Cinta misi hanya bersemi pada nurani yang hidup. Tapi dari manakah nurani kita menemukan kehidupan? Dari cinta Allah dan cinta kebenaran. Inilah cintanya cinta. Denyut kehidupan nurani adalah tanda-tandanya. Cinta misi adalah buahnya.
Cerita-cerita keagungan yang kita warisi dari sejarah sesungguhnya merupakan menampakan cinta misi dari waktu ke waktu. Ia mengejahwantah pada karya-karya ilmiah para ulama, pada darah dan air mata syuhada, pada keadilan para pemimpin, pada kasih sayang para duat, pada kelembutan para guru. Tidak ada karya besar tanpa cinta misi. Itu yang membuat cinta ini jadi teramat agung. Sekaligus rumit. Karena seluruh isinya adalah karya. Adalah kerja. Adalah memberi. Tanpa pernah terpengaruh oleh penerimaan dan penolakan. Penerimaan mungkin menguatkannya. Tapi penolakan tidak mengendurkannya.
Pertanyaan kemudian muncul disini. Dari mana mereka menemukan energi itu? Apa yang membuat mereka sanggup berkarya dan memberi terus menerus, sementara kadang atau bahkan sering sekali mereka tidak dipahami atau terabaikan oleh orang-orang yang justru mereka cintai? Pasti ada rahasia hati yang mereka simpan dengan rapih. Tapi apakah rahasia hati itu?
Kelezatan ruhani. Itu rahasianya. Yang mereka cinta sesungguhnya adalah Allah, adalah kebenaran, adalah misi hidup mereka. Bukan orang, atau benda atau bentuk apapun. Yang mereka rindukan adalah surga yang abadi, adalah bidadari-bidadari yang kelak akan mengitari mereka, adalah pandangan mata pada cahaya wajah Allah. Bukan pujian dan penerimaan manusia. Manusia hanya medan karya tempat cinta mengejawantah. Kelelahan-kelelahan itu melahirkan kegembiraan ruhani, kelezatan yang melahirkan energi baru untuk terus mengejawantahkan cinta. Seperti orgasme yang kita rasakan pada setiap keintiman fisik, dan mengajak kita untuk mengulangi dan mengulangi, seperti itulah Allah memberi kelezatan ruhani setiap kali cinta pada-Nya mengejawantah pada cinta misi, setiap kali cinta yang vertikal itu mengejahwantah pada horizon kehidupan manusia. Kelezatan ruhani itulah sumber energinya. Disana makna-makna penerimaan, keberartian, keterhormatan, keberanian hati, merasuk ke serat-serat jiwa dan melapangkan serta meluaskannya sampai ia tampak sebagai karpet merah nan empuk ditengah gurun luas yang tersambung dengan kaki langit.
Itulah kelezatan ruhani yang dirasakan Khalid dari kecamuk perang, atau Utsman saat berinfak, atau Umar saat mengantar gandum ditengah malam pada rakyat miskin, atau Sayyid Quthub menjelang digantung. Kelezatan ruhani itu adalah ledakan kegembiraan yang mendengung di cakrawala kedaran batin kita. Orang-orang tidak menyaksikannya. Tapi mereka merasakan penampakannya. Maka seorang ahli ibadah mengatakan: “Seandainya para raja mengetahui kelezatan yang kita rasakan dalam ibadah ini mereka pasti akan menyiksa kita untuk merampas kelezatan itu.”
[Sebelumnya]
Menggunakan konteks untuk memaknai teks melalui proses rekonstruksi imajiner merupakan pintu yang membuka peluang pemaknaan yang luas. Dari sini lahir unsur analogi ketika teks akan dimaknai kembali pada konteks yang lain. Yaitu upaya menurunkan teks ke dalam dua atau tiga atau lebih konteks yang berbeda. Sebab walaupun sejarah kehidupan Rasulullah saw. merupakan konteks yang legitimate untuk memaknai teks secara akurat, tetap saja teks itu independen dan berdiri sendiri serta harus bisa menembus semua sekat ruang dan waktu.
Independensi teks itu perlu ditegaskan kembali. Karena itu terkait dengan doktrin tentang keabadian teks yang mengharuskannya terbebas dari kekhususan masa tertentu atau ruang tertentu atau apa yang kita sebut sebagai konteks. Jadi dalam kerangka pemaknaan itu konteks adalah salah satu alat bantu yang dapat mengikat makna tertentu pada teks tapi tidak membatasinya sampai disitu. Itu yang menjelaskan mengapa ruang pemaknaan menjadi lebih luas dan memungkinkan munculnya kebenaran dalam banyak wajah.
Ruang pemaknaan yang luas bukan saja lahir dari fakta bahwa konteks bukanlah alat bantu tunggal dalam memaknai teks, tapi juga lahir dari fakta bahwa teks itu sendiri mempunyai kemampuan menampung beragam makna atas dirinya sendiri. Dan semua makna itu menjadi benar karena berada dalam lingkaran ruang pemaknaan yang telah disediakan oleh teksnya sendiri. Ini juga ikut membenarkan mengapa kebenaran itu bisa muncul dalam wajah yang banyak dan beragam.
Dalam wajah kebenaran yang beragam itu kita dapat memahami kecenderungan sebagian ulama untuk memaknai teks dengan menggunakan akal murni sebagai salah satu alat bantu atau apa yang mereka sebut sebagai at tafsir bid diroyah. Inilah misalnya yang dilakukan oleh Al Zamakhsyari atau Abu Hayyan Al Tauhidi.
Disini kita menemukan fakta bagaimana teks dan rasio bertemu secara harmonis. Pertemuan itulah yang menjelaskan mengapa orang-orang yang memiliki kedalaman ilmu (al rosikhuun fil 'ilm), selalu memiliki kelapangan dada yang luar biasa pada waktu yang sama. Teks, rasio dan imajinasi semuanya menjadi alat bantu yang efektif untuk menemukan kebenaran dalam berbagai wajahnya. Itu menjadi mungkin karena ia dikelola dalam bingkai sikap jiwa yang rendah hati menerima kebenaran dan kesiapan melaksanakannya dalam kenyataan. Dengan sikap jiwa begitu mereka berburu makna-makna kebenaran tanpa dihantui oleh keharusan memenangkan satu makna atas makna yang lain.
TIDUR NELENTANG BISA MATI
Suatu malam, di sebuah villa di kawasan punca, para peserta dauroh (training) terlihat letih bersama Ustadz Rahmat Abdullah, berniat merebahkan tubuh mereka untuk beristirahat. Sang ustadz yang melihat mereka berbaring di atas lantai tak lupa berpesan, ”hei, kalian jangan tidur nelentang, ya. Kalian bisa mati nanti.”
Mendengar perkataan yang sepertinya serius itu, mereka buru-buru memperbaiki posisi tidur. Tapi nasehat ini terasa aneh, sehingga membuat mereka terdiam dan berfikir.
Salah seorang peserta memberanikan diri bertanya, ”lho, kok begitu, Ustadz?’
Sang ustadz yang ditanya diam tak berkomentar. Sementara yang lain sibuk memikirkan apa yang dimaksud ustadz sebenarnya. Tak lama kemudian, mereka semua tergelak tertawa, sebab ternyata yang dimaksud nelentang oleh sang ustadz bukanlah posisi terlentang seperti yang mereka sangka. Tetapi yang dimaksud adalah nelen tang.
Nelen biskuit sambil tiduran aja bisa keselek, apalagi nelen tang!
LAGU-LAGU TENTARA
Dalam suatu kegiatan i’tikaf di sebuah masjid, Ustadz Rahmat Abdullah mendapat kesempatan memberi ceramah subuh untuk para peserta. Namun, karena mereka sepanjang malam mengikuti qiyamul lail, sebagian peserta terlihat tak kuasa menahan kantuk.
Melihat kondisi itu, Ustadz Rahmat tidak kehabisan akal. Dalam ceramahnya ia sispkan humor yang menyindir kehidupan tentara. ”Yang namanya tentara itu di masing-masing pangkat punya lagu heroik sendiri-sendiri. Kalau masih bepangkat prajurit, lagunya:’Maju tak gentar, membela yang benar...,’” katanya sambil menyanyikan lagu itu dengan lantang. ”Tapi, kalo sudah jadi sersan lagunya:’Padamu negeri kami berjanji...,’” katanya meneruskan ceritanya. ”Nah, kalo sudah perwira lagunya lebih gembira:’Disini senang, disana senang, dimana-man hatiku senang.”
Jama’ah tertawa. Kantuk pun hilang.
KAMAA AMAR
Siang itu, di kawasan puncak, Ustadz Rahmat Abdullah dengan para pengurus Yayasan Iqro sedang istirahat dari acara rapat tahunan yayasan. Sambil duduk lesehan menghadapi hidangan makan siang, salah seorang meminta sang ustadz bercerita untuk menghibur mereka. Maklum, meskipun ustadz yang satu ini sering kelihatan serius, tapi ia punya segudang cerita yang bisa membuat tergelak orang yang mendengarnya.
Salah satu ceritanya yang membuat semua orang tertawa siang itu adalah, ”suatu Jum’at, naiklah seorang khatib menyampaikan khutbah. Di awal khutbah kedua, sang khatib membaca kalimat pembuka yang ada lafadz ‘kamaa amar’. Kebetulan waktu itu, salah seorang jama’ah ada orang Padang tulen bernama Amar. Mendengar khatib mengucapkan kalimat itu, jama’ah itu tiba-tiba berdiri dan berkata,”Ambo di siko, Pak Ustadz!”
Ternyata Amar berdiri karena menyangka dirinya sedang dicari pak khotib. Maklum, kamaa amar dalam bahasa Padang artinya ’kemana si Amar?’
KAKIKU KAU INJAK BUNG
”Dulu ada kesan orang Sumatera khususnya Sumatera Utara, terutama setelah kasus, PRRI, bahwa orang Jawa identik dengan tentara. Sehingga mereka sangat enggan dan sungkan bila bertemu orang Jawa,” cerita Ustadz suatu hari.
”Suatu hari, seorang laki-laki Batak terinjak kakinya oleh orang yang tampangnya kejawaan. Ia menatap wajah lelaki yang menginjaknya sambil bertanya,”Mas dari Jawa, ya?” dengan aksen Bataknya yang kental.
”Ya, saya dari Jawa.”
”Mas dari Jawa, ya?”
Dijawab kembali, ”ya.”
Merasa kaki orang itu tidak digeser, lelaki itu bertanya lagi,”Mas dari Jawa, ya?”
Dijawab sama, ”ya.”
Tiga kali ditanya dengan pertanyaan itu-itu saja, orang Jawa itu merasa heran. Ia pun bertanya, ”memangnya ada apa, Pak?”
Lelaki Batak itu balik bertanya, ”Mas tentara, ya?”
”Bukan, memangnya ada apa?”
“Kakiku kau injak, Bung!” sergahnya lebih berani.
GELAR M.M.
Ustadz Rahmat selalu memanggil istrinya, sumarni, dengan panggilan kesayangan, Nai. Suatu hari ia berujar, ”Nai, sebaiknya kamu kuliah lagi, supaya dapat gelar M.M.” Istrinya bertanya, ”M.M. papa,Bi?” Ustadz menjawab ringan, ”Marni Manyun.” Istrinya, yang awal menduga sang suami serius, akhirnya tak mampu menahan tawa.
Ukhti, kamu cantik sekali
Tapi hanya di mata manusia. Sedangkan yang Maha Kuasa tak pernah memandang rupa atau pun bentuk tubuh kita. Namun Ia melihat pada hati dan amal-amal yang dilakukan hamba-Nya.
Ukhti, kamu cantik sekali
Tapi cantik fisik tak akan pernah abadi. Saat ini para pesolek bisa berbangga dengan kemolekan wajah ataupun bentuk tubuhnya. Namun beberapa saat nanti, saat wajah telah keriput, rambut pun kusut dan berubah warna putih semua, tubuh tak lagi tegak, membungkuk termakan usia, tak akan ada lagi yang bisa dibanggakan. Lebih-lebih jika telah memasuki liang lahat, tentu tak akan ada manusia yang mau mendekat.
Ukhti, kamu cantik sekali
Tapi kecantikan hanyalah pemberian dan untuk apa dibangga-banggakan? Sepantasnya kecantikan disyukuri dengan cara yang benar. Mensyukuri kecantikan bukanlah dengan cara memamerkan, memajang gambar atau mengikuti bermacam ajang lomba guna membandingkan rupa, sedangkan hakekatnya wajah itu bukan miliknya.
Tidakkah engkau lengah bila banyak mata lelaki yang memandangi berhari-hari? Tidakkah engkau malu ketika wajahmu dinikmati tanpa permisi karena engkau sendiri yang memajang tanpa sungkan. Ataukah rasa malu itu telah punah musnah? Betapa sayangnya jika demikian sedangkan ia sebagian dari keimanan.
Ukhti, kamu cantik sekali
Tapi apa manfaat pujian dan kekaguman seseorang? Adakah ia akan menambah pahala dari-Nya? Adakah derajatmu akan meninggi di sisi Ilahi setelah dipuji? Tak ada yang menjamin wahai ukhti. Mungkin malah sebaliknya, wajah cantik itu menjadikanmu tak punya harga di hadapan-Nya, karena kamu tak mampu memelihara sesuai dengan ketentuan-Nya.
Ukhti, kamu cantik sekali
Kecantikan itu harta berharga bukan barang murah yang bisa dinikmati dengan mudah. Dimana nilainya jika setiap mata begitu leluasa memandang cantiknya rupa. Dimana harganya jika kecantikan telah diumbar, dipajang dengan ringan tanpa sungkan. Dimana kehormatan sebagai hamba Tuhan jika setiap orang, baik ia seorang kafir, musyrik atau munafik begitu mudah menikmati wajah para muslimah?
Ukhti, kamu cantik sekali
Alangkah indah jika kecantikan fisik itu dipadu dengan kecantikan hatimu. Apalah arti cantik rupawan bila tak memiliki keimanan. Apalah guna tubuh molek memikat bila tak ada rasa malu yang lekat. Cantikkan dirimu dengan cahaya-Nya. Cahaya yang bersinar dari hati benderang penuh keimanan. Hati yang taat senantiasa patuh pada syariat. Hati yang taqwa, yang selalu menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Hati yang sederhana, yang tak berlebihan dalam segala urusan dunia.
Ukhti, kamu cantik sekali
Maka tampillah cantik di hadapan Penciptamu karena itu lebih berarti dari pada menampilkan kecantikan pada manusia yang bukan muhrimmu.
Tampillah cantik di hadapan suamimu, karena itu adalah bagian dari jihadmu. Mengabdi pada manusia yang kamu kasihi demi keridhoan Ilahi.
Tampillah cantik, cantik iman, cantik batin, cantik hati, karena itu lebih abadi.
Sumber : Catatan Ahmad Sibawaihi
Tapi hanya di mata manusia. Sedangkan yang Maha Kuasa tak pernah memandang rupa atau pun bentuk tubuh kita. Namun Ia melihat pada hati dan amal-amal yang dilakukan hamba-Nya.
Ukhti, kamu cantik sekali
Tapi cantik fisik tak akan pernah abadi. Saat ini para pesolek bisa berbangga dengan kemolekan wajah ataupun bentuk tubuhnya. Namun beberapa saat nanti, saat wajah telah keriput, rambut pun kusut dan berubah warna putih semua, tubuh tak lagi tegak, membungkuk termakan usia, tak akan ada lagi yang bisa dibanggakan. Lebih-lebih jika telah memasuki liang lahat, tentu tak akan ada manusia yang mau mendekat.
Ukhti, kamu cantik sekali
Tapi kecantikan hanyalah pemberian dan untuk apa dibangga-banggakan? Sepantasnya kecantikan disyukuri dengan cara yang benar. Mensyukuri kecantikan bukanlah dengan cara memamerkan, memajang gambar atau mengikuti bermacam ajang lomba guna membandingkan rupa, sedangkan hakekatnya wajah itu bukan miliknya.
Tidakkah engkau lengah bila banyak mata lelaki yang memandangi berhari-hari? Tidakkah engkau malu ketika wajahmu dinikmati tanpa permisi karena engkau sendiri yang memajang tanpa sungkan. Ataukah rasa malu itu telah punah musnah? Betapa sayangnya jika demikian sedangkan ia sebagian dari keimanan.
Ukhti, kamu cantik sekali
Tapi apa manfaat pujian dan kekaguman seseorang? Adakah ia akan menambah pahala dari-Nya? Adakah derajatmu akan meninggi di sisi Ilahi setelah dipuji? Tak ada yang menjamin wahai ukhti. Mungkin malah sebaliknya, wajah cantik itu menjadikanmu tak punya harga di hadapan-Nya, karena kamu tak mampu memelihara sesuai dengan ketentuan-Nya.
Ukhti, kamu cantik sekali
Kecantikan itu harta berharga bukan barang murah yang bisa dinikmati dengan mudah. Dimana nilainya jika setiap mata begitu leluasa memandang cantiknya rupa. Dimana harganya jika kecantikan telah diumbar, dipajang dengan ringan tanpa sungkan. Dimana kehormatan sebagai hamba Tuhan jika setiap orang, baik ia seorang kafir, musyrik atau munafik begitu mudah menikmati wajah para muslimah?
Ukhti, kamu cantik sekali
Alangkah indah jika kecantikan fisik itu dipadu dengan kecantikan hatimu. Apalah arti cantik rupawan bila tak memiliki keimanan. Apalah guna tubuh molek memikat bila tak ada rasa malu yang lekat. Cantikkan dirimu dengan cahaya-Nya. Cahaya yang bersinar dari hati benderang penuh keimanan. Hati yang taat senantiasa patuh pada syariat. Hati yang taqwa, yang selalu menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Hati yang sederhana, yang tak berlebihan dalam segala urusan dunia.
Ukhti, kamu cantik sekali
Maka tampillah cantik di hadapan Penciptamu karena itu lebih berarti dari pada menampilkan kecantikan pada manusia yang bukan muhrimmu.
Tampillah cantik di hadapan suamimu, karena itu adalah bagian dari jihadmu. Mengabdi pada manusia yang kamu kasihi demi keridhoan Ilahi.
Tampillah cantik, cantik iman, cantik batin, cantik hati, karena itu lebih abadi.
Sumber : Catatan Ahmad Sibawaihi
Bentrokan terjadi antara remaja-remaja Palestina dan sepasukan militer Zionis di distrik Silwan, di Al-Quds (Jerusalem) yang dijajah, pada Rabu malam, 13 Oktober. Dua tentara dikabarkan luka-luka karena timpukan batu para remaja Palestina di kawasan itu, demikian PIC mengutip sebuah media Zionis Israel.
Militer Zionis membubarkan massa dengan menggunakan gas airmata dan peluru timah berlapis karet. Tak ada korban cedera dilaporkan dari pihak remaja Palestina. Bentrokan pecah sesudah diumumkannya keputusan Zionis Israel untuk menghancurkan 110 rumah warga Palestina di kawasan Silwan karena dianggap tak memiliki izin dan melanggar perencanaan tatakota.
Sementara itu, dikabarkan bahwa pagi tadi tentara Israel menangkap tiga orang Palestina, termasuk dua wartawan, dan membawa mereka ke pemukiman Karmi Tsur di utara Al-Khalil (Hebron) untuk diinterogasi. Mereka hendak meliput perusakan tanah dan properti warga Palestina di Beit Ummar untuk membangun permukiman baru Yahudi.
Ketiga orang yang ditawan itu adalah Mamoun Wazwaz dari Reuters, Hazem Badr dari AFP, dan aktivis Palestinian Solidarity Project Mohammed Ayyad Awad. Pada Kamis pagi ini pula, serdadu Zionis menangkap delapan warga Palestina di Tepi Barat yang, menurut pihak Zionis, termasuk dalam ‘daftar buronan.’ Mereka ditangkap di Qalqiliya, Ramallah, Bait Lahm (Betlehem), dan Al-Khalil.
Sumber : Republika
Seseorang bercerita, aku bermimpi suatu hari aku pergi ke surga dan seorang malaikat menemaniku serta menunjukkan keadaan di surga.
Memasuki suatu ruang kerja yang penuh dengan para malaikat. Malaikat yang mengantarku berhenti di depan ruang kerja pertama dan berkata,"Ini adalah Seksi Penerimaan. Disini, semua permintaan yang ditujukan pada Allah, diterima."
Aku melihat-lihat sekeliling tempat ini dan aku dapati tempat ini begitu sibuk dengan begitu banyak malaikat yang memilah-milah seluruh permohonan yang tertulis pada kertas dari manusia di seluruh dunia.
Kemudian,.... aku dan malaikat-ku berjalan lagi melalui koridor yang panjang. lalu sampailah kami pada ruang kerja kedua.
Malaikat-ku berkata, "Ini adalah Seksi Pengepakan dan Pengiriman. Disini, kemuliaan dan rahmat yang diminta manusia diproses dan dikirim ke manusia-manusia yang masih hidup yang memintanya".
Aku perhatikan lagi betapa sibuknya ruang kerja itu. Ada banyak malaikat yang bekerja begitu keras karena ada begitu banyaknya permohonan yang dimintakan dan sedang dipaketkan untuk dikirim ke bumi.
Kami melanjutkan perjalanan lagi hingga sampai pada ujung terjauh koridor panjang tersebut dan berhenti pada sebuah pintu ruang kerja yang sangat kecil.
Yang sangat mengejutkan aku, hanya ada satu malaikat yang duduk disana, hampir tidak melakukan apapun. "Ini adalah Seksi Pernyataan Terima Kasih", kata malaikatku pelan. Dia tampak malu.
"Bagaimana ini? Mengapa hampir tidak ada pekerjaan disini?", tanyaku.
"Menyedihkan", Malaikat-ku menghela napas. " Setelah manusia menerima rahmat yang mereka minta, sangat sedikit manusia yang mengirimkan pernyataan terima kasih".
"Bagaimana manusia menyatakan terima kasih atas Rahmat Tuhan?", tanyaku.
"Sederhana sekali", jawab Malaikat.
"Cukup berkata, 'ALHAMDULILLAHI RABBIL AALAMIIN, Terima kasih, Tuhan' ".
"Lalu, rahmat apa saja yang perlu kita syukuri?”, tanyaku.
Malaikat-ku menjawab, "Jika engkau mempunyai makanan di lemari es, Pakaian yang menutup tubuhmu, atap di atas kepalamu dan tempat untuk tidur, Maka engkau lebih kaya dari 75% penduduk dunia ini.”
"Jika engkau memiliki uang di bank, di dompetmu, dan uang-uang receh, maka engkau berada diantara 8% kesejahteraan dunia.”
"Dan jika engkau mendapatkan pesan ini di komputermu, engkau adalah bagian dari 1% di dunia yang memiliki kesempatan itu.”
“Juga.... Jika engkau bangun pagi ini dengan lebih banyak kesehatan daripada kesakitan ... engkau lebih dirahmati daripada begitu banyak orang di dunia ini yang tidak dapat bertahan hidup hingga hari ini.”
"Jika engkau tidak pernah mengalami ketakutan dalam perang, kesepian dalam penjara, kesengsaraan penyiksaan, atau kelaparan yang amat sangat ....Maka,engkau lebih beruntung dari 700 juta orang di dunia".
"Jika,........ engkau dapat menghadiri Masjid atau pertemuan religius tanpa ada ketakutan akan penyerangan, penangkapan, penyiksaan,atau kematian ... M a k a,....engkau lebih dirahmati daripada 3 milyar orang didunia.”
"Jika engkau dapat menegakkan kepala dan tersenyum, maka,..... engkau bukanlah seperti orang kebanyakan, engkau unik dibandingkan emua mereka yang berada dalam keraguan dan keputusasaan.”
"Jika,...engkau dapat membaca pesan ini, maka engkau menerima rahmat ganda yaitu bahwa seseorang yang mengirimkan ini padamu, berpikir bahwa engkau orang yang sangat istimewa baginya, dan bahwa, engkau lebih dirahmati daripada lebih dari 2 juta orang di dunia yang bahkan tidak dapat membaca sama sekali".
Nikmatilah hari-harimu, hitunglah rahmat yang telah Allah anugerahkan kepadamu.
Dan jika engkau berkenan, kirimkan pesan ini ke semua teman-temanmu untuk mengingatkan mereka betapa dirahmati-Nya kita semua.
"Dan ingatlah tatkala Tuhanmu menyatakan bahwa, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambahkan lebih banyak nikmat kepadamu' ". (QS:Ibrahim (14) :7 )
Sumber : Catatan Dodi Rosadi
Ada satu kesalahan yang sering kita lakukan ketika membaca biografi para pahlawan. Kita selalu membayangkan para pahlawan itu relatif berbeda dengan orang-orang biasa. Bayangan itu tidak sepenuhnya salah. Namun, biasanya anggapan itu mudah menjadi salah ketika sebuah karya sejarah kemudian dinisbatkan secara latah kepada satu orang pahlawan, padahal sebenarnya pahlawan yang kita elu-elukan itu mungkin hanya memberikan sentuhan akhir.
Dalam pembacaan seperti ini, ada banyak peran dan pelaku sejarah yang terlupakan, atau mengalami marginalisasi sejarah. Misalnya, ketika kita menempatkan Shalahuddin Al-Ayyubi sebagai tokoh kunci, yang relatif bersifat tunggal, dalam menghadapi Pasukan Salib. Padahal, Pasukan Salib telah menguasai Al-Quds selama sekitar 90 tahun, dan sepanjang tahun-tahun itu ada banyak perlawanan di sana sini. Ada banyak gerakan dakwah dan penyadaran sosial, ada banyak tokoh yang mengkondisikan situasi kemenangan, yang kemudian di selesaikan secara gemilang oleh Shalahuddin Al-Ayyubi. Yang disebut terakhir ini bahkan sebenarnya berasal dari Pasukan Mahmud Nuruddin Zanki, yang menguasai wilayah Syam, sebelum kemudian pindah ke Mesir dan memulai segalanya dari sana. Jadi, kemenangan dalam Perang Salib adalah karya beberapa generasi, bukan karya Shalahuddin AL-Ayyubi sendiri.
Perang ’Ain Jalut yang melegendakan Murzaffar Quthus karena berhasil merontokkan sekaligus menghancurkan serangan Pasukan Tartar, juga didahului oleh prakondisi sosial politik, yang memungkinkan kemenangan iut diraih. Ada ulama seberani Izzuddin bin Abdissalam yang mengkondisikan masyarakat Syam sebelum kemudian bergabung dengan pasukan Islam di Mesir dalam menghadapi Tartar. Beliau memang memenangkan pertempuran itu. Itu bukan hanya karya pribadinya. Itu merupakan karya bersama beberapa generasi.
Karya-karya sejarah yang besar, pada akhirnya, memang tidak dapat diselesaikan seorang pahlawan saja. Semua orang terlibat dalam proses. Akan tetapi, seorang pahlawan melegenda karena dalam proses itu ia memberikan kontribusi yang lebih besar daripada yang lainnya. Walaupun begitu, kontribusi yang besar tidak akan pernah dapat ia berikan ranpa kehadiran pahlawan-pahlawan lain, yang kadar kepahlawanannya mungkin lebih kecil dibanding dirinya.
Disini kita belajar tentang makna kepahlawanan kolektif. Peran-peran kepahlawanan terdistribusi dalam banyak bentuk. Begitulah misalnya kita menyaksikan Rasulullah saw. mendistribusikan kepahlawanan tersebut. Umar bin Khattab, misalnya, tidak pernah sekalipun ditunjuk menjadi komandan perang, sekalipun ia memenuhi semua kualifikasinya. Itu terlihat misalnya dalam surat-surat yang beliau kirim ke para komandan pasukan di berbagai front. Ia bukan hanya memberi petunjuk umum, tetapi memberi instruksi yang sangat detil. Bahkan, menurut Sa’ad bin Abi Waqqash, instruksi beliau menujukkan kalau beliau mengetahui medan ketimbang komandan pasukannya sendiri.
Hal ini disebabkan Rasulullah saw. mengetahui dengan pasti potensi dan kapasitas yang dimiliki Umar memungkinkannya memainkan peran yang jauh lebih strategis daripada sekedar memimpin sebuah pasukan perang. Itulah yang terjadi kemudian. Karena ternyata Umar bin Khattab adalah seorang negarawan besar.
[Sebelumnya]
[Sebelumnya]
Para ulama tafsir telah sepakat bahwa contoh dari kelompok al-maghdubi 'alaihim (yang dibenci dan dimurkai Allah SWT) sebagaimana terdapat dalam QS Al-Fatihah ayat 7 adalah kelompok Yahudi/Israel. Hal ini disebabkan oleh perilaku mereka yang mengundang kemurkaan dan laknat-Nya.
Pertama, kaum Yahudi terbiasa dengan mempermainkan ayat-ayat Allah SWT serta mengubah yang halal menjadi haram atau sebaliknya sesuai dengan selera dan keinginannya (QS An-Nisa: 46). Kedua, mereka terbiasa membunuh para nabi Allah yang mulia hanya karena ajarannya tidak sesuai dengan tradisi dan kebiasaan hidupnya (QS Ali Imran: 112).
Tercatat dalam sejarah, nabi yang dibunuh oleh kaum Yahudi antara lain adalah Nabi Zakaria dan Nabi Yahya. Bahkan, mereka pun mengejar-ngejar Nabi Isa untuk dibunuh meskipun kemudian Nabi Isa diselamatkan dan diangkat oleh Allah SWT ke langit. Yang dibunuh adalah orang yang diserupakan Allah SWT seperti Nabi Isa. Nabi Isa tidak dibunuh dan tidak pula disalib oleh mereka (QS An-Nisa: 157-158).
Ketiga, kaum Yahudi juga sering membunuh orang-orang atau para dai yang menyuruh manusia lain untuk berbuat keadilan dan kebajikan. Pembunuhan ini hanya karena mereka dengki dan hasad. Allah SWT berfirman dalam QS Ali Imran: 21-22.
"Sesungguhnya, orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih. Mereka itu adalah orang-orang yang lenyap (pahala) amal-amalnya di dunia dan akhirat dan mereka sekali-kali tidak memperoleh penolong."
Kebrutalan mereka terhadap penumpang kapal Mavi Marmara yang bertujuan untuk memberikan bantuan-bantuan kemanusiaan terhadap masyarakat Gaza adalah salah satu bentuk dari pengulangan kebiadaban dan kebrutalan mereka terhadap orang-orang yang bermaksud memberikan kebaikan kepada sesamanya. Yahudi dan Israel adalah tetap Yahudi dan Israel kapan dan di mana pun.
Masih banyak perilaku buruk kaum Yahudi lainnya, seperti kezaliman kepada sesamanya, menghalangi manusia dari jalan Allah SWT, terbiasa melakukan kegiatan riba yang eksploitatif dalam sistem ekonominya, dan memakan harta orang lain secara batal atau tidak benar, seperti suap-menyuap (risywah).
Tugas kita sekarang adalah mengutuk dan bertindak tegas terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Yahudi, baik di Palestina maupun di tempat lain, serta menjauhkan diri dari perilaku-perilaku buruk yang menjadi tradisi dan kebiasaan mereka. Sebab, Yahudi itu bisa berbentuk kelompok orang dan bisa juga berbentuk perilaku buruk. Wallahu A'lam.
Sumber : Republika
Dakwah adalah aktifitas mengajak semua orang untuk lebih baik dari sebelumnya. Ketika aktifitas itu terus berlanjut secara bertahap, maka kebaikan demi kebaikan itu akan mengarahkan seseorang berubah menjadi sosok yang berkepribadian islami. Bukan hanya akidah dan keyakinan yang teguh akan keesaan Allah SWT, tetapi juga disertai dengan konsistensi ibadah, kemapanan dalam beretika (baca : akhlak), plus semangat dalam menebarkan kebaikan pada yang lainnya. Inilah yang sering disebut dengan syakhsiyah muslimah mutakamilah atau kepribadian muslim yang integral / komprehensif.
Tetapi tujuan akhir di atas bukanlah dakwah itu sendiri. Dakwah adalah proses untuk mencapai tujuan itu sendiri. Ia tetaplah sekedar seni untuk mengajak orang setingkat lebih baik dari sebelumnya. Dan jika proses itu kita lakukan dengan berkelanjutan dan istiqomah, maka tercapai tujuan dakwah adalah ‘bonus’ yang disisipkan Allah SWT di dunia ini. Sekali lagi mari kita lihat dakwah sebagai proses, atau lebih tepatnya seni mengajak dan mempengaruhi orang pada kebaikan. Karenanya keberkahan dan kesuksesannya dilihat dari proses yang kita jalani, bukan hasilnya. Jika kita menganggap kesuksesan dakwah ada pada munculnya pengikut yang banyak dan shalih semua, barangkali secara tidak langsung kita menilai dakwah nabi Nuh as dan nabi yang lainnya gagal semata. Dan anggapan ini tentu saja tidak benar, karena justru nabi Nuh as diabadikan sebagai ulul azmi yang senantiasa menjadi panutan kesabaran bagi kita semua dalam berdakwah.
Mengapa saya mengulang-ngulang bahwa dakwah adalah sebuah seni dan proses yang bertahap ? Karena sebuah keyakinan bahwa semua orang punya hak untuk di dakwahi, sebagaimana setiap mereka juga punya kemampuan penerimaan yang berbeda-beda. Dan apapun kejadiannya, saat anda berhasil mengubah orang sedikit lebih baik dari sebelumnya, maka itulah bagian dari kesuksesan dakwah. Tidak berlebihan ketika saya mengumpakan dengan logika sederhana ; jika anda mempunyai teman laki-laki anda yang memakai dua anting-anting, lalu anda berhasil membuatnya melepas satu saja anting-anting itu, maka itu adalah sebuah capaian dakwah yang berkah.
Inilah dakwah, seni untuk mengubah seseorang menuju kebaikan sekecil apapun. Dan Inilah Indonesia dengan segenap ragam perbedaan masyarakatnya ! Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini mempunyai ragam jenis pemahaman dan kecintaan pada Islam yang berbeda-beda !. Bahkan sejak jaman kerajaan sudah di kenal islam abangan dan santri, sebagaimana lalu diwariskan pada abad modern dengan istilah ‘Islam KTP’. Kepada merekalah dakwah ini seharusnya diperluas dan dioptimalkan, bukan sekedar pada mereka yang memenuhi masjid di hari tuanya. Karena begitu majemuknya kaum muslimin di Indonesia, ditambah lagi warisan sekulerisme ala ‘ Snouck Hurgronje plus bayang-bayang islamphobia hasil brilian kampanye anti teroris yang digalang Amerika, maka ini semua mengharuskan para Da’I pengusung dakwah untuk benar-benar bisa mengemas dakwah dengan baik, cerdas, agar masuk ke dalam relung hati mereka. Meski kemudian hanya sedikit meningkatkan kebaikan yang tak seberapa.
Ada beberapa contoh tentang mengemas dakwah yang barangkali sudah sama-sama kita ketahui. Khusus saya ambil dari tayangan film atau sinetron yang ditayangkan di negeri ini. Ijinkan sedikit sekali lagi kami membahasnya agar bisa menjadi contoh bagaimana seharusnya kita bisa mengemas dakwah dengan cara yang terbaik di negeri kita ini.
Pertama : Kemasan Dakwah ‘Oportunis’
Mohon maaf jika menggunakan kata ‘oportunis’, untuk sementara biarlah demikian adanya karena saya belum menemukan kata-kata lain yang lebih tepat. Kemasan dakwah yang palsu saya dapati di banyak tayangan sinetron di televisi yang sering disebut sebagai ‘sinetron islami’. Mengapa palsu ? Karena dakwah yang ada – atau lebih tepatnya kesan islami- yang ada hanyalah berputar di judul-judul yang ada. Bahkan untuk terlihat sangat Islami, dipilihlah judul yang langsung menyentuh hati kaum muslimin. Sebuat saja sinetron “ Shofa dan Marwah” , atau “ Aqsho dan Madina”. Nama-nama dari tempat-tempat bersejarah yang dimuliakan dan mendapat tempat bagi kaum muslimin. Kita pasti bergetar dan merindukan tempat-tempat itu, yang sebagian dari kita hanya bisa mendengar dan melihatnya dari berita dan kajian siroh saja. Lihat saja, betapapun islaminya judul sinetron tersebut, sungguh kita tidak akan mendapatkan kesan dakwah apapun di dalamnya, kecuali hanya sekedar gambarang wanita khusyuk berdoa setelah shalat sambil berlinang air mata !. Selain itu jangan berharap banyak, yang ada hanyalah deretan episode yang tidak jauh berbeda dengan sinetron lainnya. Pada titik inilah, dengan sangat terpaksa saya menyebutnya dengan istilah ‘oportunis’. Luarnya menampilkan cover Islam, tapi tidak diikuti dengan kesungguhan dalam memperkenalkan nilai-nilainya.
Kedua : Kemasan Dakwah Idealis
Kali ini saya menyoroti beberapa film yang tegas mengusung judul islami dan juga dengan konten yang islami. Sebut saja film semacam “Kun Fayakun”, dan “Emak Ingin Naik Haji”, yang memuat nilai-nilai dakwah secara jelas melalui dialog-dialog dan tayangannya. Ini adalah langkah baik dan berkah. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa memang tidak banyak yang menonton film ini. Capaian jumlah penonton sangat tidak seimbang dengan catatan film-film lainnya. Saya membayangkan yang menonton hanyalah aktifis Islam dan yang sudah menyukai Islam. Bahkan mereka yang ‘kental’ dengan kajian dan gerakan islam belum tentu juga mau ikut menonton tayangan seperti itu. Sementara itu, di luar sana banyak kaum muslimin yang disebut dengan “islam KTP’ atau mereka yang tidak pernah bersinggungan dengan kajian, juga yang masih melekat trauma islam phobia, rasa-rasanya saat melihat judulnya saja akan merasa berat untuk hadir dan menyaksikannya. Ini bukan contoh kemasan dakwah yang buruk, hanya saja untuk memperluas cakupan dakwah dalam ceruk masyarakat muslim yang majemuk, masih terlampau berat untuk mendapatkan penerimaan yang signifikan.
Ketiga : Kemasan Dakwah Kreatif dan Prospektif
Mungkin saja seseorang menampilkan gaya standar yang disukai banyak orang, atau minimal tidak mendapatkan resistensi di tengah masyarakat, tapi ternyata di dalamnya menjelaskan tentang semangat islam dengan gamblang, jelas dan masuk dalam hati. Gambaran ini segera saya baca dalam film “ Laskar Pelangi”. Dilihat dari judulnya sangat humanis dan netral. Ia langsung menyentuh siapa saja tanpa melihat kapasitas keagamaannya. Barangkali saya sempat tertipu dengan judul dan tampilan nyentrik penulis film ini. Sama sekali tidak menggambarkan adanya pesan agung setelahnya. Tapi kemudian saya menyadari, bahwa di dalam film itu justru ada pesan-pesan keislaman yang tegas menghujam dalam hati. Melalui dialog, jalan cerita dan kesan umum yang akan kita dapati dengan mudah. Betapa tidak ? Latar belakang cerita saja tentang sebuah SD muhammadiyah di pesisir Belitong. Dialog-dialog guru dengan muridnya banyak mengungkap kisah-kisah Islam dengan gamblang. Kisah perang Badar dan kisah Nabi juga dimuat dengan tegas tanpa edeng aling-aling, meski melalui dialog singkat saja. Inilah kemasan dakwah yang kreatif dan prospektif, khususnya yang merindukan memberikan hak dakwah lebih luas kepada masyarakat muslim Indonesia yang majemuk pemahamannya. Meski dari luar terlihat lebih Indonesia atau kesan nasionalis sekalipun, tetapi tetap membawa pesan-pesan keislaman yang tegas dan menyentuh. Anda boleh catat hasilnya, jumlah penonton film ini mencapai 4,2 juta orang, dan itu adalah jumlah terbesar yang pernah tercatat selama ini. Kesan yang hampir sama juga mungkin kita dapati di sinetron “ Kiamat sudah Dekat”, dan “ Para Pencari Tuhan”.
Terakhir, mengapa kemasan dakwah harus menjadi pertimbangan kita dalam melangkah ? Sekali lagi, merupakan kewajiban bagi kita untuk menyebarkan dakwah seluas mungkin, kepada siapapun dan dimanapun. Disinilah arti kemasan menjadi penting, agar dakwah diterima dengan mudah dalam hati masyarakat, dan selanjutnya saat hati mulai tersentuh dan tertarik dengan Islam, maka bukan tidak mungkin kita lanjutkan dengan ajakan-ajakan lanjutan untuk mengubah setingkat lebih baik dari sebelumnya.
Inilah seni berdakwah, mengajak orang untuk lebih baik dari sebelumnya, meski hanya sedikit atau bahkan belum terasa. Mari kita ambil inspirasi dari misi dakwah nabi syuaib yang diabadikan dalam Al-Quran : “ Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali “ (QS Hud 88)
Semoga Allah SWT memudahkan aktifitas dakwah kita. Salam optimis !
Sumber : Indonesia Optimis
Tetapi tujuan akhir di atas bukanlah dakwah itu sendiri. Dakwah adalah proses untuk mencapai tujuan itu sendiri. Ia tetaplah sekedar seni untuk mengajak orang setingkat lebih baik dari sebelumnya. Dan jika proses itu kita lakukan dengan berkelanjutan dan istiqomah, maka tercapai tujuan dakwah adalah ‘bonus’ yang disisipkan Allah SWT di dunia ini. Sekali lagi mari kita lihat dakwah sebagai proses, atau lebih tepatnya seni mengajak dan mempengaruhi orang pada kebaikan. Karenanya keberkahan dan kesuksesannya dilihat dari proses yang kita jalani, bukan hasilnya. Jika kita menganggap kesuksesan dakwah ada pada munculnya pengikut yang banyak dan shalih semua, barangkali secara tidak langsung kita menilai dakwah nabi Nuh as dan nabi yang lainnya gagal semata. Dan anggapan ini tentu saja tidak benar, karena justru nabi Nuh as diabadikan sebagai ulul azmi yang senantiasa menjadi panutan kesabaran bagi kita semua dalam berdakwah.
Mengapa saya mengulang-ngulang bahwa dakwah adalah sebuah seni dan proses yang bertahap ? Karena sebuah keyakinan bahwa semua orang punya hak untuk di dakwahi, sebagaimana setiap mereka juga punya kemampuan penerimaan yang berbeda-beda. Dan apapun kejadiannya, saat anda berhasil mengubah orang sedikit lebih baik dari sebelumnya, maka itulah bagian dari kesuksesan dakwah. Tidak berlebihan ketika saya mengumpakan dengan logika sederhana ; jika anda mempunyai teman laki-laki anda yang memakai dua anting-anting, lalu anda berhasil membuatnya melepas satu saja anting-anting itu, maka itu adalah sebuah capaian dakwah yang berkah.
Inilah dakwah, seni untuk mengubah seseorang menuju kebaikan sekecil apapun. Dan Inilah Indonesia dengan segenap ragam perbedaan masyarakatnya ! Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini mempunyai ragam jenis pemahaman dan kecintaan pada Islam yang berbeda-beda !. Bahkan sejak jaman kerajaan sudah di kenal islam abangan dan santri, sebagaimana lalu diwariskan pada abad modern dengan istilah ‘Islam KTP’. Kepada merekalah dakwah ini seharusnya diperluas dan dioptimalkan, bukan sekedar pada mereka yang memenuhi masjid di hari tuanya. Karena begitu majemuknya kaum muslimin di Indonesia, ditambah lagi warisan sekulerisme ala ‘ Snouck Hurgronje plus bayang-bayang islamphobia hasil brilian kampanye anti teroris yang digalang Amerika, maka ini semua mengharuskan para Da’I pengusung dakwah untuk benar-benar bisa mengemas dakwah dengan baik, cerdas, agar masuk ke dalam relung hati mereka. Meski kemudian hanya sedikit meningkatkan kebaikan yang tak seberapa.
Ada beberapa contoh tentang mengemas dakwah yang barangkali sudah sama-sama kita ketahui. Khusus saya ambil dari tayangan film atau sinetron yang ditayangkan di negeri ini. Ijinkan sedikit sekali lagi kami membahasnya agar bisa menjadi contoh bagaimana seharusnya kita bisa mengemas dakwah dengan cara yang terbaik di negeri kita ini.
Pertama : Kemasan Dakwah ‘Oportunis’
Mohon maaf jika menggunakan kata ‘oportunis’, untuk sementara biarlah demikian adanya karena saya belum menemukan kata-kata lain yang lebih tepat. Kemasan dakwah yang palsu saya dapati di banyak tayangan sinetron di televisi yang sering disebut sebagai ‘sinetron islami’. Mengapa palsu ? Karena dakwah yang ada – atau lebih tepatnya kesan islami- yang ada hanyalah berputar di judul-judul yang ada. Bahkan untuk terlihat sangat Islami, dipilihlah judul yang langsung menyentuh hati kaum muslimin. Sebuat saja sinetron “ Shofa dan Marwah” , atau “ Aqsho dan Madina”. Nama-nama dari tempat-tempat bersejarah yang dimuliakan dan mendapat tempat bagi kaum muslimin. Kita pasti bergetar dan merindukan tempat-tempat itu, yang sebagian dari kita hanya bisa mendengar dan melihatnya dari berita dan kajian siroh saja. Lihat saja, betapapun islaminya judul sinetron tersebut, sungguh kita tidak akan mendapatkan kesan dakwah apapun di dalamnya, kecuali hanya sekedar gambarang wanita khusyuk berdoa setelah shalat sambil berlinang air mata !. Selain itu jangan berharap banyak, yang ada hanyalah deretan episode yang tidak jauh berbeda dengan sinetron lainnya. Pada titik inilah, dengan sangat terpaksa saya menyebutnya dengan istilah ‘oportunis’. Luarnya menampilkan cover Islam, tapi tidak diikuti dengan kesungguhan dalam memperkenalkan nilai-nilainya.
Kedua : Kemasan Dakwah Idealis
Kali ini saya menyoroti beberapa film yang tegas mengusung judul islami dan juga dengan konten yang islami. Sebut saja film semacam “Kun Fayakun”, dan “Emak Ingin Naik Haji”, yang memuat nilai-nilai dakwah secara jelas melalui dialog-dialog dan tayangannya. Ini adalah langkah baik dan berkah. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa memang tidak banyak yang menonton film ini. Capaian jumlah penonton sangat tidak seimbang dengan catatan film-film lainnya. Saya membayangkan yang menonton hanyalah aktifis Islam dan yang sudah menyukai Islam. Bahkan mereka yang ‘kental’ dengan kajian dan gerakan islam belum tentu juga mau ikut menonton tayangan seperti itu. Sementara itu, di luar sana banyak kaum muslimin yang disebut dengan “islam KTP’ atau mereka yang tidak pernah bersinggungan dengan kajian, juga yang masih melekat trauma islam phobia, rasa-rasanya saat melihat judulnya saja akan merasa berat untuk hadir dan menyaksikannya. Ini bukan contoh kemasan dakwah yang buruk, hanya saja untuk memperluas cakupan dakwah dalam ceruk masyarakat muslim yang majemuk, masih terlampau berat untuk mendapatkan penerimaan yang signifikan.
Ketiga : Kemasan Dakwah Kreatif dan Prospektif
Mungkin saja seseorang menampilkan gaya standar yang disukai banyak orang, atau minimal tidak mendapatkan resistensi di tengah masyarakat, tapi ternyata di dalamnya menjelaskan tentang semangat islam dengan gamblang, jelas dan masuk dalam hati. Gambaran ini segera saya baca dalam film “ Laskar Pelangi”. Dilihat dari judulnya sangat humanis dan netral. Ia langsung menyentuh siapa saja tanpa melihat kapasitas keagamaannya. Barangkali saya sempat tertipu dengan judul dan tampilan nyentrik penulis film ini. Sama sekali tidak menggambarkan adanya pesan agung setelahnya. Tapi kemudian saya menyadari, bahwa di dalam film itu justru ada pesan-pesan keislaman yang tegas menghujam dalam hati. Melalui dialog, jalan cerita dan kesan umum yang akan kita dapati dengan mudah. Betapa tidak ? Latar belakang cerita saja tentang sebuah SD muhammadiyah di pesisir Belitong. Dialog-dialog guru dengan muridnya banyak mengungkap kisah-kisah Islam dengan gamblang. Kisah perang Badar dan kisah Nabi juga dimuat dengan tegas tanpa edeng aling-aling, meski melalui dialog singkat saja. Inilah kemasan dakwah yang kreatif dan prospektif, khususnya yang merindukan memberikan hak dakwah lebih luas kepada masyarakat muslim Indonesia yang majemuk pemahamannya. Meski dari luar terlihat lebih Indonesia atau kesan nasionalis sekalipun, tetapi tetap membawa pesan-pesan keislaman yang tegas dan menyentuh. Anda boleh catat hasilnya, jumlah penonton film ini mencapai 4,2 juta orang, dan itu adalah jumlah terbesar yang pernah tercatat selama ini. Kesan yang hampir sama juga mungkin kita dapati di sinetron “ Kiamat sudah Dekat”, dan “ Para Pencari Tuhan”.
Terakhir, mengapa kemasan dakwah harus menjadi pertimbangan kita dalam melangkah ? Sekali lagi, merupakan kewajiban bagi kita untuk menyebarkan dakwah seluas mungkin, kepada siapapun dan dimanapun. Disinilah arti kemasan menjadi penting, agar dakwah diterima dengan mudah dalam hati masyarakat, dan selanjutnya saat hati mulai tersentuh dan tertarik dengan Islam, maka bukan tidak mungkin kita lanjutkan dengan ajakan-ajakan lanjutan untuk mengubah setingkat lebih baik dari sebelumnya.
Inilah seni berdakwah, mengajak orang untuk lebih baik dari sebelumnya, meski hanya sedikit atau bahkan belum terasa. Mari kita ambil inspirasi dari misi dakwah nabi syuaib yang diabadikan dalam Al-Quran : “ Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali “ (QS Hud 88)
Semoga Allah SWT memudahkan aktifitas dakwah kita. Salam optimis !
Sumber : Indonesia Optimis
Ketika teks sebagai content diinsert ke dalam perangkat ruang dan waktu manusia, sebenarnya disitu terdapat sebuah aksioma yang melekat pada sifat teks itu. Yaitu kemampuannya untuk menembus sekat-sekat ruang dan waktu manusia. Teks ini adalah narasi yang abadi. Kemampuan itu kersimpan rapih pada fakta bahwa ia menggabungkan antara keteguhan dan kelenturan. Ia teguh pada kebenaran dasarnya, tapi lentur pada proses manusiawinya.
Ruang dari sistem kehidupan yang terangkai dalam teks ini adalah bumi. Sementara waktunya adalah waktu manusia sejak mereka menghuni bumi. Jadi sejarah adalah waktunya. Bumi adalah panggungnya. Manusia adalah aktornya. Teks ini adalah skenarionya. Dari situ sebuah carita kehidupan dirakit. Itu sebabnya mengapa dua pertiga dari isi teks ini adalah cerita kehidupan beragam manusia tentang bagaimana mereka melakoni hidup. Sisanya adalah hokum-hukum normatif yang jika diterapkan akan melahirkan sebuah cerita kehidupan yang indah.
Karena sebagian isi teks ini adalah sejarah, maka konteks menjadi sangat penting sebagai faktor penjelas. Sejarah kehidupan Rasulullah saw. adalah ruang dan waktu dimana teks ini diimplementasikan. Dengan begitu kita mendapatkan referensi hidup untuk memahami teks melalui kehidupan Rasulullah saw. Jika kehidupan Rasulullah saw. kita peroleh secara valid melalui narasi beliau atau narasi sahabat-sahabat beliau tentang beliau, maka sekarang kita mendapatkan dua teks. Dan kedua teks saling menafsirkan satu sama lain. Inilah yang dimaksud oleh para mufassirin dengan metode at tafsiir bir riwayah (menafsir teks dengan teks). Misalnya tafsir Imam At-Thabari, Ibnu Katsir dan lainnya.
Sebagian dari kehidupan Rasulullah saw. itu adalah riwayat atas kata. Sebagiannya lagi adalah riwayat atas tindakan dan sikap. Tapi keseluruhannya adalah riwayat itu tidak dirangkai dalam suatu konstruksi yang komprehensif maka hasilnya wajah kehidupan yang boleh jadi bopeng. Misalnya jika kita hanya mengangkat riwayat peperangan Rasulullah saw., maka yang akan tampak adalah seorang komandan perang yang seluruhnya hidupnya hanya diabdikan untuk peperangan. Sisi lain tentang kehidupan keluarga dan kemasyarakat serta ekonomi mungkin hilang. Lalu lahirlah pemahaman yang cacat atas teks, dan lahirlah selanjutnya penerapan atas teks yang juga pincang.
Tapi itu tantangan besarnya. Karena sebuah rekonstruksi sejarah yang komprehensif pada dasarnya adalah kerja intelektual dan spiritual yang disamping berbasis pada fakta-fakta sejarah yang akurat, juga bertumpu pada kemampuan imajinasi yang kompleks. Inilah yang menjelaskan mengapa Sayyid Qutb menggunakan imajinasi sebagai salah satu tools dalam menafsir teks.
Suatu saat di masa kecilnya Muhammad Iqbal, penyair abadi dari anak benua India, membaca Al-Qur’an. Ayahnya yang kebetulan melihatnya lantas berpesan: ”Anakku, bacalah Al-Qur’an ini sebagaimana ia dulu diturunkan kepada Muhammad. Bacalah ia seakan-akan ia diturunkan hanya untukmu.”
Ada keadaan yang sering terlihat timpang dalam kehidupan sosial kita. Sebagian besar masyarakat Indonesia terdiri dari orang-orang yang beriman. Mereka percaya dan yakin adanya Allah, juga yakin akan adanya pembalasan di hari akhirat kelak. Namun realitas iman tersebut belum mampu memberikan warna dalam kehidupan keseharian.
Bagaimana mungkin bangsa yang sangat banyak melakukan mujahadah, istighatsah, tabligh akbar, doa bersama, serta berbagai ritual keagamaan ini, juga menjadi bangsa yang paling banyak melakukan korupsi? Bangsa yang rajin melakukan ibadah, namun juga menjadi bangsa yang rajin mengembangkan tindak kemaksiatan.
Bagaimana mungkin bangsa yang sangat banyak melakukan mujahadah, istighatsah, tabligh akbar, doa bersama, serta berbagai ritual keagamaan ini, juga menjadi bangsa yang paling banyak melakukan korupsi? Bangsa yang rajin melakukan ibadah, namun juga menjadi bangsa yang rajin mengembangkan tindak kemaksiatan.
Ada banyak hal yang telah hilang dari kepribadian bangsa kita. Keimanan seakan telah kehilangan ruh yang menggerakkan. Iman tinggal menjadi simbol dan ritual, tanpa esensi. Padahal jika tengok kehidupan masyarakat beriman di zaman keemasan Islam, akan tampaklah ruh iman yang memberikan warna yang sangat jelas dalam berbagai bidang kehidupan.
Dalam menjalankan kehidupan keseharian, orang-orang beriman senantiasa berhati-hati agar tidak terjatuh dalam penyimpangan dan kesalahan. Lihatlah para Khalifah rasyidah terdahulu, mereka telah berhasil memberikan contoh bagaimana seharusnya kehidupan orang-orang beriman. Contoh kecil dari khalifah Umar bin Abdul Aziz berikut menunjukkan bagaimana keimanan telah menjadi warna dalam kehidupan keseharian sang pemimpin.
Pada suatu hari, khalifah Umar bin Abdul Aziz kedatangan seorang tamu yang tak lain adalah bibi beliau sendiri. Sang bibi datang untuk meminta tambahan jatah dana dari Baitul Mal. Mungkin ia berpikir, karena yang menjadi penguasa adalah kemenakannya sendiri, maka akan mudah untuk meminta tambahan dana dari Baitul Mal.
Tatkala sang bibi masuk ke rumah Umar, ia melihat Amirul Mukminin ini tengah makan kacang adas dan bawang, yang merupakan makanan rakyat jelata pada waktu itu. Melihat kedatangan bibinya, Umar segera menghentikan makannya. Beliau sudah mengetahui maksud kedatangan sang bibi.
“Ya Amirul Mukminin, berikan kepadaku tambahan dana dari Baitul Mal,” pinta sang bibi.
“Tunggulah sebentar,” kata Amirul Mukminin.
Umar bin Abdul Aziz kemudian mengambil satu dirham uang perak dan membakarnya di atas api. Setelah tampak panas, beliau bungkus uang perak panas tersebut dengan kain.
“Inilah uang tambahan yang Bibi minta,” kata Umar sembari menyerahkan bungkusan tersebut ke tangan sang bibi.
Begitu menggenggam bungkusan tersebut, spontan sang bibi melemparkannya sembari menjerit kesakitan karena panasnya uang perak yang telah terpanggang api.
“Kalau api dunia saja begitu panas,” kata Umar, “bagaimana dengan api akhirat kelak yang akan membakar aku dan Bibi karena menyelewengkan harta negara?”
Luar biasa kehati-hatian sang Khalifah dalam menjaga harta negara. Beliau tidak mau mengeluarkan milik negara dengan cara yang tidak benar, walaupun yang datang meminta adalah bibi beliau sendiri. Apakah yang menyebabkan beliau berperilaku seperti itu? Tidak ada jawaban lain, kecuali: iman. Ya, karena iman yang kuat terpatri dalam jiwa Khalifah, beliau menjadi lurus dan bersih dalam kehidupan.
Bagaimana dengan bangsa dan pemimpin kita? Bukankah syarat pemimpin di Indonesia haruslah beriman kepada Tuhan Yang Mahaesa? Lalu dimanakah iman tersebut tatkala korupsi telah merajalela di negeri ini? Dimanakah letak iman pada saat kebusukan menggerogoti birokrasi, pada saat anggota dewan meminta tambahan gaji, pada saat para pemimpin mementingkan hidupnya sendiri?
Rupanya, keimanan kita senantiasa diuji. Sebab, iman bukan saja masalah teori, namun lebih penting lagi aplikasi.
Sumber : Cahyadi Takariawan
Sang Khalifah termenung gundah. Sedih. Tampaknya belum ada tanda-tanda kalau kelaparan yang melanda kota Madinah akan segera berakhir. Puluhan orang meninggal sudah. Ditingkat teknis operasional rasanya semua upaya sudah dilakukan. Tapi masih adakah upaya lain yang mungkin ia lakukan?
Tidak jelas betul hubungannya. Tapi Sang Khalifah kemudian merasa kalau ia membutuhkan tekad lebih besar. Cinta pada rakyat harus diekspresikan lebih nyata. Perasaan itulah yang mengantarnya pada keputusan kecilnya: selama kelaparan ini masih berlangsung, Umar bin Khatab tidak akan membiarkan seorang pun dari anggota keluarganya untuk makan daging dan tidak boleh menggauli satu dari ketiga istrinya. Tidak ada korelasi teknis. Tapi sebagai pemimpin Umar telah menyatakan tanggung jawab dan kepeduliannya pada rakyatnya. Karena ia terlibat. Sangat terlibat.
Tidak jelas betul hubungannya. Tapi Sang Khalifah kemudian merasa kalau ia membutuhkan tekad lebih besar. Cinta pada rakyat harus diekspresikan lebih nyata. Perasaan itulah yang mengantarnya pada keputusan kecilnya: selama kelaparan ini masih berlangsung, Umar bin Khatab tidak akan membiarkan seorang pun dari anggota keluarganya untuk makan daging dan tidak boleh menggauli satu dari ketiga istrinya. Tidak ada korelasi teknis. Tapi sebagai pemimpin Umar telah menyatakan tanggung jawab dan kepeduliannya pada rakyatnya. Karena ia terlibat. Sangat terlibat.
Itu sebagian penampakan dari cinta misi. Ini sebuah keluhuran jiwa dan keyakinan yang kuat terhadap sebuah misi. Cinta pada sebuah misi mendorong kita mencintai semua orang dan pekerjaan yang ada disepanjang jalan menuju misi itu. Semua orang. Semua pekerjaan. Disini cinta bekerja seperti mesin kendaraan. Tidak penting betul siapa penumpangnya, dan jalan mana yang harus dilalui.
Keluhuran misi menguasai jiwa sang pencipta dan membuat perasaan pada orang yang kita cintai jadi beda. Kita tidak sedang mencintai sebuah “bentuk” disini. Yang kita cintai adalah “gerak” yang lahir dari bentuk itu: gerak dari “manusia” sebagai sebuah “entity” di alam raya. Karena itu beda warna adalah variasi yang indah. Beda karakter juga kekayaan hidup. Semua nicaya. Karena kita memerlukan untuk melukis misi diatas kanvas kehidupan kita.
Hubungan yang terbentuk dair cinta ini adalah penyatuan pada orbit pikiran. Perasaan kita bergerak mengitari orbit itu. Perasaan adalah fungsi pikiran. Ia lahir, bergerak dan meliuk seperti seorang penari mengikuti alur lagu. Orang yang kita cintai tidak harus memiliki perasaan yang sama. Para pecinta hanya berpikir bagaimana mencintai. Mereka tida terganggu jika kemudian mereka tidak dicintai. Sebab mereka tidak mencintai “orangnya”. Mereka mencintai “entity”-nya. Sebab entity itu merupakan fungsi pencapaian misi.
Cinta inilah yang ada dan harus ada misalnya dikalangan para duat, ulama, mujahidin, guru, pekerja sosial, pemimpin politik, seniman, wartawan dan lainnya. Karena cinta itu tertuju pada gerak, bukan bentuk, maka semua pekerjaan yang terkait sengan pencapaian misi, juga jadi niscaya.
Misalnya Kahalid bin Walid. Ia mencintai “jihad”. Ia bukannya menikmati “saat-sat membunuh orang”. Ia mencintai “pekerjaannya”. Karena itu niscaya untuk mencapai misi dakwah. Maka ia menikmati kesulitan-kesulitan di jalan itu. Lebih dari apapun juga. “Berada pada suatu malam yang dingin membeku, dalam sebuah pertempuran, lebih aku sukai daripada tidur barsama seorang gadis, dimalam pengantin,” katanya.
[Sebelumnya]
Tanpa bermaksud memperbesar masalah, saya kembali menuliskan seputar Virus Merah Jambu dalam note sederhana ini. Betapapun, permasalahan ini cukup berkembang di tengah aktifitas dakwah : dimana saja, kapan saja, dan bahkan bisa menyerang siapa saja.
Hasrat hati sebenarnya ingin mengingkari, tidak ingin membahas VMJ agar tidak menjadi ‘negative brand’ aktifitas dakwah yang mulia, agar tidak terngiang-ngiang di telinga para aktifisnya hingga menginspirasi yang belum ternodai. Tapi realita di lapangan menuntut untuk kembali bicara. Bukan satu dua, tapi banyak jumlahnya yang mendatangi saya : baik secara langsung, maupun via sms dan email untuk curhat seputar Virus Merah Jambu tersebut. Sebagian mereka terkena telak menghujam, hingga susah untuk menghindar dan menjauhi. Sebagian masih terjaga penuh malu-malu, berharap ada solusi yang mengamini kecenderungan hatinya. Sungguh kita dan mereka itu sama, tak lebih dari sekedar manusia yang berhati dan mempunyai rasa.
Hasrat hati sebenarnya ingin mengingkari, tidak ingin membahas VMJ agar tidak menjadi ‘negative brand’ aktifitas dakwah yang mulia, agar tidak terngiang-ngiang di telinga para aktifisnya hingga menginspirasi yang belum ternodai. Tapi realita di lapangan menuntut untuk kembali bicara. Bukan satu dua, tapi banyak jumlahnya yang mendatangi saya : baik secara langsung, maupun via sms dan email untuk curhat seputar Virus Merah Jambu tersebut. Sebagian mereka terkena telak menghujam, hingga susah untuk menghindar dan menjauhi. Sebagian masih terjaga penuh malu-malu, berharap ada solusi yang mengamini kecenderungan hatinya. Sungguh kita dan mereka itu sama, tak lebih dari sekedar manusia yang berhati dan mempunyai rasa.
Dari berbagai permasalahan seputar VMJ yang saya dapati, setidaknya ada dua fenomena yang masing-masing harus disikapi dengan bijak dan elegan.
Pertama : Virus Merah Jambu yang Full version !
Yaitu ketika aktifis dakwak terjebak dalam cinta lokasi. Berawal dari kekaguman yang diikuti dengan pola interaksi yang berkelanjutan baik sms, telpon, imel bahkan facebook sekalipun. Mengatasnamakan aktifitas dakwah dan koordinasi untuk menutupi kegelisahan di hati. Selalu berharap menemukan momentum untuk bertemu, beraktifitas bersama, bahkan berinteraksi secara pribadi. Agenda dakwah tidak lagi menjadi hal utama. Dakwah dan aktifitasnya menjadi ‘tumpangan’ yang enak untuk bisa terus menghubungi tambatan hati. Ia merajut hari dengan harapan segera keluar dari kungkungan virus ini, berharap ada malaikat penyelamat yang akan menikahkan mereka dengan mudah dan berkah. Tujuannya begitu mulia, menikah secepat mungkin agar hati menemukan ketentramannya. Tanpa melihat kesiapan diri sama sekali, dimana kuliah belum usai, biaya hidup pun masih menunggu kiriman orang tua tercinta. Inilah versi sesungguhnya dari virus merah jambu. Ia adalah obsesi dan gelora jiwa di usia muda, tak lebih dari sekedar ‘cinta monyet’ yang akan mengganggu konsentrasi kuliah dan dakwahnya.
Kepada mereka yang terkena pada tahapan ini, segeralah beristighfar dan menyibukkan dari dengan aktifitas kuliah dan dakwah. Kali ini dengan benar2 menjaga hati. Kepada para murobbi yang menangani kasus semacam ini : segera saja diarahkan untuk mengoptimalkan kesibukan dakwah, berikan tausiyah tentang bahaya virus merah jambu dalam menggerogoti dakwah ini. Maaf, tidak perlu kata ampun bahkan toleransi dalam tahapan ini. Kali ini saya harus benar-benar tidak membuka peluang lebih lanjut, karena betapa banyak dakwah ternodai, orangtua cemas, kuliah tak berujung karena kita mencoba mencari solusi VMJ dalam tahapan ini.
Saya katakan sekali lagi : virus ini tidak ada hubungannya dengan pernikahan dini, ia tidak lebih dari ‘cinta monyet’ para aktifis dakwah yang harus segera dilawan dengan kesibukan dan kesadaran akan pentingnya masa depan !
Kedua : Kecenderungan dan Cinta yang Tumbuh di Hati
Yang ini adalah kecendungan pada seseorang dan cinta yang tumbuh di hati. Nyaris tanpa ekspressi apalagi interaksi. Ia hanya mengagumi tanpa mengeksplorasi lebih jauh objek kekagumannya. Ia bagaikan pungguk merindukan bulan, lalu enggan memikirkan hal tersebut lebih jauh dalam hari-hari dakwahnya. Ia menyimpan begitu dalam rasa itu, bahkan terkadang tidak menyadarinya. Ia mempunyai kesibukan dan agenda yang jelas menuju masa depannya.
Lalu tiba-tiba ia merasa siap untuk menikah. Perkuliahan yang dijalani tinggal satu dua bulan lagi atau mungkin telah lama ia pungkasi. Persiapan menuju pernikahanpun lebih tertata dan teruji. Orangtuanya pun tak merasa dilangkahi, mereka benar2 menyadari kedewasaan dan kesiapan sang buah hati dalam membina bahteranya sendiri. Lalu dengan siapa ia akan menikah ? Maka ia teringat kembali pada sosok yang pernah dikagumi, atau membuatnya simpati, atau membuatnya tertarik secara manusiawi begitu saja. Apakah ini cinta yang sudah tumbuh di hati ? Sungguh ia ingin berontak, karena selama ini ia mengingkari kecenderungan itu. Ia terbukti bisa menenggelamkan dan melawannya bahkan tanpa bekas dalam kehidupannya sehari-hari. Lalu mengapa rasa itu kembali muncul mengganggu lintasan pikirannya.
Rasa bingung segera menyergap pikirannya ? Apakah ia harus mengatakan yang sejujurnya pada sang Murobbi ? bahwa ada kecenderungan pada seseorang yang sudah tumbuh di hati ? Ataukah ia kembali menenggelamkannya sebagaimana hari-hari sebelumnya, lalu berusaha menumbuhkan rasa baru entah kepada siapa nantinya ?
Lantas, Bagaimana sikap jika Anda adalah para Murobbi yg mendapati kasus tersebut?
Jika suatu hari nanti kita mendapati kasus yang serupa dengan yang tertulis di atas. Kecenderungan di hati yang tumbuh pada diri seorang aktifis nyaris tanpa ekspressi apalagi interaksi yg berlebihan. Bukan virus merah jambu yang mengganggu dan bertalu-talu dalam hati sang aktifis. Maka sungguh pilihan Anda cukup sederhana : jadilah seorang yang memudahkan pertemuan dua hati yang telah mempunyai kecenderungan itu. Jadilah ‘ustadz cinta’ yang mengelola kecenderungan menjadi tahapan dan langkah yang tertata menuju sebuah pernikahan.
Semoga Anda termasuk mereka yang diberkahi karena membantu pernikahan karena ingin menjaga hati : Dari Abu Hurairah ra , Rasulullah SAW bersabda : “ Ada tiga orang yang wajib bagi Allah menolongnya : orang yang berjihad di jalan Allah, budak ‘Mukatib’ yang ingin membayar pembebasannya, dan seorang yang ingin menikah untuk menjaga dirinya “ (HR Tirmidzi)
Namun setidaknya ada tiga hal yang bisa menjadi pertimbangan kita, sebelum melangkah lebih lanjut dalam proses ini :
Pastikan dengan pertimbangan syar’i : bahwa seseorang yang diinginkannya bukan termasuk mahrom atau musyrik.
Pastikan dengan pertimbangan da’awi : bahkan seseorang yang diinginkannya tidak akan menghambat dakwahnya, justru malah mendukung dan menambah semangatnya dalam berdakwah.
Pastikan bahwa tidak ada pola interaksi yang salah sebelumnya. Tidak ada hubungan ‘backstreet’ yang telah lama dipupuk dan menyemaikan cinta lebih luas lagi hatinya.
Jika ada yang bertanya, apakah yang semacam itu ( menikah dengan cinta dan ketertarikan hati) adalah syar’i ? maka biarkan saya menjawabnya cukup dengan dua hadist yang sederhana.
Pertama : Rasulullah SAW bersabda : “Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!”( HR Ahmad dan Abu Daud), dalam riwayat lain : “Lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan (cinta kasih) antara kalian berdua (HR Tirmidzi dan Nasa'i)
Jika kita lihat secara lebih mendalam, maka hadits tersebut bukan saja ‘sekedar’ berisi kebolehan nadzhor atau melihat calon pasangan yang akan dikhitbah, tetapi juga memuat isyarat tentang boleh dan wajarnya sebuah “kecenderungan, dorongan dan ketertarikan” sebelum melangkah dalam pernikahan.
Kedua : Lebih spesifik lagi, Rasulullah saw bersabda : “ Tidak pernah terlihat (lebih menakjubkan) bagi dua orang yang saling mencintai seperti pernikahan “ HR Ibnu Majah (1847) dan Ibnu Abi Syaibah (III/454)
Dalam Kitab Al-Luma’ fi asbabil wurud hadits , diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah tentang sebab wurudnya hadits di atas : Datang seorang laki-laki pada Rasulullah SAW dan berkata : Ya Rasulullah, kami mempunyai seorang anak gadis yatim yang dikhitbah oleh dua orang, yang satu miskin dan yang satu adalah orang kaya. Dia (anak gadis kami) cenderung (cinta) pada yang miskin, sementara kami lebih menyukai pada yang kaya. Maka Rasulullah bersabda dg hadits diatas : “ Tidak pernah terlihat (lebih menakjubkan) bagi dua orang yang saling mencintai seperti pernikahan “
Wallahu a’lam bisshowab.
Semoga tulisan ini tidak menjadi hujjah bagi mereka yang lemah dalam menjaga hati dan pandangan, tidak pula menjadi legitimasi bagi mereka yang terkotori hatinya dan ternodai dakwahnya dengan virus merah jambu.
Apapun yang kita alami, dalam dakwah ini kita tidak pernah sendiri. Segera hubungi murobbi untuk berkonsultasi, agar lebih terjaga diri dan tertata langkah dalam memperbaiki diri. Semua ini kami tulis untuk menjaga kualitas aktifis dakwah, agar semakin dekat kemuliaan dakwah dan kejayaan Islam yang dinanti-nanti.
Saya tutup dengan ungkapan Abdullah bin Mas’ud : Cinta itu dari Allah dan kebencian itu dari syaitan, yang bermaksud memasukkan rasa benci dalam hatimu, terhadap apa yang dihalalkan Allah bagimu ( HR Abdurrozaq (VI/191) dinukil pula oleh Albani dalam Adab Zifaf)
Sumber : Catatan Facebook Ust. Hatta Syamsuddin
Tarbiyah Bukan Untuk Tarbiyah
Ibarat benih yang ditanam, tidak selamanya ia hanya akan berada di dalam tanah.
Ibarat benih yang menjadi tunas, ia akan bergerak naik menuntut mimpi yang lebih, merasakan hangatnya sinar mentari.
Karena pada fitrahnya, ia ditanam tidak lain agar bermanfaat bagi orang lain.
Begitu pula tarbiyah ini. Ia ibarat benih yang di tanam, takkan selamanya ada dalam kegelapan, terhalang tanah lantas tidak tumbuh. Ia menjadi tunas yang keluar dari tanah dan merasakan hangatnya sinar mentari. ya... ia tumbuh dalam kesadaran.
Tarbiyah ibarat benih yang ketika tumbuh, akan menghadapi lingkungan yang ekstrem.merasakan serangan hama dan angin, serta kekeringan yang tak terduga. dan tarbiyah, bukan untuk tarbiyah....
Ibarat benih yang menjadi tunas, ia akan bergerak naik menuntut mimpi yang lebih, merasakan hangatnya sinar mentari.
Karena pada fitrahnya, ia ditanam tidak lain agar bermanfaat bagi orang lain.
Begitu pula tarbiyah ini. Ia ibarat benih yang di tanam, takkan selamanya ada dalam kegelapan, terhalang tanah lantas tidak tumbuh. Ia menjadi tunas yang keluar dari tanah dan merasakan hangatnya sinar mentari. ya... ia tumbuh dalam kesadaran.
Tarbiyah ibarat benih yang ketika tumbuh, akan menghadapi lingkungan yang ekstrem.merasakan serangan hama dan angin, serta kekeringan yang tak terduga. dan tarbiyah, bukan untuk tarbiyah....
di saat ia tumbuh... tarbiyah bukanlah untuk tarbiyah saja. ia layaknya tunas yang nanti akan menjadi pohon besar nan rindang, memberikan keteduhan bagi para musafir.
memberikan buahnya pada orang yang kelaparan. dan memberikan oksigen pada semua orang.
Dan akarnya tetap kuat tertanam dalam tanah. ya. akar yang mencengkeram tanah.
Ia mendapatkan bekal untuk bermanfaat bagi orang lain. akarnya akan tetap tertutup dalam tanah, tapi manfaat batang daun serta buahnya akan terlihat jelas bagi siapapun sekalipuan hanya dengan memandangnya.
Dan tentunya, untuk menjadi pohon besar nan rindang, bukanlah sesuatu yang mudah. kita saat ini adalah benih, yang harus keluar dari tanah. Merasakan berbagai cobaan agar kelak memberikan manfaat.
Mari saudaraku..... janganlah menjadikan tarbiyah untuk kalangan tarbiyah saja.
Tarbiyah adalah untuk harakah.ibarat dalam satu tubuh.
Tarbiyah adalah akar kita dan kita adalah batang daun dan buah yang bermanfaat bagi orang lain. ukhuwah dan muamalah kita diuji bukan hanya terhadap sesama ikhwah, tapi oleh semua manusia.
Wajar jika kita ikhlas terhadap sesama ikhwah...
Wajar jika kita mudah senyum kepada sesama ikhwah...
Tarbiyah bukan untuk tarbiyah..tarbiyah untuk semuanya.
Tarbiyah bukanlah datang duduk mengaji dan sholeh lantas tidak berdaya guna. tarbiyah adalah akar diri kita yang mencengkram dalam tanah, mengikat kita ketika menghadapi berbagai cobaan.
Ia akan mengokohkan diri kita selain memberikan asupan mineral bagi kita.
Dan bagi yang merasa tarbiyah hanyalah untuk tarbiyah,izinkan saya berkesimpulan bahwa akar yang seharusnya mengokohkan dirinya ternyata tidak berfungsi dengan baik.
Wallahu a'lam.
Sumber : Catatan Fathur IzzIs
Gaza. Dr. Talib Abu Syaer, menteri wakaf dan urusan agama menyebutkan, pembebasan Al-Quds ada di tangan para penghafal Al-Qur’an. Ia memuji kebijakan perdana menteri Palestina yang mendukung penuh proyek penghafal Al-Qur’an.
Abu Syaer menambahkan, terkait dengan rencana lembaganya yang akan mewisuda 13.000 para penghafal Al-Qur’an di Gaza, dalam acara peringatan penaklukan Baitul Maqdis. Dengan demikian pembebasan Al-Quds, hanya akan terjadi lewat perlawanan, sebagaimana terjadi pada zamanya, Shalahuddin Al-Ayubi. Kami optimis pertolongan Akan segera datang. Al-Quds akan segera bebas, dengan Izin Allah.
Acara wisuda ini merupakan yang besar, sebagai tanggapan terhadap aksi pembakaran Al-Qur’an oleh salah satu gereja Amerika. Barang siapa yang berani merobek Al-Qur’an, maka ia akan direbek oleh Allah. (asy/infoplestina.com/knrp)
Salah satu keistimewaan Al-Qur'an adalah diberikan pahala bagi orang yang membacanya. Ibnu Mas'ud berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang membaca satu huruf dari Kitab Allah (Al-Qur'an), ia akan mendapatkan satu kebaikan yang nilainya sama dengan 10 kali ganjaran (pahala). Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf." (HR Tirmidzi). Hadis dari Ibnu Mas'ud ini diperkuat dengan hadis serupa dari Abi Sa'id.
Rasulullah SAW memerintahkan kita mengkhatamkan (menyelesaikan bacaan) Al-Qur'an paling cepat dalam waktu tiga hari dan paling lambat satu bulan (30 hari). Kalau kita mengambil yang paling lambat, yaitu khatam dalam waktu satu bulan, berarti kita harus membacanya satu hari minimal satu juz. Satu juz kurang lebih terdiri atas 20 halaman. Bila 20 halaman tersebut kita bagi lima, setiap usai shalat fardhu kita cukup membaca empat halaman.
Membaca Al-Qur'an harus dilakukan dengan tartil, perlahan-lahan, dan sesuai dengan ilmu tajwid. Ibnu Mas'ud berkata, "Janganlah kalian membaca Al-Qur'an dengan amat perlahan seperti memungut buah kurma satu demi satu dan jangan pula membacanya dengan amat cepat seperti membaca syair. Namun, berhentilah pada keajaiban-keajaibannya dan resapilah dalam hati. Hendaklah perhatian kalian tidak terfokus pada akhir surat."
Berdasarkan pengalaman selama ini, membaca satu juz Al-Qur'an dengan tartil rata-rata membutuhkan waktu 30 menit. Ini berarti setiap selesai shalat fardhu kita cukup menyisihkan waktu enam menit untuk membaca Al-Qur'an agar kita bisa mengkhatamkannya satu kali dalam satu bulan.
Marilah kita hitung berapa kebaikan yang akan kita peroleh bila kita membaca Al-Qur'an setiap selesai shalat fardhu. Setiap halaman Al-Qur'an rata-rata terdiri atas 15 baris bacaan. Setiap baris bacaan rata-rata terdiri atas 35 huruf. Bila satu huruf dibalas dengan 10 pahala kebaikan dan bila membaca satu halaman Al-Qur'an; kita akan mendapat 5.250 pahala. Satu juz mendapat 105 ribu pahala. Bila satu bulan khatam, kita akan mendapat 3.150.000 pahala kebaikan.
Bila setiap selesai shalat lima waktu kita mencicil membaca Al-Qur'an minimal empat halaman-setara dengan enam menit-enam menit waktu yang kita sisihkan tersebut akan dibalas dengan 21 ribu pahala kebaikan. Subhanallah. Tentu saja ini balasan minimal dari Allah SWT. Dalam Al-Qur'an, disebutkan bahwa Allah SWT akan membalas setiap amal kebaikan tanpa batas sesuai dengan kehendak Allah SWT. Berapakah nilai satu ganjaran pahala di sisi Allah? Wallahu a'lam, tentu jauh lebih besar dari segala yang kita miliki di dunia.