Di antara berbagai corak manusia, orang-orang yang beriman (mukmin) mendapatkan posisi mulia di hadapan Allah. Akan tetapi, sama-sama beriman, masih ada faktor pembeda dalam hal kedekatan dan kecintaan Allah kepada mereka. Ada sebagian mukmin yang dinilai lebih baik dan lebih dicintai di hadapan Allah, dibandingkan dengan mukmin lainnya. Faktor pembeda itu adalah kekuatan.
Nabi saw mengungkapkan, “Orang-orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai di sisi Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada keduanya terdepat kebaikan” (H.R Muslim).
Allah menghendaki kita menjadi kuat, bukan menjadi lemah. Bukan hanya kuat secara fisik, namun kuat dalam berbagai aspek, baik spiritual, moral, intelektual, amal, dan finansial. Bukan hanya kekuatan dalam kualitas pribadi, namun juga kuat secara kolektif, seperti kekuatan jaringan, kekuatan organisasi, kekuatan politik, dan berbagai kekuatan lainnya yang bisa dipersiapkan untuk mencapai kemenangan.
Kadang kita jumpai orang-orang yang memiliki fisik sehat dan kuat, namun rapuh kejiwaannya. Mereka mudah kecewa dan putus asa, mudah menyerah dalam berusaha, mudah lemah dalam mencapai cita. Tipe manusia seperti ini cenderung pasif dalam kehidupan, tidak berani menghadapi resiko dan tantangan, hidup mereka sebatas angan-angan. Mereka termasuk orang-orang yang lemah, dan akan mudah kalah.
Kadang kita jumpai pula orang-orang yang kuat secara fisik, namun lemah secara intelektual. Mereka tidak mengembangkan tradisi ilmiah yang sesungguhnya merupakan watak dasar Islam. Akal dan pemikiran mereka tidak dibiasakan berada dalam kondisi hidup dan dipenuhi khazanah ilmu. Belajar hanyalah kegiatan formal di bangku sekolah, setelah tamat mereka membiarkan pemikiran membeku tanpa penambahan wawasan dan pengetahuan.
Sebaliknya, ada pula sebagian manusia yang sangat mengagungkan intelektualitas dan rasionalitas, akan tetapi lemah dalam sisi spiritual. Pengembaraan intelektual mereka berjalan tanpa batas akhir, akan tetapi sangat mudah meninggalkan ibadah ritual. Dalam berdiskusi tentang ilmu keislaman, mereka betah berjam-jam, namun tidak betah menunaikan shalat yang hanya beberapa menit. Tentu saja kondisi ini menyebabkan ketidakseimbangan.
Tatkala kekuatan dijadikan sebagai faktor pembeda antara mukmin yang satu dengan mukmin lainnya di hadapan Allah, yang dimaksud tentu saja bukan hanya kekuatan fisik. Kekuatan adalah simbol kemuliaan dan kewibawaan. Tiada wibawa bagi mereka yang penuh kelemahan. Untuk itulah, berbagai jenis kekuatan harus dimiliki oleh kaum muslimin baik secara individual maupun secara kolektif, agar tercipta kemuliaan dan kewibawaan umat Islam di tengah percaturan dunia.
Modal bagi kuat dan kokohnya umat dan bangsa adalah pada kekuatan individu. Apabila sebuah bangsa terdiri dari pribadi-pribadi yang kuat secara spiritual, moral, intelektual, finansial, maupun fisik, maka akan menjadi kuat pula bangsa tersebut. Sebaliknya jika sebuah bangsa berisi pribadi yang lemah, yang terlahir hanyalah bangsa yang tak mampu menyelesaikan permasalahannya sendiri.
Maka, jadilah kuat, karena Islam tidak menghendaki kita menjadi lemah!
Kalau kamu lelah, cobalah tilawah.
Kalau kamu resah, segeralah tilawah.
Kalau kamu gelisah, hilangkan dengan tilawah.
Kalau kamu susah, mulailah tilawah.
Kalau kamu gundah, jangan lupa tilawah.
Kalau badanmu lemah, kuatkan dengan tilawah.
Kalau imanmu tergugah, lakukan tilawah.
Kalau jiwamu gerah, perbanyak tilawah.
Kalau matamu basah, segera tilawah.
Kalau pikiranmu cerah, cepatlah tilawah.
Kalau hatimu patah, teruslah tilawah.
Kalau kamu marah, redakan dengan tilawah.
Kalau kamu merasa gagah, jangan lupakan tilawah.
Kalau kamu kalah, harus banyak tilawah.
Kalau kamu tidak mau kalah, harus makin banyak tilawah.
Kalau kamu tabah, seringlah tilawah.
Kalau tanganmu tengadah, mulailah tilawah.
Kalau kakimu melangkah, lantunkan tilawah.
Kalau hatimu berseri bak bunga merekah, seringlah tilawah.
Kalau perasaanmu begitu indah, segeralah tilawah.
Kalau ingin keluarga sakinah, ajak mereka tilawah.
Kalau ingin anak-anak salih dan salihah, ajari tilawah.
Kalau ingin rejeki melimpah, rajinlah tilawah.
Kalau ingin hidup penuh berkah, rutinkan tilawah.
Kalau ingin mengunjungi Ka’bah, lantunkan tilawah.
Kalau anganmu tengah membuncah, perbanyak tilawah.
Kalau kamu malas tilawah, paksalah untuk tilawah.
Kalau kamu rajin tilawah, lanjutkan terus tilawah.
Kalau kamu tilawah, itulah jalan menuju jannah.
Sumber : Cahyadi Takariawan
1. Belum Bekerja
Inilah masalah klasik seputar menikah, terutama bagi pihak pemuda. Ketika sudah merasa cocok dengan seorang muslimah, dan jika ditunda-tunda bisa berakibat buruk, ternyata si Pemuda belum punya pekerjaan untuk menghidupi keluarga kelak. "mau dikasih makan apa anak dan istri kamu, dikasih cinta doang ?!?" Begitulah perkataan sinis yang senantiasa terngiang-ngiang ditelinganya.
Seorang laki-laki memang merupakan tulang punggung dalam sebuah keluarga. Menghidupi seluruh anggota keluarga adalah tangging jawabnya. Rasulullah bersabda, yang artinya, "Bertaqwalah kepada Allahdalam memperlakukan wanita. Sebab kamu mengambilnya dengan amanat allah dan farjinya menjadi halal bagi kamu dengan kalimat Allah. (Menjadi) kewajiban kamu untuk memberi rizki dan pakaiannya dengan cara yang baik." (HR.Muslim)
Dengan demikian, penghasilan dalam suatu keluarga memang diperlukan. Namun sebenarnya, tidak berarti belum kerja kemudian tidak boleh menikah. Allah SWT berfirman, yang artinya, "Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian (belum menikah) diantara kamu, dan orang-orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahayamuyang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Q.S An-Nur : 32)
Penghasilan bisa dicari setelah menikah. Yang pertama kali harus dilakukan adalah percaya dan yakin akan janji Allah pada firman-Nya di atas. Tak sedikit pemuda yang susah mencari kerja sebelum menikah, tapi setelah menikah ternyata banyak tawaran kerja dan peluang kerja.
Sebagai persiapan sebelum menikah, kesungguhan dalam menuntut ilmu dunia agar kelak mudah mendapatkan penghidupan yang baik pula untuk dilakukan. Walaupun tak selamanya relevan, kuliah yang baik dan dan prestasi yang bagus masih merupakan suatu modal yang dapat diandalkan dalam mencari kerja. Bagaimana kalau kuliah sudah terlanjur tidak karuan ? Jika sudah begini perlu juga pegang prinsip bahwa pekerjaan kelak tidak harus sesuai dengan bidang yang dipelajari saat ini. Banyak yang dapat rejeki lumayan dari bekerja dalam suatu bidang yang dulu tidak pernal dipelajari dalam jenjang pendidikan formal.
Persiapan lain yang bisa dilakukan adalah kuliah sambil kerja. Sembari menabung, juga bisa untuk jaga-jaga apabila ketika lulus nanti tidak langsung diterima bekerja sesuai bidang yang dipelajari.
2. Belum Lulus
Berbeda dengan yang pertama, masalah yang satu ini bisa menjadi penghalang bagi pihak pemuda dan pemudi. Mungkin seseorang sudah bekerja atau sudah punya prinsip untuk mencari kerja setelah menikah namun ia ragu untuk menikah gara-gara belumlulus kuliah. Bisa jadi pula yang punya alasan seperti ini sang pemudi pujaan hatinya. Bayangan kuliah sambil menikah baginya tampak menyeramkan. Kuliah sambil mengurus diri sendiri saja sudah repot apalagi jika harus ditambah tanggung jawab mengurus orang lain. Ditambah kalau si buah hati sudah lahir dan belum juga lulus kuliah, tampaknya akan tambah repot.
Sebenarnya, menikah tidaklah selalu mengganggu kuliah. Malahan hadirnya pendamping hidup baru bisa menambah semangat utuk belajar. Bisa jadi, sebelum menikah malas-malasan belajarnya, ketika sudah menikah malah tambah semangat dan tambah rajin untuk belajar. Tidak sedikit yang mengalami perubahan demikian, apalagi secara peraturan akademik seorang mahasiswa sudah diperbolehkan untuk menikah. Seorang mahasiswa sudah tidak dianggap ABG (Anak Baru Gede) lagi, tapi AUG (Anak Udah Gede) alias sudah dewasa. Seorang yang sudah dewasa dianggap sudah bisa bertanggung jawab apa yang menjadi pilihan hidupnya.
Memang benar untuk tetap mengadakan persiapan jika mengambil jalan menikah di saat masih kuliah. Yang pertama harus disadari adalah bahwa hidup berkeluarga adalah berbeda dengan hidup sendirian. Tidak pantas jika orang yang sudah menikah tetap bebas, lepas, menelantarkan keluarganya sebagaimana dulu bisa ia lakukan ketika masih lajang. Orang yang menikah sambil kuliah juga harus pandai-pandai mengatur waktu antara tanggung jawabnya dalam keluarga dan dalam belajar. Selain waktu, manajemen pemikiran juga solid, karena begitu menikah masalah-masalah dulu yang belum ada mendadak bermunculan secara serentak. Bagaimana memahami pasangan hidup baru, bagaimana jika hamil dan melahirkan, bagaimana mendidik anak, bagaimana mencari rumah -nebeng mertua atau cari kontrakan-, bagaimana bersikap kepada mertua, tetangga dan lain-lain, apalagi masih harus memikirkan pelajaran.
Pusing....? Semoga tidak. Sebenarnya menikah sambil kuliah bisa disiapkan sejak hari ini, bahkan juga sudah sejak SD. Modal awalnya adalah manajemen diri sendiri. Ketika seorang sudah sejak dahulu berlatih untuk hidup mandiri, akan mudah baginya untuk hidup berkeluarga. Misalnya saja sudah sejak SD bisa mencuci pakaian dan piring sendiri, mengatur waktu belajar, berorganisasi, dan bermain, mengatur keuangan sendiri, dan sebagainya. Kesiapan juga bisa diraih jika seseorang biasa menghadapi dan memecahkan problem hidupnya. Karena itu perlu organisasi dan bersaudara dengan orang lain, saling mengenal, memahami orang lain dan membantu kesulitannya.
3. Belum Cocok
Mungkin pula sudah lulus, sudah kerja, sudah berusaha cari calon pasangan tapi merasa belum menemukan pasangan yang cocok, sehingga belum jadi menikah pula, padahal sudah hampir tidak tahan ! Ini juga merupakan masalah yang bisa datang dari kedua belah pihak, baik pihak pemuda maupun pemudi. Kecocokan memang diperlukan. yang jadi ertimbangan dasar dan awal tetntu saja faktor agama, yaitu aqidah dan akhlaknya. Allah berfirman, yang artinya :
"Mereka (perrempuan-perempuan mukmin) tidak halal bagi laki-laki kafir. Dan laki-laki kafir pun tidak halal bagi mereka." (Al-Mumtahanah : 10)
Rasulullah juga bersabda, "Wanita itu dinikahi karena 4 hal : karena kecantikannya, karena keturunannya, karena kekayaannya, dan karena agamanya. Menangkanlah dengan memilih agamanya maka taribat yadaaka (kembali kepada fitrah atau beruntung)." (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain)
Keadaan yang lain adalah nomor dua setelah pertimbangan agama. Namun kebanyakan di sinilah ketidakcocokannya. Sudah dapat yang agamanya bagus tapi kok nggak cocok pekerjaannya, nggak cocok latar belakang pendidikannya, nggak cocok hobinya, warna matanya kok begitu, pakai kacamata, kok hidungnya...dan lain-lain.
Kalau mau mencari kekurangan tiap orang pasti punya kekurangan karena tidak ada manusia yang diciptakan secara sempurna. Sudah cantik, kaya, keturunan bangsawan, pandai, rajin, keibuan, penyayang, tidak pernah berbuat salah.
Ketika seorang pemuda atau pemudi sudah mau menikah, memang seharusnya cari tahu dulu tentang calon pasangan hidupnya ke sahabatnya, saudaranya atau ustadznya, atau yang lainnya, baik kelebihan maupu kekurangannya. Jika sudah tahu, tanyakan pada diri sendiri, apakah bisa menerima dan memaklumi kekurangan serta kelebihan si dia. Rasulullah bersabda, yang artinya,
"Janganlah seorang mukmin laki-laki membenci mukmin perempuan. Bila dia membencinya dari satu sisi, tapi akan menyayang dari sisi lain." (HR.Muslim)
Jadi, jangan hanya melihat kekurangannya saja, tapi juga perlu melihat kelebihannya. Ketika kekurangan sudah bisa diterima, kelebihan akan lebih bisa menimbulkan perasaan suka. Karea itu, jangan sampai sulit nikah karena dibikin sendiri.
4. Belum Mantap
Masalah satu ini juga bisa terjadi pada tiap orang pihak pemuda, pihak pemudi, baik yang sudah kerja atau yang belum, baik sudah lulus atau belum. Pertama kali, perlu diselidiki belum mantapnya itu karena apa, karena tak sedikit yang beralasan belum mantap, ketika ditelusuri larinya juga menuju ketiga masalah 'belum' di atas.
Namun ada juga yang belum mantap karena memang merasa persiapan dirinya kurang baik ilmu tentang pernikahan, keluarga, dan pernik-pernik di sekitarnya. Orang seperti ini malah tidak memusingkan masalah ketiga 'belum' di atas, karena memang dia merasa belum siap dan belum mampu.
Solusinya tidak lain adalah mementapkan dan mempersiapkan diri. Hal ini bisa ditempuh lewat menuntut ilmu tentang pernikahan, dan keluarga, baik dengan menghadiri pengajian, yang membahas masalah tersebut atau dengan membaca buku-buku mengenainya. Penting pula untuk menimba pengalaman kepada orang yang sudah menikah, karena kadang-kadang buku-buku dan ceramah ilmiah dan formal tidak membahas masalah praktis yang detail yang diperlukan agar siap menikah.
Osama...
kamu tidak pernah bilang padaku
kalau kamu ingin meledakkan WTC dan Pentagon
Bush juga tidak punya bukti sampai sekarang
jadi aku memilih percaya pada cinta yang terpancar
dibalik keteduhan matamu
pada semangat pembelaan yang tersimpan
dibalik lebatnya janggutmu
Osama...
kamulah yang mengajar bangsa-bangsa yang bisu
untuk bisa bicara
maka mereka berteriak
kamulah yang menanam bibit keberanian
di ladang jiwa-jiwa orang-orang pengecut
maka mereka melawan
kamulah yang menebar nikmat kemerdekaan
di relung kalbu orang-orang tertindas
maka mereka berjuang
kamulah yang mengobarkan harapan
di langit hati orang-orang terjajah
maka mereka memberontak
Osama...
kamulah yang mengunci mulut bangsa-bangsa adidaya
supaya mereka terdiam
maka mereka hanya bisa mengamuk
kamulah yang meruntuhkan keangkuhan
dari jidat bangsa-bangsa arogan
maka mereka terbungkam
kamulah yang merampas rasa aman
dari jiwa bangsa-bangsa tiran
maka mereka tak pernah bisa tidur nyenyak
kamulah yang merebut selera hidup
dari langit hati bangsa-bangsa makmur itu
maka mereka tak lagi menikmati hidup
Osama oh Osama...
Osama oh Osama...
mari kita nyanyikan lagu kemenangan
bersama nurani anak-anak manusia
yang telah menemukan kehidupannya
Osama oh Osama...
Osama oh Osama...
mari kita senandungkan nasyid keabadian
bersama nurani anak-anak manusia
yang merindukan taman-taman surga
(ternyata surat ini dijawab Osama bin Laden)
Jawaban OsamaDownload mp3nya disini
Saudaraku...
suratmu sudah kuterima
aku baik-baik saja disini
aku masih minum teh di pagi hari
dan menikmati sunset di sore hari
aku juga masih mengendalikan bisnis
dan mengontrol jaringan ALQAIDAH
dari balik gua-gua Afganistan
tenanglah Saudaraku
karena jadwal kematianku
tidak ditulis di Pentagon atau Gedung Putih
Saudaraku...
Aku menonton aksi-aksi kalian di TV Al-Jazeera
Aku senang kalian sudah mulai berani bicara
Aku gembira kalian sudah mulai bilang tidak
Aku bahagia kalian belajar jadi singa
Aku terharu kalian miskin-miskin
tapi mau nyumbang
Aku terheran-heran kalian kecil-kecil
tapi mau jihad ke Afganistan
Aku pikir kalian ini anak-anak ajaib
Saudaraku...
Aku mau buka rahasia sama kamu
tapi jangan bilang siapa-siapa...
Kamu tahu tidak...?
kenapa orang-orang taliban sayang padaku
kata mereka ternyata karena aku lucu
Bocah-bocah Afgan juga senang padaku
kata mereka
karena aku bawa mainan pesawat-pesawat Amerika untuk mereka
Para pemulung Afganistan juga suka padaku
kata mereka
karena rudal-rudal Amerika itu
bisa jadi besi tua yang laris
Orang-orang Amerika itu terlalu serius
padahal kita cuma sedang bermain di halaman surga
Saudaraku...
kalau nanti ALLAH memilihku jadi syahid
utusanku akan datang menemuimu
membawa sebuah pundi kecil
itulah darahku...!!
siramlah taman jihad di Ambon, Ternate dan Poso...
Tapi kalau aku bisa mengubur
keangkuhan Amerika disini..
Aku akan datang ke Indonesia
kamu tahu apa yang akan aku lakukan...?
Aku hanya mau investasi di negerimu
Ketika dibai’at menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz menangis tersedu-sedu.
Beberapa penyair mendatanginya dengan maksud menghiburnya, tapi ia menolak. Melihat ayahnya menangis hamper seharian, anaknya juga berusaha mencari tahu penyebabnya, tapi tidak berhasil. Istrinya, Fatimah, lantas menemuinya dan bertanya, “Wahai suamiku, mengapa engkau menangis seperti ini?”
Umar pun menjawab, “Sungguh aku telah diangkat untuk memimpin urusan umat Muhammad saw. Aku lalu termenung memikirkan nasib para fakir miskin yang sedang kelaparan, orang-orang sakit yang tidak bias berobat, orang-orang yang tidak bias membeli pakaian, orang-orang yang selama ini didzlimi dan tidak ada yang membela, orang-orang yang memiliki keluarga besar tapi hanya mempunyai sedikit harta, orang-orang tua yang tidak berdaya, orang-orang yang ditawan atau dipenjara, serta orang-orang yang bernasib menderita di pelosok negeri ini. Aku sadar dan tahu bahwa Allah pasti akan meminta pertanggungjawabanku atas amanah ini. Namun, aku khawatir tidak sanggup memberikan bukti bahwa aku telah melaksanakan ini dengan baik sehingga aku menangis.”
Seraya menyeka air matanya, ia mengutip ayat, “Sesungguhnya aku takut kepada siksa hari yang besar (kiamat) jika mendurhakai Tuhanku.” (Q.S Yunus, 10 : 15)
Adakah pemimpin saat ini yang memiliki kesadaran eskatologis (pertanggungjawaban di hari akhir) seperti Umar? Faktanya, para pemimpin cenderung berpesta pora ketika memperoleh kemenangan dalam pemilu (pilpres dan pemilukada), padahal amanah yang diberika nkepadanya itu sungguh berat dan harus dipertanggungjawabkan kepada public dan di hadapan pengadilan Allah SWT kelak. Menyadari betapa rakyatnya masih banyak yang miskin, menderita dan sengsara, Umar memutuskan tidak tinggal di istana, tapi hanya menempati rumah sederhana tanpa pengawal pribadi dan satpam.
Beliau juga menolak menggunakan fasilitas negara, termasuk berbagai perhiasan yang diwariskan khalifah Malik bin Marwan untuk istrinya. Ketika syahwat politik untuk berkuasa membara, seseorang biasanya menjual diri dengan janji-janji politik yang muluk-muluk. Tapi ketika berkuasa, ia cenderung lupa dan tidak sadar diri. Janji tinggal janji. Keadilan tidak ditegakkan. Kekuasaan dijalankan menurut hawa nafsunya. Rakyat dilupakan, bahkan disengsarakan.
Begitulah potret penguasa lupa diri sekaligus lupa Allah SWT. “Janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Q.S Al-Hasyr, 59 : 19)
Karena itu, penguasa harus sadar diri bahwa kekuasaan itu bukan kesempatan untuk meraih kenikmatan, tapi kesempatan untuk mengemban amanah yang harus dipertanggung jawabkan di hadapan public dan Allah SWT.
Kadang-kadang, pada suatu masa yang sama, dua orang pahlawan muncul secara bersamaan, pada bidang yang sama, tetapi dengan kadar kepahlawanan yang relatif berbeda. Salah satu diantara keduanya biasanya mengalami proses “iconisasi”, atau “simbolisasi”, dimana ia dianggap sebagai simbol dari zaman dan genrenya.
Pada masyarakat yang sudah dewasa dan matang, proses iconisasi itu biasanya tidak berlanjut dengan proses sakralisasi. Umumnya mereka mengerti sang icon bukanlah segalanya. Ia hanyalah bagian dari sebuah karya bersama, sebuah kepahlawanan kolektif. Karena itu, setiap pahlawan tetap mendapatkan tempatnya yang layak dan terhormat, sebab masyarakat mereka cukup dewasa untuk menilai karya mareka secara objektif dan proporsional.
Namun, itu tidak terjadi dalam masyarakat yang belum dewasa dan matang, apalagi dalam masyarakat yang jumlah pahlawannya masih sangat sedikit. Simbol adalah bentuk penyederhanaan terhadap suatu makna yang abstrak. Kebutuhan akan simbol dalam masyarakat yang belum dewasa dan matang merupakan kebutuhan yang psiko-sosial yang sangat mendasar. Karena itu, kecenderungan untuk menyimbolkan suatu makna, misalnya perlawanan, pada sesosok tokoh, atau kecenderungan untuk meng-icon-kan sang tokoh, merupakan tradisi pada masyarakat tersebut.
Ambillah contoh masyarakat kita. Soekarno, misalnya, hingga kini selalu dilukiskan sebagai “icon” revolusi kemerdekan Indonesia. Padahal sebenarnya, ada begitu banya pahlawan yang memberikan kontribusi yang boleh jadi lebih besar, atau sama besarnya, dengan kontribusi yang diberikan Soekarno. Namun di tengah masyarakat yang belum dewasa dan matang. Soekarno memang mendapatkan berkah ketidakdewasaan itu, yaitu dalam bentuk sikap sakralisasi Bangsa Indonesia terhadap dirinya sebagai “icon” revolusi kemerdekaan. Bagsa kita telah melakukan tindakan penyederhanaan terhadap sejarah perjuangan kemerdekaannya sendiri, dengan meng “icon” kan Soekarno.
Akan tetapi, ketidakdewasaan itu tidak selalu merupakan berkah bagi icon. Sebab, ketidakdewasaan dapat mendorong sebuah masyarakat melakukan iconisasi secara sangat sederhana, seperti juga ketidakdewasaan dapat mendorong mereka melakukan penghukuman yang sadis, begitu mereka kecewa. Dan itulah yang terjadi pada diri Soekarno. Ia ternyata tidak terlalu menikmati akhir hidup yang diberikan Bangsa Indonesia kepadanya.
Masalahnya mungkin pada para pahlawan lain yang hidup di bawah bayang-bayang sang icon. Mereka mungkin tidak mendapatkan kehormatan sejarah yang sama dengan sang icon. Namun, apakah yang membuat mereka mampu melanjutkan semagat kepahlawanannya, jika reward dari sejarah ternyata terasa kurang “fair”?
Kuncinya adalah keikhlasan. Dan keikhlasan yang membawa kita kepada sebuah hakikat besar yang abadi; hakikat kehidupan akhirat yang abadi. Di sana setiap orang akan mendapatkan tempatnya yang layak, adil, dan objektif. Disana tidak ada penyederhanaan, tidak ada simbolisasi, tidak ada iconisasi. Keikhlasanlah yang membuat kita dapat menerima keluguan masyarakat kita dengan lapang dada, sebagaimana kita dapat menerima ketidakadilan sejarah dengan kebesaran jiwa dan tetap bekerja di bawah bayang-bayang pahlawan lain yang terlanjur ter-icon kan di tengah masyarakat.
[Sebelumnya]
[Sebelumnya]