Darah Muhammadiyah Anis Matta


Sebagian besar masa kecil saya dihabiskan di desa kelahiran saya, di sebuah desa di Bone, Sulawesi Selatan. Setelah itu ikut orangtua ke Ambon, sempat sekolah SD di sana. Tapi tak lama kemudian balik lagi ke kampung sampai tahun 1979.

Saya bukan termasuk anak yang istimewa waktu kecil. Waktu SD saya termasuk siswa yang tidak menonjol. Saya cuma dikenal di kalangan teman-teman sebagai orang yang pintar bergaul, diterima oleh semua teman-teman.


Masuk Pesantren
Prestasi belajar saya termasuk yang jelek. Prestasi saya mulai bagus ketika di pesantren. Di pesantren saya juara dari awal sampai akhir.

Saya masuk pesantren tahun 1980 sampai tahun 1987, sebuah pesantren Daarul Arqom, Muhammadiyah di Ujung Pandang. Usia saya ketika masuk pesantren 11 tahun. Di situ awal yang sangat mempengaruhi pola fikir saya. Karena di pesantren itulah saya mulai belajar dewasa. Di sana saya mulai belajar membaca.

Pesantren saya itu bukan pesantren besar. Waktu saya masuk, muridnya hanya puluhan, terletak di pinggir kota dan masih bernuansa hutan. Tapi di dalam lingkungan yang kecil itu, ada semangat pembelajaran yang tinggi di kalangan santri, bukan pada mata pelajaran saja, tapi juga pada masalah-masalah umum. Jadi ada satu semangat dunia pemikiran.

Karena pesantren itu milik Muhammadiyah, jadi kita diwajibkan ikut organisasi pelajar Muhammadiyah. Dianjurkan untuk aktif berkiprah. Di situlah saya mulai aktif berkiprah di pergerakan pelajar, juga aktif di dunia pergerakan Islam.

Paman sayalah yang selalu mendorong untuk masuk pesantren. Orang tua saya tidak terlalu banyak mengerti masalah itu. Justru paman saya yang mendorong supaya masuk pesantren.

Orangtua
Waktu saya SD, orangtua saya sangat berkecukupan. Orangtua saya mulai bermasalah secara ekonomi ketika saya di pesantren. Orangtua saya pedagang dan tidak berpendidikan. Bapak saya sama sekali tidak pernah sekolah, belajar membaca sendiri. Ibu saya sempat sekolah di SR tapi sebentar. Jadi, orangtua saya tidak mempunyai pola pendidikan yang spesifik. Cuma yang paling berpengaruh bagi saya ada dua hal. Pertama, di keluarga saya berkembang nilai-nilai demokrasi, ada kebebasan. Hubungan kita dengan orangtua bukan hubungan yang hirarkis. Kita dekat dengan orangtua, bebas bicara apa saja dengan 'orangtua. Kedua, orangtua saya cenderung mengikuti keinginan tapi tidak intervensi dalam pilihan-pilihan pendidikan.


Rachmat Naimulloh

Ingin artikel seperti diatas langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.




0 komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda disini