Belajar Demokrasi


Suatu masa di sebuah negeri hadir sekelompok politikus yang berjuang secara sungguh-sungguh mewakili aspirasi rakyatnya. Perseteruan argumentasi secara sengit tak terhindarkan, meskipun semua itu tetap dilakukan dengan tutur kata yang sopan. Perbedaan pendapat tersebut lahir sebagai sebuah konsekuensi dari perbedaan latar belakang ideologi dan partai politik di antara mereka. Akan tetapi, perang kata hanya terjadi di ruang persidangan pada saat mereka bekerja untuk menemukan titik kompromi bagi rumusan besar yang akan menentukan masa depan kehidupan rakyatnya. Namun, kehangatan suasana segera menghampiri di sela-sela waktu istirahat. Bahkan suasana akrab, saling mengunjungi, tolong-menolong, dan percakapan hangat sambil menikmati secangkir kopi merupakan ciri dari interaksi antarmereka di luar persidangan.


Kisah itu bukan sebuah cerita dari negeri dongeng, melainkan fakta sejarah yang menghiasi perjalanan demokrasi bangsa Indonesia. Begitulah tokoh bangsa seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Kiai Isa Ansari, I.J. Kasimo, Oei Tjoe Tat, dan J. Leimena, mempertunjukkan kepada kita tentang cara berdemokrasi. Fakta sejarah tersebut memperlihatkan sikap kenegarawanan dan kedewasaan para pendiri bangsa dalam berdemokrasi. Tidaklah mengherankan jika tokoh-tokoh seperti mereka diberikan kehormatan mengisi lembaran emas sejarah perjalanan bangsa Indonesia.

Tentu masih segar dalam ingatan sejarah, bahwa Mohammad Natsir pernah berpolemik secara berkepanjangan dengan Soekarno di sekitar 1930-an. Namun, dia tampil sebagai pembela Soekarno di majalah Pembela Islam yang dikelolanya ketika Soekarno diadili pemerintah Belanda sebelum dibuang ke Ende. Salah seorang tokoh yang pernah menjadi Ketua Masyumi, Prawoto Mangkusaswito, memiliki hubungan yang begitu akrab dengan I.J. Kasimo yang merupakan tokoh Partai Katolik. Bahkan Kasimo pernah menghadiahkan sebuah rumah kepada Prawoto.

Para tokoh pendahulu tersebut mampu menempatkan diri dengan baik. Mereka sangat mengerti, kapan waktunya harus berbeda pendapat secara sengit dan kapan mereka harus menggugurkan kewajibannya sebagai manusia dengan berbuat baik kepada orang lain. Mereka pun mengerti kapan mereka harus mengenyampingkan perbedaan yang ada, untuk kemudian menyatukan kekuatan menghadapi penjajah.


Semangat nasionalisme yang telah lama bersemayam di lubuk sanubari para pendiri bangsa merupakan faktor yang mampu mendorong mereka untuk dapat berdemokrasi secara santun. Terlepas dari perbedaan ideologi yang ada, mereka memiliki kesamaan, yaitu semangat berkhidmat kepada negara dan bangsa. Gelora kerinduan untuk melihat rakyat Indonesia hidup dalam gelimang kesejahteraan, membuat mereka mampu menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.

Salah satu warisan penting dari para pendiri bangsa adalah tentang bagaimana membuat politik menjadi hidup dan menghindarkan diri mencari kehidupan dari politik. Sesungguhnya belajar tentang cara berdemokrasi secara santun, bagi bangsa Indonesia, tidaklah perlu harus pergi jauh menyeberangi samudra menuju Eropa dan Amerika. "Belajar sajalah kepada masa demokrasi pada 1950-an," demikianlah seorang indonesianis terkemuka, Daniel Lev, pernah berujar.

Lalu bagaimanakah wajah demokrasi bangsa Indonesia saat ini? Tingkah pola para elite politik dalam menghadapi Pemilu 2009 merupakan potret yang sesungguhnya tentang kualitas demokrasi bangsa Indonesia. Jika saja kita mau jujur tentang perilaku para politisi dalam berdemokrasi, maka kita akan tertunduk malu. Kedewasaan elite politik saat ini ternyata tidak mampu menandingi kearifan berdemokrasi para pendahulunya.

Berbagai situasi memprihatinkan terkait pelaksanaan Pemilu 2009 masih menghiasi pemberitaan media, seperti isu manipulasi DPT, masih banyak terjadi pelanggaran kampanye, pendekatan politik uang, keributan sesama pendukung saat kampanye akibat persoalan-persoalan sepele, kecenderungan untuk saling menjatuhkan antarsesama peserta pemilihan dan konflik internal partai. Seharusnya berbagai situasi yang menciderai kualitas demokrasi di Indonesia tersebut, dapat dihindari jika kita mampu memperbaharui pemaknaan terhadap Pemilu.

Pemilu sering kali sekadar dimaknai sebagai sebuah pesta demokrasi. Padahal pemilu bukanlah sebuah pesta karena pesta terlalu dekat dengan kesan hura-hura dan suasana gegap gempita sehingga terasa kurang berempati terhadap penderitaan yang masih banyak dialami oleh berjuta-juta rakyat Indonesia.

Pemilu juga sering diartikan sebagai ranah pertarungan. Padahal pemilu bukanlah area perseteruan karena yang saling berhadapan adalah kawan-kawan sebangsa dan setanah air. Sehingga tidaklah pantas jika peserta pemilu beserta pendukungnya memperlakukan pesaing bagaikan menghadapi musuh secara membabi-buta. Sesungguhnya kita perlu berhenti pada sebuah pertanyaan, untuk kepentingan apakah kita menjadi peserta atau pendukung salah satu peserta pemilu? Jika jawabannya adalah untuk kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia, kita perlu menghadapi pertanyaan selanjutnya. Mengapa kita tega berbuat kasar, berbuat curang, dan memusuhi para pesaing, padahal mereka merupakan orang-orang yang juga sedang kita perjuangkan nasibnya?

Pemilu bagi sebagian peserta, sering kali dimaknai sebagai jalan menuju kesejahteraan pribadi, keluarga, dan kelompoknya saja. Upaya dalam memuluskan jalan mereka menuju kursi kekuasaan dianggap sebagai investasi meraih keuntungan materi lebih besar. Ranah politik bagi sebagian orang dimaknai sebagai jalan pintas menjadi kaya. Sering kali mereka terpaksa menghalalkan berbagai cara demi melancarkan jalan menuju pintu kekayaan tersebut.

Sementara itu, sebagian rakyat memaknai pemilu sebagai kontes umbar janji. Sebagian rakyat merasa bahwa berkali-kali pemilu dilangsungkan, namun nuansa perubahan dalam kehidupan ekonomi tetap saja enggan menghampiri. Tetap saja kesejahteraan merupakan situasi langka dalam kehidupan mereka. Bagi mereka, para elite politik hanya menghampiri jika sedang memiliki keperluan politik. Sebagian rakyat merasa politisi bagaikan sekelompok orang narsis yang tidak bisa memahami lingkungan sekitar karena terlalu asyik dengan dirinya.

Beberapa pemaknaan pemilu tersebut merupakan manifestasi dari menipisnya semangat nasionalisme dalam keseharian bangsa Indonesia. Pendekatan negatif dalam memaknai pemilu merupakan buah dari pohon yang tidak dipupuk oleh keinginan untuk menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan kelompok.

Jika saja pemilu berada di tangan orang-orang yang memiliki semangat rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara, tentunya pemaknaan atas pemilu akan mengalami pembaharuan. Bangsa Indonesia telah merindukan lahirnya pemilu yang dimaknai sebagai ranah berkompetisi dalam mewujudkan Indonesia sejahtera. Semangat nasionalisme dan ukhuwah (persaudaraan) akan menghadirkan pemilu sebagai suatu sarana untuk menemukan metodologi terbaik dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Pemilu akan menjelma menjadi sebuah galeri tentang berbagai program dan kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Semangat nasionalisme akan menghindarkan para peserta pemilu dari upaya untuk saling menjatuhkan dengan menggunakan isu-isu yang tidak memiliki subtansi atau mengandung unsur-unsur kebohongan.

Ternyata kita memang masih harus merasa malu kepada para pendiri bangsa yang telah mengorbankan hidupnya demi tegaknya Republik Indonesia.


Sumber : Ahmad Heryawan


Rachmat Naimulloh

Ingin artikel seperti diatas langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.




2 komentar

  1. Kang Dedy mengatakan.... [Jawab]
    pada tanggal 15 September 2009 pukul 04.49

    Pemilu kayanya memang ajang ajang adu gengsi, adu pamer kekayaan tujuan akhirnya juga kebanyakan adu meraih kekayaan. x(

  2. neilhoja mengatakan.... [Jawab]
    pada tanggal 16 September 2009 pukul 23.21

    aku jg pernah nulis soal demokrasi dan islam di indonesia..

    kalo sekiranya pengen baca, mampir aja di blogku:
    wwww.neilhoja.com/2009/07/simalakama-demokrasi-indonesia.html

Silahkan tinggalkan komentar Anda disini