Keyakinan, adalah kesederhanaan. Sebuah kesederhanaan yang lahir dari kuatnya jiwa dan karakter seseorang. Keyakinan juga yang membuat Rasulullah, tak pernah berhenti berdo’a untuk penduduk thaif meski lemparan batu, hinaan hingga penolakan terhadap beliau bersama risalahnya. Keyakinan juga yang menumbuhkan kecintaan yang membara seorang Khalid bin Walid dengan dinginnya malam ketika perang dibanding bermesraan bersama seorang gadis cantik. Keyakinan pula yang membuat Ali bin abi Thalib dengan berani menggantikan Rasulullah ketika beliau hendak dibunuh oleh kaum Quraisy. Keyakinan itu tumbuh.. kuat mengakar.. Lahir dari keluhuran budi, kokohnya karakter, dan bersumber dari dentuman cinta mengabadi yang tak pernah padam untuk Allah dan jihad di jalan-Nya.
Keyakinan adalah teman setianya gairah yang selalu bersumber dari cinta. Keyakinan adalah kekuatan yang takkan pernah habis untuk selalu memberi energi bagi jiwa untuk menunggu, “membangun”, menguatkan, hingga berbagai defenisi tindakan yang terkadang tak bisa diterima oleh akal. Keyakinan hadir seperti sumber cahaya, ia adalah sumbu lilin yang terus terbakar, ia adalah sumbu sinaran yang menjadi alat untuk memberikan ruang terangnya.
Jika keyakinan adalah alasan terbesar seseorang untuk bertahan. Maka pasangan jiwanya adalah kesabaran. Kesabaranlah yang membuat orang untuk terus bersama dengan keyakinannya. Jika keyakinan adalah sumbu untuk memberikan cahaya, maka kemampuan untuk menerangi selama mungkin adalah sebuah defenisi sederhana tentang kesabaran. Kesabaran selalu menghasilkan berjuta pesona bagi sejarah. Bagaimana Sayyid Qutb lebih memilih untuk bersabar bersama dengan siksaan penjara di zamannya, kesabarannya-lah yang membuat cerita jihad menggelora di dalam dada jutaan pejuang di seantero mayapada. Bagaimana Yusuf AS, yang lebih memilih penjara agar mampu terus mengenal-Nya. Bagaimana sumayyah meneladani semua wanita dengan semangat jiwanya untuk terus bersabar menahan siksaan kaum kafir hingga menjadi syuhada pertama dalam Islam. Mereka adalah karakter-karakter yang menyejarah.. selalu indah untuk dikenang.
Gabungan antara keyakinan dan kesabaran akan menghasilkan semangat yang takkan pernah padam. Keberanian akan menjadi temannya, kesolehan akan menjadi pakaian mereka, kebeningan hati akan selalu mengisi hidup mereka, dan hasilnya… Karya-karya besar bagi peradaban akan tercipta dari segala bentuk usaha mereka.
Yakinlah… bahwa Allah takkan pernah menyia-nyiakan segala usahamu.. Bersabarlah, hingga kelak… Ketika sabarmu telah habis masanya.. Perbahuilah terus ia dengan sebuah KEYAKINAN… Bahwa Allah takkan pernah membuatmu kecewa…
O Allah, I wanna thank you
I wanna thank You for all the things that you’ve done
You’ve done for me through all my years I’ve been lost
You guided me from all the ways that were wrong
I wanna thank You for bringing me home
Alhamdulillah, Alhamdulillah
All praises to Allah, All praises to Allah
Alhamdulillah, Elhamdulillah
All praises to Allah, All praises to Allah.
-Maher Zain-
Sumber : Dakwatuna
Menemukan kadiah-kaidah yang mengatur jalannya sejarah akan mengantar kita pada temuan lain: memfirasati zaman. Kaidah-kaidah sejarah itu adalah sunnatullah fil hayat, hukum-hukum kehidupan yang permanen, berlaku sepanjang waktu. Dari situ kita bisa menilai apakah hidup kita sedang berjalan naik, atau sedang berjalan datar, atau sedang terjun bebas ke bawah.
Menafsir berbagai peristiwa kehidupan dengan teks seperti menemukan gambaran utuh dari wajah kita di depan sebuah cermin besar yang terang benderang. Di dalam kerangka teks semua peristiwa itu terangkai sebagai satu kesatuan yang berjalan pada sebuah alur sejarah yang jelas, bukan serpihan kisah yang tidak saling terhubung. Merangkai peristiwa-peristiwa itu seperti mengkonstruksi bangunan waktu untuk membaca apa yang disebut orang-orang bijak sebagai tanda-tanda zaman.
Ada zaman misalnya, dalam kehidupan manusia, yang disebut dalam teks Qur’an dan Sunnah sebagai zaman fitnah. Zaman itu hadir dengan ciri-ciri utama seperti: waktu terasa berlalu begitu cepat, merajalelanya kebodohan, matinya orang-orang berilmu, munculnya pemimpin yang kekanak-kanakan, berkurangnya minat orang berbuat kebaikan, kecenderungan orang menjadi semakin pelit, banyaknya pembunuhan dan seterusnya. Imam Bukhari dalam Shahihnya menyebut semua ciri itu dalam Kitab Fitnah.
Jika dalam suatu kurun waktu tertentu peristiwa-peristiwa itu bermuncul secara berturut-turut dan atau bersamaan, maka itu adalah tanda-tanda zaman fitnah. Dalam situasi seperti ini, kata Nabi SAW: “Yang duduk lebih baik dari yang berdiri, yang berdiri lebih baik dari yang berjalan, yang berjalan lebih baik dari yang berlari; siapapun yang menghampiri fitnah itu pasti akan dihancurkan oleh fitnah itu. Maka siapapun yang bisa menemukan tempat untuk bersembunyi atau berlindung, hendaklah ia segera melindungi dirinya daripadanya” (Imam Bukhari dari Abu Hurairah)
Cobalah membaca berbagai berita di media tentang berbagai peristiwa di sekeliling kita, lalu rangkai semua itu dalam sebuah rekonstruksi yang menyeluruh, kemudian cobalah bawa ke hadapan cermin teks yang terang benderang, lalu berpikirlah: Apakah isyarat Alloh dalam semua peritiwa itu? Ke manakah zaman sedang berjalan?
Setiap peristiwa kehidupan bukanlah serpihan yang tidak saling berhubungan. Peristiwa-peristiwa itu adalah rangkaian panjang yang digerakkan oleh kaidah-kaidah tertentu –berupa nilai-nilai, ide-ide, kebiasaan-kebiasaan, tradisi, budaya. Itu terjadi secara sangat dinamis, dan biasanya berlangsung dalam sebuah satuan waktu yang lebih besar.
Bisakah misalnya, Anda membaca bagaimana medan-medan perang yang bertebaran begitu banyak di abad yang lalu menentukan arah zaman kita di abad ini?
I
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini
II
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak utus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama,
Di negeriku rupanya sudah diputuskan
kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,
lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil
karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,
sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
Merekalah Jiwa-Jiwa Badar
Yang laungannya imannya menggelegar
Yang bayangan syurganya kian luas menghampar
Yang laungannya imannya menggelegar
Yang bayangan syurganya kian luas menghampar
Ragu mereka keluar menjemput kaum kuffar. Ketiadaan pengalaman, jauhnya perjalanan, minimnya perbekalan. Bayangan tentang kematiana meredupkan semangat berjuang, padahal Rabb mereka menjanjikan kemenangan. Berbantahan mereka tentang kebenaran yang sudah nyata tentang berjumpanya dua kekuatan.....
Badar, nyanyiannya menggeterkan.
Sedangkan Allah menetapkan yang hak itu pantas diteguhkan dan yang syirik itu harus dilumpuhkan.
Dua pasukan mesti dipilih Jiwa Badar. Satunya membawa kekayaan dunia, gemerlapnya, kemegahannya. Lainnya menjanjikan perjuangan berat berhiaskan darah, keringat, air mata, denting pedang, lesat tombak, dan..... kematian.
Sedangkan Rabb mereka menjanjikan Syurga yang penuh kenikmatan dibalik kesulitan berjuang.Sedangkan Nabi mereka menyerukan kemenangan abadi.
”Berangkatlah menuju syurga yang luasnya seluas langit dan bumi.””Wahai Rasulullah, syurga seluas langit dan bumi?” suara Jiwa Badar.
”Ya, apa yang membuatmu mengatakan bagus, bagus?”
”Tidak ada, demi Allah, kecuali harapan bahwa aku akan termasuk ahli syurga itu,” sahut Jiwa Badar seraya menimbang kurma yang ada di genggamannya.
”Seandainya aku hidup sampai habis memakan kurma-kurma ini, sungguh itu merupakan hidup yang lama,” lanjutnya sambil membuang kurma yang ada dan terjun menjemput kesyahidan.....
Merekalah Jiwa-Jiwa Badar
Yang bai’atnya menjadi hujjah tak terlanggar
Yang gelegak darahnya menjadi bara tak tergambar
Yang bai’atnya menjadi hujjah tak terlanggar
Yang gelegak darahnya menjadi bara tak tergambar
Seribu prajurit, seratus kuda, enam ratus baju besi, puluhan unta dipersiapkan musuh yang hendak menahan cahaya Sang Pemilik Bumi. Dengan keangkuhan dari keriyaan, mereka datang, hendak menggetarkan para penegak panji kebenaran. Sementara Jiwa-Jiwa Badar tetap dalam lindungan Rabbnya yang Penyayang. Sementara masa depan Islam dipertaruhkan di pundak mereka....
Badar, nyanyiannya mendebarkan.
Badar, nyanyiannya mendebarkan.
Majlis permusyawaratan mulia digelar. Jiwa-Jiwa Badar bersimpuh, memperdengarkan kegetiran.
”Wahai Rasulullah, majulah terus seperti yang diperlihatkan Allah kepada engkau. Kami akan bersama engkau. Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, andaikata engkau pergi membawa kami ke dasar sumur yang gelap, maka kami pun siap bertempur bersamamu hingga engkau bisa mencapai tempat itu,” seru Jiwa Badar dengan takzim... kepada Rasul khuluqin azhim...
Itulah ungkapan kata mulia, diperdengarkan jiwa yang dididik dengan kilatan iman. Membara. Mempesona. Menyebarkan aroma syurga. Membangkitkan pejuang-pejuang Musa, Sulaiman, Thalut ke dalam Jiwa Badar. Hangat menggetarkan.
”Kami sudah beriman kepada engkau. Kami sudah membenarkan engkau. Kami sudah bersaksi bahwa apa yang engkau bawa adalah kebenaran. Kami sudah memberikan sumpah dan janji kami untuk patuh dan taat. Maka majulah terus wahai Rasulullah seperti yang engkau kehendaki. Demi yang mengutus engkau dengan kebenaran, andai kata engkau bersama kami terhalang lautan lalu engkau tejun ke dalam lautan itu, kami pun akan terjun bersama engkau. Tak seorang pun diantara kami yang akan mundur.
Kami suka jika besok engkau berhadapan dengan musuh bersama kami. Sesungguhnya kami dikenal orang-orang yang sabar dalam peperangan dan jujur dalam pertempuran. Semoga Allah memperlihatkan kepadamu tentang diri kami, apa yang engkau senangi. Maka majulah bersama kami dengan barakah Allah,” seru Jiwa Badar yang dididik dengan ketepatan janji.
Kami suka jika besok engkau berhadapan dengan musuh bersama kami. Sesungguhnya kami dikenal orang-orang yang sabar dalam peperangan dan jujur dalam pertempuran. Semoga Allah memperlihatkan kepadamu tentang diri kami, apa yang engkau senangi. Maka majulah bersama kami dengan barakah Allah,” seru Jiwa Badar yang dididik dengan ketepatan janji.
Adakah alasan kini untuk tak menjawab panggilan suci? Tatkala Rasul mereka yang mulia bersabda, ”Majulah kalian.....”
”Terimalah kabar gembira.....””Karena Allah telah menjanjikan salah satu dari dua pihak kepadaku.....”
”Demi Allah, seakan-akan saat ini aku bisa melihat tempat kematian mereka.....”
”Siiiru, siiiru ilaaa barokatillaaaaah.....”
Merekalah Jiwa-Jiwa Badar
Yang kekafiran telah menjadi musuh mutlak
tak tergantikan walau ia karib kerabat
Yang kekafiran telah menjadi musuh mutlak
tak tergantikan walau ia karib kerabat
Maju mereka menyambut seruan. Sedangkan dihadapannya ayah, anak, paman, dan saudara menjadi musuh yang siap meregang nyawa. Jiwa Badar meradang, hatinya bergejolak menyaksikan Rabb mereka diduakan. Kecintaanya kepada Sang Khaliq jauh melebihi kecintaannya kepada onggokan tanah yang berasal dari mani hina.....
Badar, nyanyiannya memilukan.
Sejarah telah dengan bangganya menoreh kisah Ibnu Qahafah Ash-Shiddiq, sang Jiwa Badar, tatkala ia berkata kepada anaknya ”dimanakah hartaku wahai anak kecil yang buruk?” ungkapan tegar yang keluar dari jiwa tegar melihat anaknya berada dalam keangkuhan.
Sejarah juga mencatatkan kesombongan, ”yang ada saat ini adalah senjata dan kuda, serta pedang tajam yang siap membabat orang tua yang sudah renta,” ujar Abdurrahman, yang akhirnya dibunuh dengan ‘iman‘, melenyapkan yang seharusnya dilenyapkan.....
Adakah kini tali darah dapat menyatu sedangkan tali iman, tauhid terhempas menantang Sang Azizi menata bumi.
Adakah kini gelap kemusyrikan mampu bersatu dengan cahaya Ar-Rahman.
Adakah kini busuk dunia mampu bersatu dengan keharuman syurga.
Adakah kini mayat kedzaliman mampu bersatu dengan syuhada keimanan, sedangkan yang satu membawa kedamaian dan lainnya membawa aroma kerusakan. Dan pantaskah kemudian Badar jadi pembuktian?.....
Badar, nyanyiannya meluluhlantakkan.
Sedangkan do’a getir sang Rasul menjadi bara untuk terus berjuang. ”Ya Allah, jika pasukan ini hancur pada hari ini, tentu Engkau tidak akan disembah lagi. Ya Allah, kecuali jika memang Engkau menghendaki untuk tidak disembah untuk selamanya setelah hari ini.”.....
Merekalah Jiwa-Jiwa Badar
Yang pasukan langit tak ragu menghantar
kemenangan bagi mereka yang tak gentar
Yang pasukan langit tak ragu menghantar
kemenangan bagi mereka yang tak gentar
Teriakan takbir dan gema tauhid menggema di segenap ufuk mengantarkan Jiwa-Jiwa Badar menghancurkan kekuatan kuffar. Kekuatan strategi, keindahan taktik dan keteguhan berjuang menghias para pasukan Syurga. Sementara di atas mereka gulungan-gulungan debu menderu tak sabar bergabung dengan tuannya menegakkan Al-Haq.....
Badar, nyanyiannya menyejukkan.
Sang Rasul diserang kantuk hanya dalam sekejap. Layaknya sinyal yang datang mengabarkan pertolongan. Kepalanya mendongak dan bersabda, ”bergembiralah wahai Abu Bakar. Telah datang pertolongan Allah kepadamu. Inilah Jibril yag datang sambil memegang tali kekang kuda yang ditungganginya di atas gulungan-gulungan debu.”
Ribuan malaikat datang membantu Jiwa-Jiwa Badar. Derap kuda yang bergerak laksana kilat, menghantarkan para malaikat menyambut titah Ilahi, menegakkan Islam yang sedang dipertaruhkan. Menggetarkan musuh-musuh, menghancurkan kaum angkuh yang sombong di hadapan Raja segala raja.
Dengarlah lecutan cambuknya.Dengarlah derap langkahnya.
Dengarlah laung takbirnya.
Dan Allah ingin menegakkan DienNya, walau orang-orang musyrik itu tak suka.
Badar, nyanyiannya masih terdengar.
Lantunan do’anya masih terngiang mengiringi langkah para mujahid, berjuang..... sampai saat kemenangan.
Kini, dimanakan Jiwa-Jiwa Badar itu menjelma di zaman yang jauh dan qudwah mulia. Di saat manusia membutuhkan jiwa-jiwa yang setia dengan janji menegakkan Islam. Di saat umat jauh dari tuntunan Rabbnya. Di saat da’wah ini membutuhkan pertolongan Allah dan kemenangan.....
Merekalah Jiwa-Jiwa Badar
Yang semangatnya tak pernah pudar
Walau nyawa mesti ditukar
Dengan jannah –tentu– di hadapan Ar-Rahman
Merekalah Jiwa-Jiwa Badar.....
Yang semangatnya tak pernah pudar
Walau nyawa mesti ditukar
Dengan jannah –tentu– di hadapan Ar-Rahman
Merekalah Jiwa-Jiwa Badar.....
Al-Izzah No.9/Th.1/September 2000
Dengan sedikit perubahan
Tak ada perjuangan seberat hijrah dan tak ada pengorbanan setulus hijrah. Siapa pun punya hak untuk mengajukan bukti, ada hijrah lain yang menandingi kesakralan hijrah atas nama Tuhan, asal jangan benturkan dia dengan jihad, karena keduanya memang tak bias dipertentangkan. Yang satu lahir dari kandungan yang lain. Jihad yang lahir dari jiwa hijrah masih memberi ‘ruang’ bagi pembalasan, pelampiasan dan kemurkaan karena Allah—sementara hijrah telah ‘membiarkan’ orang-orang terhormat meninggalkan tanah air dan kecintaan mereka serta bersabar atas cibiran khalayak. Mereka lepaskan kecintaan kepada tanah air, pergi jauh dalam keterasingan. Tak dapat dinafikan nilai ‘hijrah’ orang-orang Irlandia, Spanyol dan Eropa lainnya mendatangi benua baru, Amerika. Seperti juga yang mereka lakukan ke Australia. Tetapi siapa mau dibohongi tentang punahnya bangsa Indian, Maori dan Aborigin. Penderitaan mereka masih panjang dan masa depan mereka masih remang-remang.
Batu Ujian
Tidak usah menginterogasi orang Madinah atau keturunan mereka, apakah mereka menyesal telah membela, melayani dan mencintai saudara-saudara Muhajirin mereka. Berbinar wajah mereka menyambut peziarah ke Madinah yang bercahaya itu. Benarlah pesan Rasul SAW: ”Di setiap rumah Anshar ada kebaikan.” Jadi tidak ada yang mengherankan bila perang Fathu Makkah itu tanpa insiden mabuk kemenangan atau tumpahan dendam. Derita hijrah adalah konsekuensi iman. Semua pedih sudah terbayar dengan keramahan, kecintaan dan pembelaan saudara-saudara Anshar serta cinta Rasul yang teramat dalam.
Wahai ahli Thaibah, beruntung sangat Anda
Dapatkan dia yang saruwa alam tak berdaya, mendekat dan menghidmatinya.
Namun tentu saja luapan cinta ini tidak menafikan hak untuk beruntung dan berbahagia menjadi pengikutnya: Yang luput dari melihat Almukhtar, Rasul pilihan silakan melihat Sunnah yang besar dan Alquran yang ia wariskan.
Silakan Tanya apakah orang-orang Anshar akan mengajukan resolusi ke PBB atas hilangnya ‘hak kepemimpinan’ Abdullah bin Ubay bin Sahul yang asli Arab Madinah, kandidat pemimpin tertinggi Yatsrib dengan penampilan dan tutur kata yang menjadikannya pantas memimpin. Sayang jiwa ringkihnya meleleh dalam gesekan yang tak disadarinya dan hasad kepada sang Nabi akhir zaman.
Atau Huyai bin Al-ahthab, Ka’b bin Al-asyraf dan Lubaid Al-asham sang penyihir, tokoh-tokoh Yahudi yang akhirnya kehilangan peluang emas lantaran tidak cerdas seperti saudara mereka Abdullah bin Salam yang menerima Risalah Cahaya ini dengan hati yang bahagia.
“Wahjurhum Hajran Jamila”
Bila seorang muslim membaca Al-Quran, Allah memasang tabir (hijaban mastura), atau yang membatasi antara mereka dengan orang-orang kafir. Inilah penghijrahan ruhani yang menjadikan muslim punya base camp dan batas demarkasi dimana pun mereka berada. Bahkan upaya intensif kaum kuffar untuk memalingkan masyarakat dari Alquran, dengan ucapan mereka: ”Janganlah kalian dengarkan Alqur’an ini dan permainkan (sibukkan orang-orang dengan permainan agar melupakan) dia,” (QS.Fushilat:26), dibalas Allah dengan perintah: ”Sabarlah atas ucapan mereka dan menyingkirlah dari mereka dengan baik.” (QS.Al-Muzzammil 73:10). Alangkah jauhnya perbedaan ini. Mereka menghambat laju penyebaran Al-Qur’an dan Ia menghijrahkan ruhani kaum beriman agar dapat menikmati kelezatan hidup di bawah naungan Al-Quran (QS.17;45). Hijrah bukan melarikan diri, ia adalah langkah cerdas agar kebenaran tidak menjadi mangsa.
“Inni Muhajirun Ila Rabbi” (Aku Berangkat Menuju Dia)
Kebodohan terhadap sunnatullah menyebabkan kaum Yahudi dan segelintir elite Madinah semacam Ibnu Salul menjadi begitu meradang saat kotanya dibanjiri Muhajirin. Betapa tidak cerdasnya mereka memahami gejala alam. Mereka lupa moyang mereka yang berevakuasi ke Madinah tahun 70 M, saat negeri mereka diserang dan akhirnya memimpin di Madinah? Hijrah bukan hanya perpindahan dari wilayah ancaman ke wilayah aman. Ia adalah seleksi ‘alami’ yang akan membuktikan kekuatan seorang atau sekelompok hamba Allah untuk menjadi pemimpin. Siapa yang diam, dia takkan menjadi besar. Siapa yang menghalangi gerak, mereka akan terlindas. “Alharakah, fiha barakah” (dalam gerak ada berkah). Para muhajir telah memulainya dengan benar, suatu perpindahan yang beranjak dari kesadaran dan bukan dari kemarahan.
Sadar bahwa iman itu punya nilai tinggi yang hanya dapat dibuktikan dengan pengorbanan. Jiwa dan semangat hijrah dengan dinamika, tantangan dan kepedihannya yang beragam mempunyai satu mata air dari telaga yang sama, ”Inni Muhajirun Ila Rabbi” (Aku Berangkat menuju Dia). Bukan kebetulan bila susunan bulan dalam perhitungan tahun Hijrah, diakhiri dengan bulan Haji dan dimulai dengan bulan Muharram, sebagai pembuka tarikh hijri.
Haji yang bagi sebagian kita berarti tamatnya Islam, justru menjadi puncak bagi pendakian berikutnya. Sejak Alkhalil Ibarahim ‘alaihissalam berangkat meninggalkan Harram ke Palestina sampai berangkat lagi ‘menghijrahkan’ isteri dan putera sulungnya Ismail sampai hijrah Alkalim Musa AS ke Madyan dan puncaknya hijrah Sang Penutup, Muhammad SAW, menjadi munthalaq (milestone) keagungan syariah yang abadi ini. Inilah mozaik kejujuran, keikhlasan, kesabaran, pengorbanan, harapan dan kekuatan.
Ketika baru saja merasakan kebahagiaan mendapatkan putera pertama Ismail, ia diperintahkan untuk menghijrahkan sang bayi dan ibunya, jauh ke selatan. Ia hanya punya kata ‘Siap:labbaik!’. Namun ia juga seorang Ayah dan seorang suami. Ia tak mampu menjawab pertanyaan isterinya yang terkejut ditinggalkan di lembah sunyi itu, tanpa makanan tanpa minuman kecuali untuk hari itu di lembah yang belum ada apa-apa dan belum ada siapa-siapa “Mengapa engkau tinggalkan kami disini?” Tak ada jawaban. Pertanyaan berulang. Tak ada jawaban. Jawaban “Na’am” (ya), baru keluar setelah sang isteri yang sangat bertauhid ini mengajukan pertanyaan cerdas:”Apakah Allah yang menyuruhmu meninggalkan kami disini?” Jawaban itu juga yang memantapkan isterinya:”Jadi (kalau itu kehendak Allah), maka tentu Ia takkan menyia-nyiakan kami.”(HR.Bukhari: Kitabul Anbiya).
Pewarisan
Hijrah ialah keutuhan harga diri. Sekeping tanah jauh di rantau, bersama kemerdekaan, lebih berharga daripada tinggal di negeri sendiri dengan kehinaan, tak dapat mengekspresikan iman. Kecuali bila jihad telah menjadi bahasa tunggal. Inilah terjemahan hakiki sifat Islam yang ‘alamiyah (semestawi) tak tersekat oleh batas-batas sempit kesukuan dan kebangsaan, kecuali perjuangan kebangsaan bertujuan meyelamatkan dzawil qurba. Sedikit orang dapat memahami mengapa idealism Hijrah itu menjurus-jurus ‘nekad dan naif’.
Siapa yang hina, mudah berbuat hina.
Bagi si mati tak ada rasa sakit dalam luka.
Ummat ini tak menjadi kecil atau hina karena tak punya pewarisan material dari sejarah mereka, karena nilai-nilai mulia yang mereka miliki bukan hanya telah menjadi milik dunia, tetapi telah menghidupkan, menyambung dan membangun peradaban.
(Dikutip dari Buku Warisan Sang Murabbi, Pilar-pilar Asasi Hal. 122-127)
Hari Selasa kemarin (14/12), gerakan perlawanan Islam Hamas memperingati hari kelahirannya yang ke 23 sejak pertama kali didirikan oleh Syaikh Ahmad Yassin pada tahun 1987 silam.
Puluhan ribu (mungkin ratusan ribu) warga Gaza berkumpul di Gaza City lapangan Kateeba untuk turut memeriahkan peringatan kelahiran gerakan yang saat ini berkuasa di Jalur Gaza setelah memenangkan pemilu secara demokratis beberapa waktu lalu.
Media-media Israel dalam beberapa artikel mereka meragukan Hamas masih didukung oleh rakyat Gaza, bahkan mereka mengklaim bahwa popularitas Hamas saat ini semakin terpuruk. Namun faktanya, dalam peringatan ulang tahun Hamas ke-23, Hamas masih mampu seperti tahun-tahun sebelumnya mengumpulkan ribuan orang dalam satu tempat untuk memeriahkan acara peringatan ulang tahun kelahiran mereka.
Bahkan Perdana menteri Palestina dari Hamas, Ismail Haniyah dalam peringatan ulang tahun ke-23 Hamas menyatakan bahwa jika pemilihan umum berlangsung, masyarakat akan pergi mendukung Hamas di Tepi Barat maupun di Gaza dengan margin lebih besar dari pemilu terakhir, Haniyah juga melanjutkan dengan mengatakan dirinya kagum dengan banyaknya massa yang menghadiri peringatan ulang tahun Hamas.
Lelaki itu sudah mengabdi pada ibunya sampai tuntas. Ia menggendong ibunya yang lumpuh. Memandikan dan mensucikannya dari semua hadatsnya. Ikhlas penuh ia melakukannya. Itu balas budi dari seorang anak yang menyadari bahwa perintah berbuat baik kepada orang tua diturunkan Allah persis setelah perintah tauhid.
Tapi entah karena dorongan apa ia kemudian bertanya pada Umar bin Khatab: “Apakah pengabdianku sudah cukup untuk membalas budi ibuku?” lalu Umar pun menjawab: “tidak! Tidak cukup! Karena kamu melakukannya sembari menunggu kematiannya, sementara ibu merawatmu sembari mengharap kehidupanmu”.
Tidak! Tidak! Tidak!
Tidak ada budi yang dapat membalas cinta seorang ibu. Apalagi mengimbanginya. Sebab cinta ibu mengalir dari darah dan ruh. Anak adalah buah cinta dua hati. Tapi ia tidak dititip dalam dua rahim. Ia dititip dalam rahim sang ibu selama sembilan bulan: disana sang hidup bergeliat dalam sunyi sembari menyedot saripati sang ibu. Ia lalu keluar diantara darah: inilah ruh baru yang dititip dari ruh yang lain.
Itu sebabnya cinta ibu merupakan cinta misi. Tapi dengan ciri lain yang membedakannya dari jenis cinta misi lainnya, darah! Ya, darah! Anak adalah metamorfosis dari darah dan daging sang ibu, yang lahir dari sebuah kesepakatan. Cinta ini adalah campuran darah dan ruh. Ketika seorang ibu menatap anaknya yang sedang tertidur lelap, ia akan berkata di akar hatinya: itu darahnya, itu ruhnya! Tapi ketika ia memandang anaknya sedang merangkak dan belajar berjalan, ia akan berkata didasar jiwanya: itu hidupnya, itu harapannya, itu masa depannya! Itu silsilah yang menyambung kehadirannya sebagai peserta alam raya.
Itu kelezatan jiwa yang tercipta dari hubyngan darah. Tapi diatas kelezatan jiwa itu ada kelezatan ruhani. Itu karena kesadarannya bahwa anak adalah amanat langit yang harus di pertanggungjawabkan di akhirat. Kalau anak merupakan isyarat kehadirannya dimuka bumi, maka ia juga penentu masa depannya di akhiat. Dari situ ia menemukan semangat penumbuhan tanpa batas: anak memberinya kebanggaan eksistensial, juga sebuah pertanggungjawaban dan sepucuk harapan tentang tempat yang lebih terhormat disurga berkat doa-doa sang anak.
Dalam semua perasaan itu sang ibu tidak sendiri. Sang ayah juga berserikat bersamanya. Sebab anak itu bukti kesepakatan jiwa mereka. Mungkin karena kesadaran tentang sisi dalam jiwa orang tua itu, DR. Mustafa Sibai menulis persembahan kecil dihalaman depan buku monemetalnya “Kedudukan Sunnah Dalam Syariat Islam”. Buku ini, kata Sabai, kupersembahkan pada ruh ayahandaku yang senantiasa melantunkan doa-doanya? “Ya Allah, jadikanlah anakku ini sebagai sumber kebaikanku di akhirat kelak”.
Doa sang ibu dan ayah selamanya merupakan potongan-potongan jiwanya! Karena itu ia selamnya terkabul!
[Sebelumnya]
[Sebelumnya]
Apakah Anda berpeluang hidup lebih dari 100 tahun?
Tanyakan kepada ibu, berapa usianya saat mengandung Anda. Sebab, menurut riset yang dilakukan para peneliti di AS, usia ibu saat melahirkan ikut memengaruhi peluang panjang atau pendek umur anaknya kelak.
Tim peneliti dari Universitas Chicago, AS, menemukan, orang yang dilahirkan saat ibunya berusia kurang dari 25 tahun cenderung berusia hingga 100 tahun atau lebih. Peluangnya dua kali lipat dibandingkan orang-orang yang dilahirkan saat ibunya berusia di atas 25 tahun. Studi dilakukan terhadap 198 orang AS yang usianya lebih dari 100 tahun. Mereka lahir antara tahun 1890 hingga 1893. Orang yang panjang usia hingga lebih dari 100 tahun itu umumnya anak pertama. Setelah dianalisis lebih mendalam, para peneliti menyimpulkan bahwa kecenderungan ini erat kaitannya dengan kenyataan bahwa anak-anak pertama itu dilahirkan saat ibunya baru berusia 20 tahunan. Temuan ini dipresentasikan pada pertemuana masyarakat gerontologi (ilmu usia lanjut) AS, Minggu (19/11).
Sebelumnya, hasil penelitian yang didanai National Institute on Aging and the Society of Actuaries ini, telah dipaparkan pada pertemuan Asosiasi Populasi AS, April 2006, Data Biro Sensus AS menunjukkan jumlah orang yang berusia di atas 100 tahun di sana meningkat dari 37 ribu menjadi 55 ribu dari tahun 1990 ke 2000. Dari data itu pula, wanita punya peluang tiga hingga lima kali lebih besar mencapai usia 100 tahun dibandingkan pria.
Tanyakan kepada ibu, berapa usianya saat mengandung Anda. Sebab, menurut riset yang dilakukan para peneliti di AS, usia ibu saat melahirkan ikut memengaruhi peluang panjang atau pendek umur anaknya kelak.
Tim peneliti dari Universitas Chicago, AS, menemukan, orang yang dilahirkan saat ibunya berusia kurang dari 25 tahun cenderung berusia hingga 100 tahun atau lebih. Peluangnya dua kali lipat dibandingkan orang-orang yang dilahirkan saat ibunya berusia di atas 25 tahun. Studi dilakukan terhadap 198 orang AS yang usianya lebih dari 100 tahun. Mereka lahir antara tahun 1890 hingga 1893. Orang yang panjang usia hingga lebih dari 100 tahun itu umumnya anak pertama. Setelah dianalisis lebih mendalam, para peneliti menyimpulkan bahwa kecenderungan ini erat kaitannya dengan kenyataan bahwa anak-anak pertama itu dilahirkan saat ibunya baru berusia 20 tahunan. Temuan ini dipresentasikan pada pertemuana masyarakat gerontologi (ilmu usia lanjut) AS, Minggu (19/11).
Sebelumnya, hasil penelitian yang didanai National Institute on Aging and the Society of Actuaries ini, telah dipaparkan pada pertemuan Asosiasi Populasi AS, April 2006, Data Biro Sensus AS menunjukkan jumlah orang yang berusia di atas 100 tahun di sana meningkat dari 37 ribu menjadi 55 ribu dari tahun 1990 ke 2000. Dari data itu pula, wanita punya peluang tiga hingga lima kali lebih besar mencapai usia 100 tahun dibandingkan pria.
“Orang-orang partai politik itu mudah kecewa. Begitu keinginannya tidak terpenuhi, lalu keluar dari partainya dan membuat partai baru”, kata seorang teman kuliah di Lemhannas berapi-api. Aku hanya mengatakan, “Tergantung partainya, dan tergantung orangnya”. Dia terus saja mengomel tentang jeleknya orang-orang parpol, dan jawabanku pun tetap sama.
Ini soal perasaan kecewa. Sesungguhnyalah kecewa muncul karena adanya harapan yang tidak kesampaian. Ada harapan yang ditanam, dan ternyata tidak didapatkan dalam kenyataan. Inilah yang menyebabkan muncul kekecewaan. Jarak yang terbentang antara harapan dengan kenyataan itulah ukuran besarnya kekecewaan. Semakin lebar jarak yang terbentang, semakin besar pula kekecewaan. Oleh karena itu, kecewa itu ada di mana-mana, di lingkungan apa saja, di dunia mana saja, selalu ada kecewa.
Mari kita mulai dari yang paling kecil dan sederhana. Kadang kita kecewa dengan diri kita sendiri. “Mengapa saya tidak begini, mengapa saya tidak begitu”, adalah contoh kekecewaan yang kita alamatkan kepada keputusan kita sendiri yang telah terjadi. Kita menyesal di kemudian hari.
Dalam kehidupan rumah tangga yang isinya hanya dua orang saja, yaitu suami dan isteri, bisa muncul kekecewaan. Suami kecewa kepada isteri, dan isteri kecewa kepada suami. Hidup berdua saja bisa menimbulkan kecewa, apalagi kehidupan organisasi atau negara. Jika di dalam rumah tangga mulai ada anak-anak, kekecewaan bisa bertambah luas. Anak kecewa dengan sikap orang tuanya, dan orang tua kecewa dengan kelakuan anaknya. Satu anak dengan anak lainnya juga bisa saling kecewa mengecewakan.
Satu keluarga bisa kecewa atas perbuatan keluarga lainnya dalam sebuah lingkungan tempat tinggal. Satu desa bisa kecewa dengan desa lainnya dalam satu kecamatan. Indonesia sangat kecewa dengan sikap Amerika yang arogan, kecewa dengan sikap Israel yang merampas hak warga sipil Palestina secara semena-mena. Sebagaimana Amerika kecewa dengan Indonesia karena kurang akomodatif dengan kebijakan Amerika. Israel kecewa dengan Indonesia karena tidak mau membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Jamaah sebuah masjid bisa kecewa dengan sikap imam masjid, sebagaimana imam masjid bisa kecewa dengan kondisi jamaah. Masyarakat gereja bisa kecewa terhadap pendeta sebagaimana pendeta bisa kecewa terhadap keadaan jemaatnya. Suporter sepak bola sering kecewa terhadap tim yang dibelanya, sebagaimana pemain sepak bola sering kecewa kepada sikap para suporter.
TNI bisa kecewa terhadap kebijakan dan sikap Polri sebagaimana Polri bisa kecewa terhadap TNI. Angkatan Darat bisa kecewa terhadap Angkatan Laut dan Udara, sebagaimana Angkatan Laut bisa kecewa terhadap Angkatan Darat dan Udara, atau Angkatan Udara kecewa terhadap Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Di Angkatan Darat, seorang komandan bisa kecewa terhadap anak buahnya, sebagaimana anak buah bisa kecewa kepada komandannya.
Dalam gerakan dakwah, seorang kader bisa kecewa kepada pemimpin, sebagaimana pemimpin bisa kecewa atas sikap para kader. Seorang kader PKS menyampaikan pesan lewat SMS kepada saya, yang isinya mengatakan sangat kecewa dengan PKS dan akan keluar serta bergabung dengan sebuah gerakan dakwah tertentu, sebut saja gerakan G. Saya menjawab dengan dua kali jawaban. Pertama, bahwa hak masuk dan keluar dari PKS adalah di tangan anda sendiri, tak ada yang boleh memaksa. Kedua, kalau anda keluar dari PKS karena kecewa dan akan bergabung dengan gerakan dakwah G, maka ketahuilah bahwa gerakan G itu juga pernah mengecewakan anggotanya. Ada banyak orang kecewa dari gerakan G dan berpindah ke gerakan yang lainnya. Di setiap gerakan dakwah, selalu ada orang yang kecewa dan meninggalkan gerakan dakwah itu. Selalu.
Sepanjang sejarah kemanusiaan paska masa kenabian, tidak ada satupun organisasi yang tidak pernah mengecewakan anggotanya. Semua organisasi, semua gerakan, semua harakah pernah mengecewakan anggotanya. Selalu ada anggota organisasi atau anggota gerakan yang kecewa dan terluka. Selalu.
Ini bukan soal benar atau salahnya kondisi tersebut. Ini hanya potret sesungguhnya, begitulah kenyataan yang ada. Cobalah sebut satu saja contoh organisasi, ormas, gerakan dakwah, instansi, atau apapun. Pasti ada riwayat pernah ada anggota atau pengurus yang kecewa. Kalau tidak ada yang pernah dikecewakan, berarti organisasi tersebut belum pernah beraktiviktas nyata.
Bahkan organisasi yang dibuat dari kumpulan orang kecewa, pasti pernah mengecewakan anggotanya pula. Misalnya sekelompok orang kecewa dengan kebijakan organisasi A, lalu mereka menyingkir dan berkumpul. Mereka bersepakat, “Kita berkumpul di sini karena dikecewakan para pemimpin kita. Sekarang kita himpun potensi kita, dan kita berjanji untuk tidak saling mengcewakan lagi. Jangan ada yang dikecewakan disini”. Tatkala mereka sudah eksis sebagai organisasi, maka pasti ada yang kecewa di antara mereka.
Mereka tidak tahu, bahwa kecewa itu tanda cinta. Kalau tidak cinta, tidak mungkin kecewa. Karena cinta, maka muncullah berbagai harapan kita. Setelah harapan tertanam, ternyata apa yang kita lihat dan kita alami tidak seperti yang diharapkan. Maka muncullah kecewa.
Mengapa beberapa orang parpol yang kecewa lalu membuat parpol baru lagi ? Karena boleh menurut Undang-undang. Coba kalau Undang-undang membolehkan membuat TNI baru, atau Polri baru, atau Mahkamah Agung baru, atau DPR baru, pasti sudah banyak orang membuat dari dulu. Banyak orang kecewa dengan TNI, banyak orang kecewa dengan Polri, banyak orang kecewa dengan Mahkamah Agung, banyak orang kecewa dengan DPR, banyak orang kecewa dengan Presiden dan Wakil Presiden, banyak orang kecewa dengan Menteri, banyak orang kecewa dengan Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Kepala Desa, Ketua RW atau Ketua RT.
Jadi, kecewa itu ada dimana-mana, karena cinta ada dimana-mana, karena harapan ada dimana-mana. Namun muncul pertanyaan, pantaskah kita tidak berani memiliki harapan karena takut dikecewakan ? Jawabannya jelas, tidak pantas !
Karena harapan itulah yang membuat kita bersemangat, karena harapan itulah yang membuat kita bekerja, karena harapan itulah yang membuat kita selalu berusaha melakukan dan memberikan yang terbaik, bahkan karena harapan itu pula yang membuat kita ada. Jangan takut memiliki harapan masuk surga. Jangan takut memiliki harapan Indonesia yang makmur dan sejahtera. Jangan takut memiliki harapan Indonesia menjadi negara paling adil dan paling maju di seluruh dunia.
So, teruslah memiliki dan memupuk harapan. Teruslah bekerja, teruslah berkarya, hingga akhir usia. Jangan takut kecewa.
Tidak ada orang yang menyukai tekanan. Semua kita akan selalu berusaha menghindari segala bentuk tekanan hidup. Tekanan mencabut kenyamanan hidup kita, dan dalam banyak hal, membatasi ruang gerak kita, dan menyulitkan proses kreativitas kita.
Namun, sejarah justru membuktikan bahwa karya-karya kepahlawanan sebagian besarnya malah lahir di tengah tekanan-tekanan hidup yang berat dan kompleks. Sejarah tampaknya tidak ingin memberikan gelar kepahlawanan dengan mudah. la memaksa setiap orang membayar harga yang mahal untuk itu.
Kenyataan sejarah itu sebenarnya dapat dijelaskan. Tekanan-tekanan hidup, secara psikologis, sebenarnya justru berguna untuk merangsang munculnya potensi-potensi yang terpendam dalam diri seseorang dan merangsang terjadinya proses kreativitas yang intensif. Hidup dalam situasi yang normal biasanya malah membuat orang jadi malas, kurang kreatif, dan kurang produktif. Bukan situasi normal itu yang jadi masalah. Akan tetapi, manusia memang pada dasarnya membutuhkan stimulan yang kuat untuk bergerak. Dan tekanan hidup merupakan salah satu stimulan itu.
Jadi, apabila dalam konteks kecenderungan manusiawi kita tidak menyukai tekanan hidup, maka dalam konteks pengembangan kepahlawanan, kita justru membutuhkan rangsangan tekanan hidup untuk meledakkan potensi-potensi kita yang terpendam. Memang, tidak semua orang bisa sukses melewati tekanan, tetapi para pahlawan mukmin sejati muncul dari balik tekanan-tekanan hidup yang kompleks.
Tampaknya memang ada rahasia yang tersembunyi disini. Para pahlawan mukmin sejati mempertahankan kunci-kunci yang membentuk daya hidup mereka; mereka selalu dapat mempertahankan harapan dan optimisme hidup, pikiran positif dan kegembiraan jiwa, obsesi kepahlawanan dan semangat perlawanan. Seakan di dalam jiwa mereka ada bunker yang menjadi tempat persembunyian kunci-kunci daya hidup itu, yang selamanya tidak akan tersentuh oleh serangan bombardir tekanan-tekanan hidup.
Itulah rahasia yang menjelaskan mengapa Sayyid Quthb bisa menyelesaikan Tafsir Fii Zhilalil Our’an selama berada dalam penjara. Atau mengapa Hamka sanggup merampungkan Tafsir Al-Azhar-nya selama tiga tahun dalam penjara. Atau mengapa Ibnu Taimiyah melahirkan sangat banyak bukunya dalam penjara.
Mereka semua adalah pahlawan-pahlawan yang mengerti bagaimana menikmati tekanan hidup. Suatu saat mereka mungkin juga mengeluhkan beratnya tekanan-tekanan hidup itu, tetapi yang membuat mereka menjadi pahlawan adalah karena mereka telah berhasil membangun bunker dalam jiwa mereka, tempat kunci-kunci daya hidup mereka tersembunyi dengan aman.
Itulah yang membuat mereka selalu tampak santai dalam kesibukan, tersenyum dalam kesedihan, tenang di bawah tekanan, bekerja dalam kesulitan, optimis di depan tantangan, dan gembira dalam segala situasi.
[Sebelumnya]
[Sebelumnya]
Obrolan beberapa waktu yang lalu, antara aku dengan dua teman lama yang kutemui di kost mereka.
Kebetulan salah satu temanku tadi hendak menggenapkan setengah diennya dan yang satunya lagi sedang menjalani proses ta’aruf.
Maka Kami pun membicarakan tentang pernikahan, ta’aruf, pengalaman bias merah jambu di kehidupan masing-masing dan masalah-masalah sejenis.
Diskusi ringan itu merembet ke masalah proposal-proposal pernikahan yang masuk ke bagian biro jodoh dari sebuah jama’ah yang diikuti oleh dua temanku.
Katanya, berkas dari para ikhwan tidak sebanding dengan proposal-proposal para akhwat yang menumpuk tinggi.
Kebetulan salah satu temanku tadi hendak menggenapkan setengah diennya dan yang satunya lagi sedang menjalani proses ta’aruf.
Maka Kami pun membicarakan tentang pernikahan, ta’aruf, pengalaman bias merah jambu di kehidupan masing-masing dan masalah-masalah sejenis.
Diskusi ringan itu merembet ke masalah proposal-proposal pernikahan yang masuk ke bagian biro jodoh dari sebuah jama’ah yang diikuti oleh dua temanku.
Katanya, berkas dari para ikhwan tidak sebanding dengan proposal-proposal para akhwat yang menumpuk tinggi.
Sudah tahu begitu, tapi di kalangan ikhwan tak juga berusaha untuk bersegera, mereka tidak juga peka bahwa ada banyak ukhti yang menanti.
Saat itu aku hanya menjadi pendengar setia, karena untuk masalah begini aku memang kurang paham dan kurang pengalaman.
Dua sahabatku masih saling tutur, satu pendapat keluar pendapat lain menguatkan.
“Anak kampus banyak yang pengecut.”
“Kok bisa?” kataku sambil menahan senyum,tersenyum karena yang di depanku juga mahasiswa,tersenyum karena untungnya aku bukan termasuk anak kampus.
“Ya memang begitu, setiap ditanya kapan nikah mereka banyak yang menjawab nanti dulu, belum mapan, ingin sekolah lagi dsb, dsb. Mungkin ini bisa jadi bukti rendahnya kualitas keimanan hingga tawakal mereka atas rizki begitu tumpul. Atau mereka telah hilang keberanian, hilang keyakinan bahwa Allah selalu memberi jalan keluar.”
“Itu kan wajar akh, kualitas iman kan memang beda-beda.” Kataku lagi.
“Iya memang wajar, tapi masalahnya bukan itu saja,” kata temanku yang satu lagi. “Kalau memang belum siap seharusnya kan mencari jalan untuk mempersiapkan diri, ini malah banyak yang HTS-an, TTM-an, banyak bermunculan ikhwan-ikhwan yang jempol kanannya kapalan karena kebanyakan sms-an.”
“Nah kan malah jadi penyakit di hati. Mereka tahu kebutuhan akan lawan jenis, tapi gak berani nikah, akhirnya melangkah di jalan para pengecut. HTS-an, TTM-an,adik-adikan, pacaran. Yang rugi bukan cuma individu masing-masing, tapi kualitas dakwah juga ikut terimbas.” imbuh sahabatku.
“Akh HTS-an itu apa to?” Tanyaku lugu.
“Hubungan Tanpa Status!” Serentak keduanya menjawab.
“Kalau TTM?”
“Teman Tapi Mesra!”
Aku menganguk-anguk, “Memangnya belum pernah dengar istilah itu?” tanya temanku.
“Sudah, hanya memastikan, siapa tahu artinya beda.” Kataku kalem.
Aku jadi ingat komentar seorang ikhwan yang ditanya, “Kenapa tidak bersegera?” Meski ia menjawab dengan nada canda, ada sebuah jawaban yang membuatku ingin menonjok mukanya. “Santai saja Akh, pasti dapat kok, tinggal milih! stok akhwat kan banyak!”
Teganya mereka bilang demikian, begitu ringan lidahnya. Memangnya para wanita itu mereka anggap apa? Barang? Bukan manusia yang punya perasaan? Coba kalau jawaban itu didengar para ukhti yang dengan sabar menanti proposalnya diproses. Kemudian dimana nilai ukhuwah yang sering digembar-gemborkan itu?
Rata-rata mereka hanya berani ngobrol masalah nikah, ngomongin ukhti A atau Ukhti B di belakang tapi giliran disuruh mengkhitbah, ngeper! dan menghindar dengan berbagai alasan.
Bukankah lebih bermanfaat jika mempersiapkan diri untuk menikah dari pada menilai dan membicarakan plus berangan-angan bisa bersanding dengan ukhti A atau ukhti B?
Dan aku kembali mendengar tuturan mereka, “Terus terang Akh, saya rindu dengan suasana dakwah tahun-tahun yang lalu. Ketika menikah memang untuk menguatkan barisan dakwah, ikhlas menerima siapa saja, yang penting militan. Lebih tua yang perempuan tidak masalah yang penting nikah dan bisa saling menguatkan, bisa menjaga kehormatan diri dan memelihara pandangan.”
“Saya kagum dengan teman-teman Rohis di SMU dulu, mereka sudah banyak yang menikah terutama yang tidak melanjutkan kuliah. Dan tidak sedikit yang menikahi perempuan-perempuan yang lebih tua, dua, tiga tahun di atas mereka. Padahal yang lebih muda pun ada. Kalau mereka mau bisa cari sendiri tanpa harus taat dengan guru ngaji. Sungguh keikhlasan mereka, saya salut.”
Aku tersenyum. Ah, masa lalu itu. Memang selalu indah untuk dikenang namun selamanya tak akan pernah menghampiri lagi. Akankah terulang?
“Kalau antum, kapan nikahnya Akh?”
Aku diam mendengar tanya itu, mungkin aku termasuk golongan yang menurut mereka pengecut karena tak segera mempersiapkan diri untuk pernikahan. Tapi paling tidak aku punya prinsip sendiri. Saat aku tertarik dengan perempuan, maka aku akan diam di tempatku, tak akan kuumbar kata-kata indah di depannya, tak akan kucoba dekati dia, tak akan kuungkapkan perasaanku padanya. Aku akan tetap diam dan berusaha bersikap biasa sampai nanti aku siap untuk meminangnya. Biar ketertarikan ini hanya milikku sendiri. Bagaimana jika didahului orang lain? Berarti memang dia bukan rizkiku, bukan bagianku, dan Allah pasti akan memberi yang lebih baik bagiku. Insya Allah.
Dan aku pun menjawab tanya itu, “Doakan saja semoga cepat menyusul.” jawaban inilah yang kurasa paling aman.
Sumber : Tari Jemari
Bismillahirrahmanirrahim, Dengan atas asma Allah Yang Pemurah dan Penyayang
Ibnu Mubarak menceritakan bahwa Khalid bin Ma'dan berkata kepada Mu'adz, "Mohon Tuan ceritakan hadits Rasulullah sallAllahu 'alayhi wasallam yang Tuan hafal dan yang Tuan anggap paling berkesan. Hadits manakah menurut Tuan?"
Jawab Mu'adz, "Baiklah, akan kuceritakan." Selanjutnya, sebelum bercerita, Beliau pun menangis. Beliau berkata, "Hmm, betapa rindunya diriku pada Rasulullah, ingin rasanya diriku segera bertemu dengan Beliau."
Kata Beliau selanjutnya, "Tatkala aku menghadap Rasulullah sallAllahu 'alayhi wasallam, Beliau menunggang unta dan menyuruhku agar naik di belakang Beliau. Kemudian berangkatlah kami dengan berkendaraan unta itu. Selanjutnya Beliau menengadah ke langit dan bersabda: Puji syukur ke hadirat Allah Yang Berkehendak atas makhluk-Nya, ya Mu'adz!"
Jawabku, "Ya Sayyidi l-Mursalin"
Beliau kemudian berkata, 'Sekarang aku akan mengisahkan satu cerita kepadamu. Apabila engkau menghafalnya, cerita itu akan sangat berguna bagimu. Tetapi jika kau menganggapnya remeh, maka kelak di hadapan Allah, engkau pun tidak akan mempunyai hujjah (argumen)."
"Hai Mu'adz! Sebelum menciptakan langit dan bumi, Allah telah menciptakan tujuh malaikat. Pada setiap langit terdapat seorang malaikat penjaga pintunya. Setiap pintu langit dijaga oleh seorang malaikat, menurut derajat pintu itu dan keagungannya. Dengan demikian, malaikat pula-lah yang memelihara amal si hamba.
Suatu saat sang Malaikat pencatat membawa amalan sang hamba ke langit dengan kemilau cahaya bak matahari. Sesampainya pada langit tingkat pertama, malaikat Hafadzah memuji amalan-amalan itu. Tetapi setibanya pada pintu langit pertama, malaikat penjaga berkata kepada malaikat Hafadzah: "Tamparkan amal ini ke muka pemiliknya. Aku adalah penjaga orang-orang yang suka mengumpat. Aku diperintahkan agar menolak amalan orang yang suka mengumpat. Aku tidak mengizinkan ia melewatiku untuk mencapai langit berikutnya!"
Keesokan harinya, kembali malaikat Hafadzah naik ke langit membawa amal shaleh yang berkilau, yang menurut malaikat Hafadzah sangat banyak dan terpuji. Sesampainya di langit kedua (ia lolos dari langit pertama, sebab pemiliknya bukan pengumpat), penjaga langit kedua berkata, "Berhenti, dan tamparkan amalan itu ke muka pemiliknya. Sebab ia beramal dengan mengharap dunia. Allah memerintahkan aku agar amalan ini tidak sampai ke langit berikutnya." Maka para malaikat pun melaknat orang itu.
Di hari berikutnya, kembali malaikat Hafadzah naik ke langit membawa amalan seorang hamba yang sangat memuaskan, penuh sedekah, puasa, dan berbagai kebaikan, yang oleh malaikat Hafadzah dianggap sangat mulia dan terpuji. Sesampainya di langit ketiga, malaikat penjaga berkata: "Berhenti! Tamparkan amal itu ke wajah pemiliknya. Aku malaikat penjaga kibr (sombong). Allah memerintahkanku agar amalan semacam ini tidak pintuku dan tidak sampai pada langit berikutnya. Itu karena salahnya sendiri, ia takabbur di dalam majlis."
Singkat kata, malaikat Hafadzah pun naik ke langit membawa amal hamba lainnya. Amalan itu bersifat bak bintang kejora, mengeluarkan suara gemuruh, penuh dengan tasbih, puasa, shalat, ibadah haji, dan umrah. Sesampainya pada langit keempat, malaikat penjaga langit berkata: "Berhenti! Popokkan amal itu ke wajah pemiliknya. Aku adalah malaikat penjaga 'ujub (rasa bangga terhadap kehebatan diri sendiri) . Allah memerintahkanku agar amal ini tidak melewatiku. Sebab amalnya selalu disertai 'ujub."
Kembali malaikat Hafadzah naik ke langit membawa amal hamba yang lain. Amalan itu sangat baik dan mulia, jihad, ibadah haji, ibadah umrah, sehingga berkilauan bak matahari. Sesampainya pada langit kelima, malaikat penjaga mengatakan: "Aku malaikat penjaga sifat hasud(dengki). Meskipun amalannya bagus, tetapi ia suka hasud kepada orang lain yang mendapat kenikmatan Allah swt. Berarti ia membenci yang meridhai, yakni Allah. Aku diperintahkan Allah agar amalan semacam ini tidak melewati pintuku."
Lagi, malaikat Hafadzah naik ke langit membawa amal seorang hamba. Ia membawa amalan berupa wudhu' yang sempurna, shalat yang banyak, puasa, haji, dan umrah. Sesampai di langit keenam, malaikat penjaga berkata: "Aku malaikat penjaga rahmat. Amal yang kelihatan bagus ini tamparkan ke mukanya. Selama hidup ia tidak pernah mengasihani orang lain, bahkan apabila ada orang ditimpa musibah ia merasa senang. Aku diperintahkan Allah agar amal ini tidak melewatiku, dan agar tidak sampai ke langit berikutnya."
Kembali malaikat Hafadzah naik ke langit. Dan kali ini adalah langit ke tujuh. Ia membawa amalan yang tak kalah baik dari yang lalu. Seperti sedekah, puasa, shalat, jihad, dan wara'. Suaranya pun menggeledek bagaikan petir menyambar-nyambar, cahayanya bak kilat. Tetapi sesampai pada langit ke tujuh, malaikat penjaga berkata: "Aku malaikat penjaga sum'at (sifat ingin terkenal). Sesungguhnya pemilik amal ini menginginkan ketenaran dalam setiap perkumpulan, menginginkan derajat tinggi di kala berkumpul dengan kawan sebaya, ingin mendapatkan pengaruh dari para pemimpin. Aku diperintahkan Allah agar amal ini tidak melewatiku dan sampai kepada yang lain. Sebab ibadah yang tidak karena Allah adalah riya. Allah tidak menerima ibadah orang-orang yang riya."
Kemudian malaikat Hafadzah naik lagi ke langit membawa amal dan ibadah seorang hamba berupa shalat, puasa, haji, umrah, ahlak mulia, pendiam, suka berdzikir kepada Allah. Dengan diiringi para malaikat, malaikat Hafadzah sampai ke langit ketujuh hingga menembus hijab-hijab (tabir) dan sampailah di hadapan Allah. Para malaikat itu berdiri di hadapan Allah. Semua malaikat menyaksikan amal ibadah itu shahih, dan diikhlaskan karena Allah.
Kemudian Allah berfirman: "Hai Hafadzah, malaikat pencatat amal hamba-Ku, Aku-lah Yang Mengetahui isi hatinya. Ia beramal bukan untuk Aku, tatapi diperuntukkan bagi selain Aku, bukan diniatkan dan diikhlaskan untuk- Ku. Aku lebih mengetahui daripada kalian. Aku laknat mereka yang telah menipu orang lain dan juga menipu kalian (para malaikat Hafadzah). Tetapi Aku tidak tertipu olehnya. Aku-lah Yang Maha Mengetahui hal-hal gaib. Aku mengetahui segala isi hatinya, dan yang samar tidaklah samar bagi-Ku. Setiap yang tersembunyi tidaklah tersembunyi bagi-Ku. Pengetahuan-Ku atas segala sesuatu yang telah terjadi sama dengan pengetahuan-Ku atas segala sesuatu yang belum terjadi. Pengetahuan-Ku atas segala sesuatu yang telah lewat sama dengan yang akan datang. Pengetahuan-Ku atas segala yang telah lewat sama dengan yang akan datang. Pengetahuan-Ku atas orang-orang terdahulu sama dengan pengetahuan-Ku atas orang-orang kemudian.
Aku lebih mengetahui atas sesuatu yang samar dan rahasia. Bagaimana hamba-Ku dapat menipu dengan amalnya. Mereka mungkin dapat menipu sesama makhluk, tetapi Aku Yang Mengetahui hal-hal yang gaib. Aku tetap melaknatnya...!"
Tujuh malaikat di antara tiga ribu malaikat berkata, "Ya Tuhan, dengan demikian tetaplah laknat-Mu dan laknat kami atas mereka."
Kemudian semua yang berada di langit mengucapkan, "Tetaplah laknat Allah kepadanya, dan laknatnya orang-orang yang melaknat."
Sayyidina Mu'adz (yang meriwayatkan hadits ini) kemudian menangis tersedu-sedu. Selanjutnya berkata, "Ya Rasul Allah, bagaimana aku bisa selamat dari semua yang baru engkau ceritakan itu?"
Jawab Rasulullah, "Hai Mu'adz, ikutilah Nabimu dalam masalah keyakinan."
Tanyaku (Mu'adz), "Engkau adalah Rasulullah, sedang aku hanyalah Mu'adz bin Jabal. Bagaimana aku bisa selamat dan terlepas dari bahaya tersebut?"
Berkatalah Rasulullah sallAllahu 'alayhi wasallam, "Memang begitulah, bila ada kelengahan dalam amal ibadahmu. Karena itu, jagalah mulutmu jangan sampai menjelekkan orang lain, terutama kepada sesama ulama. Ingatlah diri sendiri tatkala hendak menjelekkan orang lain, sehingga sadar bahwa dirimu pun penuh aib. Jangan menutupi kekurangan dan kesalahanmu dengan menjelekkan orang lain. Janganlah mengorbitkan dirimu dengan menekan dan menjatuhkan orang lain. Jangan riya dalam beramal, dan jangan mementingkan dunia dengan mengabaikan akhirat. Jangan bersikap kasar di dalam majlis agar orang takut dengan keburukan akhlakmu. Jangan suka mengungkit-ungkit kebaikan, dan jangan menghancurkan pribadi orang lain, kelak engkau akan dirobek-robek dan dihancurkan anjing Jahannam, sebagaiman firman Allah dalam surat An-Naziat ayat 2."
Tanyaku selanjutnya, "Ya Rasulallah, siapakah yang bakal menanggung penderitaan seberat itu?"
Jawab Rasulullah sallAllahu 'alayhi wasallam, "Mu'adz, yang aku ceritakan tadi akan mudah bagi mereka yang dimudahkan Allah. Engkau harus mencintai orang lain sebagaimana engkau menyayangi dirimu. Dan bencilah terhadap suatu hal sebagaimana kau benci bila itu menimpa dirimu. Jika demikian engkau akan selamat."
Khalid bin Ma'dan meriwayatkan, "Sayyidina Mu'adz sering membaca hadits ini seperti seringnya membaca Al-Qur'an, dan mempelajari hadits ini sebagaimana mempelajari Al-Qur'an di dalam majlis."