Apresiasi


Para pahlawan mukmin sejati menyimpan kelembutan di dalam hatinya: yang membuat nuraninya senantiasa bergetar setiap kali ia menyaksikan berbagai peristiwa kehidupan yang mengharu biru; yang membuat semangatnya menggelora setiap kali ia menghadapi tantangan dan panggilan kepahlawanan; yang membuat kesedihannya menyayat jiwa setiap kali ia menyaksikan kezaliman, kepapaan dan kenestapaan; yang membuat kerinduannya mendayu-dayu setiap kali ia diingatkan pada cita-citanya.

Kelembutan jiwa membuat para pahlawan mukmin sejati senantiasa terpaut dalam pusaran kehidupan, terlibat di kedalaman batinnya, merasakan sentuhan alam, mendengar jeritan nurani kemanusiaan, dan memahami harapan-harapannya. Itulah sebabnya mereka selalu terjalin secara emosional dengan kehidupan yang mereka lalui. Mereka merasakan setiap detik dari perjalanan hidup mereka.

Intinya, kelembutan jiwa memberikan mereka kemampuan mengapresiasi kehidupan secara baik dan intens. Inilah, agaknya, rahasia yang menjelaskan sebuah fenomena yang unik, yaitu hubungan yang intens antara para pahlawan mukmin sejati dengan puisi dan sastra secara umum.

Puisi, atau sastra secara umum, adalah instrumen yang membahasakan kelembutan jiwa mereka. Puisi juga memberi mereka inspirasi dalam memaknai gerakan-gerakan jiwa mereka, membuat mereka lebih dekat dengan perasaan-perasaan mereka sendiri, membantu mereka memahami sabda alam, dan menangkap makna-makna kemanusiaan yang paling dalam yang senantiasa terlahir dari nurani manusia. Bagi mereka, puisi juga merupakan hiburan jiwa.

Itulah sebabnya Umar bin Khattab menganjurkan pengajaran sastra untuk anak-anak. Karena sastra, kata Umar, dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani. Rasulullah saw sendiri menyukai puisi dan menghapal beberapa bait Puisi Arab kuno serta mengenal para penyairnya. Di kalangan sahabat terdapat juga banyak penyair. Para pahlawan perang, di zaman Rasulullah saw dan sesudahnya, selalu menggunakan puisi sebagai cara untuk membangkitkan semangat perang Kaum Muslimin. Karena itu, dalam tradisi Sastra Arab ada beberapa penyair yang mempunyai spesialisasi dalam bidang “Syi’rul Hamasah” (Puisi Semangat). Di kalangan ulama juga kita temukan hal yang sama. Beberapa di antara mereka bahkan mewariskan kumpulan puisi. Misalnya, Imam Syafi’i dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.

Para pahlawan dakwah di zaman ini juga melakukan hal yang sama. Bacalah buku Dr. Yusuf AI-Qardhawi, atau Syekh Muhammad Ai-Ghazali, atau Muhammad Ahmad Al-Rasyid, atau Abul Hasan Ali AI-Hasani Al-Nadwi, niscaya Anda akan menemukan bait-bait puisi bertebaran dalam lembaran-lembarannya. Hasan Al-Banna bahkan menghapal sekitar 1800 bait puisi ketika ia akan menyelesaikan pendidikan tingginya. Dan bukankah salah satu sumber kekuatan tafsir Fii Dzilalil Qur’an, karya Sayyid Quthb, adalah kekuatan sastranya?

Ketika Abdullah bin Rawahah merasakan keraguan menghadapi maut dalam Perang Mu’tah, beliau mengusir keraguannya dengan puisi.

Wahai Jiwa,
Kau harus turun berlaga,
atau
Kupaksa kau turun
Mengapa kau tampak enggan
Menggapai surga

Setelah itu, keberaniannya kembali terkumpul. la pun maju, bertempur, dan menggapai syahid.



Rachmat Naimulloh

Ingin artikel seperti diatas langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.




1 komentar

  1. Anonim mengatakan.... [Jawab]
    pada tanggal 8 Oktober 2009 pukul 17.39

    Dukung sastra yang meninggikan jiwa, memperkokoh kemuliaan, dan mendatangkan keberanian. Semoga lahir kembali para pahlawan Islam untuk mewarnai zaman.

Silahkan tinggalkan komentar Anda disini