Cinta Misi


Sang Khalifah termenung gundah. Sedih. Tampaknya belum ada tanda-tanda kalau kelaparan yang melanda kota Madinah akan segera berakhir. Puluhan orang meninggal sudah. Ditingkat teknis operasional rasanya semua upaya sudah dilakukan. Tapi masih adakah upaya lain yang mungkin ia lakukan?

Tidak jelas betul hubungannya. Tapi Sang Khalifah kemudian merasa kalau ia membutuhkan tekad lebih besar. Cinta pada rakyat harus diekspresikan lebih nyata. Perasaan itulah yang mengantarnya pada keputusan kecilnya: selama kelaparan ini masih berlangsung, Umar bin Khatab tidak akan membiarkan seorang pun dari anggota keluarganya untuk makan daging dan tidak boleh menggauli satu dari ketiga istrinya. Tidak ada korelasi teknis. Tapi sebagai pemimpin Umar telah menyatakan tanggung jawab dan kepeduliannya pada rakyatnya. Karena ia terlibat. Sangat terlibat.

Itu sebagian penampakan dari cinta misi. Ini sebuah keluhuran jiwa dan keyakinan yang kuat terhadap sebuah misi. Cinta pada sebuah misi mendorong kita mencintai semua orang dan pekerjaan yang ada disepanjang jalan menuju misi itu. Semua orang. Semua pekerjaan. Disini cinta bekerja seperti mesin kendaraan. Tidak penting betul siapa penumpangnya, dan jalan mana yang harus dilalui.

Keluhuran misi menguasai jiwa sang pencipta dan membuat perasaan pada orang yang kita cintai jadi beda. Kita tidak sedang mencintai sebuah “bentuk” disini. Yang kita cintai adalah “gerak” yang lahir dari bentuk itu: gerak dari “manusia” sebagai sebuah “entity” di alam raya. Karena itu beda warna adalah variasi yang indah. Beda karakter juga kekayaan hidup. Semua nicaya. Karena kita memerlukan untuk melukis misi diatas kanvas kehidupan kita.

Hubungan yang terbentuk dair cinta ini adalah penyatuan pada orbit pikiran. Perasaan kita bergerak mengitari orbit itu. Perasaan adalah fungsi pikiran. Ia lahir, bergerak dan meliuk seperti seorang penari mengikuti alur lagu. Orang yang kita cintai tidak harus memiliki perasaan yang sama. Para pecinta hanya berpikir bagaimana mencintai. Mereka tida terganggu jika kemudian mereka tidak dicintai. Sebab mereka tidak mencintai “orangnya”. Mereka mencintai “entity”-nya. Sebab entity itu merupakan fungsi pencapaian misi.

Cinta inilah yang ada dan harus ada misalnya dikalangan para duat, ulama, mujahidin, guru, pekerja sosial, pemimpin politik, seniman, wartawan dan lainnya. Karena cinta itu tertuju pada gerak, bukan bentuk, maka semua pekerjaan yang terkait sengan pencapaian misi, juga jadi niscaya.

Misalnya Kahalid bin Walid. Ia mencintai “jihad”. Ia bukannya menikmati “saat-sat membunuh orang”. Ia mencintai “pekerjaannya”. Karena itu niscaya untuk mencapai misi dakwah. Maka ia menikmati kesulitan-kesulitan di jalan itu. Lebih dari apapun juga. “Berada pada suatu malam yang dingin membeku, dalam sebuah pertempuran, lebih aku sukai daripada tidur barsama seorang gadis, dimalam pengantin,” katanya.


[Sebelumnya]


Rachmat Naimulloh

Ingin artikel seperti diatas langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.




0 komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda disini