Sikap Jiwa pada Teks


Teks memang sudah dimudahkan. Para pewaris nabi juga sudah menjelaskan dan menafsirkannya. Para pembaharu dibangkitkan dari waktu ke waktu untuk memperbaharui memori, pemahaman dan juga komitmen. Tapi persolan dengan teks tidak selesai hanya dengan itu semua.
Proses pembelajaran melalui teks bukan merupakan rangkaian perburuan pada makna-makna yang rumit. Seperti misalnya yang dilakukan para arkeolog ketika mereka menerjemahkan sebuah naskah kuno. Atau seperti pergumulan para filosof untuk menemukan makna dari sebuah rangkaian kata yang gelap. Ini bukan sekedar sebuah pergumulan intelektual.

Teks yang sudah dimudahkan ini adalah narasi dari sebuah sistem kehidupan. Ia adalah content dari ruang dan waktu manusia. Hanya ketika content itu diintegrasikan ke dalam kerangka ruang dan waktu di mana manusia menjadi pelaku maka sebuah wajah kehidupan akan muncul.ke permukaan. Jadi pergumulan dengan teks tidak boleh berhenti pada sekadar mengetahui makna, tapi harus berlanjut pada merasakan makna di dalam jiwa dan melalui tindakan. Dengan begitu pergumulan dengan teks seharusnya melalui tiga tapan itu: mengetahui, merasakan dan melakukan. Dua tahapan yang pertama, yaitu mengetahui dan merasakan, menghasilkan pengetahuan tentang kebenaran dari sebuah teks. Ia membuat kita sadar, lalu yakin, lalu tercerahkan. Tapi tapan yang ketiga, yaitu melakukan, menghasilkan pengalaman. Yang terakhir ini menyatukan teks dengan raga kita, dan bukan hanya dengan jiwa. Dari situ makna bukan hanya terpatri dalam jiwa, tapi bahkan mengalir dalam darah. Menyatu dengan teks dengan cara begitu akan membuat pengetahuan kita terkuatkan oleh pengalaman. Dan itulah fungsi dari pengalaman: membuat pengetahuan jadi solid.

Menyatu dengan teks adalah pencapaian tertinggi dari seluruh proses pembelajaran kita dengan teks. Tapi itu justru bisa dicapai ketika kita mendekati teks dengan cara sederhana: datanglah pada teks dengan pikiran dan jiwa yang kosong, lalu bertanyalah: apa yang harus saya lakukan dalam hidup? Maka jawaban kita pasti sama dengan jawaban Umar bin Khatab ketika beliau ditanya tentang mengapa baru di akhir hayatnya beliau menghafal Al-Qur’an. Katanya: ”karena baru sekarang saya melaksanakan semua isinya”.

Itu yang menginspirasi Sayyid Qutb ketika beliau menulis Fi Zhilalil Qur’an. Bahwa sikap jiwa kita pada teks memang seharusnya begitu: menerima untuk melaksanakan (at talaqqii lit tanfiidz).



Rachmat Naimulloh

Ingin artikel seperti diatas langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.




0 komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda disini