Tiga komandan pasukan dalam Perang Mu’tah itu berguguran sebagai syuhada. Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Pasukan Muslim yang berjumlah sekitar 3000 orang memang tampak tidak seimbang ketika harus berhadapan dengan 200.000 orang dari Pasukan Romawi yang dipimpin langsung oleh raja mereka, Heraclius.
Kelihatannya, Rasulullah saw. sudah meramalkan kejadian itu. Maka, beliau berpesan kepada pasukan ini, apabila ketiga komandan mereka gugur, maka mereka harus memilih seorang komandan baru di antara mereka. Dan yang dipilih oleh kaum muslimin ketika itu adalah Khalid bin Walid.
Akan tetapi, apakah yang kemudian dilakukan Khalid bin Walid? Beliau malah menarik mundur pasukannya ke Madinah. Penduduk Madinah tidak dapat memahami strategi ini. Maka, anak-anak mereka melempari Pasukan Khalid, karena menganggap mereka pengecut dan meninggalkan peperangan. Namun, Rasulullah saw. justru memberi gelar kepada Khalid sebagai ”Saefullah Al-Maslul” (Pedang Allah yang Senantiasa Terhunus).
Secara gemilang, Khalid telah berhasil menyelamatkan banyak nyawa para sahabat dari sebuah pertempuran yang tidak seimbang. Ini bukan sekedar sebuah pertempuran, tetapi sebuah peperangan. Masih ada medan lain yang akan mempertemukan mereka dengan Pasukan Romawi. Hanya lima tahun setelah itu, Khalid bin Walid membuktikan sabda sang Nabi dalam Perang Yarmuk.
Sukses dalam Perang Yarmuk adalah puncak dari sukses-sukses kecil yang diraih Khalid sebelumnya. Dialah ujung tombak pembebasan Mekkah, komandan Perang Riddah, dan pembuka pintu pembebasan Persi. Maka, begitulah kenyataan ini menjadi kaidah kepahlawanan, bahwa kesuksesan besar sesungguhnya merupakan kumpulan dari kesuksesan-kesuksesan kecil, yang dirakit perlahan-lahan, dalam rentang waktu yang panjang.
Sukses besar, dalam sejarah hidup seorang pahlawan di mana ia mencapai puncak, lebih mirip sebuah pendakian. Tidak semua orang sampai ke puncak. Namun, semua yang sampai ke puncak harus memulai langkah pertamanya dari kaki gunung. Ini kaidah yang terjadi dalam semua medan kepahlawanan.
Imam Syafi’i menulis banyak buku. Namun, prestasi ilmiahnya yang paling gemilang adalah temuannya atas ilmu Ushul Fiqh. Ibnu Taimiyah menulis banyak buku, tetapi kumpulan fatwanyalah yang paling monumental. Dr. Yusuf Al-Qardhawi menulis banyak buku, tetapi mungkin buku Fiqh Zakat yang paling prestisius. Sayyid Qutb menulis banyak buku, tetapi Fii Dzilalil Qur’an yang paling abadi.
Apa yang perlu kita ketahui adalah proses perjalanan dari sukses kecil ke sukses besar. Secara psikologis, sukses-sukses kecil itu membangun dan memperkokoh rasa percaya diri para pahlawan. Akan tetapi, dalam proses kreativitas, sukses-sukses kecil itu memberi mereka inspirasi untuk memunculkan karya yang lebih besar. Ibnul Qayyim benar ketika beliau mengatakan, “Setiap kebaikan yang kita lakukan akan mengajak saudara-saudaranya yang lain.”
[Sebelumnya]
[Sebelumnya]
pada tanggal 27 September 2010 pukul 18.31
^_^
sebuah kesuksesan ... hmm ...
salam ukhuwah dari 4antum ...