Dengan penuh cinta,
Dalam surat terdahulu telah kuceritakan betapa kelakuan aneh bangsa yang tak henti-hentinya menguras energi mereka untuk suatu tujuan yang jelas, yaitu kehancuran diri dan masa depan mereka. Bahkan sengaja aku menggantikan kesedihanmu mendengar kisah-kisah sedih itu dengan kisah lain. Kini aku ingin berbagi tentang sebuah negeri yang mungkin sangat sukar keuceritakan keseluruhan pesona yang dikandungnya. Tetapi tak mengapa, sejauh pena ini mampu mengguratkannya, setidaknya ada jaminan ia tak memasukkan unsur duka ke dalam kehidupanmu yang damai, nyaman dan kasih sayang tak berkesudahan.
Sangat sukar menemukan di negeri Penjara ada orang berdagang tanpa dusta, berpolitik tanpa intrik, berbisnis tanpa culas, dan berkasih sayang tanpa birahi. Bahkan jabatan yang terkait dengan layanan ibadah telah begitu tercemar motivasi dunia dan praktik-praktik KKN yang memalukan.
Adapun negeri yang ingin kuceritakan ini, jauh sekali dari gambaran di atas. Orang-orangnya dengan berbagai disiplin ilmu dan profesi sangat mementingkan keikhlasan dan profesionalisme dalam bekerja. Kejernihan tauhid telah membuat mereka tak tergiur melakukan kerja apapun yang tak menjamin ridha Allah. Orientasi yang murni kepada Allah membuat mereka tak pernah mempertimbangkan keuntungan duniawi dalam beramal kecuali ada benturan yang tak bisa dikompromikan dan ada ruang dispensasi di sana sesuai dengan kelenturan syar’i. Semangat beramal dengan landasan keteladanan Rasul saw. telah membuat mereka jauh dari bid’ah sekecil apapun. Namun mereka begitu arif, sehingga mampu menimbang skala prioritas da’wah, dimana kejahilan yang begitu dominan di masyarakat mereka timbang sebagai prioritas utama untuk diatasi, sebelum suluk dan lain-lain. Sebab kejahilan hari ini begitu bergincu. Sebagian ummat merasa punya kitab suci, tetapi berkelakuan melebihi seorang atheis. Identitas apa yang dapat dilihat dari ummat yang penonton begitu memanjakan pelakon telanjang di depan kamera tanpa sisa rasa malu walaupun selembar rambut.
Tetapi pada komunitas negeri cahaya, akhlaq bukan saja indah, tetapi juga kokoh. Karena itu mereka memasukkan keberanian, ketegasan dan integritas diri sebagai bagian dari akhlaq mulia. Sementara yang lain tetap bersikukuh mentafsirkannya sebagai sopan santun semata-mata, padahal judul film-film remaja mereka sudah begitu tidak sopan. Pada Nabi Yusuf as.,kematangan pribadinya yang tumbuh di saat remaja, terbuktikan dengan kemampuannya menghadirkan nama Allah (Ma’adzallah, Qs. Yusuf : 23) dan bukan takut atau malu kepada manusia. Pada Nabi Musa as. kepekaan akan derita ummat yang diwujudkan dalam pembelaannya kepada sesama kaum tertindas, kesopanan, amanah, dan kekuatannya yang amat memesona (QS. 28 : 15, 26). Mereka bergaul dengan banyak komunitas, tetapi tetap utuh dalam ‘benteng’ negeri cahaya mereka. Bahkan ketika ketenangan negeri mereka diusik oleh kedzaliman dan kekerasan kaum pendengki, mereka tidak meributkan sel-sel atau bangsal-bangsal sempit yang tak menampung jumlah besar mereka.
pada tanggal 7 Desember 2009 pukul 07.29
Cerita2 nya bagus banget. Membuka wawasan kita, apalagi yang postingan sblum ini yang judul nya Tiga Pertanyaan?
Sungguh cara menjawab yang membikin saya jadi merinding...
Lam knal ya Kang.. Gimna sbgai slm knal kita, kita tukran link? Saya tunggu konfirmasinya
pada tanggal 7 Desember 2009 pukul 22.46
Merindukan negeri seperti itu