Faqih dan "Sufi"


Pertarungan dua kubu ini nyaris tak pernah berakhir, kecuali di tangan ulama yang menjadikan kefaqihan dan "kesufian" sebagai pakaian diri sebelum menjadi tarikan grafitasi in grouping. Cukup adil vonis yang dijatuhkan Alim Quraisy bagi perseteruan klasik ini.
Menjadi faqih dan sufi, jangan jadi satu saja.
Kunasehati engkau agar waspada.
Yang ini keras, hatinya tak pernah mengenyam
takwa.
Yang ini jahil, apa dengan jahil bisa lurus suatu
perkara?
Ketika bidikan menympang satu millimeter, apakah peluru yang melelat dari laras juga akan menympang satu millimeter dar sasaran? Sebagian kaum sufi yang memuja dzauq (rasa) sebagai ukuran absolute, kerap melecehkan fuqaha yang bersiteguh pada dhawabith (patokan-patokan) yang terkadang terkesan formalistik. Kelak akan bermunculan kaum pencinta kebenaran yang begitu santun, berbinar hati dan bermagnet besar, dengan kadar penympangan fiqh sampai tingkat yang tak bisa ditoleransikan. Para fanatikus fiqh yang kering ruhani, kerap jatuh pada fatwa yang sofistik (safsathah) dan anarkis. Walaupun terdengar naïf, namun nyata ada kebanggaan fatwa: "Seseorang yang menggauli istrinya di siang hari bulan Ramadhan, dapat membayar qadha’nya hanya sehari. Syaratnya ia harus membatalkan puasanya terlebih dahulu dengan makan atau minum!"

Atau kisah 50 santri yang sangat bangga dengan kealiman mereka seraya melecehkan orang-orang yang beragama dengan jahil yang karenanya menjadi susah. Mereka duduk membuat lingkaran. Yang pertama mengikrarkan, 3 ½ liter beras di tangannya menjadi zakat fithr yang ia serahkan kepada santri disampingnya. Santri kedua menjadikan zakat yang telah menjadi miliknya itu sebagai zakat bagi santri ketiga dan seterusnya sampai kembali ke muzakki pertama. Dengan cerdas mereka berhasil membayar zakat fithr 3 ½ liter untuk 50 orang! Semoga ini terobosan "cerdas" 50 orang yang sudah tak punya apa-apa lagi, selain 3 ½ liter pada seseorang diantara mereka.

Di seberang sana tanpa label faqih atau sufi ada seorang perempuan yang menolak kehadiran mertua, karena suami berpesan jangan menerima kehadiran siapa pun selama ia musafir. Atau ada seorang lelaki yang pergi berbulan-bulan meninggalkan anak dan istri tanpa nafkah, karena alasan perjuangan yang sangat mulia, berdakwah ke segala penjuru mata angin.

Rachmat Naimulloh

Ingin artikel seperti diatas langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.




0 komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda disini