Nila


Didorong oleh keluguan dan ketulusan, masyarakat biasanya menghargai para pahlawannya dengan cara yang berlebihan. Itu merupakan godaan berat bagi para pahlawan, di mana mereka sering merasa memiliki “hak prerogatif’ untuk menikmati semua kemurahan masyarakat untuk dirinya.

Godaan itu yang telah menjerumuskan banyak pahlawan ke dalam lumpur kenistaan, di mana mereka melakukan tindakan-tindakan yang tidak terhormat, merendahkan martabat sendiri, bahkan seperti nila, ia merusak semua telaga kepahlawanan yang ia ciptakan sendiri.

Kenyataan seperti ini paling banyak kita dapatkan dalam masyarakat paternalistik. Di sini orang-orang dengan mudah mendewakan para pahlawan. Dan para pahlawan dengan mudah mengidentifikasi diri sebagai sang dewa, dengan segala hak prerogatifnya. Termasuk melakukan berbagai tindakan tercela, namun tetap tampak terhormat di mata masyarakat.

Masyarakal paternalistik tidak memiliki kaidah yang pasti dalam mendewakan seseorang, sama seperti ia tidak mempunyai kaidah yang jelas dalam menistakan seseorang. Dalam masyarakat seperti ini, ketulusan bercampur baur dengan keluguan, keikhlasan bersahabat dengan kebodohan, dan semangat bertemu padu dengan kelatahan. Semua tindakannya cenderung ekstrem; cepat mendewakan, cepat pula mematikan. Dan semuanya dilakukan tanpa kaidah yang pasti dan jelas.

Begitulah dua tokoh penting negeri jni muncul ke panggung sejarah. Soekarno, dengan segala talenta sebagai politisi yang ia miliki, telah berhasil mengantar hangsa ini ke gerbang kemerdekaan. Dengan kharisma yang ia miliki, seluruh kekuatan politik di negeri ini dengan mudah dapat diatur di bawah kepemimpinannya. Namun, inilah celah godaan itu; ia menduduki tahtanya terlalu lama, terlalu nyaman, dan itu menggodanya menjadi seorang diktator sejati. Dan ketika rasa terima kasih bangsa ini sudah habis, mereka mencampakkan Soekarno ke dalam pojok sejarah yang sepi, sendiri, sampai mati.

Itu jugalah yang dialami Soeharto. Muncul sebagai pahlawan pembebas bangsa dari cengkeraman dan kebiadaban komunisme, Soeharto telah menikmati ucapan terima kasih bangsa ini selama 32 tahun. Itu terlalu lama, dan itu membuatnya terlena dalam buaian kekuasaan. Begitulah akhirnya. Ia menjadi diktator, untuk kemudian terjungkal dengan cara yang menyakitkan, dan meniti akhir hidup yang “kurang” menggembirakan, apalagi membanggakan.

Para pahlawan mukmin sejati, harus belajar dari pengalaman itu. Bahwa kepahlawanan di awal hidup, atau di penengahannya, tidak selalu berakhir dengan kecemerlangan yang sama. Terkadang, para pahlawan itu, dengan berbagai sebab, mengotori sendiri karya-karya kepahlawanannya, bahkan mungkin hanya dengan setetes nila. Meskipun masyarakatlah, dengan karakter budayanya, yang seringkali membuka peluang itu bagi para pahlawannya. ltulah sebabnya Islam menanamkan makna keikhlasan dan pertanggungjawaban kepada Allah dalam diri para pahlawannya, tetapi sekaligus menanamkan sikap rasional dan kritis kepada masyarakat. Hal ini agar para pahlawan itu dapat mencapai puncak kepahlawanannya, namun tetap dengan mendapat dukungan budaya masyarakatnya untuk tetap bertahan di puncak.


[Selanjutnya]
[Sebelumnya]

Rachmat Naimulloh

Ingin artikel seperti diatas langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.




1 komentar

  1. Nuraeni Ratnawati mengatakan.... [Jawab]
    pada tanggal 8 April 2012 pukul 01.46

    hmmm... no comment, i just be a blogwalker :) and read your post..

Silahkan tinggalkan komentar Anda disini