Pilar Jiwa Lentera Dakwah

Mengenang kepergian sang Murabbi, KH. Rahmat Abdullah, 14 Juni 2005

“Teguh adalah nafas rijalul haq (pejuang kebenaran) sepanjang zaman. Mereka tak hanyut di air, tak hangus di api, tak melayang di angin, tak goyah oleh tumpukan harta, kemilau tahta, dan rayuan wanita. Kiprah mereka hanya satu : tetap teguh dalam bergerak dan terus bergerak dalam keteguhan.” (Rahmat Abdullah)

Senin, 3 Agustus 2004, sekitar jam 09.00, HP-ku memanggil-manggil. Karena sibuk dengan berbagai barang yang masih berantakan, kudatangi panggilan itu dengan santai. Tapi ketika di layar HP tertulis namamu, aku mendadak sigap dan langsung menjawab panggilanmu dengan berbinar-binar. “Akh Deka, ana mau ke rumah antum sekarang,” katamu di ujung telepon. Deg, dadaku seperti tertimpa syurga, bukan main bahagianya. “Ya, ya, syukron ustadz, wa’alaikum salam,” jawabku agak gugup mengakhiri telepon.

Istriku juga terkejut dan sempat tidak percaya. Tapi setelah beberapa saat kemudian engkau datang, kami benar-benar hampir menangis, tangis bahagia. Dalam pelukanmu aku bertanya, “Susah gak cari alamatnya, Ustadz.” Kau menjawab dengan senyuman, “Angkotnya Cuma kelewat sedikit aja.” Naik angkot? Padahal, jarak dari rumahmu ke pinggir jalan raya sekitar 200 meteran, dan harus mencari-cari pula alamat rumah yang belum 24 jam kami tempati itu. “Ana kira bawa mobil,” kataku dalam kegembiraan yang meluap-luap.

Subhanallah, bagaimana kami tidak terharu. Aku tahu betul kesibukanmu yang luar biasa di dunia dakwah, politik, sosial, dan pendidikan, tapi engkau berusaha menyempatkan diri untuk menjenguk kami yang baru saja pindah rumah ke Pondok Gede ini. Engkau bahkan merebut pahala silaturahim dengan menjadi tetangga yang paling pertama menyambangi kami, padahal rumahmu sekitar satu kilometer dari kontrakan baruku, lain RT dan RW, dan merupakan tetangga jauh.

Selasa, 14 Juni 2005, ba’da Isya, HP-ku berbunyi. Teman satu halaqohku rupanya. “Akh Deka, tolong segera tabayyun, katanya Ustadz Rahmat meninggal,” ujarnya setengah menangis. Setelah tabayyun ke rumahmu, dan benar adanya berita ‘pedih’ itu, aku seperti tertimpa kiamat. Di ruang kantorku yang sepi itu dadaku bergemuruh dan menangis. Setelah mengirim berita duka via e-mail, buru-buru aku pulang.

Sampai di Lampu Merah Jatiwaringin. Ada ambulans yang meraung-raung dari belakangku. “Jangan-jangan...,” dugaku. Sejenak, mobil bertuliskan Tabungan Amanah Umat (TAMU) itu membelah antrian lampu merah. “Mobil itu pasti tengah membawamu dari Rumah Sakit Islam, Cempaka Putih,” pikirku. “Apalagi presiden PKS, Tifatul Sembiring, yang ikut mengawal jenazahmu di bangku depan.” Sambil menangis kukejar mobilmu dan kubuka jalan di depannya hingga ke komplek Islamic Center IQRO.

Di hadapan jenazah yang sangat-sangat tenang itu, tangisku seperti tidak mau berhenti. Sungguh indah kematianmu. Kesaksian yang kudengar penuh kebanggaan. Hari itu engkau mengikuti sidang, menjalankan tugas jamaah dan negara di Senayan. Kalau bukan karena ketaatan kepada syuro, engkau sudah sejak awal menghempaskan kursi Komisi III, DPR-RI 2004-2009 itu, “Ana tidak ingin di DPR lagi, Ustadz,” pintamu memelas kepada Ustadz Hilmi belum lama ini.

Kemudian engkau pamit ke Gedung Kindo untuk memimpin syuro Badan Penegak Disiplin Jamaah PKS, lembaga yang baru sepekan engkau terima amanah kepemimpinannya. Kau biarkan mobilmu dibawa oleh supir pribadimu untuk mengikuti halaqoh rutinnya, dan kau cukup naik kendaraan umum.

Sama sekali tidak tampak tanda-tanda engkau sedang sakit. Hingga saat berwudhu untuk shalat Maghrib, engkau limbung. “Apakah ada gempa,” tanyamu. Kemudian kau dipapah, tapi tak mau dibaringkan. “Ana kuat, ana kuat,” katamu waktu itu. Betapa semangat hidupmu begitu membara. Menurut dr. Agus Kushartono dari Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) yang memeriksamu, engkau terkena stroke sehingga dilarikan ke Rumah Sakit Islam. Di perjalanan itulah engkau pergi dengan sangat tenang.

Malam itu langit gerimis, seolah menangisi kepergianmu. Ratusan pelayat dari Jabodetabek berduyun-duyun datang hingga dini hari. Tidak sedikit juga yang datang dari luar provinsi. Beberapa tokoh penting PKS memaksa pulang dari luar negeri hari itu juga. Kami semua kehilangan seorang guru sejati, murabbi hakiki, ayah yang mengayomi, pimpinan yang pemurah, tapi juga jundi (prajurit) yang taat.

Esoknya gelombang pelayat semakin memadati komplek IQRO. Ribuan orang menangis ketika dibacakan memoarmu bersamaan dengan menangis kerasnya langit yang sejak pagi memang telah mendung. Orang-orang yang mencintaimu itu semakin menangis dan bertakbir ketika berandamu mulai diberangkatkan. Hujan air dari redupnya langit dan dari ribuan pasang mata yang berkabung berlomba-lomba mengguyur bumi, tempat beristirahatmu terakhir.

Kamis, 3 Juli 2008 nanti, semestinya engkau akan genap berusia 55 tahun. Karya-karya yang telah kau torehkan sejak tahun 1953 itu adalah kekuatan bagi umat ini untuk bangkit dan bergerak. Tapi semua itu bukan lahir tanpa perjuangan. Engkau lahir dari keluarga betawi yang taat sebagai putra kedua dari empat bersaudara.

Sejak kecil, ruh berislam dan menuntut ilmu yang ditanamkan ayahmu begitu kental. Namun di usia 11 tahun kau menjadi yatim. Beruntung di masa-masa emas itu asuhan beralih ke tangan ulama kharismatik KH. Abdullah Syafi’i dari Perguruan Asy-Syafi’iyah, Jakarta. Karena kecerdasan dan hobimu ‘melahap’ berbagai kitab, engkau segera menjadi murid kesayangan Sang Kyai dan menjadi pengajar di perguruan itu dalam usia muda.

Sebagai dai sejati, engkau biasa menghabiskan waktu, tenaga serta pikiran untuk berbagai kegiatan dakwah. Siang dan malam kau lalui dari satu pengajian demi pengajian tanpa mengenal lelah dan keluh kesah. Kau menjadi tempat berkonsulatasi, berbagi rasa, curahan hati bagi siapa saja, melayani umat seperti tanpa batas. Sebagai seorang mubaligh, kau pun dikenal hebat dalam menyentuh hati. Kemampuan retorika yang dalam dihiasi oleh sentuhan sastra yang menjadi spesialisasimu, acap kali membuat para pendengarmu menangis. Tapi kau juga membangkitkan semangat ketika mengangkat isu jihad.

Tidak hanya di mimbar, kau juga aktif mengisi ceramah di radio dan televisi, antara lain dalam rubrik rutin “Titik Pandang Rahmat Abdullah” di Radio Dakta, Bekasi. Di radio ini pula kau menggagas rubrik Sakinah, Mawaddah, Rahmah (SAMARA). Dan sebagai seorang penulis, kau aktif menulis buku dan mengisi rubrik di beberapa majalah Islam, seperti majalah Tarbawi, Sabili, Saksi, Ummi, dan Suara Hidayatullah.

Awal tahun 90 engkau mendirikan ISLAMIC CENTER IQRO yang bergerak dalam bidang pendidikan, sosial, dan dakwah di wilayah Bekasi, Jawa Barat. Disinilah engkau menetap untuk mengembangkan cita-citamu mencetak kader-kader dakwah, baik melalui pendidikan formal dari dasar sampai tinggi, maupun informal melalui kursus tahsin Al-Qur’an dan kajian kitab-kitab klasik setiap Ahad pagi.

Ustadz, sesungguhnya engkau tak hanya meninggalkan istri tercintamu Ibunda Sumarni, dan ketujuh mutiaramu yang kini menjadi yatim. Ada banyak hal yang kau wariskan untuk kami. Kau mewariskan Yayasan IQRO dan PK Sejahtera dengan barisan kokoh kader-kader berkualitasnya, prestasi-prestasi hebatnya, serta kontribusi tulusnya untuk umat,masyarakat, dan bangsa.

Pas betul ayahmu menamaimu dengan ‘Rahmat’, karena kau juga mewriskan teladan kasih sayang yang sulit tertandingi. Itulah yang masih tertancap kokoh dalam diri Dr. Mardani Ali Sera, murid dan tetanggamu. Suatu ketika anaknya sakit parah dan harus segera ke rumah sakit. “Entah tahu dari mana, tiba-tiba beliau meminjamkan mobilnya dan memberikan uang dalam jumlah yang sangat besar. Saya langsung nangis saat itu,” kenang doktor lulusan Malaysia ini.

Itu pula yang masih tertanam kuat dalam hidupku, yakni ketika engkau selalu menjawab setiap SMS-ku dengan bahasa dan do’a yang sangat simpatik. Ketika kuminta kau dishooting untuk film Autis Dhuafa dan Aceh, kaupun segera meluluskannya. Begitu pula ketika kuundang untuk menyemangati orang tua dan anak autis dhuafa di yayasan kami, kau langsung memenuhinya hari itu juga. Bahkan kau bercanda akrab dan berfoto bersama mereka. Aku juga ingat sekali, ketika putri pertamaku, Azya, takluk di pangkuanmu setelah dengan lembut kau mengatakan, “kesini, kita kan teman ya.”

Atau ketika di tahun 2002, kau berikan kepadaku honormu menulis ketika aku tengah bingung dengan kondisi rumahku di Gunung Putri, Bogor, yang bocor sangat parah. “Kata Ustadz Rahmat, antum lebih biutuh ini,” ujar Bang Zaini sahabat sekantorku di Majalah Suara Hidayatullah yang mengembalikan amplop berisi uang honor dari majalah tersebut. Sejak itu, setiap kali hujan besar, kami sekeluarga selalu mengenang kemurahan hatimu pada atap kami yang tak lagi bocor. Karenanya, Rabu itu, 15 Juni, hujan besar yang menangisi kepergianmu pun membuatku semakin menangis.

Tapi warisan yang terpenting, seperti taujih terakhir Ketua Majelis Syuro PKS, Ustadz. Hlmi Aminuddin, di depan pusaramu, adalah engkau telah meniupkan ke dalam jiwa kami ruh jihad dan dakwah, ruh berkorban, ruh ketaatan ibadah dan berjamaah, ruh tholabul ‘ilmi, ruh keikhlasan dan kesabaran, serta ruh kemurahan hati dan kesederhanaan. Engkau pergi, dan bersama itu tiba-tiba seluruh warisan tersebut memenuhi dada kami semua. Kepergianmu adalah bayaran mahal atas semua warisan yang amat berharga itu.

Belum setahun aku menjadi tetanggamu, tapi engkau sudah seperti seumur hidup menjadi bagian kehidupanku, menjadi guru dan ayahku, serta para da’i mujahid. Sungguh, jiwamu yang teramat kaya itu terus berpijar mencahayai jalan dakwah yang panjang ini.

Sumber : Majalah Tarbawi
Penulis : Deka Kurniawan



Rachmat Naimulloh

Ingin artikel seperti diatas langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.




2 komentar

  1. Anonim mengatakan.... [Jawab]
    pada tanggal 30 September 2009 pukul 19.30

    Sang Murabbi itu telah pergi, tapi dakwah yang ia tanam kini telah bersemai

  2. arkian mengatakan.... [Jawab]
    pada tanggal 27 Januari 2012 pukul 00.25

    ah. pribadi yg sangat menarik. syng tdk sempat bertemu. trims sharing-nya :)

Silahkan tinggalkan komentar Anda disini