Pengetahuan kita memang sedikit. Teramat sedikit. Hanya seperti setetes embun di lautan pengetahuan Allah. Itupun tidak bisa dengan sendirinya menciptakan peristiwa-peristiwa kehidupan kita. Kesalahan kita, dengan begitu, selalu ada disitu; saat dimana kita menafsirkan seluruh proses kehidupan kita dengan pengetahuan sebagai tafsir tunggal. Tapi setetes embun itu yang sebenarnya memberikan sedikit kuasa bagi manusia atas peserta alam raya lainnya, dan karenanya membedakannya dari mereka.
Walaupun bukan dalam kerangka hubungan kausalitas mutlak, Allah tetap saja menyebutnya sulatan; kekuasaan, kekuatan. Pengetahuan menjadi kekuasaan dan kekuatan karena Allah dengan kehendak-Nya meniupkan kuasa dan kekuatan itu kedalamnya kapan saja Ia menghendaki-Nya. Dan karena pengetahuan itu adalah input Allah yang diberikannya kepada akal sebagai infrastruktur komunikasi manusia dengan-Nya, maka ia menjadi penting sebagai penuntun bagi kehidupan manusia. Dalam kerangka itulah Allah mengulangi kata ilmu, dengan seluruh perubahan morfologisnya, lebih dari 700 kali dalam Al-Qur’an. Di jalur makna seperti itu pula Rasulullah saw. mengatakan: “Siapa yang menginginkan dunia hendaklah ia berilmu. Siapa yang menginginkan akhirat hendaklah ia berilmu. Siapa yang menginginkan kedua-duanya hendaklah ia berilmu.”
Ada sesuatu yang tampak tidak bertemu disini; antara ilmu yang sedikit, dan kuasa yang diberikan Allah pada ilmu yang sedikit itu. Yang pertama menyadarkan kita akan ketidakberdayaan kita. Tapi yang kedua menggoda kita dengan kekuasaan besar atas dunia kita. Kisah Fir’aun, Haman dan Qarun, adalah kisah-kisah orang-orang yang gagal menemukan titik temu antara keduanya. Sebaliknya ada kisah Yusuf dan Sulaeman yang menemukan simpul perekat antara kedua situasi.
Yusuf menguasai perbendaharaan negara karena ia, seperti yang beliau lukiskan sendiri, hafiz ‘aliim; penjaga harta yang tahu bagaimana cara menjaganya. Ilmu tentang bagaimana menjaga harta kekayaan negara telah memberinya posisi tawar politik yang kuat dalam kerajaan. Begitu juga dengan kerajaan Sulaeman yang disangga oleh para ilmuwan yang bahkan melampaui kedalaman ilmu pasukan Jinnya. Sebab pasukan Jin hanya mampu memindahkan singgasana Balqis dari Yaman ke Palestina dalam waktu antara duduk dan berdirinya Sulaeman. Sementara para ilmuwannya mempu memindahkan singgasana itu dalam satu kedipan mata. Itu bukan pengiriman data dan suara seperti dalam sms dan hubungan telepon. Tapi pengiriman barang atau cargo.
Luar biasa. Bukan terutama pengetahuannya yang luar biasa. Tapi tafsir Sulaeman atas itu semua: “Ini adalah keutamaan dari Tuhanku, yang dengan itu Ia hendak menguji aku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (kufur) nikmat itu.” Sulaeman memahami bahwa Allahlah yang meniupkan sedikit kuasa pada pengetahuan itu. Sedikit kuasa itu membuatnya percaya diri di depan Balqis dengan menggunakan diplomasi teknologi dalam menyampaikan risalah, tapi juga membuatnya rendah hati dan bersyukur di depan Allah.
Itulah kata kuncinya: kerendahan hati dan kepercayaan diri. Persis seperti embun; sejuk karena kerendahan hati, tapi tak pernah berhenti menetes karena percaya bahwa dengan kelembutannya ia bisa menembus batu.
[Sebelumnya]
0 komentar