Tidak ada yang lebih indah dalam sejarah perasaan manusia seperti saat-saat ketika ia sedang jatuh cinta. Bukan karena dunia disekeliling kita berubah pada kenyataannya. Tapi saat-saat jatuh cintalah yang seketika mengubah persepsi kita tentang dunia disekeliling kita. Tidak selalu karena wanita yang kita cintai itu memang cantik pada kenyataannya. Tapi cinta kita padanya yang membuat cantik di mata kita.
Saat jatuh cinta adalah saat di mana persepsi kita mengalamai shifting pada semua realitas yang ada di sekeliling kita. Kadang kita mungkin mengelabuhi diri sendiri. Tapi itu puncak subjektifitas yang justru mengubah kita menjadi lebih positif dalam kita memandang segala sesuatu.
Seperti indahnya subjektifitas pada dunia anak-anak. Bagi mereka realitas yang sesungguhnya adalah realitas yang mereka persepsikan. Bukan realitas yang ada di luar sana seperti yang dilihat oleh orang dewasa. Bangku bisa dipersepsi sebagai rumah. Tongkat bia dipersepsi sebagai senjata. Dunia menjadi sangat ringan dan fleksibel di mata mereka. Karena itu dunia anak selalu indah, selalu penuh kenangan.
Begitu juga saat kita jatuh cinta. Shifting pada persepsi kita membuat dunia kita serasa jadi realitas lain yang begitu indah. Dan itu membawa kenyamanan pada rongga dada kita. Karena perasaan kita seketika berbunga-bunga. Karena, kata Ibnu Hazem, ruh kita seketika jadi ringan dan lembut, badan kita seketika wangi, senyum kita seketika mengembang lebar, benci dan dendam dan angkara murka seketika lenyap dari ruang hati kita, dan tiba-tiba saja yang bukan penyair jadi penyair, yang tidak bisa bernyanyi menjadi penyanyi.
Suatu saat, seorang raja bingung menyaksikan putera mahkotanya begitu pemalas, apatis, tidak bergairah, tidak berminat pada ilmu pengetahuan, tidak bisa pidato. Ia gundah, karena putera mahkotanya sama sekali tidak layak jadi raja. Maka sang raja memerintahkan seorang dayang cantik istana untuk menggoda sang putera mahkota.
Bilang padanya, pesan sang raja pada dayang cantik itu, aku sangat mencintaimu dan bersedia jadi permaisurinya. Nanti kalau hatinya sudah berbunga-bunga, bilang lagi padanya-lanjut sang raja-tapi ada syaratnya, kamu harus bersemangat, lebih rajin dan mau menyiapkan diri jadi raja, dan aku percaya kamu bisa.
Firasat sang raja ternyata benar. Putera mahkota seketika berubah: ia mengubah penampilannya jadi keren dan wangi, ia mempelajari berbagai macam ilmu, ia juga tampil berpidato, ia juga menulis. Saat jatuh cinta telah mengubah persepsinya tentang dirinya dan dunianya, seketika membangkitkan semangat hidupnya, dan meledakkan semua potensinya.
Shifting pada persepsi mengembalikan sisi kekanakan kita saat kita jatuh cinta. Itu keindahan yang mempertemukan kita dengan sisi kemanusiaan kita; subjektif, melankolis, kekanakan, tapi positif. Dan indah.
Mimpinya belum rampung ketika Al Balazry menghembuskan nafasnya yang terakhir tahun 279 H. Ia telah mengembara ke seluruh wilayah yang telah dibebaskan Islam di zamannya dan mengumpulkan data sejarah peta geografi penyebaran Islam secara lengkap. Buku dengan judul Futuhul Burdan itu –dalam perkiraan para sejarawan- seharusnya terbit dalam 40 jilid.
Walaupun begitu, kita toh tetap bisa membaca ringkasan buku itu dan mendapatkan gambaran pola penyebaran Islam secara geografis. Hampir semua penyebaran lewat darat dengan sedikit pengecualian pada wilayah yang dimasuki via laut sejak zaman Utsman bin Affan. Tapi dengan hanya mengandalkan kuda dan unta sebagai alat transportasi utama, hampir tidak dapat dipercaya bahwa Islam tiba-tiba telah menyeba ke tiga benua dalam tempo yang sangat sigkat. Bahkan konflik berdarah yang mengakhiri dinasti Umayyah di Damaskus pada decade ketiga abad kedua hijriyah membuahkan hasil wilayah teritori baru di utara Afrika kemudian di semenanjung Iberia. Abdurrahman Ad Dakhil, satu-satunya anggota klan keluarga Bani Umayyah yang selamat dari pembantaian, berlari menyelamatkan diri ke Afrika Utara, lalau mendirikan kerajaan dan seterusnya membebaskan Andalusia. Di sana mendirikan kerajaan yang bertahan lebih dari setengah millennium.
Pemetaan geografi yang baik telah membantu para komandan pasukan pembebasan menemukan jalur ekspansi yang efektif sepanjang sejarah. Sementara Khalid bin Walid menaklukan seluruh wilayah Syam, Amr bin ‘Ash memimpin pembebasan di Mesir sampai ke selatan Afrika, lalu Saad bin Abi Waqas membebaskan Persia dan seterusnya merangsek masuk ke seluruh Asia Tengah dan Selatan. Kelak dari jalur itu pula pasukan Bani Saljuk yang menjadi cikal bakal khilafah Utsmany merangsek masuk Konstantinopel. Gerbang sebelah timur menuju Eropa terbuka lebar, melengkapi gerbang sebelah barat yang lebih dulu telah dibuka Abdurrahman Ad Dakhil.
Itu semua menjadi mungkin karena letak jazirah Arab di mana nabi dan risalah terakhir diturunkan ada persis di pertigaan tiga benua itu: Asia, Afrika dan Eropa. Di luar penjelasan budaya dan sosial politik, peta geografi ini menjadi dasar penentuan geostrategi penyebaran Islam.
Itulah faktanya. Itu pula hikmah dan penjelasannya mengapa Allah memilih jazirah Arab sebagai tempat turunnya wahyu dan nabi terakhir. Sebab, “Allah lebih tahu dimana Ia menurunkan risalah-Nya” (QS. Al-An’am: 124)
Pesannya pun sama: “berjalanlah di seluruh penjuru bumi dan lihatlah apa akibat yang menimpa orang-orang yang mendustakan agama”. Itu agar kita terbiasa berpikir ruang dan memiliki kemampuan pemetaan.
Inilah sajakku,
seorang tua yang berdiri di bawah pohon meranggas,
dengan kedua tangan kugendong di belakang,
dan rokok kretek yang padam di mulutku.
Aku memandang zaman.
Aku melihat gambaran ekonomiAku memandang zaman.
di etalase toko yang penuh merk asing,
dan jalan-jalan bobrok antar desa
yang tidak memungkinkan pergaulan.
Aku melihat penggarongan dan pembusukan.
Aku meludah di atas tanah.
Aku berdiri di muka kantor polisi.
Aku melihat wajah berdarah seorang demonstran.
Aku melihat kekerasan tanpa undang-undang.
Dan sebatang jalan panjang,
penuh debu,
penuh kucing-kucing liar,
penuh anak-anak berkudis,
penuh serdadu-serdadu yang jelek dan menakutkan.
Aku berjalan menempuh matahari,
menyusuri jalan sejarah pembangunan,
yang kotor dan penuh penipuan.
Aku mendengar orang berkata :
"Hak asasi manusia tidak sama dimana-mana.
Di sini, demi iklim pembangunan yang baik,
kemerdekaan berpolitik harus dibatasi.
Mengatasi kemiskinan
meminta pengorbanan sedikit hak asasi"
Astaga, tahi kerbo apa ini!
Apa disangka kentut bisa mengganti rasa keadilan?
Di negeri ini hak asasi dikurangi,
justru untuk membela yang mapan dan kaya.
Buruh, tani, nelayan, wartawan, dan mahasiswa,
dibikin tak berdaya.
O, kepalsuan yang diberhalakan,
berapa jauh akan bisa kau lawan kenyataan kehidupan.
Aku mendengar bising kendaraan.
Aku mendengar pengadilan sandiwara.
Aku mendengar warta berita.
Ada gerilya kota merajalela di Eropa.
Seorang cukong bekas kaki tangan fasis,
seorang yang gigih, melawan buruh,
telah diculik dan dibunuh,
oleh golongan orang-orang yang marah.
Aku menatap senjakala di pelabuhan.
Kakiku ngilu,
dan rokok di mulutku padam lagi.
Aku melihat darah di langit.
Ya! Ya! Kekerasan mulai mempesona orang.
Yang kuasa serba menekan.
Yang marah mulai mengeluarkan senjata.
Bajingan dilawan secara bajingan.
Ya! Inilah kini kemungkinan yang mulai menggoda orang.
Bila pengadilan tidak menindak bajingan resmi,
maka bajingan jalanan yang akan diadili.
Lalu apa kata nurani kemanusiaan?
Siapakah yang menciptakan keadaan darurat ini?
Apakah orang harus meneladan tingkah laku bajingan resmi?
Bila tidak, kenapa bajingan resmi tidak ditindak?
Apakah kata nurani kemanusiaan?
O, Senjakala yang menyala!
Singkat tapi menggetarkan hati!
Lalu sebentar lagi orang akan mencari bulan dan bintang-bintang!
O, gambaran-gambaran yang fana!
Kerna langit di badan yang tidak berhawa,
dan langit di luar dilabur bias senjakala,
maka nurani dibius tipudaya.
Ya! Ya! Akulah seorang tua!
Yang capek tapi belum menyerah pada mati.
Kini aku berdiri di perempatan jalan.
Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing.
Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak.
Sebagai seorang manusia.
1. Pertama kali kau menyapaku. Tanpa suara. Tetapi sangat asih. Dari diriku yang paling dalam. Disini. #Ibu. Aku di sini.
2. Menjadi #Ibu. Bagi jiwa perempuan penuh kasih adalah mimpi yang dilatih dengan kerinduan, cinta & asahan rasa. Ia mencahaya dalam jiwa.
3. Seruak cita itu adalah fitrah terindah yang dikaruniakan Allah. Kecenderungan, rasa, kemuliaan! #Ibu! Mulia dengan tapak kaki juangnya.
4. Sebab tak seorang pria pun termuliakan begitu tinggi hingga surga berada di telapak kaki. Demi Allah, tak seorang lelaki jua. Hanya #Ibu.
5. #Ibu! Panggilan yang begitu menggetarkan, membiruharu, menggemakan rasa terdalam di lubuk rasa setiap wanita. Ia menggeletarkan cinta.
6. Ada imaji surgawi & gairah hayat menggelora tiap kali kata tiga huruf itu diteriakkan oleh sosok-sosok mungil nan sambut kehadiran. #Ibu!
7. #Ibu, madrasah cantik, tempat anak-anak pertanyakan semesta dgn bahasa paling akrab, harapan paling memuncak, & keingintahuan plg dalam.
8. #Ibu. Dia dermaga nan paling tenang tuk melabuh hati saat mereka merasa teraniaya. Dia belai paling menenteramkan saat mereka gelisah.
9. #Ibu Dia dekapan paling memberi rasa aman saat ketakutan. Dia bahu paling kukuh untuk merebah, bertahan dari amuk badai kesedihan.
10. #Ibu Dia perpustakaan terlengkap, kelas ternyaman, gelanggang terlapang. Tak pernah ia bisa digantikan oleh gedung-gedung tanpa nyawa.
11. #Ibu Panggilan yang meneguhkan keutamaan; diulangkan, didahulukan. Sang Rasul sebut Ibumu tiga kali di depan, ayahmu menyusul kemudian.
12. #Ibu, panggilan perjuangan. Cantik nian senyumnya walau pegal bawa kandungan, susah memilih baringan, bengkak kaki & mual tak tertahan.
13. #Ibu, panggilan kepahlawanan. Seribu sakit berhimpun, tulang berlolosan, syaraf tercabik, robekan pedih, darah bersimbah. Lalu senyum.
14. #Ibu, degub jantungnya menenangkan saat kita didekap mesra, dia relakan jiwa raganya diserap untuk memberi hidup pada makhluq nan baru.
15. Ada pemuda nan berbakti pada #Ibu di masa ‘Umar. Dia menyuapi, mengipas lalat, mengelap peluh, memandikan, urus segala hajat kekotoran.
16. Pemuda itu gendong #Ibu-nya sepanjang jalan. Tiap henti, dia merangkak lengkungkan badan lindungi sang ibu dari mentari & terpaan hujan.
17. “Cukupkan ini untuk membalas segala kebaikan #Ibu di waktu kecilku?”, tanyanya. “Tidak, sama sekali tidak!”, jawab ‘Umar berkaca-kaca.
18. “Sebab #Ibu-mu dulu lakukan semua itu sambil mendoa bagi kehidupanmu. Sementara engkau kini melakukannya sembari menanti kematiannya.”
19. #Ibu, ada wanita yang kini enggan menjadi kata itu. Maka kemuliaan pun enggan menyapa, seirama anggapan bahwa anak adalah belenggu.
20. #Ibu Ketika kata itu dianggap neraka atau penjara, mereka tertuntun memasuki jerat kesendirian yang menuakan, menghampakan, mematikan.
21. #Ibu Ketika kata itu diabaikan, ia enggan menyediakan dermaga tempat para wanita menambat perahu hati, berlabuh dari galau kehidupan.
22. Mungkin memang tak sederhana. Sebab menjadi #Ibu adalah anugerah yang tak semua meraih agungnya. Bahkan imanpun, tak bisa menjaminkan.
23. Sebagaimana Aisyah. Dia ummul mukminin, #Ibu dari semua orang beriman. Tetapi mengandung, melahirkan, menyusui, menimang sibir tulang?
24. Tidak. Aisyah tak diberi Allah luap rasa yang melekati hakikat kata #Ibu itu. Tapi rindu & sabar hati adalah jua kesempatan berpahala.
25. Di lain sosok, kegelisahan, kecemasan, malu & pilu hati jika panggilan #Ibu itu tak segera hadir adalah ujian lain yang menyesakkan.
26. Alasan kesehatan, gangguan organ, serangan kuman, usia rawan persalinan, menjadi gurita kecemasan lain yang mencoraki ujian jadi #Ibu.
27. Allah menjawab doa hambaNya; istri Ibrahim dgn si shalih Ishaq, istri Imran dgn si suci Maryam, istri Zakariya dgn si alim Yahya. #Ibu
28. Mereka rayakan syukur karunia setelah penantian panjang, tubuh nan uzur, uban memutih, doa menghiba, dan rasa yang tersembilu. #Ibu
29. Menjadi #Ibu, kadang jua ujian yang membuat terragukannya suci & ibadah nan terjaga, seperti dialami #Maryam #Maria, ibunda #Isa #Yesus.
30. Begitulah kurnia besar nan di-#SYUKUR-i, #Isa #Yesus nan tiada duanya; selalu jua merupakan ujian besar yang harus di-#SABAR-i #Ibu-nya.
31. Menjadi #Ibu; melahirkan ataupun tidak; ba’da ikhtiar paling gigih, doa paling tulus, dan tawakkal paling pasrah, adalah kemuliaan utuh.
32. Menjadi #Ibu hakiki, Agar Bidadari Cemburu Padamu, terfahamlah kita; kau takkan tersaingi oleh jelita surgawi itu selama-lamanya;) #ABCP
Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga
Suaranya keras, menangis berhiba-hiba
Begitu lahir ditating tangan bidannya
Belum kering darah dan air ketubannya
Langsung dia memikul hutang di bahunya
Rupiah sepuluh juta
Kalau dia jadi petani di desa
Dia akan mensubsidi harga beras orang kota
Kalau dia jadi orang kota
Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya
Kalau dia bayar pajak
Pajak itu mungkin jadi peluru runcing
Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing
Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga
Mulutmu belum selesai bicara
Kau pasti dikencinginya.
Ada dua istilah yang kadang menjadi satu dan kadang terpisah kondisinya, bersih dan suci. Kadang kita menemukan tempat yang tampak sangat bersih, namun tidak suci. Sebagaimana kita temukan pula tempat yang suci, namun tampak tidak bersih. Semestinyalah kebersihan dan kesucian menjadi satu kesatuan yang tidak dipisahkan, karena akan menjadi masalah apabila keduanya berada dalam kondisi yang terpisah.
Bersih itu terkait dengan kotoran yang sifatnya umum. Sedangkan suci terkait dengan najis. Semestinya keduanya menjadi satu kesatuan, agar seluruh bagian dari kehidupan kita menjadi bersih dan suci, sehingga menjadi modal untuk menjalani kehidupan dalam berbagai bidang. Hidup yang bersih dan suci, hidup yang terjauhkan dari berbagai macam kekotoran dan najis.
Jika kita bepergian ke berbagai negara yang mayoritas warganya bukan beragama Islam, salah satu yang sering menjadi pertanyaan adalah aspek kesucian tempat. Bukan aspek kebersihannya. Sangat mudah kita jumpai sarana publik yang sangat bersih, karena sudah menjadi standar kehidupan masyarakat di negara maju. Namun masalah kesucian menjadi sangat penting bagi umat muslim karena menjadi bagian dari ritual ibadah.
Kesucian dan kebersihan badan, pakaian dan tempat tinggal atau tempat kegiatan merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan bagi umat Islam agar bisa melaksanakan ibadah yang dikatakan sebagai “tiang agama”, yakni shalat. Tidak hanya itu, bahkan kesucian dan kebersihan itu sendiri menjadi landasan untuk melakukan setiap bentuk ibadah. Umat Islam dididik untuk tidak suka kepada hal yang kotor, agama menuntut mereka untuk senantiasa menjaga kebersihan, di setiap tempat, di setiap saat. Kesucian dan kebersihan mencakup bersihnya lahir maupun batin.
Kalau kita renungkan, sebenarnya kebersihan itu sendiri merupakan hal yang fitrah, artinya ia merupakan kebutuhan setiap manusia yang sehat akalnya. Tanpa ajaran agama pun, manusia juga punya kecenderungan untuk senantiasa bersih. Namun dalam agama Islam ternyata kebersihan dan kesucian ini menjadi satu titik perhatian yang sangat penting. Begitu tinggi nilai kebersihan dan kesucian, sehingga dihadirkan dalam beberapa ayat untuk senantiasa menjaga kebersihan :
“Dan pakaianmu bersihkanlah” (Al Mudatsir : 4)
“Dan jika kamu junub maka mandilah” (Al Maidah : 6)
Kebersihan dan kesucian memang modal utama. Dalam ilmu kesehatan juga kita jumpai, segala hal yang kotor itu cenderung mendatangkan penyakit. Rumah yang kotor, pakaian yang kotor, dan tubuh yang kotor lebih cepat mendatangkan penyakit, termasuk pula jiwa yang kotor. Allah Ta’ala mencintai hambanya yang senantiasa menjaga kebersihan, baik lahir maupun bathin.
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang taubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri” (Al Baqarah : 222)
Bahkan untuk hal yang kelihatannya sangat sepele, seperti membersihkan diri setelah kencing, tetapi ternyata pengaruhnya sangat besar. Suatu ketika Nabi saw lewat pada dua buah kubur, lalu sabdanya :
“Kedua mereka sedang disiksa, dan disiksa itu bukanlah disebabkan pekerjaan berat. Salah seorang diantaranya adalah karena tak hendak bersuci dari kencingnya sedang yang lain ialah karena pergi mengadu domba” (HR Jama’ah)
Ternyata amat besar akibat yang diderita oleh orang-orang yang menyepelekan kebersihan dan kesucian. Maka Nabi saw menegaskan :
“Kebersihan itu sebagian dari iman” (HR. Muslim dan Ahmad)
Hal ini tentu semakin menyadarkan kita akan arti penting kebersihan. Seluruh aktivitas semestinya bermula dari kebersihan dan kesucian. Kebersihan niat, yakni ikhlas dalam pengerjaan. Kebersihan tujuan, yakni melakukan kebaikan. Kebersihan badan, pakaian dan tempat, sangat menunjang kekhusyukan ibadah yang kita lakukan. Oleh karena itu, bisa kita pahami mengapa sampai dikatakan sebagian atau bahkan separuh dari iman.
“Kemudian Nabi menyebut seorang laki-laki yang pergi jauh dalam keadaan kotor rambutnya, kotor mukanya, memanjangkan tangannya ke langit seraya berkata : “Ya Rabbi, ya Rabbi”, sedang makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dikenyangkan dengan makanan haram, maka bagaimanakah mungkin akan dikabulkan doanya ?” (HR. Muslim)
Mari kita selalu menjaga kebersihan dan kesucian. Bersih hati, bersih pikiran, bersih badan, bersih amal kegiatan. Dari kebersihan dan kesucian diri ini, kita membersihkan dan mensucikan segala yang kotor : politik yang kotor, ekonomi yang kotor, budaya yang kotor, pemerintahan yang kotor, birokrasi yang kotor, legislatif yang kotor, peradilan yang kotor, aparat yang kotor. Semua yang kotor bisa dibersihkan dan disucikan dengan sarana yang bersih dan suci pula.
Sumber : Cahyadi Takariawan
Sumber : Cahyadi Takariawan
Para pahlawan mengajarkan sebuah kaidah kepada kita; seseorang hanya akan menjadi bisa meledak sebagai pahlawan jika ia bekerja secara optimal pada kompetensi intinya. Sebab, pekerjaan-pekerjaan yang kita tuntaskan yang kemudian membuat kita dicatat sebagai pahlawan, akan dijadikan mudah oleh Allah SWT karena Ia memang menyiapkan kita untuk pekerjaan itu.
Akan tetapi, sebenarnya tidak ada manusia yang dapat menemukan seluruh potensi dalam dirinya sekaligus. Seperti tambang yang tersembunyi di perut bumi, setiap kita membutuhkan waktu yang panjang untuk mengeksplorasi, menemukan, baru kemudian menggali dan mengeksploitasinya. Sebelum diakhiri oleh kematian, setiap potensi yang kita temukan dalam diri kita tidak pernah bersifat final. Yang bisa kita lakukan adalah membuat model-model analog, misalnya peta, yang dapat menghampiri gambaran keseluruhan potensi diri kita.
Karena itu, pencarian tidak boleh berhenti. Proses pemotretan dan pemetaan harus terus berlanjut. Kita hanya harus memastikan bahwa semua potensi yang telah kita temukan langsung terpakai secara maksimal. Inilah konsep yang disebut sebagai pengenalan berkesinambungan.
Namun, di sini muncul sebuah pertanyaan, “Bagaimana cara mengetahui, pada akhirnya bahwa inilah kompetensi inti kita, atau bahwa inilah pusat keunggulan kita?”
Kompetensi inti atau pusat keunggulan biasanya dicirikan beberapa hal. Misalnya, adanya minat yang tinggi terhadap suatu bidang, kemampuan penguasaan cepat dalam bidang itu, kegembiraan natural saat menjalaninya, oplimisme pada kemampuan pengembangan lebih jauh, dan seterusnya.
Lihatlah misalnya dua tokoh yang sudah berulang kali kita kaji: Umar Bin Khattab dan Khalid Bin Walid. Mereka sama-sama berasal dari klan Bani Makhzum, memiliki postur tubuh yang tinggi dan besar, wajah yang sangat mirip, dan bangunan karakter yang sama, yang digambarkan dengan kata kunci “prajurit”.
Akan tetapi, Abbas Mahmud A1-’Aqqad, yang menulis biografi kedua pahlawan yang jenius itu, menemukan perbedaan yang tipis pada tipologi keprajuritan di antara keduanya. Keprajuritan pada Khalid bersifat agresif, sementara keprajuritan pada Umar bersifat pembelaan. Kedua tipologi ini, tentu saja, baru akan optimal, jika masing- masing disalurkan pada peran dan fungsi yang sesuai dengan tabiatnya.
Agaknya inilah yang menjelaskan mengapa Khalid Bin Walid selalu mendapat peran sebagai panglima perang, khususnya di era ekspansi, sementara Umar Bin Khattab lebih tepat memimpin negara. Sifat agresif lebih dibutuhkan dalam perang, apalagi yang bersifat ekspansif, sementara semangat pembelaan butuhkan dalam kepemimpinan negara yang mudah terseret oleh godaan arogansi dan kediktatoran.
Begitulah akhirnya kedua pahlawan itu menjadi ulung pada perannya masing-masing. Khalid dikenal karena keberanian dan kehebatan strategi perangnya, sementara Umar dikenal karena kasih sayang keadilannya kepada rakyatnya. Dari klan bani Makhzum itu, dua legenda Islam meniti jalan kepahlawanannya pada jalur kompetensi intinya masing-masing.
[Sebelumnya]
[Sebelumnya]
Seorang aktivis mengirim SMS kepada saya, menceritakan kondisi dirinya yang sedang diteror oleh pihak yang merasa dirugikan oleh aktivitas kebaikannya. Pihak peneror mengancam akan membunuh sang aktivis jika tidak menghentikan langkahnya mengusut kasus korupsi yang melibatkan pejabat daerah setempat.
Karena merasa terancam, sang aktivis mengungsikan keluarganya ke tempat yang dianggap aman. Namun ia sendiri menjadi tidak tenang berkegiatan rutin karena dibayang-bayangi ancaman pembunuhan. Ia mengirim SMS meminta pendapat kepada beberapa kalangan yang dia percaya, termasuk kepada saya.
“Adakah yang kamu takuti dari mati ? Engkau layak takut mati jika belum bekerja di jalan Allah dan belum mencetak kader. Jika engkau selalu bekerja di jalan Allah, dan telah mencetak kader, maka tak ada yang perlu kau takuti lagi”. Itu jawaban SMS saya.
Karena merasa terancam, sang aktivis mengungsikan keluarganya ke tempat yang dianggap aman. Namun ia sendiri menjadi tidak tenang berkegiatan rutin karena dibayang-bayangi ancaman pembunuhan. Ia mengirim SMS meminta pendapat kepada beberapa kalangan yang dia percaya, termasuk kepada saya.
“Adakah yang kamu takuti dari mati ? Engkau layak takut mati jika belum bekerja di jalan Allah dan belum mencetak kader. Jika engkau selalu bekerja di jalan Allah, dan telah mencetak kader, maka tak ada yang perlu kau takuti lagi”. Itu jawaban SMS saya.
Inilah dua hal yang selayaknya membuat takut mati, dan takut menghadapi resiko perjuangan. Pertama, karena belum bekerja di jalan Allah. Jika mati dalam kondisi tidak pernah dan tidak sedang bekerja di jalan Allah, benar-benar kematian yang menakutkan. Akan bertemu siapa di sana, jika pekerjaan kita tidak di jalan-Nya? Akan mendapatkan apa kelak di akhirat, jika jalan yang kita tempuh bukan jalan Allah?
Kedua, karena belum mencetak kader. Siapa yang akan meneruskan garis perjuangan, jika tidak ada kader yang telah disiapkan melalui proses pembinaan dan pengkaderan ? Kematian aktivis akan berdampak mengurangi kekuatan pergerakan, karena berkurangnya personal utama. Namun jika telah mencetak kader, maka akan ada generasi yang selalu mewarisi manhaj, semangat, dan garis perjuangan generasi pendahulu. Gerakan tidak akan berhenti apalagi mati. Karena selalu tersedia generasi hasil proses kaderisasi.
Maka teruslah bekerja di jalan Allah, dan jangan pernah berhenti mencetak generasi. Kematian pasti akan terjadi sebagai sebuah ketetapan Ilahi, namun dakwah tak akan pernah berhenti jika kita selalu menyiapkan generasi. Kematian pasti akan kita jumpai, namun dakwah akan tetap lestari.
Jika dua hal itu telah kita miliki, tersenyumlah lega. Saat kematian tiba, tak ada lagi yang mengkhawatirkan kita. Tinggal berharap rahmat dan kasih sayangNya agar memasukkan kita ke dalam surga. Sementara, generasi yang kita bina telah siap menyambut estafet pekerjaan para pendahulu mereka.
Faminhum man qadha nahbah, wa minhum man yantazhir…..
Sumber : Cahyadi Takariawan
Kedua, karena belum mencetak kader. Siapa yang akan meneruskan garis perjuangan, jika tidak ada kader yang telah disiapkan melalui proses pembinaan dan pengkaderan ? Kematian aktivis akan berdampak mengurangi kekuatan pergerakan, karena berkurangnya personal utama. Namun jika telah mencetak kader, maka akan ada generasi yang selalu mewarisi manhaj, semangat, dan garis perjuangan generasi pendahulu. Gerakan tidak akan berhenti apalagi mati. Karena selalu tersedia generasi hasil proses kaderisasi.
Maka teruslah bekerja di jalan Allah, dan jangan pernah berhenti mencetak generasi. Kematian pasti akan terjadi sebagai sebuah ketetapan Ilahi, namun dakwah tak akan pernah berhenti jika kita selalu menyiapkan generasi. Kematian pasti akan kita jumpai, namun dakwah akan tetap lestari.
Jika dua hal itu telah kita miliki, tersenyumlah lega. Saat kematian tiba, tak ada lagi yang mengkhawatirkan kita. Tinggal berharap rahmat dan kasih sayangNya agar memasukkan kita ke dalam surga. Sementara, generasi yang kita bina telah siap menyambut estafet pekerjaan para pendahulu mereka.
Faminhum man qadha nahbah, wa minhum man yantazhir…..
Sumber : Cahyadi Takariawan