Ramadhan Untuk Kebangkitan Negeri


SUNGGUH menyedihkan ketika kita melihat telah terjadi satu paradoks di tatar Pasundan. Di satu sisi terlintas satu keindahan alam yang menakjubkan, di sisi lain keadaan memprihatinkan sulitnya hidup layak. Berbagai kesulitan hidup seolah tanpa henti menerpa masyarakat di tengah derasnya kenaikan harga. Di saat itu, datanglah bulan Ramadhan menyapa kita dengan berbagai kehangatan.

Satu lintasan sejarah Rasulullah saw., menarik untuk disimak. Suatu ketika di pengujung bulan Saban, lelaki bijaksana yang teladannya mampu menginspirasi banyak manusia di muka bumi dan kata-katanya mampu menggema menembus tabir, Rasulullah saw. tengah memberi pencerahan kepada para sahabatnya, "Wahai manusia! Sungguh telah datang pada kalian bulan Allah dengan membawa berkah rahmat dan magfirah. Bulan yang paling mulia di sisi Allah. Hari-harinya adalah hari-hari yang paling utama. Malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama. Jam demi jamnya adalah jam yang paling utama. Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan rasa lapar dan hausmu di hari kiamat. Bersedekahlah kepada kaum fakir dan miskin. Muliakanlah orang tuamu, sayangilah yang muda, sambungkanlah tali persaudaraanmu, jaga lidahmu, tahan pandanganmu dari apa yang tidak halal kamu memandangnya dan pendengaranmu dari apa yang tidak halal kamu mendengarnya. Kasihilah anak-anak yatim, niscaya dikasihi manusia anak-anak yatimmu. Bertobatlah kepada Allah dari dosa-dosamu." (H.R. Ibnu Huzaimah)

Sepenggal khotbah Rasulullah menjelang Ramadhan menjelaskan makna, kedudukan, dan peranan Ramadhan. Bulan Ramadhan berperan penting dalam mendidik kita untuk mengendalikan diri terhadap keinginan duniawi. Ramadhan melatih kita untuk disiplin dan bersabar dalam menghadapi situasi kekurangan. Ramadhan juga mengarahkan kita dapat berempati terhadap penderitaan rakyat miskin. Rasulullah menginginkan agar dalam Ramadhan kita dapat memupuk rasa solidaritas secara lebih baik.

Di bulan Ramadhan, Allah tidak hanya menghendaki umat untuk memperbaiki kehidupan spiritualnya, tetapi meningkatkan kebaikan sosialnya. Kesalehan personal yang tumbuh di bulan yang penuh berkah ini selayaknya dijadikan bagian dari strategi mengatasi persoalan bangsa saat ini.

Rasa saling percaya akan membantu upaya bangsa Indonesia keluar dari krisis multidimensi berkepanjangan. Pada The End of History and the Last Man Francis Fukuyama (1992) memaparkan, kekuatan setiap bangsa akhirnya ditentukan rasa saling percaya. Fukuyama juga berpendapat, saling percaya adalah modal sosial yang paling diperlukan untuk membangun keunggulan dan memenangkan kompetisi global.

Namun, banyak pihak gagal memaknai dan memanfaatkan momentum Ramadhan sebagai titik tolak untuk bangkit dari kondisi keterpurukan. Teramat sering Ramadhan dimaknai hanya sebagai momentum meningkatkan kualitas keimanan secara personal. Padahal, Ramadhan memiliki potensi membangun kesalehan sosial sebagai modal sosial suatu bangsa.

Ramadhan tahun ini harus berbeda dengan sebelumnya. Bangsa Indonesia perlu serius memanfaatkan momentum Ramadhan untuk membangun kesadaran solidaritas sosial, sebuah semangat untuk menghindar dari sikap meminta-minta dan menunggu uluran tangan pihak lain. Solidaritas sosial sendiri tak lepas dari kerangka berpikir tentang kemandirian yang hanya bisa tumbuh pada jiwa-jiwa yang mandiri. Ini mengantarkan seseorang dapat memahami, tangan di atas jauh lebih baik dari tangan di bawah.

Sudah saatnya bagi rakyat Indonesia khususnya yang hidup di tatar Pasundan, memanfaatkan momentum Ramadhan untuk membangun semangat kemandirian dan solidaritas sosial. Pemerintah dan rakyat harus sama-sama bangkit menjadi bangsa yang mandiri, yang mampu keluar dari impitan berbagai persoalan tanpa harus menunggu uluran tangan pihak lain. Jika hal itu hadir, kesejahteraan tidak akan berada jauh dari tanah Pasundan.

Sejarah telah menunjukkan, salah satu teladan tentang kemandirian berawal dari tanah Pasundan. Bukankah pertama kali Soekarno memaparkan gagasannya tentang gerakan kemerdekaan dimulai dari tatar Pasundan. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana lantangnya Soekarno muda menyuarakan pikirannya di depan hakim kolonial pada Pengadilan Landraad Bandoeng (1930):

”…kami menyerahkan segenap raga dengan serela-relanya kepada tanah air dan bangsa, juga kami menyerahkan segenap jiwa kepada Ibu Indonesia dengan seikhlas-ikhlasnya hati. Juga kami adalah mengabdi kepada suatu cita-cita yang suci dan luhur, juga kami adalah berusaha ikut mengembalikan hak tanah air dan bangsa atas peri kehidupan yang merdeka. Tiga ratus tahun, ya walau seribu tahunpun, tidaklah bisa menghilangkan hak negeri Indonesia dan rakyat Indonesia atas kemerdekaan itu. Untuk terlaksananya hak ini maka kami rela menderitakan segala kepahitan yang dituntutkan oleh tanah air itu, rela menderitakan kesengsaraan yang dimintakan oleh Ibu Indonesia itu setiap waktu.”

Sepantasnya api semangat yang dikobarkan Soekarno juga menyalakan api semangat seluruh rakyat Jawa Barat kini, untuk bahu-membahu membangun kemandirian Ramadan bulan yang senantiasa melahirkan semangat dan keinginan kuat untuk melakukan kebaikan. Wajar jika di bulan yang penuh kemuliaan ini, kita berusaha melahirkan semangat dan keinginan kuat untuk membangun Jawa Barat adil dan sejahtera.

Dibutuhkan juga keyakinan kuat untuk mampu mewujudkan cita-cita Jawa Barat yang adil dan sejahtera. Tak hanya oleh segelintir orang, tetapi seluruh elemen masyarakat dan pemerintah di Jawa Barat. Ini akan melahirkan budaya kerja keras yang berdedikasi tinggi, sebagai prasyarat untuk mencapai kesejahteraan rakyat.

Memang, Jawa Barat adil sejahtera seolah mimpi di tengah keputusasaan. Namun, itu bukanlah mimpi yang tak dapat diraih. Pernahkah kita memerhatikan bumi Pasundan secara saksama? Ketika memerhatikan hingga pelosok satu hal terlintas, tidak layak seorang pun yang hidup dalam kemiskinan di tanah yang subur ini. Ataupun sulit memperoleh pekerjaan, layanan pendidikan, dan kesehatan.

Jika seluruh elemen masyarakat dan pemerintah Jawa Barat mampu mencapai berbagai syarat kebangkitan negeri, bukan tidak mungkin cita-cita Soekarno muda untuk kebangkitan negeri ini dimulai dari tatar Pasundan, semoga. Marhaban Ya Ramadhan.

Sumber : Ahmad Heryawan

Rachmat Naimulloh

Ingin artikel seperti diatas langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.




0 komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda disini