Kecemasan itu Saudara Kembar Harapan


Negeri dengan ideologi Pakdeisme ini telah mencampakkan para pemuda berbakat dan memanjakan para keponakan Pak De, koruptor dan asampah masyarakat untuk menjadi pengambil keputusan strategis. Ledakan angkatan sekolah begitu melimpah-ruah. Seorang pemuda, masih tetap tenang melenggang ketika usianya menginjak tangga ke-30. Dan seorang pemudi nyaris menjerit ketika tangga ke-20 mulai digapainya. Ada apa?


Dalam tradisi kita, bujang berfikir dengan membangun rumah tangga, ia harus memikul sesuatu dan bagi gadis rumah tangga adalah kondisi dimana ia menjadi objek yang dipikul. Seribu sumpah boleh kau ucapkan: “Demi Allah, saya tak hendak jadi beban suami, karena saya bisa mandiri.”

Perlu banyak bermunculan Ummu Sulaim yang menjadikan maharnya adalah Islam sang calon, bukan limpahan harta. Ada lagi yang jauh lebih penting, qona’ah, sumarah, dan pasrah. Sekarang perhatian harus lebih difokuskan kepada pembangunan magnit dakwah. Aktifis dakwah bukanlah birokrat yang mati rasa dan hidup dalam rutinitas mekanik. Mereka bernuat dengan iman dan sangat sadar Dakwah ini punya ‘MAJIKAN’. Mustahil Ia yang sempurna melupakan hamba-Nya.

Istri Abu Wadaah bukan melarang sang suami pergi belajar kepada ayahnya, Sa’id bin Musayyab, melainkan karena ia telah mewarisi ilmu yang cukup dari sang Imam untuk ‘mensetarakan’ sang suami. Sudah saatnya dunia — termasuk dunia laki-laki — menerima argumentasi dakwah kalian yang mapan, manusiawi, islami, qur’ani, nyunnah, dan fitri. Cukup waktu sampai sah untuk mengatakan tak terjadi sesuatu dan harapan kalian berujung kecewa. Dakwah ini terlalu kokoh untuk dibantah hanya oleh dalil-dalil juz-iyah. Jangan lihat hidup dari fenomena-fenomena, lihatlah dari hakekat. Kecuali keresahan hati dan kekakuan sikap yang tak pandai kau cairkan, selebihnya adalah senandung nasib yang kau boleh rintihkan bagi zaman sesudahmu atau jadikan itu sebagai khazanah do’a yang akan kau panen di hari esok.

Asiyah istri Fir’aun tak menikmati lingkungan glamour yang memanjakannya, tak mengagumi suami kafir yang menyayanginya dan tak merasa nyaman di lingkungan zalim yang menghormatinya. Ia menyindir semua kenikmatan dan hingar-bingar dunia dengan do’anya: “… Ya Rabbi, bangunkan kiranya untukku disisi-Mu sebuah rumah di syurga, selamatkan daku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkan daku dari kaum yang zalim.” (Q.S At-Tahrim, 66 : 11)

Ini bukan pelarian diri dari kekecewaan, tetapi pilihan sadar untuk pergi ke medan. Ini komitmen untuk bekerja, mewujudkan harapan dan member makna kehidupan. “Wahai orangh-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” (Q.S Al-Anfal, 8 : 24)

Selamat Dhuha! Anak-anak mushalla kampus itu sedang melepas putra-putri pertama mereka ke kuliah perdana.


Rachmat Naimulloh

Ingin artikel seperti diatas langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.




1 komentar

  1. Laksamana Embun mengatakan.... [Jawab]
    pada tanggal 14 Desember 2009 pukul 03.44

    POstingan yang mnrik pnnuh dengan mamfaat di dalamnya... Slalu yang ada di bwa klau berkunjung ksini,, thanks kang..

    Lam knal dari Laksamana Embun, Bagaimana kalau kita tukran link kang, Linknya akang udah Embun pasan..

    thans

Silahkan tinggalkan komentar Anda disini