Engkau mengira semua orang menghinamu.
Engkau mengira semua orang mengejekmu.
Engkau merasa semua orang mentertawakanmu.
Engkau menduga semua orang membencimu.
Padahal tidak begitu.
Yang terjadi adalah : semua orang tengah memperhatikanmu.
Oleh karena itu mereka akan segera mengetahui kualitas dirimu.
Ketegaranmu memberikan inspirasi bagi siapapun yang memperhatikanmu.
Ketabahanmu memberikan motivasi kepada semua orang di sekitarmu.
Ketulusanmu menguatkan langkah perjuanganmu.
Teruslah berjalan dan bekerja menggapai visi peradaban baru.
Tegakkan kepalamu, saudaraku.
Jangan ragu.
Allah tidak akan menyia-nyiakan semua usaha dakwahmu.
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Didorong oleh keluguan dan ketulusan, masyarakat biasanya menghargai para pahlawannya dengan cara yang berlebihan. Itu merupakan godaan berat bagi para pahlawan, di mana mereka sering merasa memiliki “hak prerogatif’ untuk menikmati semua kemurahan masyarakat untuk dirinya.
Godaan itu yang telah menjerumuskan banyak pahlawan ke dalam lumpur kenistaan, di mana mereka melakukan tindakan-tindakan yang tidak terhormat, merendahkan martabat sendiri, bahkan seperti nila, ia merusak semua telaga kepahlawanan yang ia ciptakan sendiri.
Kenyataan seperti ini paling banyak kita dapatkan dalam masyarakat paternalistik. Di sini orang-orang dengan mudah mendewakan para pahlawan. Dan para pahlawan dengan mudah mengidentifikasi diri sebagai sang dewa, dengan segala hak prerogatifnya. Termasuk melakukan berbagai tindakan tercela, namun tetap tampak terhormat di mata masyarakat.
Masyarakal paternalistik tidak memiliki kaidah yang pasti dalam mendewakan seseorang, sama seperti ia tidak mempunyai kaidah yang jelas dalam menistakan seseorang. Dalam masyarakat seperti ini, ketulusan bercampur baur dengan keluguan, keikhlasan bersahabat dengan kebodohan, dan semangat bertemu padu dengan kelatahan. Semua tindakannya cenderung ekstrem; cepat mendewakan, cepat pula mematikan. Dan semuanya dilakukan tanpa kaidah yang pasti dan jelas.
Begitulah dua tokoh penting negeri jni muncul ke panggung sejarah. Soekarno, dengan segala talenta sebagai politisi yang ia miliki, telah berhasil mengantar hangsa ini ke gerbang kemerdekaan. Dengan kharisma yang ia miliki, seluruh kekuatan politik di negeri ini dengan mudah dapat diatur di bawah kepemimpinannya. Namun, inilah celah godaan itu; ia menduduki tahtanya terlalu lama, terlalu nyaman, dan itu menggodanya menjadi seorang diktator sejati. Dan ketika rasa terima kasih bangsa ini sudah habis, mereka mencampakkan Soekarno ke dalam pojok sejarah yang sepi, sendiri, sampai mati.
Itu jugalah yang dialami Soeharto. Muncul sebagai pahlawan pembebas bangsa dari cengkeraman dan kebiadaban komunisme, Soeharto telah menikmati ucapan terima kasih bangsa ini selama 32 tahun. Itu terlalu lama, dan itu membuatnya terlena dalam buaian kekuasaan. Begitulah akhirnya. Ia menjadi diktator, untuk kemudian terjungkal dengan cara yang menyakitkan, dan meniti akhir hidup yang “kurang” menggembirakan, apalagi membanggakan.
Para pahlawan mukmin sejati, harus belajar dari pengalaman itu. Bahwa kepahlawanan di awal hidup, atau di penengahannya, tidak selalu berakhir dengan kecemerlangan yang sama. Terkadang, para pahlawan itu, dengan berbagai sebab, mengotori sendiri karya-karya kepahlawanannya, bahkan mungkin hanya dengan setetes nila. Meskipun masyarakatlah, dengan karakter budayanya, yang seringkali membuka peluang itu bagi para pahlawannya. ltulah sebabnya Islam menanamkan makna keikhlasan dan pertanggungjawaban kepada Allah dalam diri para pahlawannya, tetapi sekaligus menanamkan sikap rasional dan kritis kepada masyarakat. Hal ini agar para pahlawan itu dapat mencapai puncak kepahlawanannya, namun tetap dengan mendapat dukungan budaya masyarakatnya untuk tetap bertahan di puncak.
[Selanjutnya]
[Sebelumnya]Suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita tidur saling memunggungi
tapi jiwa berpeluk-peluk
senyum mendekap senyum
Suatu saat dalam sejarah cinta kita
raga tak lagi saling membutuhkan
hanya jiwa kita sudah lekat menyatu
rindu mengelus rindu
Suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita hanya mengisi waktu dengan cerita
mengenang dan hanya itu
yang kita punya
Suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita mengenang masa depan kebersamaan
kemana cinta kan berakhir
di saat tak ada akhir
[Selanjutnya]
Empat tahun lamanya Ibnu Khaldun (732-808 H/1332-1406) mengurung diri di pedalaman Afrika Utara untuk menuntaskan buku sejarah monumentalnya, Al ‘Ibar. Lima bulan diantaranya digunakan khusus untuk menulis kata pengantarnya, yang kelak dikenal dengan sebagai Al Muqaddimah. Empat tahun lagi sesudahnya ia gunakan untuk membaca ulang, mengedit dan memperbaiki buku itu hingga terbit. Di antara tahun 776-784 H, Ibnu Khaldun ‘menempatkan’ maqomnya dalam sejarah literatur Islam dan dunia sebagai filosof sejarah dan sosial, bahkan disebut sebagai pendiri ilmu sosiologi modern.
Seperti dalam dunia pengembaraan dan penulisan geografi, ilmu sejarah merupakan salah satu cabang ilmu yang paling banyak berkembang dalam sejarah pemikiran Islam. Ia juga merupakan buah dari perintah Qur’an untuk mengenal ruang dan waktu yang menjadi konteks di mana teks-teksnya akan diturunkan menjadi realitas. “Ketahuilah”, kata Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya, “bahwa sejarah adalah ilmu sangat berharga, sangat bermanfaat dan sangat mulia dalam tujuannya. Ia menjelaskan kepada kita tentang perilaku-perilaku umat terdahulu, jalan hidup nabi-nabi serta cara raja-raja mengatur negara-negara mereka. Dengan itu kita dapat meneladani mereka dalam urusan agama dan dunia.” Belajar sejarah adalah belajar tentang kehidupan dan seluruh aspeknya. “Sejarah”, lanjut Ibnu Khaldun, “membutuhkan banyak sudut pandang dan beragam pengetahuan serta kemampuan analisa untuk sampai pada kebenaran dan terbebas dari kesalahan.”
Sejarah menyadarkan kita akan efek akumulasi dari makna waktu. Kebahagiaan dan keruntuhan dalam sejarah perdaban manusia sebenarnya merupakan efek akumulasi dari perilaku dan budaya tertentu yang berkembang dalam masyarakat. Efek dari perilaku tidak akan tampak sekaligus. Ia muncul secara bertahap melalui deret waktu tertentu hingga mencapai limitnya lalu meledakkan efeknya. Sehingga di tahap-tahap awal efek dan gejalanya tidak terlihat. Itu yang membuat masyarakat terlena dan tidak menyadari bahwa mereka sedang berada di ambang bahaya besar. Itu terjadi saat sebuah peradaban menuju keruntuhannya. Begitu juga sebaliknya ketika ia merangkak naik menuju kejayaannya. Semua terjadi secara sekuensial melalui time series sebagai efek akumulasi.
Efek akumulasi dari waktu itulah yang membuahkan kemampuan berpikir sekuensial (sequential mind) yang juga merupakan faktor penting yang membentuk kemampuan berpikir strategis seseorang. Karena itu, sebagaimana geografi, sejaran dari dulu selalu melekat di dalam struktur pengetahuan raja-raja dan para pemimpin politik. Para Khulafaurasyidin, khususnya Abu Bakar dan Utsman bin Affan, dikenal luas di kalangan masyarakat jazirah Arab sebagai orang yang paling tahu tentang sejarah nasab suku-suku di masanya.
Setiap kali Nabi Muhammad SAW menghadapi masalah besar dan bersedih, Allah selalu menghiburnya dengan sejaran Nabi-nabi sebelumnya. Itu seperti pesan, bahwa beliau tidak sendiri perjuangannya. Ini adalah mata rantai kenabian yang panjang yang menghaadapi tantangan yang sama.
[Selanjutnya]
1. Mari Jumat ini mendaras kembali Surat Al Kahfi; mengambil ruh #AshabulKahfi, untuk kemudaan jiwa menghadapi zaman yang cepat berganti.
2. Para pemuda selalu mempesona. Lihatlah mereka: bahkan tidurnya pun membawakan perubahan, apalagi jika mereka terjaga. #AshabulKahfi
3. Muda identik dengan ‘hijau’. Masih hijau artinya terus tumbuh, berkembang, menghasilkan. Sementara yang matang, membusuk. #AshabulKahfi
4. Muda identik dengan ‘tak berpengalaman’. Tapi pengalaman artinya suka hadapi masalah baru dengan cara lama. Itu berbahaya. #AshabulKahfi
5. Muda identik dengan kebersamaan dalam prihatin. Kita kadang lebih sulit bersatu jika merasa telah banyak berpunya, berdaya. #AshabulKahfi
6. Muda identik dengan kejelasan sikap. Hitam/putih. Ya/tidak. Tak ada jalan ketiga. Ini hal tepat dalam soal ‘Aqidah. #AshabulKahfi
7. Muda identik dengan gejolak. Titik temu dari ragam gejolak jadi terobosan. Di situ masa depan, bukan pendalaman bidang tua. #AshabulKahfi
8. Muda identik dengan pesona & ketangguhan fisik. Bagaimanapun 2 hal ini membantu ide perubahan untuk tampil segar & cantik. #AshabulKahfi
9. Muda identik dengan ketergesaan, inginnya wujud sekilat. Maka sabarkan, ‘tidurkan gelora’ senyampang perangkat disiapkan. #AshabulKahfi
10. Muda identik dengan masa ketergodaan & gelimang nikmat. Maka mereka yang memilih jalan sunyi dalam juang, pasti istimewa. #AshabulKahfi
Ternyata, menikah bukan hanya sebuah penyaluran sifat fitrah manusia, namun sangat bagus dari segi kesehatan. Sebuah penelitian menunjukkan menikah dapat memperpanjang umur seseorang hingga 17 tahun. Luar biasa kan?
“The American Journal Of Epidemiology” merilis berbagai data hasil dari 90 penelitian yang dilakukan para peneliti dari University of Louisville. Ternyata pria lajang memiliki risiko kematian 32 % lebih tinggi dibandingkan pria yang menikah. Itu artinya, mereka kemungkinan meninggal 8 – 17 tahun lebih cepat dari rata-rata pria yang sudah menikah. Penilitian juga menunjukkan bahwa wanita lajang memiliki harapan hidup sebanyak 23 %, atau 7 – 15 tahun lebih rendah dibandingkan mereka yang telah memiliki pasangan hidup.
Para lajang yang masih muda punya resiko kematian dini yang lebih tinggi lagi. Resiko kematian untuk mereka yang masih lajang dan berusia 30-39 tahun sebesar 128 % lebih tinggi dibandingkan mereka yang sudah menikah dengan kisaran umur yang sama. Di sisi lain, para lajang yang sudah berusia 70 tahun hanya memiliki resiko kematian 16 % lebih tinggi. Mungkin ini disebabkan karena mereka telah “sukses” melalui masa lajang di usia muda (baca ulasannya di http://id.berita.yahoo.com/menikah-bikin-umur-lebih-panjang.html).
Hal ini semakin menguatkan pemahaman bahwa menikah adalah jalan penyaluran fitrah kemanusiaan. Pernikahan merupakan sebuah ajaran yang sesuai dengan fitrah manusia, yang akan menghindarkan manusia dari penyimpangan. Baik penyimpangan yang disebabkan karena kecenderungan nafsu yang dibebaskan, maupun karena dikekangnya kecenderungan nafsu tanpa adanya penyaluran. Agama telah memberikan jalan keluar yang sangat manusiawi berupa pernikahan.
Ketika gejolak syahwat dibiarkan bebas untuk memilih cara penyaluran, akan berdampak kepada berkembangnya berbagai penyakit seksual menular yang telah terbukti melemahkan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Penyakit AIDS merupakan salah satu contohnya. Penyakit ini telah menjadi momok yang menakutkan di kalangan para pemuja kebebasan, pada saat yang sama menjadi ancaman bagi kekokohan dan ketahanan sosial secara lebih luas. Menyalurkan kecenderungan nafsu secara liar dan bebas, tanpa aturan dan etika moral, terbukti telah mempercepat kematian.
Namun jika kecenderungan syahwat dikekang dan dimatikan tanpa penyaluran, hal inipun membahayakan kesehatan jiwa. Fitrah manusia menjadi tidak tersalurkan, dan memunculkan desakan keinginan yang terpendam. Kecuali apabila mereka bisa menyalurkan dengan jalan iman, sehingga tetap memiliki ruang penyaluran yang bercorak spiritual.
Apabila tidak ada ruang penyaluran sama sekali, yang terjadi hanyalah ketidakseimbangan yang berdampak kepada kesehatan jiwa. Sumbatan ini bisa membuat keguncangan jiwa, karena tumpukan keinginan tanpa ada jalan penyaluran.
Hasil penelitian sosial sudah barang tentu sangat relatif, tidak bisa dijadikan sebagai acuan yang bersifat mutlak. Kita tidak dituntut untuk “beriman” dengan hasil penelitian. Namun penelitian di atas bisa memberikan gambaran dan penjelasan yang lebih rasional tentang manfaat pernikahan secara lebih akademis. Bukan hanya tinjauan agama, moral, sosial dan psikologi, namun bahkan dikuatkan dengan tinjauan ilmiah hasil dari serangkaian studi dan riset.
Maka, jika ingin berumur panjang, menikahlah wahai para bujangan. Survei telah memberikan data dan hasilnya. Tinggal kita melaksanakan sesuai ketentuan agama, dan sesuai pula dengan aturan dari negara.