Ada satu kesalahan yang sering kita lakukan ketika membaca biografi para pahlawan. Kita selalu membayangkan para pahlawan itu relatif berbeda dengan orang-orang biasa. Bayangan itu tidak sepenuhnya salah. Namun, biasanya anggapan itu mudah menjadi salah ketika sebuah karya sejarah kemudian dinisbatkan secara latah kepada satu orang pahlawan, padahal sebenarnya pahlawan yang kita elu-elukan itu mungkin hanya memberikan sentuhan akhir.
Dalam pembacaan seperti ini, ada banyak peran dan pelaku sejarah yang terlupakan, atau mengalami marginalisasi sejarah. Misalnya, ketika kita menempatkan Shalahuddin Al-Ayyubi sebagai tokoh kunci, yang relatif bersifat tunggal, dalam menghadapi Pasukan Salib. Padahal, Pasukan Salib telah menguasai Al-Quds selama sekitar 90 tahun, dan sepanjang tahun-tahun itu ada banyak perlawanan di sana sini. Ada banyak gerakan dakwah dan penyadaran sosial, ada banyak tokoh yang mengkondisikan situasi kemenangan, yang kemudian di selesaikan secara gemilang oleh Shalahuddin Al-Ayyubi. Yang disebut terakhir ini bahkan sebenarnya berasal dari Pasukan Mahmud Nuruddin Zanki, yang menguasai wilayah Syam, sebelum kemudian pindah ke Mesir dan memulai segalanya dari sana. Jadi, kemenangan dalam Perang Salib adalah karya beberapa generasi, bukan karya Shalahuddin AL-Ayyubi sendiri.
Perang ’Ain Jalut yang melegendakan Murzaffar Quthus karena berhasil merontokkan sekaligus menghancurkan serangan Pasukan Tartar, juga didahului oleh prakondisi sosial politik, yang memungkinkan kemenangan iut diraih. Ada ulama seberani Izzuddin bin Abdissalam yang mengkondisikan masyarakat Syam sebelum kemudian bergabung dengan pasukan Islam di Mesir dalam menghadapi Tartar. Beliau memang memenangkan pertempuran itu. Itu bukan hanya karya pribadinya. Itu merupakan karya bersama beberapa generasi.
Karya-karya sejarah yang besar, pada akhirnya, memang tidak dapat diselesaikan seorang pahlawan saja. Semua orang terlibat dalam proses. Akan tetapi, seorang pahlawan melegenda karena dalam proses itu ia memberikan kontribusi yang lebih besar daripada yang lainnya. Walaupun begitu, kontribusi yang besar tidak akan pernah dapat ia berikan ranpa kehadiran pahlawan-pahlawan lain, yang kadar kepahlawanannya mungkin lebih kecil dibanding dirinya.
Disini kita belajar tentang makna kepahlawanan kolektif. Peran-peran kepahlawanan terdistribusi dalam banyak bentuk. Begitulah misalnya kita menyaksikan Rasulullah saw. mendistribusikan kepahlawanan tersebut. Umar bin Khattab, misalnya, tidak pernah sekalipun ditunjuk menjadi komandan perang, sekalipun ia memenuhi semua kualifikasinya. Itu terlihat misalnya dalam surat-surat yang beliau kirim ke para komandan pasukan di berbagai front. Ia bukan hanya memberi petunjuk umum, tetapi memberi instruksi yang sangat detil. Bahkan, menurut Sa’ad bin Abi Waqqash, instruksi beliau menujukkan kalau beliau mengetahui medan ketimbang komandan pasukannya sendiri.
Hal ini disebabkan Rasulullah saw. mengetahui dengan pasti potensi dan kapasitas yang dimiliki Umar memungkinkannya memainkan peran yang jauh lebih strategis daripada sekedar memimpin sebuah pasukan perang. Itulah yang terjadi kemudian. Karena ternyata Umar bin Khattab adalah seorang negarawan besar.
[Sebelumnya]
[Sebelumnya]
0 komentar