Mursyid 'Am Ketiga | Umar At Tilmisani [1]


Beliau diangkat menjadi Mursyid 'Am ketiga Ikhwanul Muslimin setelah ustadz Hasan Al-Hudaibi; mursyid kedua Ikhwanul Muslimin meninggal dunia.

Riwayat Hidup
Pada tanggal 4 bulan November tahun 1904, lahir di Jalan al-Husy depan Balghoriyah, desa ad-darb al-ahmar Kairo, seorang bayi yang bernama lengkap, “Umar Abdul Fattah Abdul Qadir Mustafa At-Tilmisany” dan julukan At-Tilmisani bukan berasal dari Mesir asli, karena kakek dari bapaknya berasal dari daerah Tilmisani Al-Jazair, datang ke kota Kairo dan bekerja sebagai pedagang, dan menjadi pembesar dari kumpulan orang-orang kaya.

Umar At-Tilmisani menikah pada umur yang sangat muda, yaitu pada usia delapan belas tahun dan masih menjadi pelajar di sekolah umum tingkat atas (SMU-red) dan beliau tidak menikah lagi setelah sampai Allah mewafatkannya pada bulan Agustus 1979, setelah Allah memberikan kepadanya empat orang anak: Abid, Abdul Fattah, dan dua orang putri.”

Dan ketika beliau berhasil menerima ijazah licence sebagai Sarjana Hukum, beliau bekerja sebagai pengacara, dan membuka kantor sendiri di daerah Syibin Al-Qanatir, dan pada tahun 1933 beliau bertemu dengan Ustadz “Hasan al-Banna” di rumahnya, yang mana ketika itu beliau tinggal di Jalan Abdullah Bek, gang Al-Yakniyah di distrik Al-khayamiyah, dan langsung berbai’at. Dan sejak saat itu beliau resmi menjadi anggota jamaah Ikhwanul Muslimin, dan menjadi orang pertama dari seorang pengacara yang mewakili Ikhwan untuk memberikan pembelaan atas anggota Ikhwan yang ditangkap di pengadilan Mesir.

Kepribadian Beliau
Beliau dikenal dengan pribadi yang teguh dan tsabat dalam kesehariannya, bahkan di dalam penjara pun beliau tetap tegar dan teguh karena kebenaran, tidak pernah luluh pendiriannya oleh karena teror atau ancaman, karena itu pula beliau melewati masa di penjara selama 20 tahun.

Beliau juga merupakan anggota Ikhwan yang paling sabar dan teguh pendirian, sekalipun sangat keras siksaan dan interaksi orang-orang zhalim terhadapnya namun lisannya tidak pernah luput dari berdzikir kepada Allah dan bahkan terus mengajak para Ikhwan untuk bersabar dan tsabat hingga akhirnya beliau keluar dari penjara pada tahun 1981, dan setelah itu beliau tetap menerima ujian dan cobaan namun beliau tetap dengan keteguhan, kesabaran dan tsabat.

Beliau pernah berkata: Saya sama sekali tidak takut pada siapapun dalam hidup ini kecuali kepada Allah, dan tidak ada yang bisa mencegah saya untuk lantang pada kebenaran yang saya yakin terhadapnya sekalipun berat dilakukan oleh orang lain, dan sekalipun saya harus menemui berbagai ujian dan cobaan, saya akan tetap mengungkapkannya dengan penuh ketenangan, hati-hati dan beretika, tidak menyakiti orang yang mendengarnya, tidak menyinggung perasaan, dan selalu menghindar dari ucapan dan ungkapan yang saya rasa tidak akan disukai oleh lawan bicara saya atau orang yang mendebat saya, sehingga dengan metode ini, saya mendapatkan ketenangan pada diri saya, sekalipun dengan metode ini saya mendapat banyak pertentangan dari pihak musuh.

Ustadz Umar At-Tilmisani sangat disenangi dan dikagumi oleh khalayak masyarakat Mesir, sebagaimana kalangan masyarakat Coptic’s juga menghormati beliau, bahkan para pejabat negara pun sungkan dan enggan dengan kepribadian beliau dan menyadari akan kharisma beliau.

Sebagaimana para Ikhwan juga memandang beliau sebagai teladan dan mereka berlomba-lomba ingin dapat talaqqi langsung dengan beliau, melaksanakan perintahnya. Hal tersebut terjadi karena dilandasi oleh rasa cinta karena Allah dalam menjalin hubungan antara dirinya dengan yang lain, bekerja untuk menerapkan syariat Allah dan mencari ridha Allah SWT.

Pelajaran-pelajaran, muhadharah-muhadharah, nasihat-nasihat dan taujihat-taujihat beliau selalu memberikan motivasi kepada umat khususnya para pemuda dan para tokoh, serta para ulama lainnya dalam mengemban amanah dan menunaikan tanggung jawab, sehingga mereka bangkit untuk mengikutinya, melaksanakan arahan-arahan dalam berbagai kondisi untuk mengembalikan Islam pada kekuatannya dan menjadi pemimpin dan penguasa di dunia.

Demikianlah seharusnya sikap para du’at di sepanjang zaman dan waktu, sebagaimana hal tersebut juga merupakan risalah yang dibawa oleh para nabi dan rasul, dan menjadi warisan bagi para ulama, aktivis, para du’at yang jujur, beriman dan ikhlas.


Rachmat Naimulloh

Ingin artikel seperti diatas langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.




0 komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda disini