Prioritas Dalam Dakwah


Siapakah laki-laki itu, yang karenanya Nabi saw yang mulia mendapat teguran dari langit dan menyebabkan beliau sakit? Siapakah dia, yang karena peristiwanya Jibril al-Amin harus turun membisikkan wahyu Allah ke dalam hati Nabi yang mulia? Dia tidak lain adalah Abdullah bin Ummi Maktum, muadzin Rasulullah saw.

Abdullah Ummi Maktum, orang Mekah suku Quraisy. Dia mempunyai ikatan keluarga dengan Rasulullah saw, yakni anak Paman Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid ra Bapaknya Qais bin Zaid, dan ibunya Atikah binti Abdullah. Ibunya bergelar “Ummi Maktum”, karena anaknya, Abdullah, lahir dalam kedaan buta total.

Pada masa permulaan tersebut, Rasulullah saw sering mengadakan dialog dengan pemimpin-pemimpin Quraisy, seraya mengharap semoga mereka masuk Islam. Pada suatu hari beliau bertatap muka dengan ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, ‘Amr bin Hisyam alias Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf dan Walid bin Mughirah, ayah Saifullah Khalid bin Walid.

Rasulullah berunding dan bertukar pikiran dengan mereka tentang Islam. Beliau sangat ingin mereka menerima dakwah dan menghentikan penganiayaan terhadap para sahabat beliau. Sementara, beliau berunding dengan sungguh-sungguh, tiba-tiba Abdullah bin Ummi Maktum datang mengganggu minta dibacakan kepada ayat-ayat al-Qur’an. Kata Abdullah, “Ya Rasulullah, ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah diajarkan Allah kepada Anda!”

Rasulullah berpaling dari Abdullah, acuh terhadap interupsinya itu. Lalu beliau membelakangi Abdullah dan melanjutkan pembicaraan dengan para pemimpin Quraisy tersebut. Mudah-mudahan dengan Islamnya mereka, Islam bertambah kuat dan dakwah bertambah lancar. Selesai berbicara dengan mereka, Rasulullah saw bermaksud pulang. Tetapi, tiba-tiba penglihatan beliau menjadi gelap dan kepala beliau terasa sakit seperti kena pukul.

Kemudian, Allah mewahyukan firman-Nya kepada beliau, “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena seorang buta datang kepadanya. Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberikan manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal, tidak ada (celaan) atasmu kalau mereka tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang datang kepadamu dengan bergegas (untuk mendapatkan pengajaran), sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (begitu)! Sesungguhnya ajaran itu suatu peringatan. Maka siapa yang menghendaki, tentulah ia memperbaikinya. (Ajaran-ajaran itu) terdapat di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi (senantiasa) berbakti,” (Abasa: 1-6).

Sejak hari itu Rasulullah saw tidak lupa memberikan tempat yang mulia bagi Abdullah apabila dia datang. Beliau menyilakan duduk di tempat duduknya, beliau tanyakan keadaannya, dan beliau penuhi kebutuhannya. Tidaklah heran kalau beliau memuliakan Abdullah sedemikian rupa, bukankah teguran dari langit itu sangat keras!

Teguran keras ini juga berlaku untuk semua kaum Muslimin juru dakwah hingga kini. Dalam berdakwah kita harus mendahulukan obyek dakwah yang jelas. Bahwa sang mad’u (obyek dakwah) membutuhkan dakwah. Selain itu, Mendahulukan yang kontinyu —meski sedikit— daripada yg terputus.

Dakwah juga harus mengutamakan yang prinsip daripada yang furu. Seperti pohon, Jangan sibuk menghadapi daun dan ranting yang berserakan, sementara batangnya dihisap benalu kita biarkan. Meski kulit pohon kering kita harus mendahulukan menyiram akarnya daripada menyiram kulit pohon.

Selain itu, dakwah harus memberi prioritas kepada kepentingan jamaah daripada pribadi. Sama juga dengan mendahulukan kepentingan umum daripada pribadi. Kisah tentang Hasan al-Bana yang menanamkan nilai-nilai kesederhanaan, keikhlasan dan pengorbanan dalam keluarganya, sehingga istrinya dengan hati yang senang dan rela menyumbangkan banyak perabotan rumahnya untuk markas dakwah Ikhwanul Muslimin, bisa menjadi teladan.

Sehingga dengan ikhlas dan rela, anak-anaknya menjadi orang-orang yang paling dahulu sadar dan memperjuangkan kondisi umat Islam di Palestina dan Mesir, sehingga dengan lapang, sang istri menerima jawaban sang suami saat ia memintanya membeli sebuah rumah kecil ”Wahai Ummu Wafa, sesungguhnya istana kita sedang menunggu kita di surga-Nya….”. Alangkah indahnya, sehingga dengan ikhlas dan ridha, keluarganya melepas kepergian suami dan ayah mereka, dalam kesyahidan di jalan Allah.

Jangan lupa dakwah harus mendahulukan hal jangka panjang tapi prospek. Daripada jangka pendek tapi setelah itu lembek. Karena seorang dakwah harus memiliki agenda. Bukannya justru dia yang menjadi pita rekaman yang diputar ulang di setiap undangan.

Rachmat Naimulloh

Ingin artikel seperti diatas langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.




0 komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda disini