Di antara hal yang mematikan kehidupan manusia adalah kekosongan waktu (faragh). Ada banyak manusia yang menghanguskan waktu mereka untuk hal-hal yang tidak ada manfaatnya bagi kebaikan diri dan masyarakat, bahkan sebagian yang lain menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk sesuatu yang justru menzhalimi dan merusak diri serta umat. Kerugian sudah pasti akan menjadi milik mereka.
Perhatikanlah betapa berharga waktu-waktu yang kita miliki. Sungguh amat sangat terbatas jatah waktu yang Allah berikan kepada masing-masing kita, sudah semestinya kita mengoptimalkan setiap detik waktu yang ada untuk kebaikan. Jika kita memiliki waktu 5 menit saja yang terbuang percuma setiap harinya, maka selama setahun ada 1.825 menit atau 30,42 jam waktu yang terbuang. Apabila Allah mengaruniakan usia 60 tahun kepada kita, maka ada 1.825 jam atau 76 hari yang terbuang percuma.
Cobalah kita cermati secara seksama, apakah waktu kita yang terbuang percuma lebih dari 5 menit setiap harinya? Apakah yang anda kerjakan di waktu pagi, siang, sore atau malam hari? Kadang ada suasana santai yang menghanguskan banyak waktu. Pada beberapa kalangan, waktu senggang tersebut dimanfaatkan untuk mengobrol dengan tetangga atau teman. Setiap harinya bisa menghabiskan waktu hingga dua jam untuk mengobrol tersebut, bahkan lebih, dengan tema yang beraneka ragam dan semata-mata mengisi waktu luang. Baik di kantor, di rumah, ataupun di restoran dan tempat-tempat umum lainnya, mengobrol seakan-akan telah menjadi kebutuhan pokok.
Jika sehari menggunakan 2 jam waktu untuk mengobrol dengan teman atau tetangga, maka dalam setahun ada 730 jam atau 30,42 hari mengobrol. Jika jatah usia kita 60 tahun maka kurang lebih ada 43.800 jam atau setara dengan 1.825 hari atau 60 bulan atau 5 tahun waktu kita yang habis untuk kepentingan mengobrol saja. Apabila obrolannya membawa manfaat bagi kebaikan diri dan masyarakat, tentu tidak menjadi masalah. Akan tetapi jika obrolannya sekedar menyebarkan isu dan gosip, membicarakan kejelekan orang lain, dan dalam konteks “daripada bengong”, maka sudah barang tentu akan membawa berbagai kemudharatan.
Jika seorang muslim mengandalkan ibadahnya hanya kepada shalat wajib lima waktu saja, maka dengan rata-rata pelaksanaan sekali shalat wajib 5 menit, sehari mengerjakan shalat 25 menit. Dengan demikian setahun ada 9.125 menit atau 152 jam atau 6,3 hari saja untuk shalat. Jika jatah usianya 60 tahun, maka untuk ibadah hanya memerlukan 9.125 jam, atau setara dengan 380,2 hari atau 12 bulan atau satu tahun. Padahal untuk mengobrol saja memerlukan waktu 5 tahun.
Tentu saja tidak dilarang untuk mengobrol, jika ada tujuan dan kemanfaatan yang jelas. Akan tetapi hendaknya kita sangat memperhatikan alokasi penggunaan waktu dalam kehidupan sehari-hari, agar tidak hangus secara percuma. Ada banyak waktu yang perlu kita hemat dalam kehidupan sehari-hari. Saat anda di kamar mandi, di meja makan, di kamar saat berganti pakaian atau berhias, di depan televisi, di halte bus, dan di berbagai tempat privat maupun publik. Jika suatu aktivitas telah anda selesaikan, jangan membiarkan ada waktu jeda atau waktu luang yang dibiarkan berlalu sia-sia. Segera kerjakan aktivitas lainnya.
Demikianlah Al Qur’an mengajarkan kepada kita, “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatunurusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap” (Alam Nasyrah: 7 – 8).
Allah menghendaki agar kita tidak memiliki kekosongan waktu (faragh). Artinya, satu kegiatan senantiasa bersambung dengan kegiatan yang lainnya, sehingga tidak ada waktu yang tidak terdefinisikan pemanfaatannya, yang cenderung menjadi kesia-siaan. Jika anda telah selesai shalat Subuh, segera lakukan aktivitas lainnya, sampai saatnya anda siap bekerja. Sesampai di tempat kerja, segera lakukan aktivitas kerja hingga tuntas, setelah tiba waktu pulang, segeralah pulang untuk istirahat. Jika telah cukup istirahat, segera kerjakan aktivitas lainnya, demikian seterusnya, sehingga tidak ada satu detik waktu kita yang terbuang percuma.
Sumber : Cahyadi Takariawan
Sumber : Cahyadi Takariawan
Apa bedanya menyembah patung dengan mencium batu seperti hajar aswad? Keduanya adalah benda mati yang disembah atau dicium sebagai bentuk ibadah. Mencium hajar aswad – dalam konteks ini – jelas tidak masuk akal. Tapi Umar bin Khattab yang sangat rasional akhirnya menciumnya juga. Telah hilangkah rasionalitasnya? Tidak! Akalnyalah yang telah mengantarnya kepada hakikat kebenaran yang lebih besar. Yaitu hakikat tentang Allah dan Muhammad. Ia menerima kebenaran itu. Ia meyakini kebenaran itu. Ia tunduk dan pasrah pada kebenaran itu. Maka mencium hajar aswad hanya penampakan kecil dari penerimaan, keyakinan, ketundukan dan kepasrahan kepada kedua hakikat besar itu.
Begitulah Umar bin Khattab menemukan hidayah dan jalan akalnya. Ia mendengarkan adik perempuannya membaca teks ini: “Thaha. Tiadalah Kami menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu supaya kamu menderita.” Ayat itu menyentak akalnya. Lalu membuka hatinya. Maka ketika akhirnya ia harus mencium hajar aswad, ia hanya mengatakan: “Saya tahu wahai batu bahwa kamu tidak memberi manfaat tidak juga membawa bahaya. Kalau bukan karena melihat Muhammad menciummu niscaya aku tidak akan menciummu.”
Abu Bakar beda lagi. Ia menemukan kebenaran dari jalan lain. Ia menemukannya dari jalan hatinya. Sejak awal ia bersahabat dengan Muhammad. Sejak awal ia mengetahui kejujuran Muhammad. Maka sejak awal pula ia mempercayai Muhammad dan mencintainya sepenuh hati. Jadi ketika Muhammad datang kepadanya membawa berita dari langit, ia sama sekali tidak menemukan sedikitpun keraguan dalam dirinya. Ia segera mempercayainya dan menerima semua berita yang ia sampaikan. Bahkan dalam peristiwa Isra Mi’raj ia menunjukkan puncak kepercayaannya kepada Muhammad. Maka ia digelari Al-Shiddiq.
Jika kebenaran bisa menampakkan diri dalam banyak wajah, maka jalan menuju kebenaran dapat ditempuh dari pintu hati dan akal. Dari pintu hati ada cinta. Dari pintu akal ada logika. Cinta mengantar Abu Bakar kepada iman. Logika mengantar Umar kepada hidayah. Logika membuat Umar mencintai teks. Cinta memudahkan Abu Bakar memahami logika teks. Cinta membuka mata hati. Logika membuka mata akal. Logika menuntun cinta. Cinta mengayomi logika.
Jika kita datang kepada teks dari pintu-pintu itu, hampir dapat dipastikan bahwa kita akan bertemu dengan kebenaran dalam banyak ragam wajahnya. Sebab teks ini berbicara kepada manusia dengan menggunakan seluruh instrumen pembelajaran yang ada dalam diri manusia. Sekali waktu ia menyentuh akalnya. Lain waktu ia menggugah hatinya. Tapi ketika ia bercerita tentang panorama kehidupan beragam manusia di masa silam, lalu mengajak mereka membayangkan hari-hari yang akan datang, teks ini serta merta menggoda imajinasi kita. Maka kita mengembara dalam ruang waktu yang begitu luas, menyusun sebuah sketsa kehidupan baru, atau menemukan keyakinan-keyakinan baru. Pemahaman baru itu mencerahkan akal. Keyakinan baru itu menenangkan hati.
Di masa kecilnya Sayyid Quthub sering mendengarkan beberapa qori membaca Al-Qur’an di rumahnya. Lantunan suara sang qori menghadirkan teks dalam bunyi yang indah. Akalnya terhentak. Hatinya tergugah. Imajinasinya tergoda. Kelak pergumulan yang lama dengan teks itu ia narasikan kembali sebagai sebuah pengalaman batin tentang bagaimana ia hidup di bawah naungan Qur’an. “Itu karunia. Dan takkan ada yang tahu karunia itu kecuali mereka yang pernah merasakannya,” katanya.
Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam,
tapi buah alpukat,
Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat,
Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah,
dan kepada Koes Plus kita beri mandat,
Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi,
dan ibukota Indonesia Monaco,
Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas,
salju turun di Gunung Sahari,
Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin
dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop,
Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia
dibayar dengan pementasan Rendra,
Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi,
dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan,
Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya sehingga di
kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki
pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suara
percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan
margasatwa Afrika,
Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil
mempertimbangkan protes itu,
Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita
pelihara ternak sebagai pengganti
Bagaimana kalau sampai waktunya
kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi.
Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah,
dan kepada Koes Plus kita beri mandat,
Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi,
dan ibukota Indonesia Monaco,
Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas,
salju turun di Gunung Sahari,
Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin
dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop,
Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia
dibayar dengan pementasan Rendra,
Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi,
dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan,
Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya sehingga di
kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki
pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suara
percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan
margasatwa Afrika,
Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil
mempertimbangkan protes itu,
Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita
pelihara ternak sebagai pengganti
Bagaimana kalau sampai waktunya
kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi.
Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini
hanyalah titipan
Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya
Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya:
mengapa Dia menitipkan padaku???
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ???
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu ???...
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku, aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak rumah, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan,
Seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika:
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih. Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”, dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah… “ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”
Para pahlawan mukmin sejati selalu mempunyai penglihatan mata hati yang tajam, yang senantiasa membantunya memantau dan mendeteksi setiap jebakan yang dapat menghancurkan kepahlawanannya, atau mengalihkan arah hidupnya dari jalan kepahlawanan.
Karya-karya besar, atau sukses-sukses besar yang menyejarahkan seorang pahlawan adalah gabungan karya-karya kecil, atau sukses-sukses kecil yang terakumulasi di sepanjang jalan hidup seorang pahlawan. Proses menyejarah, dengan demikian, menemukan kerumitan yang kompleks pada dimensi waktu, terutama ketika ia berhubungan dengan persoalan konsistensi, atau pada penilaian yang kita lakukan terhadap karya-karya kita sendiri.
Dalam kerangka itulah, seorang pahlawan mukmin sejati harus mempertajam penglihatan mata hatinya, agar setiap saat ia dapat mendeteksi setiap jebakan secara dini. Salah satu jebakan itu adalah tipuan massa. Jebakan massa tidak saja terlatak pada sikap kagum yang berlebihan yang membuat seorang pahlawan berhenti berkarya karena terlalu cepat merasa puas. Jebakan itu juga tidak saja terletak pada sikap kritis mereka yang berlebihan yang membuat seorang pahlawan berhenti berkarya karena merasa tertolak atau tidak diterima. Namun, jebakan massa juga menyimpan godaan dalam cara kita menilai mereka, dan pada godaan-godaan mereka pada kita untuk bertindak lebih jauh, namun tidak rasional.
Suatu saat Khalid bin Walid digoda oleh pengagumnya di Negeri Syam untuk memberontak melawan Pemerintahan Umar di Madinah. Itu untuk membalas dendam Khalid bin Walid setelah dipecat Umar dari jabatan sebagai panglima perang. Tentu saja, ajakan itu sangat menggoda, bukan saja karena secara psikologis Khalid memang terluka, tetapi juga karena secara de facto kemampuan untuk memberontak memang ada.
Akan tetapi, Khalid bin Walid masih punya mata hati. Ini bukan jalan yang benar. Ini jebakan yang dapat menghancurkan nama baiknya dan merubah arah hidupnya seluruhnya. Kekuatan dan keberaniannya selama ini telah ia gunakan dengan sempurna untuk melawan musuh-musuh Allah. Mengapa sekarang ia harus membalik moncong senjatanya untuk melawan saudaranya sendiri? ”Tidak,” kata Khalid pada akhirnya. ”Tidak akan ada pemberontakan, selama Umar masih hidup,” tambahnya.
Suatu saat seorang ulama ditangkap dengan tuduhan menyiapkan sebuah kudeta. Ulama itu membela diri dengan menafikan semua tuduhan itu. Akan tetapi, sang khalifah membenarkan tuduhannya dengan jumlah massa pengikut sang ulama yang banyak. Namun, ulama itu malah membantah. ”Pengikut saya,” katanya, ”Hanya ada seorang laki-laki dan sepotong laki-laki.”
Jawaban itu sangat mengejutkan sang khalifah. Bagaimana mungkin? Namun, sang ulama membuktikannya kepada khalifah melalui sebuah drama. Ulama itu meminta agar khalifah mengumumkan penangkapannya, dan rencana penangkapan susulan atas para pengikutnya. Segera saja massa sang ulama membubarkan diri. Akan tetapi, pada sore harinya tiba-tiba saja seorang laki-laki berpedang datang menerobos pengawal istana ingin bertemu dengan sang ulama. ”Itulah yang seorang laki-laki.” Setelah itu, tampak pula seorang laki-laki yang maju mundur di depan istana. ”Dan itulah yang sepotong laki-laki,” kata sang ulama, ”Ia sangat ingin menolongku, tetapi keberaniannya tidak sempurna.”
Jebakan massa selalu menggoda sang pahlawan pada sisi kejujurannya, objektivitasnya, rasionalitasnya, dan arah hidupnya. Berhati-hatilah terhadap mereka.
[Sebelumnya]
[Sebelumnya]
Wajah Tampan? Percuma!! Jika tanpa keimanan
Wajah Tampan? Percuma!! Jika kelak dilaknat Tuhan
Wajah Tampan? Percuma!! Jika hari-harinya tanpa amalan
Wajah Tampan? Percuma!! Jika tak ada Al Qur’an yang lekat dalam ingatan
Wajah Tampan? Percuma!! Jika tidak memburu keridhoan
Wajah Tampan? Percuma!! Jika hanya melakukan kesia-siaan
Wajah Tampan? Percuma!! Jika hatinya dikotori kebanggaan
Wajah Tampan? Percuma!! Jika tak punya kehormatan
Wajah Tampan? Percuma!! Jika matanya masih jelalatan tak juga mampu tundukkan pandangan
Wajah Tampan? Percuma!! Jika tak bisa mengendalikan hawa nafsunya
Wajah Tampan? Percuma!! Jika hanya untuk tebar pesona dan memikat wanita
Wajah Tampan? Percuma!! Jika enggan mematuhi yang Kuasa dan malah bangga dengan dosa-dosa
Wajah Tampan? Percuma!! Jika akhirnya nanti mendapat siksa di nerakaKetampananmu tak berarti karena tak menjamin kamu akan diridhoi
Ketampananmu tak berguna, karena seseorang masuk surga bukan karena tampannya rupa.
Ketampananmu pasti akan pudar dan hilang seiring waktu yang berjalan. Sedang apa-apa yang engkau lakukan akan abadi dan pasti dimintai pertanggungjawaban oleh Ilahi.
Ketampananmu tak akan bisa menjadi pembela saat engkau dihadapkan pada pengadilan Yang Maha.
Ketampananmu tidak akan pernah bisa menjadi pemberat amal-amal kebaikan di mizan. Tak juga bisa meringankan azab yang ditimpakan di hari kemudian.
Ketampananmu hanya pemberian… hanya pajangan yang tidak akan memberi pengaruh di dalam alam keabadian.
Coba lihatlah Bilal bin Rabbah dengan kulitnya yang hitam, lihat pula Amr bin Jamuh dengan kakinya yang pincang, lihatlah juga Abdullah bin Ummi Maktum dengan kebutaan penglihatan. Mereka mulia di sisi Robb mereka, Rasulullah mengakui keutamaan mereka. Bukan karena tampannya rupa, bukan pula karena sempurna anggota badannya. Namun semuanya karena kesetiaan pada ikrar syahadat yang diucap, kepatuhan pada aturan syariat, melaksanakan kewajiban tanpa keengganan, dan ketaqwaan yang menghunjam sanubari tanpa lekang.
Tidakkah kau belajar pada Yusuf ‘alaihissalam ketika dia digoda untuk berzina ia menolak seraya berkata, “Aku berlindung kepada Allah…” Dan ketika wajah tampannya menarik kaum wanita dia sampai berdoa, “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai dari pada memenuhi ajakan mereka kepadaku…”
Tidakkah kau mengambil sesuatu dari Mush’ab bin Umeir? Pemuda tampan pujaan gadis Makkah di masa jahiliyah? Ia tanggalkan segala kemewahan dan memilih Islam, hingga ketika dia di Uhud dianugerahi kesyahidan Rasulullah berkata tentangnya, “Ketika di Mekkah dulu tak seorang pun aku lihat yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya dari padamu. Tetapi sekarang ini, dengan rambutmu yang kusut masai hanya dibalut sehelai burdah.” Ya, Mush’ab pemuda tampan itu, duta pertama Rasulullah itu hanya berkafan selembar kain burdah yang jika ditutupkan kepalanya maka terbukalah kakinya, dan saat ditutupkan ke kakinya terbukalah kepalanya. Namun dia telah mendapat kemuliaan yang tiada tandingnya.
Tidakkah kau perhatikan perkataan Umar bin Abdul Aziz saat seorang sahabat lamanya -Muhammad bin Ka’ab Al qardhi- menyatakan keheranannya atas penampilan Umar yang berubah setelah menjadi khalifah. Padahal saat Umar menjadi gubernur Madinah tubuhnya indah dan subur, dan setelah menjadi amirul mukminin Umar menjadi kurus, sederhana dan bersahaja. Umar berkata menjawab keheranan Ka’ab, “Bagaimana kalau kau lihat aku di kuburku tiga hari setelah kematianku, saat kedua mataku tanggal pada pipiku, dari hidung dan mulutku mengalir cacing dan nanah. Tentu saat itu engkau akan sangat ingkari aku lebih dari pengingkaran dan keherananmu saat ini.”
Wahai pemuda yang bangga dengan ketampanannya…
Wahai pemuda yang sibuk dengan penampilan lahirnya…
Wahai pemuda yang terlena dengan pandangan dan pujian manusia…
Jangan lagi tertipu akan kefanaan dan kenikmatan tanpa keabadian. Bersegeralah menuju penghambaan yang akan memberi keberuntungan. Apa yang akan kau banggakan saat kematian telah menjelang, apa yang akan kau persembahkan di hadapan Rabb semesta Alam? Apakah kau tak sadari setiap saat kematian bisa mendatangi? Apakah kau tak ingin terpuji di hadapan pencipta langit dan bumi?
Dan cukuplah nasehat Fudhoil bin Iyadh sebagai renungan, “Wahai si wajah tampan, adalah orang yang akan ditanyakan oleh Allah tentang penciptaan (ketampanan) ini. Bila anda mampu menjaga wajah yang tampan ini dari api neraka, maka lakukanlah…”
Wallahu a’lam…
Sumber : Tari Jemari
Baru beberapa kali menjadi supervisor grup tarbiyah aktifis dakwah kampus, saya sudah diminta untuk mengisi pertemuan dengan tema " Virus Merah Jambu". Tentu saja ini bukan yang pertama, tapi yang terlihat berbeda adalah ; pertemuan sebesar dan semegah itu ternyata 'sekedar' untuk mencegah penyebaran virus merah jambu ! Ini bukan berarti meremehkan, saya tahu persis virus merah jambu selalu eksis di ranah aktifis dakwah kampus, tapi menjustifikasi bahwa itu sebuah masalah besar, rasa-rasanya saya kurang setuju. Karena alasan itulah, kemudian dengan nada bercanda saya menolak permintaan itu. Saya katakan pada mereka, " wah bagusnya yang mengisi itu para alumni VMJ-nya saja, lebih pas dan menghayati .. ". Mereka pun tersenyum kemerah-merahan, saling tunjuk hidung satu sama lain.
Virus Merah Jambu, sering diidentifikasi sebagai gejala yang nampak dari penyakit hati yang muncul antara ikhwan dan akhwat. Biasanya bermula dari pandangan yang tak disengaja, atau bisa juga frekuensi dalam interaksi organisasi yang berkesinambungan. Awalnya adalah perasaan simpati, kagum, kemudian bisa menggulir menjadi sebuah kecenderungan. Ujung-ujungnya adalah memupuk harapan untuk bisa diperhatikan, menjalin komunikasi, bahkan mengincar gerbang pernikahan. Ibarat pepatah arab : " Laa ya'ti min farogh" , virus ini tidak mungkin muncul tiba-tiba. Ia akan tumbuh berkembang pada hati yang tak terjaga. Karenanya saya sering menyindir para aktifis dakwah kampus tentang proses pertumbuhan virus ini. Saya menyingkatnya dengan kata " KETUA " .
* K = Kordinasi, yaitu antara ikhwan dan akhwat dalam sebuah kegiatan atau kepanitiaan
* E = Evaluasi, yaitu saling mengevaluasi setelah usai kegiatan, baik memuji maupun mengkritik, atau sekedar mengucapkan jazakumullah dan jazakillah
* T = Tausiyah, yaitu saat tidak ada lagi koordinasi, hati masih ingin untuk terus berkomunikasi, karenanya mulailah ada SMS tausiyah berlabel penjaga ukhuwah dan motivasi dakwah. Bukan tidak mungkin terjadi di sepertiga malam yang terakhir, saling membangunkan sholat malam via sms tausiyah.
* U = Ukhuwah, atas nama ukhuwah terus melanjutkan komunikasi dengan lebih intensif, Semua atas nama ukhuwah, dakwah. Meski hati kecil tetap saja terus berdegup saat berkomunikasi.
* A = Ana uhibbukum fillah..... yang ini sudah jelas , efek lanjutan dari degup hati yang tak terjaga. Dari fase inilah akan bermula banyak permasalahan dan penurunan dalam aktifitas dakwah.
OK, ternyata kepancing juga saya membahas tentang VMJ. Sejujurnya memang ada faktanya, bahkan beberapa kali saya menerima sms yang 'curhat' tentang VMJ yang ia rasakan. Tapi sekali lagi, saya agak ragu-ragu untuk membahasnya dalam forum yang besar. Alasan sederhananya setidaknya ada tiga :
- Mungkin justru akan menginspirasi yang lainnya yang sebelumnya steril dan belum pernah terlintas untuk terjangkit virus ini. Atau sederhananya, jangan sampai isu VMJ ini begitu populer karena banyak yang membahas dan berpolemik tentangnya. Ingat iklan PKS tentang Soeharto ? Murah meriah bukan, semakin banyak dibahas, semakin efektiflah iklan PKS.
- Bisa jadi akan memperburuk citra dakwah kampus. Ini bagi pandangan pengamat luar atau mahasiswa diluar sistem dakwah kampus. Mereka akan mudah beropini: " oo ternyata sama aja ya anak masjid juga bisa jatuh cinta, bahkan lebih berbunga-bunga "
- Pembahasan VMJ akan menyembunyikan permasalahan lain yang juga sebenarnya dialami oleh aktifis kampus. Tanpa bermaksud mengumbar kesalahan para aktifis dakwah kampus, beberapa kali saya menemukan satu dua hal yang tampaknya bisa jadi masalah di aktifitas selanjutnya. Contohnya : nilai akademis aktifis yang tak kunjung naik atau bahkan molor skripsi, atau juga sisi profesionalisme dalam administrasi dan mengorganize sebuah acara, atau juga rapuhnya pemahaman tentang ideologi dakwah yang paling basic sekalipun.
Akhirnya, ada banyak permasalahan yang memang harus kita urai satu persatu dalam dunia aktifis dakwah kampus. Saya yakin VMJ bukan yang terbesar, karena bisa dipastikan mereka yang terkena biasanya -wallahu a'lam- adalah mereka yang bermasalah dalam tarbiyahnya, amal yauminya, dan bisa juga dalam pelaksanaan amanah-amanah yang dibebankan kepadanya. Dan mestinya 'sample error' selalu lebih sedikit dari jumlah keseleruhan. Saya yakin banyak aktifis dakwah kampus lainnya yang lebih fokus menggarap amanahnya, lebih ikhlas dalam kerja-kerja dakwahnya, tidak tergoda hanya dengan pandangan selintas, tidak terpengaruh dengan deretan-deretan kalimat dalam sms yang diterimanya. Kepada mereka sajalah layak kita titipkan masa depan dakwah kampus, bahkan masa depan Indonesia.Wallahu a'lam.
Sumber : Blog Ust. Hatta Syamsuddin
Sumber : Blog Ust. Hatta Syamsuddin
Setiap manusia dikarunia perasaan oleh Allah Ta’ala, sebagai bagian dari nilai kelebihan dan pemuliaan kepada mereka, dibandingkan dengan makhluk lainnya. Perasaan tersebut maujud dalam bentuk berpasang-pasangan, dengan manifestasi yang seakan-akan berlawanan. Ada perasaan senang dan bahagia, ada pula sedih dan duka. Ada perasaan sayang dan cinta, namun ada pula benci dan muak. Ada perasaan aman dan tenteram, ada pula cemas dan kekhawatiran.
Salah satu faktor yang menyebabkan kebaikan dalam kehidupan adalah kemampuan kita untuk mengelola berbagai macam perasaan tersebut secara tepat. Tidak ada perasaan yang harus dibuang, sebab semua diperlukan dalam kehidupan. Yang menjadi masalah adalah, kapan dan dimana perasaan tersebut harus muncul. Jika perasaan hadir pada saat dan situasi yang tepat, maka akan menyebabkan kebaikan dalam kehidupan. Sebaliknya jika perasaan muncul pada momen dan suasana yang tidak tepat, akan menyebabkan ketidakbaikan dan kekacauan.
Sebagai contoh, pengelolaan kita atas perasaan aman dan khawatir. Jika perasaan aman terlalu dominan, akan menyebabkan manusia menjadi lalai dan tidak memiliki persiapan menghadapi hal yang tidak diinginkan. Namun jika perasaan khawatir yang terlalu dominan, akan menyebabkan menusia menjadi kehilangan nalar sehat dan tidak bisa melakukan aktivitas hidup secara normal.
Perhatikanlah bagaimana sebagian warga masyarakat Aceh yang tengah berlibur di pantai pada pagi nahas itu, Ahad 26 Desember 2004. Perasaan aman melingkupi mereka, sebagaimana hari-hari lainnya. Mereka akrab dengan wisata pantai, sebab selama ini tidak ada musibah dan tidak ada masalah dengan bermain-main ombak pantai. Semua tampak bergembira, bahkan tatkala air surut ke belakang sekian jauhnya, hingga ikan-ikan tampak menggelepar di atas pepasiran, mereka menjemput ikan-ikan tersebut.
Mereka tidak sadar bahwa surutnya ombak lautan dalam ukuran jarak yang tidak wajar, adalah bagian dari tanda-tanda hadirnya Tsunami. Begitulah ketika akhirnya gelombang Tsunami datang, tidak ada yang siap menghadapi mahamusibah tersebut. Masyarakat berlari ketakutan, berteriak meminta pertolongan, mereka digulung ombak besar, hingga akhirnya terseret jauh, masih dengan menyimpan keheranan bahkan ketidakpercayaan atas apa yang telah terjadi. Hampir bisa dipastikan lebih dari duaratus jiwa melayang, dalam waktu yang amat singkat.
Mari kita bandingkan dengan sebagian masyarakat Jogjakarta yang panik dan ketakutan, oleh karena tersebar berita bahwa antara tanggal 8 hingga 10 Februari 2005, mereka diminta mewaspadai peluang munculnya badai tropis dengan kecepatan tinggi, lebih dari 100 km/jam. Sebagian masyarakat pantai menghindari pergi ke laut untuk mencari ikan, karena khawatir terkena musibah di tengah lautan. Sebagian yang lainnya melakukan upaya ritual tolak bala dengan memasak sayur lodeh.
Kekhawatiran yang tidak dikelola, ternyata menimbulkan kerugian. Sebagian nelayan memilih berhenti melaut pada tanggal tersebut, sehingga akhirnya mereka tidak memiliki komiditi untuk dijual. Pada sisi lainnya, mereka terjebak dalam ritual tolak bala yang diyakini bisa menghindarkan diri dari marabahaya. Namun perasaan aman yang tidak dikelola secara tepat, juga telah membawa kelalaian yang merenggut ratusan ribu jiwa melayang.
Kita perlu memiliki perasaan aman, agar bisa berkegiatan secara normal dalam kehidupan sehari-hari, namun juga perlu memiliki kekhawatiran agar bisa senantiasa waspada menghadapi berbagai kemungkinan yang tidak diinginkan. Kedua perasaan ini perlu dikelola secara tepat dan proporsional, agar bisa membawa kebaikan dalam kehidupan bukan saja pribadi, namun juga bermasyarakat bahkan berbangsa dan bernegara.
Salah satu upaya untuk mengelola perasaan tersebut secara tepat dan proporsional adalah dengan tindakan nyata. Pemerintah berkewajiban melakukan sosialisasi secara ilmiah atas peluang munculnya bahaya, jika perlu disertai dengan simulasi tindakan penyelamatan dari musibah. Pemerintah juga berkewajiban memberikan informasi secara cepat, tepat dan akurat kepada masyarakat apabila bahaya diperkirakan telah hampir datang; sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kepanikan massal, akan tetapi memunculkan kewaspadaan nasional.
Dengan cara inilah perasaan tersebut bisa dikelola secara benar. Jika tidak, pemberian informasi mengenai kemungkinan bahaya, justru bisa memunculkan tindakan tidak ilmiah, bahkan bisa mengarahkan masyarakat kepada syirik, dengan usaha tolak bala yang tidak dikenal dalam ajaran agama. Semua harus proporsional.
Sumber : Cahyadi Takariawan
Sumber : Cahyadi Takariawan