Dua Sebab Takut Mati

Seorang aktivis mengirim SMS kepada saya, menceritakan kondisi dirinya yang sedang diteror oleh pihak yang merasa dirugikan oleh aktivitas kebaikannya. Pihak peneror mengancam akan membunuh sang aktivis jika tidak menghentikan langkahnya mengusut kasus korupsi yang melibatkan pejabat daerah setempat.

Karena merasa terancam, sang aktivis mengungsikan keluarganya ke tempat yang dianggap aman. Namun ia sendiri menjadi tidak tenang berkegiatan rutin karena dibayang-bayangi ancaman pembunuhan. Ia mengirim SMS meminta pendapat kepada beberapa kalangan yang dia percaya, termasuk kepada saya.

“Adakah yang kamu takuti dari mati ? Engkau layak takut mati jika belum bekerja di jalan Allah dan belum mencetak kader. Jika engkau selalu bekerja di jalan Allah, dan telah mencetak kader, maka tak ada yang perlu kau takuti lagi”. Itu jawaban SMS saya.


Inilah dua hal yang selayaknya membuat takut mati, dan takut menghadapi resiko perjuangan. Pertama, karena belum bekerja di jalan Allah. Jika mati dalam kondisi tidak pernah dan tidak sedang bekerja di jalan Allah, benar-benar kematian yang menakutkan. Akan bertemu siapa di sana, jika pekerjaan kita tidak di jalan-Nya? Akan mendapatkan apa kelak di akhirat, jika jalan yang kita tempuh bukan jalan Allah?

Kedua, karena belum mencetak kader. Siapa yang akan meneruskan garis perjuangan, jika tidak ada kader yang telah disiapkan melalui proses pembinaan dan pengkaderan ? Kematian aktivis akan berdampak mengurangi kekuatan pergerakan, karena berkurangnya personal utama. Namun jika telah mencetak kader, maka akan ada generasi yang selalu mewarisi manhaj, semangat, dan garis perjuangan generasi pendahulu. Gerakan tidak akan berhenti apalagi mati. Karena selalu tersedia generasi hasil proses kaderisasi.

Maka teruslah bekerja di jalan Allah, dan jangan pernah berhenti mencetak generasi. Kematian pasti akan terjadi sebagai sebuah ketetapan Ilahi, namun dakwah tak akan pernah berhenti jika kita selalu menyiapkan generasi. Kematian pasti akan kita jumpai, namun dakwah akan tetap lestari.

Jika dua hal itu telah kita miliki, tersenyumlah lega. Saat kematian tiba, tak ada lagi yang mengkhawatirkan kita. Tinggal berharap rahmat dan kasih sayangNya agar memasukkan kita ke dalam surga. Sementara, generasi yang kita bina telah siap menyambut estafet pekerjaan para pendahulu mereka.

Faminhum man qadha nahbah, wa minhum man yantazhir…..


Sumber : Cahyadi Takariawan


Rachmat Naimulloh

Ingin artikel seperti diatas langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.




0 komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda disini