Ketika da’wah harus mampu menjangkau dan menggerakkan seluruh unsur masyarakat, maka pembesaran jumlah aktifis/kader sebagai anashir da’wah menjadi mutlak diperlukan. Dan ketika misi da’wah juga harus mampu menghasilkan perubahan-perubahan besar di berbagai aspek kehidupan, maka peningkatan kualitas kader menjadi suatu keniscayaan.
Perpaduan antara aspek kuantitas dan kualitas inilah yang digambarkan Allah SWT dalam ayat :”Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikutnya yang bertaqwa (rabbaniyyin), mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak pula menyerah kepada musuh. Allah menyukai orang-orang yang sabar (3/146).
Kualitas kader dalam kehidupan da’wah harus senantiasa mengikuti kebutuhan marhaliyah (tahapan) dan mihwar (era) da’wah. Semakin meningkat marhalah dan semakin meluas mihwar da’wah, maka kualitas kader pun dituntut untuk semakin berkembang. Bila yang terjadi sebaliknya, maka akan muncul bencana bagi da’wah. Apa saja bentuk bencana itu ?
Pertama, akan muncul kader-kader yang tidak mampu istiqomah didalam mengikuti irama perjalanan da’wah yang dinamis. Ia akan tersibukkan oleh problem-problem personal dan terjauhkan dari aktifitas da’wah. Hendaknya kita selalu mengingat satu ayat yang membuat rambut Rasul SAW beruban :”Maka istiqomahlah kamu (pada jalan yang benar), sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertobat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (11/112).
Kesabaran untuk menggapai janji-janji Allah adalah kunci rahasianya. ”Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhoanNya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas (18/128)
Kedua, munculnya sebagian kader yang menginginkan kehidupan da’wah sebagai sesuatu yang ringan dan menyenangkan secara duniawi. Mereka menjadi enggan ketika perjalanan da’wah ini begitu panjang dan membutuhkan pengorbanan yang banyak. Mereka cenderung menjadi orang yang ingin ”hidup dari da’wah” dan bukan ”menghidupkan da’wah”. Perhatikan firman Allah :”Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diraih dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu. Tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka bersumpah dengan (nama) Allah ’Jikalau kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu’. Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa mereka sesungguhnya benar-benar orang-orang yang berdusta (9/42)
Ketiga, munculnya ketidakmampuan didalam menjalankan misi da’wah di tengah-tengah masyarakat. Ini karena ISITI'AB (daya dukung dan daya topang) yang dimiliki kader semacam ini tidak seimbang dengan kebutuhan dan tuntutan da’wah yang semakin terbuka. Allah SWT mengarahkan Rasulullah SAW untuk menyiapkan diri sedemikian rupa agar mampu mengemban misi da’wah yang besar & berat. (74/1-7). Dalam hal ini ada tuntutan bagi para kader da’wah untuk senantiasa membekali dirinya dengan bekal-bekal utama da’i khususnya bekal ruhiyah ma’nawiyah dan amaliyah ta’abudiyah.
Keempat, akibat dari ketiga hal diatas, da’wah menjadi disibukkan oleh problematika internal yang menguras energi da’wah, sehingga tidak mampu menjalankan misi-misi perubahan secara efektif. Padahal misi utama da’wah adalah melakukan perubahan dan perbaikan secara nyata. ”...Dan aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nyalah aku kembali (11/88)
Kelima, akibat ketidakmampuan ini, timbul kesenjangan antara harapan besar masyarakat dengan apa yg bisa diberikan oleh da’wah. Lalu terjadi krisis kredibilitas dan krisis legitimasi. Krisis ini bisa jadi juga akan diramaikan oleh sejumlah kasus-kasus negatif yang dilakukan kader yang muncul ke permukaan.
Akhirnya, pada kondisi inilah, akan muncul pikiran di sebagian kader yang lemah untuk menarik kembali da’wah ke belakang. Mereka merasa lebih nyaman ketika da’wah ini belum berhadapan langsung dengan masyarakat secara terbuka. Cukuplah pelajaran dari kisah perang Uhud berikut ini : ”Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Dan mereka berkata :”janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas yang terik ini”. Katakanlah :”api neraka jahannam itu lebih sangat panas”, jikalau mereka mengetahui (9/81).
Inilah bencana yang bisa terjadi pada da’wah manakala aspek kualitas diabaikan.
Wallaahu a’lam…
Sumber : FBnya Fathur IzzIs
0 komentar