Bayangan Sang "Icon"


Kadang-kadang, pada suatu masa yang sama, dua orang pahlawan muncul secara bersamaan, pada bidang yang sama, tetapi dengan kadar kepahlawanan yang relatif berbeda. Salah satu diantara keduanya biasanya mengalami proses “iconisasi”, atau “simbolisasi”, dimana ia dianggap sebagai simbol dari zaman dan genrenya.

Pada masyarakat yang sudah dewasa dan matang, proses iconisasi itu biasanya tidak berlanjut dengan proses sakralisasi. Umumnya mereka mengerti sang icon bukanlah segalanya. Ia hanyalah bagian dari sebuah karya bersama, sebuah kepahlawanan kolektif. Karena itu, setiap pahlawan tetap mendapatkan tempatnya yang layak dan terhormat, sebab masyarakat mereka cukup dewasa untuk menilai karya mareka secara objektif dan proporsional.

Namun, itu tidak terjadi dalam masyarakat yang belum dewasa dan matang, apalagi dalam masyarakat yang jumlah pahlawannya masih sangat sedikit. Simbol adalah bentuk penyederhanaan terhadap suatu makna yang abstrak. Kebutuhan akan simbol dalam masyarakat yang belum dewasa dan matang merupakan kebutuhan yang psiko-sosial yang sangat mendasar. Karena itu, kecenderungan untuk menyimbolkan suatu makna, misalnya perlawanan, pada sesosok tokoh, atau kecenderungan untuk meng-icon-kan sang tokoh, merupakan tradisi pada masyarakat tersebut.

Ambillah contoh masyarakat kita. Soekarno, misalnya, hingga kini selalu dilukiskan sebagai “icon” revolusi kemerdekan Indonesia. Padahal sebenarnya, ada begitu banya pahlawan yang memberikan kontribusi yang boleh jadi lebih besar, atau sama besarnya, dengan kontribusi yang diberikan Soekarno. Namun di tengah masyarakat yang belum dewasa dan matang. Soekarno memang mendapatkan berkah ketidakdewasaan itu, yaitu dalam bentuk sikap sakralisasi Bangsa Indonesia terhadap dirinya sebagai “icon” revolusi kemerdekaan. Bagsa kita telah melakukan tindakan penyederhanaan terhadap sejarah perjuangan kemerdekaannya sendiri, dengan meng “icon” kan Soekarno.

Akan tetapi, ketidakdewasaan itu tidak selalu merupakan berkah bagi icon. Sebab, ketidakdewasaan dapat mendorong sebuah masyarakat melakukan iconisasi secara sangat sederhana, seperti juga ketidakdewasaan dapat mendorong mereka melakukan penghukuman yang sadis, begitu mereka kecewa. Dan itulah yang terjadi pada diri Soekarno. Ia ternyata tidak terlalu menikmati akhir hidup yang diberikan Bangsa Indonesia kepadanya.

Masalahnya mungkin pada para pahlawan lain yang hidup di bawah bayang-bayang sang icon. Mereka mungkin tidak mendapatkan kehormatan sejarah yang sama dengan sang icon. Namun, apakah yang membuat mereka mampu melanjutkan semagat kepahlawanannya, jika reward dari sejarah ternyata terasa kurang “fair”?

Kuncinya adalah keikhlasan. Dan keikhlasan yang membawa kita kepada sebuah hakikat besar yang abadi; hakikat kehidupan akhirat yang abadi. Di sana setiap orang akan mendapatkan tempatnya yang layak, adil, dan objektif. Disana tidak ada penyederhanaan, tidak ada simbolisasi, tidak ada iconisasi. Keikhlasanlah yang membuat kita dapat menerima keluguan masyarakat kita dengan lapang dada, sebagaimana kita dapat menerima ketidakadilan sejarah dengan kebesaran jiwa dan tetap bekerja di bawah bayang-bayang pahlawan lain yang terlanjur ter-icon kan di tengah masyarakat.

[Sebelumnya]

Rachmat Naimulloh

Ingin artikel seperti diatas langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.




1 komentar

  1. Anonim mengatakan.... [Jawab]
    pada tanggal 2 Agustus 2011 pukul 17.33

    Saya datang lagi sobat, seraya memohon maaf lahir batin atas setiap kesalahan kecil maupun besar, baik dari setiap komentar ataupun postingan yang kurang enak dibaca.
    Semoga selama puasa di bulan ramadhan kita diberi kesehatan .

    salam persohiblogan ^_^

Silahkan tinggalkan komentar Anda disini