Orang-Orang Beriman Itu Bersaudara!


“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S Al-Hujurat: 10)

Ayat ini dinamakan dengan ayatul ukhuwwah karena berbicara tentang konsepsi Qur’ani yang baku bahwa setiap orang yang beriman terhadap orang lain yang seakidah dengannya adalah bersaudara. Konsep ukhuwwah yang berlandaskan iman ini tepat berada di pertengahan surah Al-Hujurat yang dinamakan juga dengan surah ‘Al-Adab’ karena isi kandungannya yang sarat dengan pembicaraan tentang adab dalam maknanya yang luas; adab dengan Allah, adab dengan RasulNya, adab dengan diri sendiri dan adab dengan sesama orang yang beriman.

Sesungguhnya perbedaan adalah sunnatullah yang tidak akan berubah. Di sinilah iman yang berbicara menyikapi perbedaan tersebut dalam bingkai akidah.

Secara redaksional, keterkaitan dan hubungan antar orang yang beriman begitu erat digambarkan dalam ayat di atas karena menggunakan istilah ‘ikhwah’ bukan ikhwan yang secara bahasa ikhwah bermakna saudara sekandung yang mempunyai hubungan dan ikatan darah keturunan. Seolah-olah mengisyaratkan sebuah makna yang dalam bahwa ikatan ideologis sama kuatnya dengan ikatan nasab, bahkan seharusnya lebih besar dari itu. Di sini mengandung arti bahwa keimanan seseorang masih harus diuji dengan ujian persatuan dan persaudaraan tanpa memandang ras, suku, dan bangsa. Rasulullah mengingatkan eratnya hubungan antar orang beriman dengan tamsil yang indah, “Seorang mukmin bagi mukmin yang lain ibarat satu bangunan yang saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya. Kemudian Rasulullah menggenggam jari-jemarinya.” (H.R Bukhari dan Muslim)

Yang menarik perhatian di sini, pembicaraan Allah tentang kesatuan umat yang dominan dalam surah ini didahului dengan perintah untuk mendahulukan Allah dan RasulNya atas selain keduanya dalam semua aspek. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului atas (aturan) Allah dan RasulNya. Dan bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S Al-Hujurat: 1). Hal ini menunjukkan bahwa Allah sebenarnya sangat menginginkan kebaikan untuk hamba-hambaNya yang beriman. Untuk itu, Allah mencabut dari dalam hati mereka sifat kufur, fasik, dan kemaksiatan sehingga mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk. Dan inilah sesungguhnya kenikmatan dan keutamaan yang tidak terhingga bagi setiap muslim yang tercermin dalam ungkapan Allah “Fadhlan minallah wani’mah”.

Sayyid Quthb menyimpulkan berdasarkan ayat di atas bahwa taat kepada Allah dan RasulNya merupakan benteng yang kokoh untuk menghindari perpecahan dan pertikaian yang akan merapuhkan kekuatan dan persatuan umat. Karena dengan mendahulukan taat kepada Allah dan RasulNya, maka akan lenyaplah benih-benih pertikaian yang kebanyakannya berawal dari perbedaan cara pandang yang bersumber dari hawa nafsu yang diperturutkan. Sehingga mereka masuk ke dalam kancah peperangan dalam keadaan menyerahkan segala urusan secara totalitas kepada Allah swt. Inilah faktor yang sangat fundamental bagi kebaikan generasi terbaik dari umat ini sepanjang sejarah.

Di sini jelas, konsekuensi dari ukhuwwah seperti yang ditegaskan oleh ayat ukhuwah di atas adalah adanya sikap saling menyayangi, memberikan kedamaaian, keselamatan, saling tolong menolong, dan menjaga persatuan. Inilah prinsip yang harus ditegakkan dalam sebuah masyarakat muslim. Sedangkan perselisihan dan perpecahan merupakan pengecualian dari sebuah ukhuwah yang harus dihindari. Maka memerangi kelompok yang merusak persatuan dan ukhuwah umat adalah dibenarkan, bahkan diperintahkan dalam rangka melakukan ishlah dan mengembalikan mereka ke dalam barisan kesatuan ini. “Maka perangilah kelompok yang melampaui batas sehingga mereka kembali kepada aturan Allah swt.” (Q.S Al-Hujurat: 9)

Dalam hal ini, Rasulullah saw. memberi motivasi akan pentingnya menjaga keutuhan umat dengan menjaga persaudaraan diantara mereka, “Sesungguhnya kedudukan seorang mukmin di kalangan orang-orang beriman adalah seperti kepala dari tubuhnya. Ia akan merasa sakit jika badannya sakit.” (H.R Imam Ahmad). Nash hadits yang mirip dengan ini adalah sabda Rasulullah yang bermaksud, “Perumpamaan orang-orang beriman dalam kecintaan, kelembutan dan kasih sayang di antara mereka ibarat satu tubuh. Jika salah satu anggota sakit, maka seluruh anggota turut merasakannya dengan tetap berjaga dan demam.” (H.R Muslim dan Ahmad). Dalam riwayat Muslim juga dinyatakan, “Orang-orang yang berlaku adil akan berada di atas mimbar yang bercahaya di hari kiamat. Yaitu mereka yang berlaku adil dalam urusan orang-orang muslim dan tidak berlaku dzalim.” Kemudian Rasulullah membaca ayat ukhuwah di atas. Maka ayat ini merupakan ilat dari perintah untuk melakukan ishlah terhadap sesama muslim untuk memelihara dan membangun ukhuwah antar mereka.

Pada tataran kaidah ilmu Al-Qur’an, meskipun ayat ini turun karena sebab tertentu, namun ayat ini merupakan ayat muhkam yang harus dijadikan sebagai kaidah umum yang bersifat universal yang akan tetap berlaku bagi setiap kejadian di tengah-tengah komunitas kaum beriman, karena iman dan ukhuwwah merupakan harga yang sangat mahal, sampai Allah tetap menamakan mereka ‘orang yang beriman‘ meskipun terjadi perselisihan, bahkan peperangan di antara dua golongan tersebut seperti yang ditegaskan dalam firmanNya, “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya.” (Q.S Al-Hujurat: 9). Inilah realitas Qur’ani yang sangat mungkin terjadi pada siapapun dan kelompok manapun. Namun tetap Allah mengingatkan satu prinsip, yaitu ukhuwah dan persatuan umat merupakan modal untuk meraih rahmat Allah swt. seperti yang tercermin dari petikan ayat terakhir ‘La’allakum turhamun’ supaya kamu mendapat rahmat.

Ayat-ayat selanjutnya berbicara tentang tips Qur’ani untuk memelihara dan menjaga keberlangsungan ukhuwwah. Di antaranya: pertama, siap menerima dan melakukan Ishlah (fa’ashlihu bayna akhawaikum). Kedua, menghindari kata-kata hinaan/olok-olokan (la yaskhar qaumun min qaumin). Ketiga, menghindari su’udz zhan (ijtanibu katsiran minadz dzan). Keempat, menghindari ghibah dan mencari-cari kesalahan (la tajassasu wala yaghtab ba’dhukum ba’dhan). Seluruh etika dan adab ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang senantiasa dipandu dan merujuk kepada barometer iman.

Sesungguhnya setan memang telah berputus asa dari membujuk dan menggoda manusia agar menyembahnya di jazirah Arab. Maka mereka akan senantiasa menyemai benih permusuhan dan pertikaian di antara orang-orang yang beriman. Maka ishlah harus dilakukan dengan cara apapun –meskipun menurut Syekh Sholih bin Al-Utsaimin– harus mengorbankan segalanya, karena hasil aktivitas ishlah itu selalu baik, dan itu demi menjaga kesatuan umat. “Wash-Shulhu Khair”.

Syekh Musthafa Masyhur dalam bukunya “jalan dakwah” mengingatkan betapa penting dan perlunya bersaudara karena Allah dalam konteks dakwah dan keumatan. Inilah yang pertama sekali Rasulullah lakukan ketika mempersaudarakan antara orang-orang muhajirin dan Anshor. Merekalah contoh teladan yang indah dan agung tentang cinta dan ikrar yang mengutamakan persaudaraannya lebih dari segalanya. “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (Q.S Al-Hasyr: 9)

Saatnya kita mulai melihat sejauh mana peran kita di dalam membangun dan memelihara kesatuan umat Islam. Jangan sampai kemudian kita justru menjadi pelopor atau provokator terjadinya perpecahan umat. Karena dakwah Islam adalah dakwah yang dibangun di atas prinsip persaudaraan sesuai. Dalam kamus generasi awal umat Islam, menjaga keutuhan dan kesatuan umat merupakan amal prioritas yang menduduki peringkat pertama dari amal-amal yang mereka lakukan. Dan sarananya adalah dengan memelihara, membina, dan memperkuat tali persaudaraan antar mereka yang sesungguhnya sejak awal telah diikat oleh Allah ketika seseorang menyatakan keIslamannya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara.”

Sumber : Dakwatuna

Rachmat Naimulloh

Ingin artikel seperti diatas langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.




0 komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda disini