Pemimpin yang Sadar Diri


Ketika dibai’at menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz menangis tersedu-sedu.

Beberapa penyair mendatanginya dengan maksud menghiburnya, tapi ia menolak. Melihat ayahnya menangis hamper seharian, anaknya juga berusaha mencari tahu penyebabnya, tapi tidak berhasil. Istrinya, Fatimah, lantas menemuinya dan bertanya, “Wahai suamiku, mengapa engkau menangis seperti ini?”

Umar pun menjawab, “Sungguh aku telah diangkat untuk memimpin urusan umat Muhammad saw. Aku lalu termenung memikirkan nasib para fakir miskin yang sedang kelaparan, orang-orang sakit yang tidak bias berobat, orang-orang yang tidak bias membeli pakaian, orang-orang yang selama ini didzlimi dan tidak ada yang membela, orang-orang yang memiliki keluarga besar tapi hanya mempunyai sedikit harta, orang-orang tua yang tidak berdaya, orang-orang yang ditawan atau dipenjara, serta orang-orang yang bernasib menderita di pelosok negeri ini. Aku sadar dan tahu bahwa Allah pasti akan meminta pertanggungjawabanku atas amanah ini. Namun, aku khawatir tidak sanggup memberikan bukti bahwa aku telah melaksanakan ini dengan baik sehingga aku menangis.”

Seraya menyeka air matanya, ia mengutip ayat, “Sesungguhnya aku takut kepada siksa hari yang besar (kiamat) jika mendurhakai Tuhanku.” (Q.S Yunus, 10 : 15)

Adakah pemimpin saat ini yang memiliki kesadaran eskatologis (pertanggungjawaban di hari akhir) seperti Umar? Faktanya, para pemimpin cenderung berpesta pora ketika memperoleh kemenangan dalam pemilu (pilpres dan pemilukada), padahal amanah yang diberika nkepadanya itu sungguh berat dan harus dipertanggungjawabkan kepada public dan di hadapan pengadilan Allah SWT kelak. Menyadari betapa rakyatnya masih banyak yang miskin, menderita dan sengsara, Umar memutuskan tidak tinggal di istana, tapi hanya menempati rumah sederhana tanpa pengawal pribadi dan satpam.

Beliau juga menolak menggunakan fasilitas negara, termasuk berbagai perhiasan yang diwariskan khalifah Malik bin Marwan untuk istrinya. Ketika syahwat politik untuk berkuasa membara, seseorang biasanya menjual diri dengan janji-janji politik yang muluk-muluk. Tapi ketika berkuasa, ia cenderung lupa dan tidak sadar diri. Janji tinggal janji. Keadilan tidak ditegakkan. Kekuasaan dijalankan menurut hawa nafsunya. Rakyat dilupakan, bahkan disengsarakan.

Begitulah potret penguasa lupa diri sekaligus lupa Allah SWT. “Janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Q.S Al-Hasyr, 59 : 19)

Karena itu, penguasa harus sadar diri bahwa kekuasaan itu bukan kesempatan untuk meraih kenikmatan, tapi kesempatan untuk mengemban amanah yang harus dipertanggung jawabkan di hadapan public dan Allah SWT.

Rachmat Naimulloh

Ingin artikel seperti diatas langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.




2 komentar

  1. Waektra mengatakan.... [Jawab]
    pada tanggal 6 Agustus 2011 pukul 02.46

    bener tuh...negara kita kan lagi krisis sadar diri...alia krisis moral..betul....
    http://wahyu-dakwah.blogspot.com/

  2. Anonim mengatakan.... [Jawab]
    pada tanggal 7 Agustus 2011 pukul 22.16

    Semoga pemimpin negeri ini kembali kejalan yg benar.. (kita adalah pemimpin masa depan) Keep Istiqomah ! ! !

    Barokallahu lakum fi Ramadhan...

Silahkan tinggalkan komentar Anda disini