Aplikasi Syahadat dalam Kehidupan


“Apakah kamu mengira kamu akan dibiarkan (begitu saja), sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. At-Taubah,9 : 16)

Beranjak dari kandungan ayat di atas, mari kita coba telusuri realitas sejarah kondisi umat Islam saat ini, khususnya mentalitas dan sepak terjang para kader dakwah di Tanah air, terutama dalam menyikapi dan meyakini makna syahadat. Dengan kata lain, sejauhmana seorang muslim mampu mengaplikasikan makna dua kalimat syahadat dalam hidup dan kehidupannya.

Kita tahu, ucapan syahadat memang sangat mahal, sebab punya resiko yang sangat tinggi. Pernyataan (syahadat) tersebut punya makna yang tidak sederhana, pengakuan sekaligus pembatalan, menyangkut sesuatu yang sangat mendasar dan prinsipil dalam hidup dan kehidupan seorang muslim. Berbarengan dengan itu, harus ada kesiapan dan konsekwen dengan segala tuntutan yang mengiringinya. Persoalannya, dengan pernyataan itu, sekaligus berarti kita turut mendaftarkan diri untuk mendapat “kavling surga” di akhirat kelak.

Tentu tidak sedikit persyaratan yang mesti dipenuhi oleh seorang mukmin, sebagai konsekwensi syahadat. Disamping harus mampu mengaplikasikan syariat dalam batasan rukun iman dan islam, ia juga dituntut untuk selalu menegakkan keadilan dalam segala kondisi, baik keadilan dalam kontek ilahiyah maupun basyariah, seperti memperjuangkan rakyat kecil yang sering tertindas dan tercampakkan hak-hak kemanusiaannya. Tak terkecuali, memperjuangkan nasib para TKI yang sering jadi sapi perahan semua pihak, dari calo sampai majikan.

Mari sejenak kita tengok suri tauladan Nabi saw. dan para sahabatnya dalam menegakkan keadilan. Sawad ibn Gazyah adalah salah seorang sahabat yang pernah terkena pukulan Nabi saw. di saat perang Badar. Waktu Nabi saw. sedang meluruskan barisan, tiba-tiba Sawad maju ke depan (tidak lurus dengan barisan). Lalu Nabi saw. memukul perutnya dengan anak panah, “Lurus dalam barisan, hai Sawad!” Sawad memprotes, “Ya Rasulallah, Anda telah menyakitiku, padahal Allah telah mengutusmu dengan kebenaran dan keadilan. Aku tidak terima. Aku ingin menuntut qishas.” Para sahabat yang lain berteriak, “Hai Sawad, engkau mau menuntut balas dari Rasulullah?” Mendengar tuntutan Sawad, Nabi saw. menyingkap perutnya, “Balaslah!” (lihat : “Islam Aktual,”)

Sampai sedemikian Nabi saw. menyikapi arti sebuah keadilan. Dan ciri khas sosok mujahid dakwah seperti yang Nabi saw. miliki dan para sahabatnya ikuti adalah semangat pengabdian mereka yang luar biasa terhadap umat. Sampai ketika beliau mendekati ajal, yang pertama kali beliau khawatirkan adalah keadaan umatnya, “ummati…, ummati…,” bukan menghawatirkan bagaimana istri dan anak-anaknya, apalagi mengkhawatirkan harta peninggalannya.

Terkait dengan begitu mulianya pengabdian dan perjuangan membela rakyat kecil dan tertindas, Ahamad Wahib pernah berkomentar, “Seandainya hanya tangan kiri nabi Muhammad saw. yang memegang al-Hadits, sedang tangan kanannya tidak memegang wahyu Allah (al-Qur’an) maka dengan tegas aku katakan, Karl Mark dan Frederik Angels lebih hebat dari utusan Allah itu. Otak dan pengabdian --kepada rakyak tertindas-- kedua orang itu yang luar biasa, akan meyakinkan setiap orang bahwa kedua orang besar itu adalah penghuni surga tingkat pertama, berkumpul dengan para nabi dan syuhada." (lihat: “Pergolakan Pemikiran Islam”, catatan harian Ahmad Wahib)

Pemikiran yang cukup kontroversial ini jangan kita maknakan sebagai suatu kesimpulan final bahwa kedua tokoh sosialis itu akan masuk surga (sebab menurut keyakinan kita, bagaimanapun hebatnya seseorang, selagi tidak beriman, ia tidak akan masuk surga). Apalagi Ahmad Wahib cuma bicara dalam kontek ”seandainya”. Titik tekan yang dikehendaki di sini adalah betapa mulianya kedudukan seseorang yang hidup dan kehidupanya semua dicurahkan untuk pengabdian kepada umat, terutama pengabdian untuk masyarakat miskin, bodoh, dan tertindas. Semangat pengambdian seperti inilah yang perlu dimiliki para kader dakwah.

Sikap lain yang mesti dimiliki para kader dakwah adalah sikap gentleman, berani berbuat (progresif) dan berani bertanggung jawab (siap mengahdapi resiko dakwah). Lebih lanjut Ahmad Wahib berkomentar, “Pada saat ini, terlihat banyak sikap mental (masyarakat Indonesia) yang mengalami degradasi, termasuk dalam sikap mental bertanggung jawab. Beberapa orang pada mulanya kelihatan sangat potensial untuk berwatak penuh tanggung jawab, ternyata kemudian menjadi pelempar tanggung jawab. Kalau terus dibiarkan, kata Ahmad wahid, bangsa Indonesia akan menjadi society of responsibility shifters. Karena itu, di kalangan anak muda Indonesia harus tampil beberapa orang yang berani melawannya dan menegakkan masyarakat yang bertanggung jawab.

Sejarah Islam pernah mencatat nama besar seorang mujahid dakwah yang dengan tegas dan berani mengambil sikap penuh resiko, sekalipun kesempatan untuk mendapatkan “keselamatan” terbuka lebar-lebar untuknya. Namun karena apa yang telah beliau lakukan adalah suatu kebenaran dan mesti diperjuangkan maka beliau berani mengatakan “ya”, ketika hati nuraninya mengatakan demikian. Dialah Syiekh al-Badawi, ulama pejuang dari India (sebelum pecah menjadi India-Pakistan) yang pernah dituduh turut mengambil bagian dalam pemberotakan melawan penjajah Inggris tahun 1859. Waktu itu, beliau dihadapkan ke muka pengadilan untuk diadili (apakah beliau benar terlibat atau tidak). Kebetulan saat itu hakim yang mengadilinya adalah bekas murid beliau sendiri. Di saat-saat genting keputusan akan dibacakan, hakim tadi sempat memberi pesan melalui sahabatnya, agar beliau mengingkari tuduhan itu, supaya beliau bisa dibebaskan oleh hakim pengadilan. Akan tetapi al-Badawi menolak tawaran itu, dan dengan tegas beliau berkata, “Bagaimana aku mengingkari tuduhan itu, padahal aku turut memberontak?”

Dengan demikian terpaksa hakim menjatuhkan vonis hukuman mati. Ketika beliau diseret ke tiang gantungan, hakim (bekas muridnya) itu mendekat dan menangis, sambil berkata kepada gurunya, “Andaikata pada saat yang penting ini Tuan cukup mengatakan di muka pengadilan bahwa tuduhan (ikut pemberontakan) itu dusta dan tidak terlibat dalam pemberontakan, niscaya aku akan membebaskan Tuan dari hukuman mati.” Dengan satria al-Badawi menjawab, “Apakah kamu hendak menghapus amal selama ini dengan berkata dusta? Kalau demikian maksudmu, rugilah aku. Sesungguhnya aku turut dalam pemberontakan itu, dan lakukanlah apa yang kamu kehendaki.” Akhirnya sang guru dinaikkan ke tiang gantungan. (lihat, Abu Hasan an-Nadawi dalam buku (terj) “Apa Derita Dunia Bila Islam Mundur,” 1983)

Dalam peristiwa lain, sejarah Islam pernah mencatat seorang kader dakwah (berusia muda) yang gagah berani siap mengorbankan jiwanya demi mempertahankan ukhuwah Islamiyah, yakni ketika ia berusaha menahan pertumpahan darah untuk menuju perdamaian antara pasukan Ali bin abi Thalib ra. dengan pasukan Aisyah ra. yang dalam sejarah dikenal dengan peristiwa Perang Jamal.

Ketika itu, kedua pasukan sudah mendekat, untuk terakhir kalinya, Ali megirim Abdullah bin Abbas ra. menemui pasukan pembangkang, mengajak bersatu kembali dan tidak saling menumpahkan darah. Ketika usaha ini pun gagal, Ali ra. berbicara di hadapan para sahabatnya, sambil mengangkat mushaf al-Qur’an di tangan kanannya, “Siapa di antara kalian yang bersedia membawa mushaf ini ke tengah-tengah pasukan musuh. Sampaikan pesan perdamaian atas nama al-Qur’an. Jika tangannya terpotong, peganglah al-Qur’an ini dengan tangan yang lain. Jika tangan itu pun terpotong, gigitlah dengan gigi-giginya sampai terbunuh.”

Seorang pemuda Kufah bangkit menawarkan dirinya. Karena usianya masih terlalu muda, mula-mula Ali ra. tidak menghiraukannya. Lalu ia menawarkan kepada sahabat-sahabatnya yang lain. Namun tak seorang pun menjawab. Akhirnya Ali ra. memberikan al-Qur’an itu kepada anak muda tadi. “Bawalah al-Qur’an ini ke tengah-tengah mereka. Katakan kepada mereka, 'Al-Qur’an berada di tengah-tengah kita. Demi Allah, janganlah kalian menumpahkan darah kami dan darah kalian.'"

Tanpa rasa gentar dan dengan penuh keberanian, pemuda tadi berdiri di depan barisan pasukan Aisyah ra. Dia mengangkat al-Qur’an dengan kedua tangannya, mengajak mereka untuk memelihara ukhuwah. Teriakannya tidak didengar. Malah dia disambut dengan tebasan pedang. Tangan kanannya terputus. Lalu ia mengambil mushaf dengan tangan kirinya, sambil tidak henti-hentinya menyerukan perdamaian. Untuk kedua kalinya tangannya ditebas. Dia mengambil mushaf dengan gigi-giginya, sementara tubuhnya sudah bersimbah darah. Sorot matanya masih menyerukan perdamaian dan mengajak mereka untuk memelihara darah kaum muslimin. Akhirnya orang pun menebas lehernya.
Inna lillaahi wa innaa ilai raaji’uun. Pejuang perdamaian itu roboh. Orang-orang membawanya ke hadapan Ali bin Abi Thalib ra. Ali mengucapkan do'a untuknya, sementara airmatanya membasahi wajahnya. “Sampai juga kita harus memerangi mereka.” Demikian Ali mengambil keputusan. (lihat: ”Islam Aktual”)

Dua catatan sejarah yang digoreskan dengan tinta emas oleh al-Badawi dan pemuda Kufah tadi dapat kita pahami sebagai suatu bukti adanya kekuatan supra humanis yang dimiliki seseorang ketika dirinya mengerti bahwa keyakinan akan suatu kebenaran syahadat mampu membebaskan seseorang dari ketergantungan diri terhadap selain Allah. Mentalitas seperti ini hanya bisa dimiliki kader dakwah yang dalam hidup dan kehidapannya memegang teguh lima (5) prinsip kehidupan seorang muslim sejati, yaitu mengakui dan meyakini : 1) Allah adalah Rabbnya, 2) Muhammad adalah utusan-Nya, 3) Al-Qur’an adalah pedoman hidupnya, 4) Jihad adalah amal perbuatannya, dan 5) Mati sebagai syuhada adalah cita-citanya.

Bila setiap kader dakwah berpegang teguh dengan lima prinsip di atas, insya Allah ia akan mampu menghadapi segala ujian iman, sehingga Allah akan mengetahui, apakah ia benar-benar menjadi orang yang beriman seperti yang disinggung dalam QS. At-Taubah,9 :16, atau tidak. Oleh karena itu, mari kita coba evalusi kembali kualitas syahadat kita. Selanjutnya, apakah lima prinsip kehidupan tadi sudah kita miliki atau belum? Wallahu a’lam.

Sumber : PIP Arab Saudi

Rachmat Naimulloh

Ingin artikel seperti diatas langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.




0 komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda disini