keadilan Allah SWT. Sebab, dengan cara itulah la mempergilirkan piala kepahlawanan kepada berbagai keluarga, suku, dan bangsa. Dan dengan cara itu pula, Allah SWT memberlakukan salah satu aturannya dalam sejarah manusia; “mudawalah“.
[Sebelumnya]
0 komentar