Ketika teks sebagai content diinsert ke dalam perangkat ruang dan waktu manusia, sebenarnya disitu terdapat sebuah aksioma yang melekat pada sifat teks itu. Yaitu kemampuannya untuk menembus sekat-sekat ruang dan waktu manusia. Teks ini adalah narasi yang abadi. Kemampuan itu kersimpan rapih pada fakta bahwa ia menggabungkan antara keteguhan dan kelenturan. Ia teguh pada kebenaran dasarnya, tapi lentur pada proses manusiawinya.
Ruang dari sistem kehidupan yang terangkai dalam teks ini adalah bumi. Sementara waktunya adalah waktu manusia sejak mereka menghuni bumi. Jadi sejarah adalah waktunya. Bumi adalah panggungnya. Manusia adalah aktornya. Teks ini adalah skenarionya. Dari situ sebuah carita kehidupan dirakit. Itu sebabnya mengapa dua pertiga dari isi teks ini adalah cerita kehidupan beragam manusia tentang bagaimana mereka melakoni hidup. Sisanya adalah hokum-hukum normatif yang jika diterapkan akan melahirkan sebuah cerita kehidupan yang indah.
Karena sebagian isi teks ini adalah sejarah, maka konteks menjadi sangat penting sebagai faktor penjelas. Sejarah kehidupan Rasulullah saw. adalah ruang dan waktu dimana teks ini diimplementasikan. Dengan begitu kita mendapatkan referensi hidup untuk memahami teks melalui kehidupan Rasulullah saw. Jika kehidupan Rasulullah saw. kita peroleh secara valid melalui narasi beliau atau narasi sahabat-sahabat beliau tentang beliau, maka sekarang kita mendapatkan dua teks. Dan kedua teks saling menafsirkan satu sama lain. Inilah yang dimaksud oleh para mufassirin dengan metode at tafsiir bir riwayah (menafsir teks dengan teks). Misalnya tafsir Imam At-Thabari, Ibnu Katsir dan lainnya.
Sebagian dari kehidupan Rasulullah saw. itu adalah riwayat atas kata. Sebagiannya lagi adalah riwayat atas tindakan dan sikap. Tapi keseluruhannya adalah riwayat itu tidak dirangkai dalam suatu konstruksi yang komprehensif maka hasilnya wajah kehidupan yang boleh jadi bopeng. Misalnya jika kita hanya mengangkat riwayat peperangan Rasulullah saw., maka yang akan tampak adalah seorang komandan perang yang seluruhnya hidupnya hanya diabdikan untuk peperangan. Sisi lain tentang kehidupan keluarga dan kemasyarakat serta ekonomi mungkin hilang. Lalu lahirlah pemahaman yang cacat atas teks, dan lahirlah selanjutnya penerapan atas teks yang juga pincang.
Tapi itu tantangan besarnya. Karena sebuah rekonstruksi sejarah yang komprehensif pada dasarnya adalah kerja intelektual dan spiritual yang disamping berbasis pada fakta-fakta sejarah yang akurat, juga bertumpu pada kemampuan imajinasi yang kompleks. Inilah yang menjelaskan mengapa Sayyid Qutb menggunakan imajinasi sebagai salah satu tools dalam menafsir teks.
Suatu saat di masa kecilnya Muhammad Iqbal, penyair abadi dari anak benua India, membaca Al-Qur’an. Ayahnya yang kebetulan melihatnya lantas berpesan: ”Anakku, bacalah Al-Qur’an ini sebagaimana ia dulu diturunkan kepada Muhammad. Bacalah ia seakan-akan ia diturunkan hanya untukmu.”
0 komentar