Sahabat Sang Pahlawan


Anda harus waspada dan berhati-hati! Sebab, disini ada jebakan kepahlawanan yang sering menipu banyak orang. Sahabat para pahlawan belum tentu juga pahlawan. Inilah tipuannya. Para pahlawan mungkin tidak tertipu, tetapi orang-orang yang bersahabat dengan para pahlawanlah yang lebih sering tertipu.

Dalam lingkungan pergaulan, para pahlawan adalah parfum. Apabila berada ditengah kerumunan, maka semua orang akan kecipratan keharumannya. Apabila ada “orang lain” yang mulai mendekat dan mencium keharuman itu, mungkin ia sulit mengenali dari mana keharuman itu berasal.

Situasi ini tentu saja menguntungkan orang-orang yang mengerumuni sang pahlawan. Mendapatkan peluang untuk diduga sebagai pahlawan. Itulah awal mula kejadiannya. Orang-orang biasa selalu merasa puas dengan bergaul dan menjadi sahabat para pahlawan. Mereka sudah cukup puas dengan mengatakan, “Oh, pahlawan itu sahabatku,” atau ungkapan “Oh, pahlawan itu seangkatan denganku.” orang-orang itu tidak mau bertanya, mengapa bukan dia yang menjadi pahlawan.

Akan tetapi, ada “orang biasa” yang mempunyai sedikit rasa megaloman, semacam obsesi kepahlawanan yang tidak terlalu kuat, namun ada dan meletup-letup pada waktu tertentu. Orang-orang seperti ini sering merasa telah menjadi pahlawan hanya karena ia bersahabat dengan para pahlawan. Dan karenanya, sering berperilaku seakan-akan dialah sang pahlawan.

Yang kita saksikan dalam kejadian ini adalah suatu proses identifikasi “orang biasa” dengan sahabatnya yang “pahlawan”. Ini merupakan tipuan jiwa: seseorang tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan para pahlawan, tetapi mau menyandang gelar kepahlawanan, dengan memanfaatkan kamuflase persahabatan.

Persahabatan memang sering menipu, bukan karena tabiat persahabatan yang memang menyimpan tipuan, tetapi karena sebuah “kebutuhan jiwa” tertentu, yang memanfaatkan persahabatan untuk memenuhinya. Maka, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, suatu ketika memperingatkan para “murid” yang sedang menuntut ilmu di bawah bimbingan para ulama. Katanya, “Waspadalah, jangan merasa telah menjadi ulama, hanya karena bergaul dan bersahabat dengan para ulama.”

Apakah kita harus meninggalkan sahabat-sahabat kita yang para pahlawan itu? Tentu saja tidak! Yang perlu kita lakukan adalah meluruskan perasaan kita sendiri dan meluruskan pandangan terhadap diri kita sendiri. Suatu saat, Buya Hamka membawa istrinya kedalam sebuah majelis, dimana ia akan berceramah. Tiba-tiba, tanpa diduga, sang protokol juga mempersilahkan juga istri beliau untuk berceramah. Mereka tentu berprasangka baik: istri sang ulama juga mempunyai ilmu yang sama. Dan, istri beliau benar-benar naik ke podium. Buya Hamka terhenyak. Hanya satu menit. Setelah memberi salam, istrinya berkata, “Saya bukan penceramah, saya hanya tukang masak untuk sang penceramah.”

Jangan melakukan identifikasi diri yag salah. Jangan menilai diri sendiri melampaui kadarnya yang objektif. Namun, ada yang jauh lebih penting dari itu. Jangan pernah berpikir untuk menjadi pahlawan, tanpa melakukan pekerjaan-pekerjaan para pahlawan.


Rachmat Naimulloh

Ingin artikel seperti diatas langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.




2 komentar

  1. Mizan mengatakan.... [Jawab]
    pada tanggal 28 Februari 2010 pukul 08.16

    Pertamax...!!! (tumben :)) )
    hmmm.. teman yang jadi pahlawan ya...!! bagus juga tulisannya sob..
    kalo benalu yg selalu nimbrum ama si pahlawan itu berarti penjahatnya ya?? hehe.. ga papa sih yg teman emang ada untung & ruginya, tapi di situlah letak serunya.. x(

  2. Muchlisin mengatakan.... [Jawab]
    pada tanggal 28 Februari 2010 pukul 18.41

    Merasa menjadi pahlawan hanya karena dekat dengan sang pahlawan memang menipu. menjadikan kita tidak berkembang karena sudah merasa besar dan menjadikan hidup justru tak bermakna di hadapan-Nya karena kita menganggap hidup kita telah banyak berjasa.

Silahkan tinggalkan komentar Anda disini