Perjalanan Panjang Sang Murabbi


KH Rahmat Abdullah dilahirkan di kota Jakarta pada tanggal 3 Juli 1953. Putra kedua dari 4 (empat) bersaudara ini hidup dari keluarga asal Betawi yang sederhana dan taat beragama. Pada usia 11 tahun ia harus menapaki hidupnya tanpa asuhan sang ayah, saat itu ia mulai berstatus sebagai seorang anak yatim.

Awal pendidikan resminya, disamping dididik oleh kedua orangtuanya, ia memasuki sebuah perguruan Islam yang terkenal di Jakarta, Perguruan Asy-Syafi’iyah bimbingan KH Abdullah Syafi’i (tokoh Islam yang berwibawa di kota ini) hingga menamatkan sekolah tingkat Aliyah (tingkat menengah) dengan prestasi yang gemilang.

Rahmat Abdullah muda sangat berbeda dengan kaum remaja seusianya pada saat itu. Ia taat beribadah, disamping mempunyai karakter dan akhlaq yang mulia. Hari-harinya dihabiskan untuk belajar, membaca dan membaca. Bahkan di usianya yang sangat muda, ia telah memposisikan dirinya sebagai guru ditempat ia menuntut ilmu.

Dunia ilmu adalah dunia yang sangat melekat dalam dirinya. Kegemarannya membaca Al Qur’an dan aneka buku membuat ia jauh lebih cepat matang dibandingkan dengan remaja-remaja lain pada umumnya. Di saat inilah ia banyak membaca pikiran-pikiran para tokoh perjuangan, seperti HOS Cokro Aminoto, Moh. Natsir, Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb, Maududi dan tokoh-tokoh lainnya. Di samping ia tetap menekuni kitab-kitab klasik (kitab kuning) sebagai warisan sejarah.

Kebersihan jiwanya telah mengantarkan Rahmat Abdullah menjadi pemuda pembelajar cepat yang sangat cemerlang seperti sebuah lautan ilmu tanpa menyandang gelar. Ia perpaduan antara khazanah ilmu-ilmu keislaman klasik dan pandangan Islam modern yang tidak dimiliki oleh banyak orang yang berlabel sang ustadz.

Dunia seni dan sastra sebagai media komunikasi budaya juga merupakan bagian bagi dirinya yang tak pernah lepas. Antara bakat dan semangat yang telah melekat. Ia gemar dzikir dan fikir, membaca fenomena alam yang kemudian diekspresikan dalam bentuk produk seni, seperti puisi, esai, butir-butir nasyid dan naskah drama. Oleh karena itulah banyak orang cenderung menjulukinya sebagai seorang ”budayawan”.

Sebagai da’i sejati, ia habiskan waktu, tenaga serta pikirannya untuk kegiatan da’wah. Siang dan malam dilaluinya pengajian demi pengajian tanpa mengenal lelah dan keluh kesah. Ia menjadi tempat anak-anak muda berkonsultasi, berbagi rasa, curahan hati tanpa ada batas waktu ”pelayanan ummat”. Itulah peran yang ia mainkan hingga kini.

Sebagai seorang Mubaligh, ia dikenal memiliki karakter yang khas. Kemampuan retorika tinggi yang dihiasi oleh sentuhan sastra yang unik, acap kali membuat para pendengar menangis sebagaimana kemampuan ia membangkitkan semangat yang menggelora ketika ia mengangkat isu tentang jihad.


Rachmat Naimulloh

Ingin artikel seperti diatas langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.




0 komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda disini