“Teguh adalah nafas rijalul haq (pejuang kebenaran) sepanjang zaman. Mereka tak hanyut di air, tak hangus di api, tak melayang di angin, tak goyah oleh tumpukan harta, kemilau tahta, dan rayuan wanita. Kiprah mereka hanya satu : tetap teguh dalam bergerak dan terus bergerak dalam keteguhan.” (Rahmat Abdullah)
Senin, 3 Agustus 2004, sekitar jam 09.00, HP-ku memanggil-manggil. Karena sibuk dengan berbagai barang yang masih berantakan, kudatangi panggilan itu dengan santai. Tapi ketika di layar HP tertulis namamu, aku mendadak sigap dan langsung menjawab panggilanmu dengan berbinar-binar. “Akh Deka, ana mau ke rumah antum sekarang,” katamu di ujung telepon. Deg, dadaku seperti tertimpa syurga, bukan main bahagianya. “Ya, ya, syukron ustadz, wa’alaikum salam,” jawabku agak gugup mengakhiri telepon.
Istriku juga terkejut dan sempat tidak percaya. Tapi setelah beberapa saat kemudian engkau datang, kami benar-benar hampir menangis, tangis bahagia. Dalam pelukanmu aku bertanya, “Susah gak cari alamatnya, Ustadz.” Kau menjawab dengan senyuman, “Angkotnya Cuma kelewat sedikit aja.” Naik angkot? Padahal, jarak dari rumahmu ke pinggir jalan raya sekitar 200 meteran, dan harus mencari-cari pula alamat rumah yang belum 24 jam kami tempati itu. “Ana kira bawa mobil,” kataku dalam kegembiraan yang meluap-luap.
Subhanallah, bagaimana kami tidak terharu. Aku tahu betul kesibukanmu yang luar biasa di dunia dakwah, politik, sosial, dan pendidikan, tapi engkau berusaha menyempatkan diri untuk menjenguk kami yang baru saja pindah rumah ke Pondok Gede ini. Engkau bahkan merebut pahala silaturahim dengan menjadi tetangga yang paling pertama menyambangi kami, padahal rumahmu sekitar satu kilometer dari kontrakan baruku, lain RT dan RW, dan merupakan tetangga jauh.
Selasa, 14 Juni 2005, ba’da Isya, HP-ku berbunyi. Teman satu halaqohku rupanya. “Akh Deka, tolong segera tabayyun, katanya Ustadz Rahmat meninggal,” ujarnya setengah menangis. Setelah tabayyun ke rumahmu, dan benar adanya berita ‘pedih’ itu, aku seperti tertimpa kiamat. Di ruang kantorku yang sepi itu dadaku bergemuruh dan menangis. Setelah mengirim berita duka via e-mail, buru-buru aku pulang.
Sampai di Lampu Merah Jatiwaringin. Ada ambulans yang meraung-raung dari belakangku. “Jangan-jangan...,” dugaku. Sejenak, mobil bertuliskan Tabungan Amanah Umat (TAMU) itu membelah antrian lampu merah. “Mobil itu pasti tengah membawamu dari Rumah Sakit Islam, Cempaka Putih,” pikirku. “Apalagi presiden PKS, Tifatul Sembiring, yang ikut mengawal jenazahmu di bangku depan.” Sambil menangis kukejar mobilmu dan kubuka jalan di depannya hingga ke komplek Islamic Center IQRO.
Di hadapan jenazah yang sangat-sangat tenang itu, tangisku seperti tidak mau berhenti. Sungguh indah kematianmu. Kesaksian yang kudengar penuh kebanggaan. Hari itu engkau mengikuti sidang, menjalankan tugas jamaah dan negara di Senayan. Kalau bukan karena ketaatan kepada syuro, engkau sudah sejak awal menghempaskan kursi Komisi III, DPR-RI 2004-2009 itu, “Ana tidak ingin di DPR lagi, Ustadz,” pintamu memelas kepada Ustadz Hilmi belum lama ini.
Kemudian engkau pamit ke Gedung Kindo untuk memimpin syuro Badan Penegak Disiplin Jamaah PKS, lembaga yang baru sepekan engkau terima amanah kepemimpinannya. Kau biarkan mobilmu dibawa oleh supir pribadimu untuk mengikuti halaqoh rutinnya, dan kau cukup naik kendaraan umum.
Sama sekali tidak tampak tanda-tanda engkau sedang sakit. Hingga saat berwudhu untuk shalat Maghrib, engkau limbung. “Apakah ada gempa,” tanyamu. Kemudian kau dipapah, tapi tak mau dibaringkan. “Ana kuat, ana kuat,” katamu waktu itu. Betapa semangat hidupmu begitu membara. Menurut dr. Agus Kushartono dari Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) yang memeriksamu, engkau terkena stroke sehingga dilarikan ke Rumah Sakit Islam. Di perjalanan itulah engkau pergi dengan sangat tenang.
Malam itu langit gerimis, seolah menangisi kepergianmu. Ratusan pelayat dari Jabodetabek berduyun-duyun datang hingga dini hari. Tidak sedikit juga yang datang dari luar provinsi. Beberapa tokoh penting PKS memaksa pulang dari luar negeri hari itu juga. Kami semua kehilangan seorang guru sejati, murabbi hakiki, ayah yang mengayomi, pimpinan yang pemurah, tapi juga jundi (prajurit) yang taat.
Esoknya gelombang pelayat semakin memadati komplek IQRO. Ribuan orang menangis ketika dibacakan memoarmu bersamaan dengan menangis kerasnya langit yang sejak pagi memang telah mendung. Orang-orang yang mencintaimu itu semakin menangis dan bertakbir ketika berandamu mulai diberangkatkan. Hujan air dari redupnya langit dan dari ribuan pasang mata yang berkabung berlomba-lomba mengguyur bumi, tempat beristirahatmu terakhir.
Kamis, 3 Juli 2008 nanti, semestinya engkau akan genap berusia 55 tahun. Karya-karya yang telah kau torehkan sejak tahun 1953 itu adalah kekuatan bagi umat ini untuk bangkit dan bergerak. Tapi semua itu bukan lahir tanpa perjuangan. Engkau lahir dari keluarga betawi yang taat sebagai putra kedua dari empat bersaudara.
Sejak kecil, ruh berislam dan menuntut ilmu yang ditanamkan ayahmu begitu kental. Namun di usia 11 tahun kau menjadi yatim. Beruntung di masa-masa emas itu asuhan beralih ke tangan ulama kharismatik KH. Abdullah Syafi’i dari Perguruan Asy-Syafi’iyah, Jakarta. Karena kecerdasan dan hobimu ‘melahap’ berbagai kitab, engkau segera menjadi murid kesayangan Sang Kyai dan menjadi pengajar di perguruan itu dalam usia muda.
Sebagai dai sejati, engkau biasa menghabiskan waktu, tenaga serta pikiran untuk berbagai kegiatan dakwah. Siang dan malam kau lalui dari satu pengajian demi pengajian tanpa mengenal lelah dan keluh kesah. Kau menjadi tempat berkonsulatasi, berbagi rasa, curahan hati bagi siapa saja, melayani umat seperti tanpa batas. Sebagai seorang mubaligh, kau pun dikenal hebat dalam menyentuh hati. Kemampuan retorika yang dalam dihiasi oleh sentuhan sastra yang menjadi spesialisasimu, acap kali membuat para pendengarmu menangis. Tapi kau juga membangkitkan semangat ketika mengangkat isu jihad.
Tidak hanya di mimbar, kau juga aktif mengisi ceramah di radio dan televisi, antara lain dalam rubrik rutin “Titik Pandang Rahmat Abdullah” di Radio Dakta, Bekasi. Di radio ini pula kau menggagas rubrik Sakinah, Mawaddah, Rahmah (SAMARA). Dan sebagai seorang penulis, kau aktif menulis buku dan mengisi rubrik di beberapa majalah Islam, seperti majalah Tarbawi, Sabili, Saksi, Ummi, dan Suara Hidayatullah.
Awal tahun 90 engkau mendirikan ISLAMIC CENTER IQRO yang bergerak dalam bidang pendidikan, sosial, dan dakwah di wilayah Bekasi, Jawa Barat. Disinilah engkau menetap untuk mengembangkan cita-citamu mencetak kader-kader dakwah, baik melalui pendidikan formal dari dasar sampai tinggi, maupun informal melalui kursus tahsin Al-Qur’an dan kajian kitab-kitab klasik setiap Ahad pagi.
Ustadz, sesungguhnya engkau tak hanya meninggalkan istri tercintamu Ibunda Sumarni, dan ketujuh mutiaramu yang kini menjadi yatim. Ada banyak hal yang kau wariskan untuk kami. Kau mewariskan Yayasan IQRO dan PK Sejahtera dengan barisan kokoh kader-kader berkualitasnya, prestasi-prestasi hebatnya, serta kontribusi tulusnya untuk umat,masyarakat, dan bangsa.
Pas betul ayahmu menamaimu dengan ‘Rahmat’, karena kau juga mewriskan teladan kasih sayang yang sulit tertandingi. Itulah yang masih tertancap kokoh dalam diri Dr. Mardani Ali Sera, murid dan tetanggamu. Suatu ketika anaknya sakit parah dan harus segera ke rumah sakit. “Entah tahu dari mana, tiba-tiba beliau meminjamkan mobilnya dan memberikan uang dalam jumlah yang sangat besar. Saya langsung nangis saat itu,” kenang doktor lulusan Malaysia ini.
Itu pula yang masih tertanam kuat dalam hidupku, yakni ketika engkau selalu menjawab setiap SMS-ku dengan bahasa dan do’a yang sangat simpatik. Ketika kuminta kau dishooting untuk film Autis Dhuafa dan Aceh, kaupun segera meluluskannya. Begitu pula ketika kuundang untuk menyemangati orang tua dan anak autis dhuafa di yayasan kami, kau langsung memenuhinya hari itu juga. Bahkan kau bercanda akrab dan berfoto bersama mereka. Aku juga ingat sekali, ketika putri pertamaku, Azya, takluk di pangkuanmu setelah dengan lembut kau mengatakan, “kesini, kita kan teman ya.”
Atau ketika di tahun 2002, kau berikan kepadaku honormu menulis ketika aku tengah bingung dengan kondisi rumahku di Gunung Putri, Bogor, yang bocor sangat parah. “Kata Ustadz Rahmat, antum lebih biutuh ini,” ujar Bang Zaini sahabat sekantorku di Majalah Suara Hidayatullah yang mengembalikan amplop berisi uang honor dari majalah tersebut. Sejak itu, setiap kali hujan besar, kami sekeluarga selalu mengenang kemurahan hatimu pada atap kami yang tak lagi bocor. Karenanya, Rabu itu, 15 Juni, hujan besar yang menangisi kepergianmu pun membuatku semakin menangis.
Tapi warisan yang terpenting, seperti taujih terakhir Ketua Majelis Syuro PKS, Ustadz. Hlmi Aminuddin, di depan pusaramu, adalah engkau telah meniupkan ke dalam jiwa kami ruh jihad dan dakwah, ruh berkorban, ruh ketaatan ibadah dan berjamaah, ruh tholabul ‘ilmi, ruh keikhlasan dan kesabaran, serta ruh kemurahan hati dan kesederhanaan. Engkau pergi, dan bersama itu tiba-tiba seluruh warisan tersebut memenuhi dada kami semua. Kepergianmu adalah bayaran mahal atas semua warisan yang amat berharga itu.
Belum setahun aku menjadi tetanggamu, tapi engkau sudah seperti seumur hidup menjadi bagian kehidupanku, menjadi guru dan ayahku, serta para da’i mujahid. Sungguh, jiwamu yang teramat kaya itu terus berpijar mencahayai jalan dakwah yang panjang ini.
Sumber : Majalah Tarbawi
Penulis : Deka Kurniawan
الله أكبر 3 مرات . الله اكبر كبيرا والحمد لله كثيرا . وسبحان الله بكرة وأصيلا . لااله الاالله والله اكبر الله اكبر ولله الحمد . الحمد لله الواحد الأحد الفرد الصمد لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفوا أحد . أشهد أن لااله الا الله شهادة تنجي قائلها يوم التناد . وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي الي الرشد والسداد . فاللهم صل وسلم علي نبينا محمد وعلي آله وصحبه والذين ساروا علي نهجه وجاهدوا لإقامة دين الله في حياتهم حق الجهاد . أمابعد ~ فياايها المسلمون العائدون أوصي نفسي وإياكم
بما وصي به رب العالمين حيث قال ” ياأيهاالذين آمنوااتقوالله والتنظر نفس ما قدمت لغد واتقواالله إن الله خبير بما تعملون . ولا تكونوا كالذين نسواالله فأنساهم أنفسهم أولئك هم الفاسقون .
بما وصي به رب العالمين حيث قال ” ياأيهاالذين آمنوااتقوالله والتنظر نفس ما قدمت لغد واتقواالله إن الله خبير بما تعملون . ولا تكونوا كالذين نسواالله فأنساهم أنفسهم أولئك هم الفاسقون .
Allahu Akbar walillahilhamd
Ma’asyiral muslimin al ‘aidin rahimakumullah
Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah, dengan taufiq serta pertolonganNya kita dapat mengkhatamkan puasa ramadhan beserta paket ‘ibadat pendukungnya, dengan lancar dan dalam keadaan sehat wal ‘afiat. Dari tempat ini kita ingat kepada saudara-saudara kita, di antara mereka ada yang lebih dulu dipanggil oleh Allah untuk menghadapNya, dan banyak saudara kita yang menjalani syahru ramadhan dalam rundungan musibah. Ada yang sakit, dan secara khusus saudara kita di beberapa kabupaten Jawa Barat dan sekitarnya, yang menderita akibat gempa bumi hari rabu 9 September lalu. AJARAHUMULLAHU FI HADZIHILMUSHIBAH WA BADDALAHA LAHUM KHAIRA- Semoga Allah melimpahkan pahala kepada mereka dengan musibah ini, dan menggantinya dengan yang lebih baik!
Jika pada saat ramadhan tiba kita menyambutnya dengan penuh suka cita, dan selama sebulan kita merasa berbunga-bunga menyertai keagungan/keutamaan bulan mulia, maka ketika satu syawal tiba ada perasaan haru berbalut sedih untuk berpisah dengan bulan ampunan yang penuh barakah itu. Apalagi tidak seorangpun tahu apakah akan bersua kembali dengan bulan ramadhan tahun depan. YA ALLAH KARUNIAKAN KEPADA HAMBA-HAMBAMU INI UMUR PANJANG AGAR KEMBALI DAPAT MENDEKAP BULAN AGUNGMU DENGAN KEHANGATAN IMAN !
Allahu Akbar walillahilhamd
Bulan Ramadhan boleh meninggalkan kita, tetapi nilai-nilai akhlaq ramadhan jangan sampai lepas dari hidup kita, sehingga 1 syawwal tidak menjadi hari bubaran semuanya. Bulan syawal harus dibaca sebagai “imtidad” lanjutan ramadhan dengan ‘ibadah serta kesalehannya. Selama bulan ramadhan shilaturrahman (relasi dengan Allah) diharap telah semakin kuat dan dosa-dosa terhadap hak Allah telah diampunkan. Maka bulan syawal merupakan kesempatan untuk menyelesaikan dosa-dosa terkait hak-hak adami, dengan memperbanyak shilaturrahim saling mendo’akan dan saling membebaskan (lulubaran). ALYAUMA NATAGHAFARU, hari ini kita saling memaafkan. Demikian para sahabat nabi mengatakan satu sama lain.
Ma’asyiral ‘aidin wal ‘aidat
Mengisi bulan syawal dengan lanjutan ‘ibadah dan kesalehan ramadhan adalah hal yang dikehandaki oleh Rasulullah saw. Ada saum 6 hari syawwal, pada bulan-bulan berikutnya shaum senin-kamis dan 3 hari purnama. Khatmul quran dianjurkan setiap 40 hari sekali, zakat mal ditunaikan setiap bulan bagi harta penghasilan kerja profesi, begitu pula infak-shadaqah dan wakaf bisa dilakukan setiap saat. Bersamaan dengan itu semua komunikasi sosial kita harus berspiritkan shilaturrahim, tidak boleh memutus hubungan yang baik dengan siapapun, yang berakibat pada qath’urrahim (memutus aliran rahmat dari Allah SWT). Secara khusus relasi kita dengan masjid terus dipertahankan, karena yang benar-benar alumnus pendidikan ramadhan akan menjadi ahli masjid, aktivis dan pemakmur masjid. Performansi seperti itu akan diupayakan oleh orang yang menghambakan diri kepada Allah secara total. Tetapi akan menjadi perkara sulit buat orang yang seolah menjadi ”’ubbadu ramadhan” para penyembah bulan ramadhan, meminjam istilah Syekh Yusuf al Qardhawi. Semangat ’ibadah serta kesalehan mereka ternyata berakhir bersama usainya bulan ramadhan.
Dengan pola ”mudawamatul ’ibadah wal shalah” yakni mempertahankan ’ibadah dan kesalehan agar berkelanjutan (sustainable), maka ketaqwaan yang menjadi goal ’ibadah, benar-benar menjadi milik kita. Sehingga hidup menjadi dinamis serta progresif, kebaikan terus ditambah sedang hal-hal yang tidak baik diminimalisir. Rasulullah saw bersabda yang artinya :”Bertaqwalah engkau kepada Allah dimanapun dan kapanpun juga, ikutilah keburukan dengan kebaikan niscaya menghapuskannya, dan bergaullah bersama manusia dengan akhlak yang baik”. (H.R Tirmidzi dan Ahmad)
Hadits tersebut memberikan pesan bahwa taqwa harus melekat dan mengaktual, agar mampu mengontrol serta mengendalikan hawa nafsu kita. Sebab manusia senantiasa berada di antara dua dorongan/tarikan “taqwa” atau “hawa”. Taqwa bagai energi positif yang fitri sedang hawa merupakan energi negatif vs fitrah. Adapun perbuatan manusia mempunyai dua sisi, aktif dan pasif. Pada sisi aktif energi taqwa bermakna ”imtitsal” yakni menjalankan dan meluluskan perintah Allah yang wajib dan sunat tanpa diskriminatif. Dan pada sisi pasif, taqwa bermakna ”ittiqa dan ijtinab” melindungi diri dan menjauhi semua larangan Allah. Mulai dari yang haram, kemudian syubhat (remang-remang), makruh tahrim dan makruh tanzih, lalu puncaknya dengan menghindari perkara mubah tapi tidak bermanfaat.
Rasulullah saw bersabda: ”Seorang hamba tidak mencapai derajat taqwa hingga mampu meninggalkan perkara yang boleh demi menghindari dampaknya yang tidak baik” (H.R Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Allahu Akbar walillahilhamd
Pada sisi aktif, taqwa mendorong insan beriman agar mengaktualisasikan imannya dalam pelbagai bentuk kesalehan. Kesalehan individual, kesalehan sosial dan kesalehan profesional. Sebab iman bukan semata keinginan untuk selamat dan bahagia (laisal imanu bittamanni), tetapi harus berupa tekad yang terhunjam kuat dalam kalbu (walakin ma waqara fil qalbi) dan langsung diaktualisasikan dalam amal nyata (washaddaqahul ’amalu). Karenanya Al Quran selalu menggandengkan kata iman dengan ’amal shaleh, tak kurang dari 60 kali. Maka tidak ada iman tanpa kesalehan, sebaliknya tidak ada kesalehan yang sejati tanpa iman. Orang bisa saja berpura-pura baik berpenampilan orang shaleh, tapi sesungguhnya ia tidak lebih dari seorang penipu ulung. Al Quran pun telah memperingatkan kepada orang-orang beriman terhadap tipu daya orang munafik, penipu dan pendusta.
Taqwa tidak boleh parsial sebagaimana iman tidak bersifat parsial. Tetapi hawa nafsu bekerja merusak totalitas taqwa dari ranah sosial dan profesional, mengerdilkannya hanya menjadi urusan pribadi yang personal. Banyak hadits bahwa iman dan taqwa harus eksis dengan signifikan di sektor kehidupan sosial. Antara lain:
- ”Demi Allah tidak beriman (diulangi sampai 3 kali). Sahabat bertanya, siapa itu ya Rasulallah ? Sabda beliau, orang yang tidak menjaga saudaranya dari perbuatan dirinya yang mengganggu” (H.R Muslim)
- ”Tidak termasuk golongan kami orang yang tertidur lelap karena kenyang sedang saudaranya lapar, padahal ia mengetahuinya” (H.R Thabrani)
- ”Orang muslim itu adalah orang yang menjaga keselamatan masyarakat dari gangguan mulut dan tangannya” (H.R Bukhari dan Muslim)
Di bidang profesi, iman dan taqwa berbicara kuat dengan pesannya. Rasulullah saw bersabda: ”Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat yang ihsan (lebih baik atau terbaik) dalam segala urusan”. (H.R Muslim)
Dan sabdanya ”Sesungguhnya Allah mencintai orang yang berbuat sesuatu secara mantap (profesional)” (H.R Abu Dawud)
Ditegaskan pula ”Siapa yang menipu atau memalsu maka tidak termasuk golongan kami” (H.R Muslim)
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Dalam wawasan dan kesadaran sosial, bahkan ”taqwal arham” (ketaqwaan sosial), manakala kita dalam kondisi sehat tapi di sana ada yang sakit, artinya Allah memberi kesempatan bagi si sehat untuk menolong yang sakit. Pada waktu kita diselamatkan Allah dari bencana sementara banyak saudara kita yang kena, ini artinya kesempatan/peluang bagi yang selamat untuk membantu yang kena bencana dengan apa yang mereka butuhkan dan kita mampu melalukan atau mengupayakannya. Kepedulian yang diberikan sesungguhnya merupakan alat untuk menolong kita sendiri di saat membutuhkan pertolongan. Rasulullah saw bersabda: ”Hanyasanya kamu ditolong dan diberi rezeki dengan kepedulianmu terhadap kaum dhu’afa di antaramu” (H.R Bukhari)
Dan sabdanya : “Barang siapa melepaskan seorang mu’min dari bencana di dunia maka Allah niscaya melepaskannya dari bencana di akhirat, Allah senantiasa menolong hambaNya manakala ia mau menolong saudara/sesamanya” (H.R Muslim). Itu manfaat yang kembali ke diri kita. Lebih dari itu kesalehan sosial kita akan menjadi premi asuransi pertanggungan dari Allah untuk anak cucu kita, sebagaimana ditulis dalam kisah Dzulqarnain di Surah Al Kahfi ayat 82.
Allahu Akbar walillahilhamd
Kini Allah swt kembali memberikan peluang kepada kita untuk menjadi peserta asuransi Rabbani yang pertanggungannya pasti dibayarkan pada saat kita perlukan, sekaligus asuransi bagi anak-cucu yang preminya kita titipkan kepada Allah. Di sana puluhan ribu saudara-saudara kita di sejumlah kabupaten Jawa Barat menanti kepedulian kita. Ketahuilah bahwa rahmat serta pertolongan Allah sedang menanti di sana bagi setiap muslim yang datang hatta untuk sekedar menengok guna memberi semangat pemulihan.
Dalam sebuah hadits Qudsi dijelaskan bahwa Rabbul ’Izzah berfirman: ”Wahai anak Adam, Aku sakit tapi kamu tidak menengok Aku. Ya Rabb, bagaimana mungkin Engkau sakit bukanlah Engkau Rabbul ’alamin ? Allah menjawab: Celaka engkau, saudaramu sakit tapi tidak kau jenguk, padahal kalau engkau menjenguknya niscaya akan mendapati Aku di sana. Wahai anak Adam, Aku lapar tetapi engkau tidak memberi Aku makanan. Ya Rabb, bagaimana mungkin Engkau lapar padahal Engkau Rabbul ’alamin ? Jawab Allah: celaka engkau, saudaramu menderita kekurangan/kelaparan, sekiranya engkau memberinya makan niscaya engkau akan mendapati Aku di sana. Wahai anak Adam Aku tidak berbusana tapi engkau tidak peduli. Ya Rabb, bagaimana mungkin Engkau tak berbusana bukankah Engkau Rabbul ’alamin? Jawab Allah: Celaka engkau, saudaramu butuh pakaian tapi engkau diam saja, jika engkau memberi mereka pakaian niscaya akan mendapati Aku di sana”.
Allahu Akbar walillahilhamd
Dalam suasana syukur hari lebaran mengekspresikan kegembiraan yang fitri, kita tetap harus waspada terhadap faktor-faktor penyimpangan dari fitrah. Syekh Ibnu ’Asyur dalam tafsirnya menyimpulkan, ada 4 faktor yang memesongkan manusia dari fitrah bawaan dan fitrah hasil pembinaan melalui rangkaian ’ibadah, yaitu:
Pertama, adanya celah kekeliruan pada saat pembinaan karakter manusia. Dimana mereka tidak diberi asupan sebagai insan yang utuh. Pendidikan di rumah dan di sekolah lebih memberi nutrisi fisik jasmani, dengan mengurangkan/mengeringkan nutrisi akal terlebih asupan spiritual. Akibatnya banyak kalangan remaja yang mencerna heroisme dengan gagah-gagahan dalam konflik fisik antar kelompok. Bukan dalam kontestasi keunggulan ilmiah, apalagi berkompetisi dalam keluhungan budi dan citra keadaban.
Kedua, berkembangnya akhlaq yang buruk akibat memperturutkan selera hedonistis, dan keliru dalam mengambil sosok rujukan dan percontohan dari orang-orang yang berpengaruh serta diidolakan. Padahal orang yang diidolakan itu gagal dalam mempertahankan rumah tangganya sendiri, sehingganya keluarganya berantakan.
Ketiga, tidak proporsional dalam menyenangi atau membenci sesuatu atau seseorang. Setiap yang berlebihan menimbulkan ekses yang tidak baik. Kesenangan atau kebencian yang berlebihan membutakan mata hati, sehingga menimbulkan perilaku yang merugikan.
Keempat, salah dalam memenuhi skala prioritas kebutuhan primer, sekunder dan tertier, dengan memperturutkan kesenangan terhadap yang sekunder dan tertier, sehingga dalam perjalanan waktu diperlakukan sebagai kebutuhan primer. Akibatnya muncul beban tambahan pada kebutuhan primer atau bahkan menggeser dan membalikkan posisinya ke peringkat sekunder.
Allahu Akbar walillahilhamd
Kembali ke fitrah bermakna menempatkan segala sesuatu dalam sorotan nurani sesuai dengan tingkat kemaslahatannya. Sedang bergeser atau menyimpang dari fitrah artinya menjadikan sesuatu yang maslahat menjadi kurang maslahat bahkan mendatangkan mudarat. Bagaikan obat yang diabaikan dan racun yang dijadikan obat. Terjadilah ”fasad fil ardhi”, kerusakan di muka bumi, apakah menyangkut fisik-jasmani, kerusakan pada akal fikiran dan krisis dalam mental spiritual. Itu karena penyimpangan dari fitrah telah mengakibatkan kegelapan dalam hati sehingga menjadi ”qalbun zhulmani”. Dalam kegelapan hati apapun yang dilakukan manusia menjadi lepas dari kendali taqwa, lalu diambil alih oleh hawa nafsu yang membawa manusia pada kerendahan dan jatuhnya martabat. Melalui program ilahiah di bulan ramadhan dan di luar ramadhan, dilakukan pemenuhan kebutuhan manusia secara imbang dan tepat, serta membinanya ke tingkat yang lebih maju dan lebih maslahat. Hidup sesuai fitrah adalah hidup yang bermartabat, hidup yang serba baik (hayatan thayyibah); ramah lingkungan sosial dan ramah lingkungan alam bagi kemaslahatan manusia. Suasana fitri dan nurani harus dipelihara jangan sampai rusak terjebak dalam suasana gelap (zhulmani) yang merusak.
Allah berfirman ”Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi setelah keadaannya menjadi baik, dan berdo’alah kepada Allah dengan cemas dan harap, sesunguhnya rahmat Allah itu dekat terhadap mereka yang selalu berbuat ihsan”. (Q.S Al A’raf,7 : 56)
Do’a
اللهم صل وسلم علي نبينا محمد وعلي آله وصحبه أجمعين. آمين يارب العالمين
اللهم اغفر للمسلمين والمسلمات والمؤمنين زالمؤمنات الأحياء منهم والأموات إنك سميع قريب مجيب الدعوات
اللهم آت نفوسنا تقواها وزكها فأنت خير من زكاها أنت وليها ومولاها
اللهم حبب الينا الإيمان وزينه في قلوبنا وكره الينا الكفر والفسوق والعصيان واجعلنا من الراشدين
اللهم إنا نعوذ بك من النفاق والرياء والشقاق وسوء الأخلاق
ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاب
ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رءوف رحيم
ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار
تقبل الله منا ومنكم
Alkisah, seorang pedagang kayu menerima lamaran seorang pekerja untuk menebang pohon di hutannya. Karena gaji yang dijanjikan dan kondisi kerja yang bakal diterima sangat baik, sehingga si calon penebang pohon itu pun bertekad untuk bekerja sebaik mungkin.
Saat mulai bekerja, si majikan memberikan sebuah kapak dan menunjukkan area kerja yang harus diselesaikan dengan target waktu yang telah ditentukan kepada si penebang pohon.
Hari pertama bekerja, dia berhasil merobohkan 8 batang pohon. Sore hari, mendengar hasil kerja si penebang, sang majikan terkesan dan memberikan pujian dengan tulus, “Hasil kerjamu sungguh luar biasa! Saya sangat kagum dengan kemampuanmu menebang pohon-pohon itu. Belum pernah ada yang sepertimu sebelum ini. Teruskan bekerja seperti itu”.
Sangat termotivasi oleh pujian majikannya, keesokan hari si penebang bekerja lebih keras lagi, tetapi dia hanya berhasil merobohkan 7 batang pohon. Hari ketiga, dia bekerja lebih keras lagi, tetapi hasilnya tetap tidak memuaskan bahkan mengecewakan. Semakin bertambahnya hari, semakin sedikit pohon yang berhasil dirobohkan. “Sepertinya aku telah kehilangan kemampuan dan kekuatanku, bagaimana aku dapat mempertanggungjawabkan hasil kerjaku kepada majikan?” pikir penebang pohon merasa malu dan putus asa. Dengan kepala tertunduk dia menghadap ke sang majikan, meminta maaf atas hasil kerja yang kurang memadai dan mengeluh tidak mengerti apa yang telah terjadi.
Sang majikan menyimak dan bertanya kepadanya, “Kapan terakhir kamu mengasah kapak?”
“Mengasah kapak? Saya tidak punya waktu untuk itu, saya sangat sibuk setiap hari menebang pohon dari pagi hingga sore dengan sekuat tenaga”. Kata si penebang.
“Nah, disinilah masalahnya. Ingat, hari pertama kamu kerja? Dengan kapak baru dan terasah, maka kamu bisa menebang pohon dengan hasil luar biasa. Hari-hari berikutnya, dengan tenaga yang sama, menggunakan kapak yang sama tetapi tidak diasah, kamu tahu sendiri, hasilnya semakin menurun. Maka, sesibuk apapun, kamu harus meluangkan waktu untuk mengasah kapakmu, agar setiap hari bekerja dengan tenaga yang sama dan hasil yang maksimal.
Sekarang mulailah mengasah kapakmu dan segera kembali bekerja!” perintah sang majikan. Sambil mengangguk-anggukan kepala dan mengucap terimakasih, si penebang berlalu dari hadapan majikannya untuk mulai mengasah kapak.
Istirahat bukan berarti berhenti,
Tetapi untuk menempuh perjalanan yang lebih jauh lagi
Sama seperti si penebang pohon, kita pun setiap hari, dari pagi hingga malam hari, seolah terjebak dalam rutinitas terpola. Sibuk, sibuk dan sibuk, sehingga seringkali melupakan sisi lain yang sama pentingnya, yaitu istirahat sejenak mengasah dan mengisi hal-hal baru untuk menambah pengetahuan, wawasan dan spiritual. Jika kita mampu mengatur ritme kegiatan seperti ini, pasti kehidupan kita akan menjadi dinamis, berwawasan dan selalu baru !
Wahai Saudaraku yang dikasihi Allah.
Perjalanan dakwah yang kita lalui ini bukanlah perjalanan yang banyak ditaburi kegemerlapan dan kesenangan. Ia merupakan perjalanan panjang yang penuh tantangan dan rintangan berat.
Telah banyak sejarah orang-orang terdahulu sebelum kita yang merasakan manis getirnya perjalanan dakwah ini. Ada yang disiksa, ada pula yang harus berpisah kaum kerabatnya. Ada pula yang diusir dari kampung halamannya. Dan sederetan kisah perjuangan lainnya yang telah mengukir bukti dari pengorbanannya dalam jalan dakwah ini. Mereka telah merasakan dan sekaligus membuktikan cinta dan kesetiaan terhadap dakwah.
Cobalah kita tengok kisah Dzatur Riqa’ yang dialami sahabat Abu Musa Al Asy’ari dan para sahabat lainnya –semoga Allah swt. meridhai mereka. Mereka telah merasakannya hingga kaki-kaki mereka robek dan kuku tercopot. Namun mereka tetap mengarungi perjalanan itu tanpa mengeluh sedikitpun. Bahkan, mereka malu untuk menceritakannya karena keikhlasan dalam perjuangan ini. Keikhlasan membuat mereka gigih dalam pengorbanan dan menjadi tinta emas sejarah umat dakwah ini. Buat selamanya.
Pengorbanan yang telah mereka berikan dalam perjalanan dakwah ini menjadi suri teladan bagi kita sekalian. Karena kontribusi yang telah mereka sumbangkan untuk dakwah ini tumbuh bersemi. Dan, kita pun dapat memanen hasilnya dengan gemilang. Kawasan Islam telah tersebar ke seluruh pelosok dunia. Umat Islam telah mengalami populasi dalam jumlah besar. Semua itu karunia yang Allah swt. berikan melalui kesungguhan dan kesetiaan para pendahulu dakwah ini. Semoga Allah meridhai mereka.
Duhai saudaraku yang dirahmati Allah swt.
Renungkanlah pengalaman mereka sebagaimana yang difirmankan Allah swt. dalam surat At-Taubah: 42.
Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka mengikutimu. Tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka, mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah, “Jika kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu.” Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.
Mereka juga telah melihat siapa-siapa yang dapat bertahan dalam mengarungi perjalanan yang berat itu. Hanya kesetiaanlah yang dapat mengokohkan perjalanan dakwah ini. Kesetiaan yang menjadikan pemiliknya sabar dalam menghadapi cobaan dan ujian. Menjadikan mereka optimis menghadapi kesulitan dan siap berkorban untuk meraih kesuksesan. Kesetiaan yang menghantarkan jiwa-jiwa patriotik untuk berada pada barisan terdepan dalam perjuangan ini. Kesetiaan yang membuat pelakunya berbahagia dan sangat menikmati beban hidupnya. Setia dalam kesempitan dan kesukaran. Demikian pula setia dalam kelapangan dan kemudahan.
Saudaraku seperjuangan yang dikasihi Allah swt.
Sebaliknya orang-orang yang rentan jiwanya dalam perjuangan ini tidak akan dapat bertahan lama. Mereka mengeluh atas beratnya perjalanan yang mereka tempuh. Mereka pun menolak untuk menunaikannya dengan berbagai macam alasan agar mereka diizinkan untuk tidak ikut. Mereka pun berat hati berada dalam perjuangan ini dan akhirnya berguguran satu per satu sebelum mereka sampai pada tujuan perjuangan.
Penyakit wahan telah menyerang mental mereka yang rapuh sehingga mereka tidak dapat menerima kenyataan pahit sebagai risiko dan sunnah dakwah ini. Malah mereka menggugatnya lantaran anggapan mereka bahwa perjuangan dakwah tidaklah harus mengalami kesulitan.
Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya. Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” (At-Taubah: 45-46)
Kesetiaan yang ada pada mereka merupakan indikasi kuat daya tahannya yang tangguh dalam dakwah ini. Sikap ini membuat mereka stand by menjalankan tugas yang terpikul di pundaknya. Mereka pun dapat menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Bila ditugaskan sebagai prajurit terdepan dengan segala akibat yang akan dihadapinya, ia senantiasa berada pada posnya tanpa ingin meninggalkannya sekejap pun. Atau bila ditempatkan pada bagian belakang, ia akan berada pada tempatnya tanpa berpindah-pindah. Sebagaimana yang disebutkan Rasulullah saw. dalam beberapa riwayat tentang prajurit yang baik.
Wahai Saudaraku yang dirahmati Allah.
Marilah kita telusuri perjalanan dakwah Abdul Fattah Abu Ismail, salah seorang murid Imam Hasan Al Banna yang selalu menjalankan tugas dakwahnya tanpa keluhan sedikitpun. Dialah yang disebutkan Hasan Al Banna orang yang sepulang dari tempatnya bekerja sudah berada di kota lain untuk memberikan ceramah kemudian berpindah tempat lagi untuk mengisi pengajian dari waktu ke waktu secara maraton. Ia selalu berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain untuk menunaikan amanah dakwah. Sesudah menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya, ia merupakan orang yang pertama kali datang ke tempatnya bekerja. Malah, ia yang membukakan pintu gerbangnya.
Pernah ia mengalami keletihan hingga tertidur di sofa rumah Zainab Al-Ghazali. Melihat kondisi tubuhnya yang lelah dan penat itu, tuan rumah membiarkan tamunya tertidur sampai bangun. Setelah menyampaikan amanah untuk Zainab Al Ghazali, Abdul Fattah Abu Ismail pamit untuk ke kota lainnya. Karena keletihan yang dialaminya, Zainab Al Ghazali memberikan ongkos untuk naik taksi. Abdul Fattah Abu Ismail mengembalikannya sambil mengatakan, “Dakwah ini tidak akan dapat dipikul oleh orang-orang yang manja.” Zainab pun menjawab, “Saya sering ke mana-mana dengan taksi dan mobil-mobil mewah, tapi saya tetap dapat memikul dakwah ini dan saya pun tidak menjadi orang yang manja terhadap dakwah. Karena itu, pakailah ongkos ini, tubuhmu letih dan engkau memerlukan istirahat sejenak.” Ia pun menjawab, “Berbahagialah ibu. Ibu telah berhasil menghadapi ujian Allah swt. berupa kenikmatan-kenikmatan itu. Namun, saya khawatir saya tidak dapat menghadapinya sebagaimana sikap ibu. Terima kasih atas kebaikan ibu. Biarlah saya naik kendaraan umum saja.”
Duhai saudaraku yang dimuliakan Allah swt.
Itulah contoh orang yang telah membuktikan kesetiaannya pada dakwah lantaran keyakinannya terhadap janji-janji Allah swt. Janji yang tidak akan pernah dipungkiri sedikit pun. Allah swt. telah banyak memberikan janji-Nya pada orang-orang yang beriman yang setia pada jalan dakwah berupa berbagai anugerah-Nya. Sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)- mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Al-Anfal: 29)
Dengan janji Allah swt. tersebut, orang-orang beriman tetap bertahan mengarungi jalan dakwah ini. Dan mereka pun tahu bahwa perjuangan yang berat itu sebagai kunci untuk mendapatkannya. Semakin berat perjuangan ini semakin besar janji yang diberikan Allah swt. kepadanya. Kesetiaan yang bersemayam dalam diri mereka itulah yang membuat mereka tidak akan pernah menyalahi janji-Nya. Dan, mereka pun tidak akan pernah mau merubah janji kepada-Nya.
Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya). (Al Ahzab: 23)
Wahai ikhwah kekasih Allah swt.
Pernah seorang pejuang Palestina yang telah berlama-lama meninggalkan kampung halaman dan keluarganya untuk membuat mencari dukungan dunia dan dana diwawancarai. “Apa yang membuat Anda dapat berlama-lama meninggalkan keluarga dan kampung halaman?” Jawabnya, karena perjuangan. Dan, dengan perjuangan itu kemuliaan hidup mereka lebih berarti untuk masa depan bangsa dan tanah airnya. “Kalau bukan karena dakwah dan perjuangan, kami pun mungkin tidak akan dapat bertahan,” ungkapnya lirih.
Wahai saudaraku seiman dan seperjuangan
Aktivis dakwah sangat menyakini bahwa kesabaran yang ada pada dirinyalah yang membuat mereka kuat menghadapi berbagai rintangan dakwah. Bila dibandingkan apa yang kita lakukan serta yang kita dapatkan sebagai risiko perjuangan di hari ini dengan keadaan orang-orang terdahulu dalam perjalanan dakwah ini, belumlah seberapa. Pengorbanan kita di hari ini masih sebatas pengorbanan waktu untuk dakwah. Pengorbanan tenaga dalam amal khairiyah untuk kepentingan dakwah. Pengorbanan sebagian kecil dari harta kita yang banyak. Dan bentuk pengorbanan ecek-ecek lainnya yang telah kita lakukan. Coba lihatlah pengorbanan orang-orang terdahulu, ada yang disisir dengan sisir besi, ada yang digergaji, ada yang diikat dengan empat ekor kuda yang berlawanan arah, lalu kuda itu dipukul untuk lari sekencang-kencangnya hingga robeklah orang itu. Ada pula yang dibakar dengan tungku yang berisi minyak panas. Mereka dapat menerima resiko karena kesabaran yang ada pada dirinya.
Kesabaran adalah kuda-kuda pertahanan orang-orang beriman dalam meniti perjalanan ini. Bekal kesabaran mereka tidak pernah berkurang sedikit pun karena keikhlasan dan kesetiaan mereka pada Allah swt.
Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (Ali Imran: 146)
Bila kita memandang kehidupan generasi pilihan, kita akan temukan kisah-kisah brilian yang telah menyuburkan dakwah ini. Muncullah pertanyaan besar yang harus kita tujukan pada diri kita saat ini. Apakah kita dapat menyemai dakwah ini menjadi subur dengan perjuangan yang kita lakukan sekarang ini ataukah kita akan menjadi generasi yang hilang dalam sejarah dakwah ini.
Ingat, dakwah ini tidak akan pernah dapat dipikul oleh orang-orang yang manja. Militansi aktivis dakah merupakan kendaraan yang akan menghantarkan kepada kesuksesan. Semoga Allah menghimpun kita dalam kebaikan.
Wallahu’alam.
Sumber : Dakwatuna
Apalagi yang tersisa dari ketampanan setelah ia dibagi habis oleh Nabi Yusuf dan Muhammad? Apalagi yang tersisa dari kecantikan setelah ia dibagi habis oleh Sarah, istri Nabi Ibrahim, dan Khadijah, istri Nabi Muhammad SAW? Apalagi yang tersisa dari pesona kebajikan setelah ia direbut oleh Ustman bin Affan? Apalagi yang tersisa dari kehalusan budi setelah ia direbut habis oleh Aisyah?
Kita hanya berbagi pada sedikit yang tersisa dari pesona jiwa raga yang telah direguk habis oleh para nabi dan orang shalih terdahulu. Karena itu persoalan cinta selalu permanen begitu: jarang sekali pesona jiwa raga menyatu secara utuh dan sempurna dalam diri kita. Pilihan-pilihan kita, dengan begitu, selalu sulit. Ada lelaki ganteng atau perempuan cantik yang kurang berbudi. Sebaliknya, ada lelaki shaleh yang tidak menawan atau perempuan shalehah yang tidak cantik. Pesona kita selalu tunggal. Padahal cinta membutuhkan dua kaki untuk bisa berdiri dan berjalan dalam waktu yang lama. Maka tentang pesona fisik itu Imam Ghazali mengatakan: “Pilihlah istri yang cantik agar kamu tidak bosan.” Tapi tentang pesona jiwa itu Rasulullah SAW bersabda: “Tapi pilihlah calon istri yang taat beragama niscaya kamu pasti beruntung.”
Persoalan kita adalah ketidaksempurnaan. Seperti ketika dunia menyaksikan tragedi cinta Puteri Diana dan Pangeran Charles. Dua setengah milyar manusia menyaksikan pemakamannya di televisi. Semua sedih. Semua menangis. Puteri yang pernah menjadi trendsetter kecantikan dunia dekade 80-an itu rasanya terlalu cantik untuk disia-siakan oleh sang pangeran. Apalagi Camila Parker yang menjadi kekasih gelap sang pangeran saat itu, secara fisik sangat tidak sebanding dengan Diana. Tapi tidak ada yang secara obyektif mau bertanya ketika itu. Kenapa akhirnya Charles lebih memilih Camila, perempuan sederhana, tidak bisa dibilang cantik, dan lebih tua ketimbang Diana, gadis cantik berwajah boneka itu? Jawaban Charles mungkin memang terlalu sederhana. Tapi itu fakta, “Karena saya lebih bisa bicara dengan Camila.”
Kekuatan budi memang bertahan lebih lama. Tapi pesona fisik justru terkembang di tahun-tahun awal pernikahan. Karena itu ia menentukan. Begitu masa uji cinta selesai, biasanya lima sampai sepuluh tahun, kekuatan budi akhirnya yang menentukan sukses tidaknya sebuah hubungan jangka panjang. Dampak gelombang magnetik fisik berkurang Bukan karena kecantikan atau ketampanan berkurang. atau hilang bersama waktu. Yang berkurang adalah pengaruhnya. Itu akibat sentuhan terus menerus yang mengurangi kesadaran emosi tentang gelombang magnetik tersebut.
Apa yang harus kita lakukan adalah mengelola ketidaksempurnaan melalui proses pembelajaran. Belajar adalah proses berubah secara konstan untuk menjadi lebih baik dan sempurna dari waktu ke waktu. Fisik mungkin tidak bisa dirubah. Tapi pesona fisik bukan hanya tampang. Ia lebih ditentukan oleh aura yang dibentuk dari gabungan antara kepribadian bawaan, pengetahuan dan pengalaman hidup. Ketiga hal itu biasanya termanifestasi pada garis-garis wajah, senyuman dan tatapan mata serta gerakan refleks tubuh kita. Itu yang menjelaskan mengapa sering ada lelaki yang tidak terlalu tampan tapi mempesona banyak wanita. Begitu juga sebaliknya.
Itu jalan tengah yang bisa ditempuh semua orang sebagai pecinta pembelajar. Karena pengetahuan dan pengalaman adalah perolehan hidup yang membuat kita tampak matang. Dan kematangan itu pesonanya. Sebab, setiap kali pengetahuan kita bertambah, kata Malik bin Nabi, wajah kita akan tampak lebih baik dan bercahaya.
Kekuatan
Banyaknya tugas yang diemban pandu qur’ani lebih banyak dari waktu yang dimiliki, serta beratnya beban, rintangan dan tantangan tidak hanya memerlukan kecerdasan namun juga kekuatan dan ketahanan fisik yang tinggi. Mungkin disinilah letak rahasia mengapa Allah lebih mencintai mukmin yang kuat daripada yang lemah. Allah menilai seseorang berdasarkan amal perbuatannya. Seorang mukmin yang kuat akan sanggup melakukan amal yang lebih banyak dibanding mukmin yang lemah. Rasulullah bersabda:
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, meskipun pada keduanya terdapat kebaikan.”
Tidak heran jika pemimpin yang dipilihkan Allah untuk memimpin Bani Israil melawan kezaliman adalah orang yang memiliki keluasan ilmu sekaligus kekuatan fisik yang lebih baik daripada yang lainnya.Allah berfirman:
“Dan Nabi mereka berkata; sesungguhnya Allah telah mengutus Thalut menjadi raja kalian.Mereka berkata bagaimana mungkin ia menjadi raja kami sementara kami lebih berhak menjadi raja dibanding ia, dan ia tidak tidak memiliki harta yang banyak.Ia (Nabi mereka) berkata; sesunguhnya Allah telah memilihnya (Thalut) diantara kalian dan memberinya kelebihan dalam ilmu dan fisik.” (Q.S Al-Baqarah, 2:247)
Keterampilan
Tidak diragukan lagi bahwa keterampilan sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan setiap tugas dan persoalan yang dihadapi. Keterampilan sangat menentukan efisiensi dan efektifitas kerja, dua hal yang mendasari amal yang berkualitas. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam memerintahkan untuk membina keterampilan sejak dini. Beliau bersabda:
”Ajarilah anak-anak kalian memanah dan berenang.”
Demikian juga Umar bin Khattab berkata:
”ajarilah anak-anak kalian menaiki kuda dengan sekali lompatan.” Kecerdasan dan kekuatan seseorang yang dipadukan dalam latihan yang memadai menghasilkan keterampilan yang baik.Keberanian
Kecerdasan, kekuatan, dan keterampilan akan menjadi sia-sia dihadapan tugas dan persoalan tanpa keberanian bertindak dan menanggung resiko. Keberanian adalah salah satu indikasi frekwensi iman seseorang. Rasulullah bersabda:”Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemunkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya. Jika tidak sanggup maka dengan lisannya. Jika tidak sanggup lagi maka dengan hatinya, dan itulah iman yang paling lemah.” Hanya diatas iman dapat terukir amal saleh yang menghindarkan dari berbagai kerugian.
Pandu Keadilan hanyalah bahagian dari Pandu Qur’ani. Siapakah yang termasuk Pandu Keadilan? Yaitu semua kader Partai Keadilan Sejahtera. Agar memenuhi karakter pandu Qurani semua anggota pria Pandu Keadilan berkewajiban mengikuti mukhayyam kepanduan yang diselenggarakan Departemen Kepanduan dan turunannya di daerah minimal sekali setahun.
Kita berharap melalui mukhayyam terbangun dan terasah kecerdasan, kekuatan, keterampilan, dan keberanian serta buah dari keempatnya berupa keikhlasan, kepahaman, amal, jihad, tha’ah, tadlhiyah, tsiqah, tsabat, tajarrud, dan ukhuwwah yang membawa kepada kejayaan Islam, ampunan dan rahmat Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kita berlindung kepada Allah dari segala hal yang meruntuhkan karakter Pandu Qur’ani: ”Ya Allah kami berlindung kepadamu dari berbuat syirik kepadamu secara sadar, dan kami memohohon ampunanmu terhadap (perbuatan syirik) yang tidak kami sadari.Ya Allah kami berlindung kepadamu dari kegundahan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari kepengecutan dan kekikiran, dan dari lilitan utang dan penindasan orang-orang yang kuat.”
Selain mukhayyam wajib ada LPK (Latsar Pandu Keadilan) untuk berkiprah dalam regu-regu Pandu yang berada di bawah payung besar BRIGADE 2009, baik regu Pandu Reguler, RSP (Regu Siaga Pemilu), KORSAD (Korps Satuan Tugas Keadilan), maupun SANTIKA (Barisan Putri Keadilan). Allahu Akbar! Allahu Akbar! Walillahilhamdu!!!
Sumber : Pandu Keadilan
Suatu masa di sebuah negeri hadir sekelompok politikus yang berjuang secara sungguh-sungguh mewakili aspirasi rakyatnya. Perseteruan argumentasi secara sengit tak terhindarkan, meskipun semua itu tetap dilakukan dengan tutur kata yang sopan. Perbedaan pendapat tersebut lahir sebagai sebuah konsekuensi dari perbedaan latar belakang ideologi dan partai politik di antara mereka. Akan tetapi, perang kata hanya terjadi di ruang persidangan pada saat mereka bekerja untuk menemukan titik kompromi bagi rumusan besar yang akan menentukan masa depan kehidupan rakyatnya. Namun, kehangatan suasana segera menghampiri di sela-sela waktu istirahat. Bahkan suasana akrab, saling mengunjungi, tolong-menolong, dan percakapan hangat sambil menikmati secangkir kopi merupakan ciri dari interaksi antarmereka di luar persidangan.
Kisah itu bukan sebuah cerita dari negeri dongeng, melainkan fakta sejarah yang menghiasi perjalanan demokrasi bangsa Indonesia. Begitulah tokoh bangsa seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Kiai Isa Ansari, I.J. Kasimo, Oei Tjoe Tat, dan J. Leimena, mempertunjukkan kepada kita tentang cara berdemokrasi. Fakta sejarah tersebut memperlihatkan sikap kenegarawanan dan kedewasaan para pendiri bangsa dalam berdemokrasi. Tidaklah mengherankan jika tokoh-tokoh seperti mereka diberikan kehormatan mengisi lembaran emas sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Tentu masih segar dalam ingatan sejarah, bahwa Mohammad Natsir pernah berpolemik secara berkepanjangan dengan Soekarno di sekitar 1930-an. Namun, dia tampil sebagai pembela Soekarno di majalah Pembela Islam yang dikelolanya ketika Soekarno diadili pemerintah Belanda sebelum dibuang ke Ende. Salah seorang tokoh yang pernah menjadi Ketua Masyumi, Prawoto Mangkusaswito, memiliki hubungan yang begitu akrab dengan I.J. Kasimo yang merupakan tokoh Partai Katolik. Bahkan Kasimo pernah menghadiahkan sebuah rumah kepada Prawoto.
Para tokoh pendahulu tersebut mampu menempatkan diri dengan baik. Mereka sangat mengerti, kapan waktunya harus berbeda pendapat secara sengit dan kapan mereka harus menggugurkan kewajibannya sebagai manusia dengan berbuat baik kepada orang lain. Mereka pun mengerti kapan mereka harus mengenyampingkan perbedaan yang ada, untuk kemudian menyatukan kekuatan menghadapi penjajah.
Semangat nasionalisme yang telah lama bersemayam di lubuk sanubari para pendiri bangsa merupakan faktor yang mampu mendorong mereka untuk dapat berdemokrasi secara santun. Terlepas dari perbedaan ideologi yang ada, mereka memiliki kesamaan, yaitu semangat berkhidmat kepada negara dan bangsa. Gelora kerinduan untuk melihat rakyat Indonesia hidup dalam gelimang kesejahteraan, membuat mereka mampu menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Salah satu warisan penting dari para pendiri bangsa adalah tentang bagaimana membuat politik menjadi hidup dan menghindarkan diri mencari kehidupan dari politik. Sesungguhnya belajar tentang cara berdemokrasi secara santun, bagi bangsa Indonesia, tidaklah perlu harus pergi jauh menyeberangi samudra menuju Eropa dan Amerika. "Belajar sajalah kepada masa demokrasi pada 1950-an," demikianlah seorang indonesianis terkemuka, Daniel Lev, pernah berujar.
Lalu bagaimanakah wajah demokrasi bangsa Indonesia saat ini? Tingkah pola para elite politik dalam menghadapi Pemilu 2009 merupakan potret yang sesungguhnya tentang kualitas demokrasi bangsa Indonesia. Jika saja kita mau jujur tentang perilaku para politisi dalam berdemokrasi, maka kita akan tertunduk malu. Kedewasaan elite politik saat ini ternyata tidak mampu menandingi kearifan berdemokrasi para pendahulunya.
Berbagai situasi memprihatinkan terkait pelaksanaan Pemilu 2009 masih menghiasi pemberitaan media, seperti isu manipulasi DPT, masih banyak terjadi pelanggaran kampanye, pendekatan politik uang, keributan sesama pendukung saat kampanye akibat persoalan-persoalan sepele, kecenderungan untuk saling menjatuhkan antarsesama peserta pemilihan dan konflik internal partai. Seharusnya berbagai situasi yang menciderai kualitas demokrasi di Indonesia tersebut, dapat dihindari jika kita mampu memperbaharui pemaknaan terhadap Pemilu.
Pemilu sering kali sekadar dimaknai sebagai sebuah pesta demokrasi. Padahal pemilu bukanlah sebuah pesta karena pesta terlalu dekat dengan kesan hura-hura dan suasana gegap gempita sehingga terasa kurang berempati terhadap penderitaan yang masih banyak dialami oleh berjuta-juta rakyat Indonesia.
Pemilu juga sering diartikan sebagai ranah pertarungan. Padahal pemilu bukanlah area perseteruan karena yang saling berhadapan adalah kawan-kawan sebangsa dan setanah air. Sehingga tidaklah pantas jika peserta pemilu beserta pendukungnya memperlakukan pesaing bagaikan menghadapi musuh secara membabi-buta. Sesungguhnya kita perlu berhenti pada sebuah pertanyaan, untuk kepentingan apakah kita menjadi peserta atau pendukung salah satu peserta pemilu? Jika jawabannya adalah untuk kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia, kita perlu menghadapi pertanyaan selanjutnya. Mengapa kita tega berbuat kasar, berbuat curang, dan memusuhi para pesaing, padahal mereka merupakan orang-orang yang juga sedang kita perjuangkan nasibnya?
Pemilu bagi sebagian peserta, sering kali dimaknai sebagai jalan menuju kesejahteraan pribadi, keluarga, dan kelompoknya saja. Upaya dalam memuluskan jalan mereka menuju kursi kekuasaan dianggap sebagai investasi meraih keuntungan materi lebih besar. Ranah politik bagi sebagian orang dimaknai sebagai jalan pintas menjadi kaya. Sering kali mereka terpaksa menghalalkan berbagai cara demi melancarkan jalan menuju pintu kekayaan tersebut.
Sementara itu, sebagian rakyat memaknai pemilu sebagai kontes umbar janji. Sebagian rakyat merasa bahwa berkali-kali pemilu dilangsungkan, namun nuansa perubahan dalam kehidupan ekonomi tetap saja enggan menghampiri. Tetap saja kesejahteraan merupakan situasi langka dalam kehidupan mereka. Bagi mereka, para elite politik hanya menghampiri jika sedang memiliki keperluan politik. Sebagian rakyat merasa politisi bagaikan sekelompok orang narsis yang tidak bisa memahami lingkungan sekitar karena terlalu asyik dengan dirinya.
Beberapa pemaknaan pemilu tersebut merupakan manifestasi dari menipisnya semangat nasionalisme dalam keseharian bangsa Indonesia. Pendekatan negatif dalam memaknai pemilu merupakan buah dari pohon yang tidak dipupuk oleh keinginan untuk menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan kelompok.
Jika saja pemilu berada di tangan orang-orang yang memiliki semangat rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara, tentunya pemaknaan atas pemilu akan mengalami pembaharuan. Bangsa Indonesia telah merindukan lahirnya pemilu yang dimaknai sebagai ranah berkompetisi dalam mewujudkan Indonesia sejahtera. Semangat nasionalisme dan ukhuwah (persaudaraan) akan menghadirkan pemilu sebagai suatu sarana untuk menemukan metodologi terbaik dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Pemilu akan menjelma menjadi sebuah galeri tentang berbagai program dan kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Semangat nasionalisme akan menghindarkan para peserta pemilu dari upaya untuk saling menjatuhkan dengan menggunakan isu-isu yang tidak memiliki subtansi atau mengandung unsur-unsur kebohongan.
Ternyata kita memang masih harus merasa malu kepada para pendiri bangsa yang telah mengorbankan hidupnya demi tegaknya Republik Indonesia.
Sumber : Ahmad Heryawan
Sungguh amat banyak peluang beramal yang disediakan Allah SWT dan Rasul-Nya di bulan suci Ramadhan dengan balasan dan pahala yang berlipat ganda. Amalan itu bisa berbentuk amaliah yang berhubungan langsung dengan-Nya secara vertikal seperti shalat sunah, zikir, beristighfar, membaca tasbih dan tahmid, berdoa, dan lain sebagainya. Ataupun juga amalan yang berkaitan dengan penguatan hubungan kemanusiaan secara horizontal, seperti sedekah dan silaturrahmi. Ini semuanya disyariatkan dalam rangka membangun dan mengembangkan nilai-nilai ketakwaan pada setiap Mukmin dan Muslim yang melakukan ibadah shaum, sejalan dengan firman-Nya yang terdapat pada QS Al Baqarah [2]: 183
Amalan-amalan yang menggambarkan implementasi dan aplikasi nilai-nilai ketakwaan tersebut, tentu harus berkelanjutan dilakukan setelah selesai melaksanakan ibadah Ramadhan, agar menjadi sikap keseharian dan kepribadian yang utama (syakhsiyyah islamiyyah). Misalnya anjuran untuk berpuasa selama enam hari di bulan Syawal, sebagaimana dikemukakan dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim: Rasulullah SAW bersabda: ''Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka seolah-olah berpuasa satu tahun lamanya.'' Sungguh sangat indah anjuran ini, karena upaya pengendalian diri akan tetap terjaga di hari raya yang penuh dengan kegembiraan.
Kebiasaan bersilaturahmi dengan keluarga dekat ataupun dengan keluarga jauh, teman dan kerabat merupakan amalan yang sangat dianjurkan. Apalagi disertai dengan sikap yang ikhlas untuk saling memaafkan atas berbagai kesalahan dan dosa kemanusiaan yang terjadi sebelumnya.
Hati yang bersih, pikiran yang jernih, dan wajah yang penuh dengan keakraban disertai senyum persaudaraan merupakan unsur silaturahmi yang sangat penting. Diharapkan dengan amalan ini, akan mampu menghilangkan sifat dengki, iri, hasud, saling memfitnah, saling menjatuhkan dan saling menggunting dalam lipatan. Silaturrahmi semacam inilah yang akan menyebabkan dianugerahkan rezeki dan usia panjang yang penuh dengan keberkahan, disamping akan memperkuat solidaritas umat.
Menolong dan membantu kaum dhuafa, seperti orang-orang fakir-miskin, anak-anak yatim yang terlantar, dan janda-janda tua renta yang terabaikan, merupakan amalan yang harus terus-menerus dilakukan. Infak dan sedekah untuk kepentingan mereka maupun juga untuk kepentingan menegakkan syiar agama Allah merupakan amalan mulia yang harus terus-menerus dilakukan.
Tentu masih banyak amalan lainnya yang seyogyanya dilakukan oleh kaum muslimin setelah selesai melaksanakan ibadah shaum di bulan Ramadhan agar nilai-nilai ketakwaan terjaga secara konsisten dan istikamah.
Wallahu A'lam bi ash-Shawab.
Wallahu A'lam bi ash-Shawab.
Sumber : Pengajian Online
Manusia adalah makhluk yang terikat waktu. Sifat waktu itu dinamis, berjalan terus, menggerus apa dan siapa pun yang dilewatinya. Keadaan kita pun berubah sesuai dengan perjalanan waktu. Misalnya, boleh jadi, Ramadhan tahun lalu kita masih berstatus mahasiswa, sekarang sudah bergelar sarjana, atau bisa juga sudah drop out. Ramadhan tahun lalu, boleh jadi kita makan sahur ditemani ibunda tercinta, namun sekarang hanya ditemani ayahanda karena ibunda sudah berpulang kepada-Nya. Sadar atau tidak, perjalanan waktu juga akan mengubah keadaan kita.
Ketika waktu, umur, dan kesempatan masih berada pada genggaman kita, seringkali kita lalai betapa mahalnya waktu. Biasanya manusia baru tersadar betapa mahalnya waktu saat malakul maut sudah berada di hadapannya, ''Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu. Lalu ia berkata, 'Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan kematianku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh'.'' (QS Al Munaafiquun [63]: 10) Ayat ini menegaskan bahwa ada orang yang baru tersadar kalau dirinya belum punya perbekalan akhirat saat dijemput malakul maut. Ia lantas memohon, ''Ya Allah tangguhkan kematianku sesaat saja, agar aku punya kesempatan untuk beramal saleh.'' Penyesalan ini tak berarti, sebab kalau jatah umur sudah habis, sedetik pun tidak bisa diperpanjang.
Alhamdulillah, hingga detik ini Allah SWT masih memberikan kesempatan umur pada kita untuk menikmati keindahan dan keberkahan Ramadhan. Ramadhan adalah bulan yang memiliki sejumlah kemuliaan; bulan pengampunan (HR Bukhari), bulan dilipatgandakan semua pahala amal kebaikan (HR Muslim), bulan dikabulkannya doa (HR Ahmad), bulan dijauhkan dari api neraka (HR Bukhari), bulan dibukakan pintu surga dan dibelenggu setan (HR Bukhari), bulan kebahagiaan (HR Bukhari), serta bulan pencerahan karena diturunkannya Alquran (QS Albaqarah [2]:185)
Rasulullah SAW menegaskan tiga macam kualitas manusia dalam mengarungi hidupnya, ''Siapa yang kualitas dan kuantitas amal saleh hari ini sama dengan kemarin, itulah orang yang tertipu waktu. Siapa yang kualitas dan kuantitas amal saleh hari ini lebih buruk dibandingkan hari kemarin, itulah orang yang merugi. Siapa yang kualitas dan kuantitas amal saleh hari ini lebih baik dari hari kemarin itulah orang yang mendapat rahmat." (HR Ahmad)
Semoga dengan optimalisasi amal di bulan Ramadhan ini, kita bisa masuk dalam kelompok orang yang dirahmati. Amien ya Raabal 'Alamin.
Sumber : Pengajian Online
Rahasianya adalah karena kesabaran ibarat wanita yang melahirkan banyak sifat lainnya. Dari kesabaranlah lahir sifat santun. Dari kesabaran pula lahir kelembutan.
----------
Tidak ada keberanian yang sempurna tanpa kesabaran. Sebab kesabaran adalah nafas yang menentukan lama tidaknya sebuah keberanian bertahan dalam diri seorang pahlawan. Maka dahulu ulama kita mengatakan: "Keberanian itu, sesungguhnya hanyalah kesabaran sesaat."
Risiko adalah pajak keberanian. Dan hanya kesabaran yang dapat menyuplai seorang pemberani dengan kemampuan untuk membayar pajak itu terus-menerus. Dan itulah yang dimaksud Allah swt dalam firman-Nya: "Jika ada di antara kamu dua puluh orang penyabar, niscaya mereka akan mengalahkan dua ratus orang. Dan jika ada di antara kamu seratus orang (penyabar), niscaya mereka akan mengalahkan seribu orang kafir."(QS. Al-Anfal,8 : 65)
Ada banyak pemberani yang tidak mengakhiri hidup sebagai pemberani. Karena mereka gagal menahan beban risiko. Jadi keberanian adalah aspek ekspansif dari kepahlawanan. Tapi kesabaran adalah aspek defensifnya. Kesabaran adalah daya tahan psikologis yang menentukan sejauh apa kita mampu membawa beban idealisme kepahlawanan, dan sekuat apa kita mampu survive dalam menghadapi tekanan hidup. Mereka yang memiliki sifat ini pastilah berbakat menjadi pemimpin besar. Coba simak firman Allah swt ini: "Dan Kami jadikan di antara mereka sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar dan mereka selalu yakin dengan ayat-ayat Kami." (QS. As-Sajdah, 32 : 24)
Demikianlah kemudian ayat-ayat kesabaran turun beruntun dalam Qur'an dan dijelaskan dengan detil beserta contoh aplikasinya oleh Rasulullah saw, sampai-sampai Allah menempatkan kesabaran dalam posisi yang paling terhormat ketia la mengatakan: "Mintalah pertolongan dengan kesabaran dan sholat. Sesungguhnya urusan ini amatlah berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu'." (QS. Al-Baqarah, 2 : 45 )
Rahasianya adalah karena kesabaran ibarat wanita yang melahirkan banyak sifat lainnya. Dari kesabaranlah lahir sifat santun. Dari kesabaran pula lahir kelembutan. Bukan hanya itu. Kemampuan menjaga rahasia juga lahir dari rahim kesabaran. Demikian pula berturut-turut lahir kesungguhan, kesinambungan dalam bekerja dan yang mungkin sangat penting adalah ketenangan.
Tapi kesabaran itu pahit. Semua kita tahu begitulah rasanya kesabaran itu. Dan begitulah suatu saat Rasulullah saw mengatakan kepada seorang wanita yang sedang menangisi kematian anaknya: "Sesungguhnya kesabaran itu hanya pada benturan pertama." (Bukhari dan Muslim). Jadi, yang pahit dari kesabaran itu hanya permulaannya. Kesabaran pada benturan pertama menciptakan kekebalan pada benturan selanjutnya. "Mereka memanahku bertubi-tubi, sampai-sampai panah itu hanya menembus panah," kata penyair Arab nomor wahid sepanjang sejarah, Al-Mutanabbi.
Mereka yang memiliki naluri kepahlawan dan keberanian, harus mengambil saham terbesar dari kesabaran. Mereka harus sabar dalam segala hal: dalam ketaatan, meninggalkan maksiat atau menghadapi cobaan. Dan dengan kesabaran tertinggi, "sampai akhirnya kesabaran itu sendiri yang gagal mengejar kesabarannya," kata Imam Ibnul Qayyim.