Mengelola Perasaan


Setiap manusia dikarunia perasaan oleh Allah Ta’ala, sebagai bagian dari nilai kelebihan dan pemuliaan kepada mereka, dibandingkan dengan makhluk lainnya. Perasaan tersebut maujud dalam bentuk berpasang-pasangan, dengan manifestasi yang seakan-akan berlawanan. Ada perasaan senang dan bahagia, ada pula sedih dan duka. Ada perasaan sayang dan cinta, namun ada pula benci dan muak. Ada perasaan aman dan tenteram, ada pula cemas dan kekhawatiran.

Salah satu faktor yang menyebabkan kebaikan dalam kehidupan adalah kemampuan kita untuk mengelola berbagai macam perasaan tersebut secara tepat. Tidak ada perasaan yang harus dibuang, sebab semua diperlukan dalam kehidupan. Yang menjadi masalah adalah, kapan dan dimana perasaan tersebut harus muncul. Jika perasaan hadir pada saat dan situasi yang tepat, maka akan menyebabkan kebaikan dalam kehidupan. Sebaliknya jika perasaan muncul pada momen dan suasana yang tidak tepat, akan menyebabkan ketidakbaikan dan kekacauan.

Sebagai contoh, pengelolaan kita atas perasaan aman dan khawatir. Jika perasaan aman terlalu dominan, akan menyebabkan manusia menjadi lalai dan tidak memiliki persiapan menghadapi hal yang tidak diinginkan. Namun jika perasaan khawatir yang terlalu dominan, akan menyebabkan menusia menjadi kehilangan nalar sehat dan tidak bisa melakukan aktivitas hidup secara normal.

Perhatikanlah bagaimana sebagian warga masyarakat Aceh yang tengah berlibur di pantai pada pagi nahas itu, Ahad 26 Desember 2004. Perasaan aman melingkupi mereka, sebagaimana hari-hari lainnya. Mereka akrab dengan wisata pantai, sebab selama ini tidak ada musibah dan tidak ada masalah dengan bermain-main ombak pantai. Semua tampak bergembira, bahkan tatkala air surut ke belakang sekian jauhnya, hingga ikan-ikan tampak menggelepar di atas pepasiran, mereka menjemput ikan-ikan tersebut.

Mereka tidak sadar bahwa surutnya ombak lautan dalam ukuran jarak yang tidak wajar, adalah bagian dari tanda-tanda hadirnya Tsunami. Begitulah ketika akhirnya gelombang Tsunami datang, tidak ada yang siap menghadapi mahamusibah tersebut. Masyarakat berlari ketakutan, berteriak meminta pertolongan, mereka digulung ombak besar, hingga akhirnya terseret jauh, masih dengan menyimpan keheranan bahkan ketidakpercayaan atas apa yang telah terjadi. Hampir bisa dipastikan lebih dari duaratus jiwa melayang, dalam waktu yang amat singkat.

Mari kita bandingkan dengan sebagian masyarakat Jogjakarta yang panik dan ketakutan, oleh karena tersebar berita bahwa antara tanggal 8 hingga 10 Februari 2005, mereka diminta mewaspadai peluang munculnya badai tropis dengan kecepatan tinggi, lebih dari 100 km/jam. Sebagian masyarakat pantai menghindari pergi ke laut untuk mencari ikan, karena khawatir terkena musibah di tengah lautan. Sebagian yang lainnya melakukan upaya ritual tolak bala dengan memasak sayur lodeh.

Kekhawatiran yang tidak dikelola, ternyata menimbulkan kerugian. Sebagian nelayan memilih berhenti melaut pada tanggal tersebut, sehingga akhirnya mereka tidak memiliki komiditi untuk dijual. Pada sisi lainnya, mereka terjebak dalam ritual tolak bala yang diyakini bisa menghindarkan diri dari marabahaya. Namun perasaan aman yang tidak dikelola secara tepat, juga telah membawa kelalaian yang merenggut ratusan ribu jiwa melayang.

Kita perlu memiliki perasaan aman, agar bisa berkegiatan secara normal dalam kehidupan sehari-hari, namun juga perlu memiliki kekhawatiran agar bisa senantiasa waspada menghadapi berbagai kemungkinan yang tidak diinginkan. Kedua perasaan ini perlu dikelola secara tepat dan proporsional, agar bisa membawa kebaikan dalam kehidupan bukan saja pribadi, namun juga bermasyarakat bahkan berbangsa dan bernegara.

Salah satu upaya untuk mengelola perasaan tersebut secara tepat dan proporsional adalah dengan tindakan nyata. Pemerintah berkewajiban melakukan sosialisasi secara ilmiah atas peluang munculnya bahaya, jika perlu disertai dengan simulasi tindakan penyelamatan dari musibah. Pemerintah juga berkewajiban memberikan informasi secara cepat, tepat dan akurat kepada masyarakat apabila bahaya diperkirakan telah hampir datang; sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kepanikan massal, akan tetapi memunculkan kewaspadaan nasional.

Dengan cara inilah perasaan tersebut bisa dikelola secara benar. Jika tidak, pemberian informasi mengenai kemungkinan bahaya, justru bisa memunculkan tindakan tidak ilmiah, bahkan bisa mengarahkan masyarakat kepada syirik, dengan usaha tolak bala yang tidak dikenal dalam ajaran agama. Semua harus proporsional.


Sumber : Cahyadi Takariawan

Rachmat Naimulloh

Ingin artikel seperti diatas langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.




0 komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda disini