Al-Qur’an memaparkan peristiwa sejarah dengan kaidah-kaidahnya, bukan dengan rincian-rinciannya. Begitulah caranya. Maka teks selamanya akan abadi karena ia terlepas dari kekhususan ruang danwaktu. Lalu menjadi lentur hingga sanggup merengkuh keabadian.
Sebab yang penting dari sebuah peristiwa bukanlah pelaku, atau ruang, atau waktunya. Rincian-rincian itu adalah hal buku-buku sejarah dan tugas para sejarawan. Misi teks ini adalah menemukan kaidah-kaidah yang mengatur jalannya sejarah hidup manusia, yang berlaku secara konstan dalam semua ruang dan waktu, serta oleh dan untuk semua manusia sebagai pelaku sejarah.
Menemukan kaidah-kaidah itulah yang disebut Qur’an sebagai proses I’tibar. Yaitu usaha menemukan ibrah atau pelajaran atau nasihat bagi kita yang hidup di saat ini dari mereka yang hidup di masa lalu. Karena kita semua hidup dengan pertanggungjawaban sejarah yang sama, tapi dengan cara menunaikannya yang berbeda-beda. Makna pertanggungjawaban ini yang dimaksud Allah dalam firmanNya: “Itulah umat yang telah berlalu. Bagi mereka apa yang mereka usahakan. Dan bagi kamu apa yang kamu usahakan”.
Semua peristiwa sejarah dikendalikan oleh hukum yang sama. Jadi ruang, waktu dan subjek adalah variable sekunder dalam kerangka hukum sejarah itu. Karena itu sejarah bisa dan biasa mengulang dirinya sendiri. Pengulangan-pengulangan sejarah itulah, sesungguhnya, yang menjelaskan makna rotasi kemenangan dan kekalahan dalam siklus hidup manusia, seperti ia menjelaskan tiga siklus sejarah peradaban manusia: jalan naik, jalan datar, jalan turun, dan begitu seterusnya. Dengarlah bagaimana Allah mengatakan kepada kaum muslimin setelah mereka kalah dalam perang Uhud: “Maka berjalanlah kamu di muka bumi, lalu lihatlah apa akibat yang menimpa orang-orang yang mendustakan agama. Ini adalah penjelasan bagi semua manusia, dan merupakan petunjuk serta nasihat bagi orang-orang yang bertakwa”.
Perhatikan: Penjelasan bagi semua manusia. Maksudnya adalah bahwa kaidah-kaidah sejarah itu berlaku umum bagi semua manusia, Muslim dan kafir. Tapi yang bisa mengubahnya menjadi petunjuk dan nasihat adalah orang-orang yang bertakwa.
Menemukan kaidah-kaidah itu adalah proses pembelajaran sejarah. Dari situ kita menemukan cara mempertemukan teks dengan konteks. Yaitu upaya terus-menerus untuk membaca konteks – dalam hal ini berbagai peristiwa – dan menafsirkannya dengan teks. Menafsir peristiwa dengan teks adalah jalan yang akan menuntun kita menemukan kaidah-kaidah yang mengatur jalannya sejarah itu.
0 komentar