Untuk Siap Kita Berjuang?


عن عبد الله بن زيد أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما فتح حنينا قسم الغنائم فأعطى المؤلفة قلوبهم فبلغه أن الأنصار يحبون أن يصيبوا ما أصاب الناس فقام رسول الله صلى الله عليه وسلم فخطبهم فحمد الله وأثنى عليه ثم قال يا معشر الأنصار ألم أجدكم ضلالا فهداكم الله بي وعالة فأغناكم الله بي ومتفرقين فجمعكم الله بي ويقولون الله ورسوله أمن (رواه مسلم
Dari Abdullah Bin Zaid, bahwa Rasulullah saw., saat menaklukkan Hunain, membagi-bagikan ganimah (harta pampasan perang). Beliau memberi orang-orang yang hatinya sedang dijinakkan (muallafatu qulubuhum). Lalu sampai (berita) kepada beliau bahwa orang-orang Anshar pun ingin memperoleh apa yang diperoleh orang lain. Maka bangkitlah Rasulullah saw. berkhutbah seraya memuji dan menyanjung Allah lalu mengatakan, “Wahai segenap orang Anshar, bukankah dahulu aku menemukan kalian dalam keadaan tersesat lalu Allah memberi petunjuk kepada kalian dengan perantaraanku; kalian papa lalu Allah memberi kalian kecukupan dengan perantaraanku; kalian terpecah-belah lalu Allah mempersatukan kalian dengan perantaraanku?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nyalah yang paling banyak jasanya.” (Shahih Muslim juz II: 738)

Kemenangan yang diraih dalam perjuangan dapat menggoda sebagian orang untuk mengklaim –baik secara eksplisit maupun implisit– bahwa dirinyalah yang paling berjasa untuk kemenangan itu. Atau, kalaupun bukan merasa yang paling berjasa, paling tidak mengklaim bahwa dirinya berada dalam jajaran orang-orang berjasa. Dan karenanya, jama’ah dakwah diuntungkan dan berhutang jasa terhadap dirinya. Dalam perasaannya, wajar –bahkan ada yang menganggap harus– bila jam’ah dakwah memberikan kompensasi-kompensasi atas perjuangannya itu.

Tampaknya perasaan semacam itu manusiawi. Buktinya hal itu pernah pula terjadi pada masyarakat Islam terbaik yakni generasi sahabat Rasulullah saw. Hadits yang tertulis di atas adalah bagian dari nasihat yang disampaikan Rasulullah saw. kepada kaum Anshar. Secara lebih lengkap, Ibnu Hisyam dalam kitab sirahnya mencatat sebagai berikut:

Berawal dari cara Rasulullah saw. membagi-bagikan ganimah (harta rampasan perang) Hunain. Beliau membagi justru kepada orang-orang yang baru masuk Islam pada saat penaklukan Makkah (Fathu Makkah), yang notabene belum banyak perngorbanannya. Bahkan pada perang Hunain itu justru merekalah yang pertama lari tunggang-langgang saat mendapat gempuran awal dari musuh. Sedangkan orang-orang yang sudah sejak awal turut berjuang dan malang-melintang dalam kancah jihad, kaum Anshar, tidak mendapatkan sedikit pun dari ganimah itu. Sampai-sampai seseorang dari kalangan Anshar berkata kepada sesama mereka, “Sekarang Rasulullah saw. sudah bertemu dengan kaumnya.”

Desas-desus itu akhirnya sampai kepada Rasulullah saw. Beliau kemudian meminta pimpinan mereka, Sa’ad Bin Ubadah untuk mengumpulkan seluruh kaum Anshar itu di satu tempat. Setelah berkumpul, Rasulullah saw. datang untuk menasihati mereka. “Apa desas-desus yang berkembang di tengah-tengah kalian? Apa perasaan-perasaan yang ada di hati kalian terhadapku?” kata Rasulullah membuka khutbah, setelah bertahmid dan menyanjung Allah swt. “Bukankah aku datang kepada kalian dalam keadaan kalian tersesat lalu Allah memberi kalian petunjuk? Kalian miskin lalu Allah memberi kalian kecukupan? Kalian bermusuhan lalu Allah memadukan hati kalian?” Mereka mengatakan, “Benar, Allah dan Rasul-Nyalah yang paling berjasa dan paling utama.” Rasulullah saw. melanjutkan, “Wahai kaum Anshar, mengapa kalian tidak menjawabku?” Mereka menjawab, “Ya Rasulullah, dengan apa kami menjawab engkau? Allah dan Rasul-Nyalah yang paling berjasa dan paling utama.” Rasulullah saw. mengatakan, “Demi Allah, kalau kalian mau pasti kalian mengatakan –dan kalian pasti berkata jujur dan dapat dipercaya: ‘Engkau datang kepada kami, wahai Rasulullah, dalam keadaan didustakan lalu kami mempercayai engkau. Engkau datang dalam keadaan dihinakan lalu kami membela engkau. Engkau datang kepada kami dalam keadaan terusir lalu kami melindungi engkau. Engkau datang kepada kami dalam keadaan sengsara lalu kami membantu engkau’. Wahai kaum Anshar, apakah hati kalian lebih mencintai kemilau dunia yang dengannya aku menjinakkan hati sebagian orang agar teguh dalam Islam padahal aku mengandalkan kalian pada keislaman kalian?” Dan pada akhirnya kaum Anshar menyadari kekeliruan mereka dalam memposisikan diri mereka dan memandang Rasulullah saw. Mereka menangis sejadi-jadinya hingga janggut-janggut mereka basah dengan air mata seraya mengatakan, “Kami puas dengan Rasulullah saw. sebagai bagian kami.”

Rasulullah saw. mengingatkan kepada kita bahwa manakala kita mendapat hidayah Allah swt. untuk masuk dalam barisan Islam, menjadi prajurit Allah, lalu melakukan perjuangan dan pengorbanan untuk Islam, maka sesungguhnya itu bukanlah jasa kita untuk perjuangan Islam. Melainkan justru jasa dan karunia Allah kepada kita sekalian. Tanpa hidayah Allah itu kita hanya akan menjadi manusia dengan kualitas benda mati semacam kayu (khusyubum-musannadah), bahkan bagaikan binatang ternak (kal-an’am). Dan tanpa terlibat dalam perjuangan, kita hanya akan menjadi orang-orang yang tidak punya apa pun untuk menjawab pertanyaan Allah swt. saat kita menghadap-Nya: apa yang telah kau lakukan di dunia?

Sungguh, perjuangan kita untuk menegakkan Islam di muka bumi ini sama sekali bukan jasa untuk Allah swt. Karena Dia, tanpa bantuan manusia, mampu menegakkan Islam dengan tangan-Nya sendiri. Dan Allah tidak mendapat keuntungan sedikit pun dari ketaatan manusia. Sebaliknya Dia juga tidak rugi sedikit pun bila seluruh manusia ingkar pada-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak membutuhkan) sekalian alam. Dan firman-Nya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (Adz-Dzariyaat: 56-58)

Bukan pula perjuangan kita untuk membela dan menguntungkan Rasulullah saw. Karena, pertama kita sudah jauh dari masa hidup Rasulullah saw. Dan kedua, para sahabat yang nyata-nyata terlibat dalam perjuangan dan pengorbanan bersama Rasulullah saw. saja pun hakikatnya bukan membela Rasulullah saw. Karena tanpa bantuan kaum Muslimin pun Rasulullah saw. sudah nyata-nyata dibela oleh Allah swt. Kepada para sahabat yang habis-habisan membela dan berjuang untuk Islam bersama Rasulullah saw. itu Allah swt. berfirman: “Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Makkah) mengeluarkannya (dari Makkah) sedang dia salah seseorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah berduka cita, sesungguhya Allah bersama kita”. Maka Allah menurunkan ketenangan kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 40)

Lalu, apakah perjuangan dan pengorbanan kita menguntungkan Islam? Islam tanpa kita, akan ada orang lain yang memperjuangkannya. Allah swt. menegaskan hal itu dengan ayat-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Al-Maidah: 54)

Rasulullah saw. pun bersabda, “Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang menegakkan kebenaran tanpa terganggu oleh orang yang menghinakan dan menentang mereka, hingga datang kemenangan dari Allah dan mereka tetap dalam keadaan demikian.” (Muslim)

Jadi harus kita sadari, sesungguhnya segala yang kita lakukan dalam perjuangan dengan segala macam bentuk pengorbanan adalah jasa kita untuk diri kita sendiri. Untuk diri kita saat menghadap Allah swt. Sebab, setiap kita hanya akan memperoleh apa yang kita lakukan di dunia. “Dan seseorang tidak akan memperoleh selain dari apa yang telah dia usahakan.” Iman, hijrah, jihad dengan harta dan jiwa, itulah yang akan menghantarkan kita menjadi orang yang sukses sejati, sebagaimana yang Allah jelaskan: “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan.” (At-Taubah: 20). Allahu a’lam.

Sumber : Dakwatuna

Rachmat Naimulloh

Ingin artikel seperti diatas langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.




0 komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda disini