Cinta merupakan sifat dasar atau fitrah yang ada dalam diri manusia secara murni, yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya. Ia selalu dibutuhkan. Jika seseorang ingin menikmati manis dan indahnya cinta dengan cara terhormat lagi mulia, suci, dan penuh dengan rasa taqwa, tentu ia akan mempergunakan perasaan cintanya itu untuk mencapai keinginannya yang suci lagi mulia pula.
Jangan pernah bermain-main dengan cinta, karena cinta bukan permainan. Cinta adalah anugerah terindah yang dikaruniakan-Nya kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang menjaga cinta, maka cinta pun akan menjaganya. Barang siapa yang melukai, membuat noda dan nista dengan mengatas-namakan cinta, maka dia pun akan terluka dan terhina kehidupannya. Karena cinta merupakan fitrah, sesuatu yang suci yang dianugerahkan oleh Dzat yang suci. Tidak akan bahagia kecuali mereka yang selalu menjaga kesucian dan keindahan cinta. Cinta suci melahirkan kebahagiaan sejati nan hakiki…
Dalam menjalani kehidupan, seringkali kita dihadapkan pada suasana 'ketidak nyamanan'. Suasana yg jauh dari ideal.
Kita pun sering kaget dan bertanya, "kemanakah keindahan-keindahan dalam hidup berumah tangga seperti yg dikisahkan di buku-buku itu ?"
Pernikahan, ibarat sebuah permainan atau kadangkala malah lebih mirip hutan. Yang ada di tangan dan kepala kita hanya sebuah buku petunjuk yang tak selalu sama digunakan setiap orang dan sebuah peta usang perjalanan.
Kadang dalam permainan dan perjalanan itu kita merasakan kebosanan dan kecapaian. Tapi kita tak bisa dan tak boleh menghentikan permainan, apalagi keluar dari arena. Kecuali jika keadaan sudah tidak bisa diperbaiki, permainan boleh dihentikan.
Bicara tentang sebuah kelanggengan, ada banyak versi dan cara melanggengkan cinta. Yup, seperti kata pepatah seribu jalan bisa ditempuh menuju kota Roma.
Meski cinta itu telah terbelah...bukanlah alasan untuk membiarkan bangunan cinta nan indah ini menjadi kering dan hampa...
Ada analogi lain tentang cinta dan pernikahan. Pernikahan, katanya, ibarat segelas cangkir dengan air yang penuh menjadi isinya. Untuk menjaga agar air isinya tidak melimpah dan tumpah ada dua hal yang harus dilakukan masing-masing pasangan.
Pertama, akuilah jika salah satu di antara kita berbuat salah pada suami atau istri. Cara kedua, berdiam diri saat kita merasa benar. Berdiam diri di sini bukan berarti membiarkan kebenaran berlalu dengan senyap. Tapi berdiam diri di sini lebih berarti menonjolkan sifat yang tak ingin menang sendiri.
Jika di atas adalah cara menjaga cinta dan pernikahan dengan dua langkah, berikut ini ada yang cara dengan enam langkah. Persis, seperti langkah dalam catur, kita bisa mematikan lawan dalam dua langkah atau bisa dengan enam langkah.
Sudah berapa lama Anda menikah?
Itulah pertanyaannya buat kita semua. Apakah kita sudah benar-benar mengetahui siapakah sebenarnya sang pasangan. Bagaimana cara hidupnya, bagaimana sikap dan pemikirannya, bagaimana pola yang ia tempuh untuk menjaga roda pedati pernikahan tetap berjalan di jalurnya. Jawaban-jawaban pertanyaan di atas, hanya akan kita temui bersama dengan berlalunya sang waktu. Seperti pepatah Inggris, time will tell, waktu akan menjawabnya, seperti yg pernah diungkapkan juga oleh Hasan al Banna "al waqtu minal 'ilaj", bahwa waktu adalah bagian dari solusi.
Hampir setiap pasangan suami istri mengarungi badai terganas dalam kehidupan rumah tangga. Dan umumnya mereka keluar sebagai pemenangnya. Memang tak jarang banyak di antara tali pernikahan terpaksa putus di tengah jalan, karena tali itu tak kukuh dan menjadi lekang oleh panas dan hujan. Pada awalnya, saat pertama kita menikah, kita merasa telah menemukan orang yang tepat, pas, sempurna, untuk menjadi pasangan kita.
Tapi setelah waktu bergulir dan umur pernikahan bertambah kita menemukan banyak fakta, bahwa pasangan yang ada di samping kita tak sepenuhnya sempurna. Memang demikianlah, tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang tak punya kekurangan dan kesalahan. Kelanggengan dan kebahagiaan pernikahan memang bukan karena kita menemukan pasangan yang tepat dalam hidup. Kelanggengan dan kebahagiaan rumah tangga bisa terwujud karena masing-masing dari kita mencoba untuk menjadi pasangan yang tepat bagi pasangannya. Itulah kuncinya.
Dengan seperti itu, insya Allah kita akan menemukan sebuah suasana rumah tangga yang bukan saja menyenangkan, lebih dari itu. Kita akan menemukan sebuah formula bagaimana menjaga kesenangan itu tetap ada. Kita akan menemukan getaran yang sama saat kita menatap mata istri atau suami untuk pertama kali meski pernikahan yang kita lalui sudah puluhan tahun umurnya.
Memang banyak orang yang bilang, pandangan pada cinta pertama adalah sesuatu yang ajaib dan menakjubkan. Tapi sebenarnya, pandangan pertama bukanlah cinta yang luar biasanya. Yang luar biasa adalah, jika dua orang yang telah bertahun-tahun menikah masih sering menatap mata masing-masing dengan penuh gairah dan rasa seperti pada pandangan pertama. Itulah yang luar biasa, itulah keajaiban.
Ada langkah pamungkas untuk menjaga dan menciptakan kebahagiaan dalam rumah tangga Anda. Langkah pamungkas itu bukan enam langkah, atau dua langkah lagi, tapi hanya satu langkah. Ya, satu langkah.
Pernikahan yang berhasil memiliki satu syarat, dan syarat itu adalah, kita harus jatuh cinta lagi, berulang kali, pada orang yang sama. Istri atau suami kita. Karena persyaratan utama sebuah kebahagiaan rumah tangga adalah jatuh cinta lagi, mari sekarang kita sama-sama jatuh cinta lagi.
Sumber : FB Fathur IzzIs
Jangan pernah bermain-main dengan cinta, karena cinta bukan permainan. Cinta adalah anugerah terindah yang dikaruniakan-Nya kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang menjaga cinta, maka cinta pun akan menjaganya. Barang siapa yang melukai, membuat noda dan nista dengan mengatas-namakan cinta, maka dia pun akan terluka dan terhina kehidupannya. Karena cinta merupakan fitrah, sesuatu yang suci yang dianugerahkan oleh Dzat yang suci. Tidak akan bahagia kecuali mereka yang selalu menjaga kesucian dan keindahan cinta. Cinta suci melahirkan kebahagiaan sejati nan hakiki…
Dalam menjalani kehidupan, seringkali kita dihadapkan pada suasana 'ketidak nyamanan'. Suasana yg jauh dari ideal.
Kita pun sering kaget dan bertanya, "kemanakah keindahan-keindahan dalam hidup berumah tangga seperti yg dikisahkan di buku-buku itu ?"
Pernikahan, ibarat sebuah permainan atau kadangkala malah lebih mirip hutan. Yang ada di tangan dan kepala kita hanya sebuah buku petunjuk yang tak selalu sama digunakan setiap orang dan sebuah peta usang perjalanan.
Kadang dalam permainan dan perjalanan itu kita merasakan kebosanan dan kecapaian. Tapi kita tak bisa dan tak boleh menghentikan permainan, apalagi keluar dari arena. Kecuali jika keadaan sudah tidak bisa diperbaiki, permainan boleh dihentikan.
Bicara tentang sebuah kelanggengan, ada banyak versi dan cara melanggengkan cinta. Yup, seperti kata pepatah seribu jalan bisa ditempuh menuju kota Roma.
Meski cinta itu telah terbelah...bukanlah alasan untuk membiarkan bangunan cinta nan indah ini menjadi kering dan hampa...
Ada analogi lain tentang cinta dan pernikahan. Pernikahan, katanya, ibarat segelas cangkir dengan air yang penuh menjadi isinya. Untuk menjaga agar air isinya tidak melimpah dan tumpah ada dua hal yang harus dilakukan masing-masing pasangan.
Pertama, akuilah jika salah satu di antara kita berbuat salah pada suami atau istri. Cara kedua, berdiam diri saat kita merasa benar. Berdiam diri di sini bukan berarti membiarkan kebenaran berlalu dengan senyap. Tapi berdiam diri di sini lebih berarti menonjolkan sifat yang tak ingin menang sendiri.
Jika di atas adalah cara menjaga cinta dan pernikahan dengan dua langkah, berikut ini ada yang cara dengan enam langkah. Persis, seperti langkah dalam catur, kita bisa mematikan lawan dalam dua langkah atau bisa dengan enam langkah.
Enam cara itu adalah, pertama kesetiaan dan lima yang lainnya adalah keyakinan.
Itu caranya, jika kita ingin menjaga pernikahan kita menuju pernikahan yang penuh barakah. Pertama kita harus setia, kedua sampai seterusnya kita harus yakin pada kesetiaan itu...
Sudah berapa lama Anda menikah?
Itulah pertanyaannya buat kita semua. Apakah kita sudah benar-benar mengetahui siapakah sebenarnya sang pasangan. Bagaimana cara hidupnya, bagaimana sikap dan pemikirannya, bagaimana pola yang ia tempuh untuk menjaga roda pedati pernikahan tetap berjalan di jalurnya. Jawaban-jawaban pertanyaan di atas, hanya akan kita temui bersama dengan berlalunya sang waktu. Seperti pepatah Inggris, time will tell, waktu akan menjawabnya, seperti yg pernah diungkapkan juga oleh Hasan al Banna "al waqtu minal 'ilaj", bahwa waktu adalah bagian dari solusi.
Hampir setiap pasangan suami istri mengarungi badai terganas dalam kehidupan rumah tangga. Dan umumnya mereka keluar sebagai pemenangnya. Memang tak jarang banyak di antara tali pernikahan terpaksa putus di tengah jalan, karena tali itu tak kukuh dan menjadi lekang oleh panas dan hujan. Pada awalnya, saat pertama kita menikah, kita merasa telah menemukan orang yang tepat, pas, sempurna, untuk menjadi pasangan kita.
Tapi setelah waktu bergulir dan umur pernikahan bertambah kita menemukan banyak fakta, bahwa pasangan yang ada di samping kita tak sepenuhnya sempurna. Memang demikianlah, tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang tak punya kekurangan dan kesalahan. Kelanggengan dan kebahagiaan pernikahan memang bukan karena kita menemukan pasangan yang tepat dalam hidup. Kelanggengan dan kebahagiaan rumah tangga bisa terwujud karena masing-masing dari kita mencoba untuk menjadi pasangan yang tepat bagi pasangannya. Itulah kuncinya.
Dengan seperti itu, insya Allah kita akan menemukan sebuah suasana rumah tangga yang bukan saja menyenangkan, lebih dari itu. Kita akan menemukan sebuah formula bagaimana menjaga kesenangan itu tetap ada. Kita akan menemukan getaran yang sama saat kita menatap mata istri atau suami untuk pertama kali meski pernikahan yang kita lalui sudah puluhan tahun umurnya.
Memang banyak orang yang bilang, pandangan pada cinta pertama adalah sesuatu yang ajaib dan menakjubkan. Tapi sebenarnya, pandangan pertama bukanlah cinta yang luar biasanya. Yang luar biasa adalah, jika dua orang yang telah bertahun-tahun menikah masih sering menatap mata masing-masing dengan penuh gairah dan rasa seperti pada pandangan pertama. Itulah yang luar biasa, itulah keajaiban.
Ada langkah pamungkas untuk menjaga dan menciptakan kebahagiaan dalam rumah tangga Anda. Langkah pamungkas itu bukan enam langkah, atau dua langkah lagi, tapi hanya satu langkah. Ya, satu langkah.
Pernikahan yang berhasil memiliki satu syarat, dan syarat itu adalah, kita harus jatuh cinta lagi, berulang kali, pada orang yang sama. Istri atau suami kita. Karena persyaratan utama sebuah kebahagiaan rumah tangga adalah jatuh cinta lagi, mari sekarang kita sama-sama jatuh cinta lagi.
Sumber : FB Fathur IzzIs
Rasa syukur yang tiada terhingga aku rasakan, atas karunia dan rahmat-Nya, aku bisa mendapatkan kehormatan menunaikan ibadah haji pada tahun 1428 bertepatan dengan bulan Desember tahun 2007. Apa yang istimewa dari haji tersebut bagiku ? Tentu amat banyak.
Pertama, itu adalah kali pertama aku menunaikan ibadah haji. Segala sesuatu yang pertama kali, pasti amat berkesan. Misalnya pertama kali ke luar negeri, atau pertama kali menaiki mobil, pertama kali naik pesawat, pertama kali memiliki rumah, melewati malam pertama, dan lain sebagainya. Semua yang pertama memang amat mengesankan. Apalagi pertama kali naik haji ke tanah suci, pasti sangat berkesan.
Terlebih lagi, aku berangkat haji dalam rombongan Tamu Kerajaan Saudi. Artinya, aku bisa berangkat ke tanah suci atas biaya pemerintah Kerajaan Saudi, alias gratis. Sungguh perasaan syukur selalu aku panjatkan kepada Allah atas kemudahan ini, atas kehormatan melakukan ibadah haji.
Haji adalah sebuah momentum ibadah yang amat sangat berkesan bagi siapapun yang bersungguh-sungguh menunaikan. Usiaku sudah 42 tahun saat menunaikan haji tersebut. Aku bersyukur, Allah masih memberikan kesempatan kepadaku untuk dapat mengunjungi Ka’bah di saat fisik masih sehat dan segar. Betapa banyak kaum muslimin meninggal dan belum berkesempatan menunaikan haji, atau berkesempatan haji saat usia sudah senja dan fisik telah lemah.
Sungguh aku menangis dalam keharuan saat pertama kalinya di atas pesawat aku melafalkan kalimat talbiyah Labbaikallahumma labbaik.. Labbaika laa syarikalaka labbaik… Petugas mengumukan bahwa pesawat Saudi Airlines yang kami tumpangi telah melewati miqat, sehingga seluruh jama’ah telah mengenakan pakaian ihram dan membaca talbiyah. Aku juga menangis saat pertama kali bisa shalat di depan Ka’bah.
Kedua, ini adalah momentum yang sangat aku nantikan, bahwa akan bertemu waktu serta tempat dimana doa akan mudah dikabulkan Allah. Ya, inilah waktu dan tempat itu, aku sangat ingin melafalkan doa permintaan kepada Allah. Di antara tempat mustajab untuk berdoa adalah di depan Ka’bah, lebih khas lagi di Multazam, atau Raudhah di Masjid Nabawi. Sedangkan waktu yang amat sangat dinantikan adalah hari Arafah, dimana doa sangat mustajab pada waktu itu.
Doa yang ingin aku munajatkan sangatlah sederhana. Namun ingin aku ucapkan di tempat dan waktu mustajab saat haji. Ya, inilah momentum itu. Inilah saatnya aku memohon kepada Allah dengan segenap kesungguhan dan kerendahan diri. Sungguh mahal kesempatan ini, karena belum tentu aku bisa mengulanginya lagi.
“Ya Allah, wafatkan aku dalam kondisi mencintai jalan dakwah ilallah, dan jangan wafatkan aku dalam kondisi membenci jalan dakwah ini”.
Itulah doaku, permohonanku, harapanku kepada Allah. Lega sekali aku melafalkan doa tersebut di waktu dan tempat mustajab. Jika suatu saat kelak Allah masih memberikan kesempatan kepadaku untuk mengunjungi baitullah, akan aku ulangi lagi doa itu. Sungguh, aku sangat ingin Allah mengabulkan doa sederhana tadi.
Sederhana? Mungkin, namun realisasinya yang sangat rumit. Aku mulai mengenal jalan dakwah semenjak umur 20 tahun, mengenal dari awal, mengeja huruf hijaiyah, mengeja pergerakan-pergerakan dakwah. Hingga akhirnya di usia 22 tahun mulai jatuh cinta pada jalan dakwah yang memberikan warna khas kepada aku. Kini aku telah menapaki jalan dakwah telah lebih dari 20 tahun. Aku sangat mencintai jalan ini, dan tak ingin meninggalkannya.
Jika Allah memanggilku hari ini, saat aku menulis narasi ini, insyaallah aku wafat dalam kondisi mencintai jalan dakwah ini sepenuh hati. Namun bagaimana dengan sepuluh atau duapuluh tahun lagi, apakah perasaan cinta masih akan seperti ini ? Sungguh aku tidak tahu. Terlalu banyak fitnah menyertai perjalanan dakwah. Terlalu banyak ujian, mihnah, godaan yang akan terus menerus menerpa siapapun yang istiqamah di jalan dakwah.
Ada orang yang lurus di saat muda. Bersemangat membara, menyerahkan seluruh yang dimiliki di jalan dakwah ini. Namun akhirnya ia kalah di ujung-ujung usianya. Saat himpitan ekonomi, sosial, politik terus menerus menyesakkan dadanya. Rasanya ia tidak pernah menikmati hasil perjuangan. Jika pepatah mengatakan berakit-rakit ke hulu berenang ke tepian, kenyataannya ia harus mengatakan berakit-rakit ke hulu, berakit-rakit pula ketepian. Dari perjuangan masa muda hingga saatnya masa tua, semua serba bersakit-sakit.
Persoalannya, di saat ia merasakan kesakitan di masa tua, ternyata ia menyaksikan sebagian aktivis telah bergelimang kekayaan. Pada saat ia kesulitan membiayai pendidikan anaknya, kesulitan mengobatkan keluarga yang sakit, bahkan kesulitan mencari sesuatu untuk dimakan keluarga, ternyata sebagian yang lain telah berada dalam posisi kemapanan sosial dan ekonomi. Bukan hanya itu, namun ia merasa mereka yang telah kaya sudah tidak lagi mempedulikan yang tidak mampu.
Jika di masa tua ia menyesal menjadi aktivis dakwah, jika di masa tua ia mengungkit-ungkit jasa di masa lalu, jika di masa tua ia tidak rela menyaksikan kemajuan aktivis-aktivis muda, maka ia telah kalah dalam kehidupannya. Apalagi yang diharapkan? Jika ia mampu menjaga kaikhlasan di masa sulit, maka masih ada harapan nanti di akhirat, balasan yang melimpah dari Allah yang pasti sangat indah. Namun apabila kaikhlasanpun telah sirna, berubah menjadi amarah, dendam, dan kebencian, maka siorna pula harapan akhirat. Na’udzubillahi min dzalik.
Sungguh aku tidak mau memiliki sejarah kelam seperti itu. Aku ingin mati dalam kondisi mencintai dakwah ini sepenuh hati. Aku sangat takut kehilangan rasa cinta atas jalan dakwah, apalagi jika sampai ke tingkat muncul perasaan benci. Ya Allah, jauhkan aku dari rasa benci kepada sesuatu yang seharusnya aku cintai.
Itulah doa yang sering aku ulang dalam keseharianku. Aku selalu memohon kepada Allah, semoga selalu diberi kekuatan, kelapangan, keikhlasan, kesabaran, kemudahan dalam mencintai jalan dakwah ini. Aku selalu memohon kepada Allah agar tidak pernah berpaling kepada jalan-jalan lain yang menyesatkan, kepada ajakan-ajakan yang menjurus kepada perpecahan, kepada seruan-seruan yang membawa kepada kehancuran tatatanan. Sampai kematian menjemputku.
Kabulkan doaku, Ya Allah…..
Amin.
Malam telah larut terbentang. Sunyi. Dan aku masih berfikir tentang dirimu, akhi. Jangan salah sangka ataupun menaruh prasangka. Semua semata-mata hanya untuk muhasabah terutama bagi diriku, makhluk yang Rasulullah SAW sinyalirkan sebagai pembawa fitnah terbesar.—Suratmu sudah kubaca dan disimpan. Surat yang membuatku gementar. Tentunya kau sudah tahu apa yang membuatku nyaris tidak boleh tidur kebelakangan ini. “Ukhti, saya sering memperhatikan anti. Kalau sekiranya tidak dianggap lancang, saya berniat berta’aruf dengan anti.”
Jujur kukatakan bahwa itu bukan perkataan pertama yang dilontarkan ikhwan kepadaku. Kau orang yang kesekian. Tetap saja yang ‘kesekian’ itu yang membuatku diamuk perasaan tidak menentu. Astaghfirullahaladz im. Bukan, bukan perasaan melambung kerana merasakan diriku begitu mendapat perhatian. Tetapi kerana sikapmu itu mencampak ke arah jurang kepedihan dan kehinaan. ‘Afwan kalau yang terfikir pertama kali di benak bukannya sikap memeriksa, tapi malah sebuah tuduhan: ke mana ghaddhul bashar-mu?
Akhifillah, Alhamdulillah Allah mengaruniakan dzahir yang jaamilah. Dulu, di masa jahiliyah, karunia itu sentiasa membawa fitnah. Setelah hijrah, kufikir semua hal itu tidak akan berulang lagi. Dugaanku ternyata salah. Mengapa fitnah ini justeru menimpa orang-orang yang ku hormati sebagai pengemban risalah da’wah ? Siapakah di antara kita yang salah?
“Adakah saya kurang menjaga hijab, ukh?” tanyaku kepada Aida, teman sebilikku yang sedang mengamati diriku. Lama. Kemudian, dia menggeleng.
“Atau baju saya? Sikap saya?”—“Tidak, tidak,” sergahnya menenangkanku yang mulai berurai air mata.
“Memang ada perubahan sikap di kampus ini.”
“Termasuk diri saya?”
“Jangan menyalahkan diri sendiri meskipun itu bagus, senantiasa merasa kurang iman. Tapi tidak dalam hal ini. Saya cukup lama mengenali anti dan di antara kita telah terjalin komitmen untuk saling memberi tausiyah jika ada yang lemah iman atau salah. Ingat?”
Aku mengangguk. Aida menghela nafas panjang.
“Saya rasa ikhwan itu perlu diberi tausiyah. Hal ini bukan perkara baru kan ? Maksud saya dalam meng-cam akhwat di kampus.” Sepi mengembang di antara kami. Sibuk dengan fikiran masing-masing…
“Apa yang diungkapkan dalam surat itu?”
“Ia ingin berta’aruf. Katanya dia sering melihat saya memakai jilbab putih. Anti tahu bila dia bertekad untuk menulis surat ini? Ketika saya sedang menjemur pakaian di depan rumah ! Masya Allah…. dia melihat sedetail itu.”
“Ya.. di samping itu tempoh masa anti keluar juga tinggi.”
“Ukhti…,” sanggahku, “Anti percaya kan kalau saya keluar rumah pasti untuk tujuan syar’i?”
“InsyaAllah saya percaya. Tapi bagi anggapan orang luar, itu masalah yang lain.”
Aku hanya mampu terdiam. Masalah ini senantiasa hadir tanpa ada suatu penyelesaian. Jauh dalam hati selalu tercetus keinginan, keinginan yang hadir semenjak aku hijrah bahwa jika suatu saat ada orang yang memintaku untuk mendampingi hidupnya, maka hal itu hanya dia lakukan untuk mencari keridhaan Rabb-nya dan dien-ku sebagai tolok ukur, bukan wajahku. Kini aku mulai risau mungkinkah harapanku akan tercapai?
Akhifillah, Maaf kalau saya menimbulkan fitnah dalam hidupmu. Namun semua bukan keinginanku untuk beroleh wajah seperti ini. Seharusnya di antara kita ada tabir yang akan membersihkan hati dari penyakitnya. Telah ku coba dengan segenap kemampuan untuk menghindarkan mata dari bahaya maksiat. Alhamdulillah hingga kini belum hadir sosok putera impian yang hadir dalam angan-angan. Semua ku serahkan kepada Allah ta’ala semata.
Akhi, Tentunya antum pernah mendengar hadits yang tersohor ini. Bahwa wanita dinikahi kerana empat perkara: kecantikannya, hartanya, keturunannya, atau diennya. Maka pilihlah yang terakhir kerana ia akan membawa lelaki kepada kebahagiaan yang hakiki.
Kalaulah ada yang mendapat keempat-empatnya, ibarat ia mendapat syurga dunia. Sekarang, apakah yang antum inginkan? Wanita shalihah pembawa kedamaian atau yang cantik tapi membawa kesialan? Maaf kalau di sini saya terpaksa berburuk sangka bahwa antum menilai saya cuma sekadar fisik belaka. Bila masanya antum tahu bahwa dien saya memenuhi kriteria yang bagus? Apakah dengan melihat frekuensi kesibukan saya? Frekuensi di luar rumah yang tinggi?
Tidak. Antum tidak akan pernah tahu bila masanya saya berbuat ikhlas lillahi ta’ala dan bila masanya saya berbuat kerana riya’. Atau adakah antum ingin mendapatkan isteri wanita cantik yang memiliki segudang prestasi tetapi akhlaknya masih menjadi persoalan? Saya yakin sekiranya antum diberikan pertanyaan demikian, niscaya tekad antum akan berubah.
Akhifillah, Tanyakan pada setiap akhwat kalau antum mampu. Yang tercantik sekalipun, maukah ia diperisterikan seseorang kerana dzahirnya belaka? Jawabannya, insya Allah tidak. Tahukah antum bahwa kecantikan zahir itu adalah mutlak pemberian Allah; Insya Allah antum tahu. Ia satu anugerah yang mutlak yang tidak boleh ditawar-tawar jika diberikan kepada seseorang atau dihindarkan dari seseorang. Jadi, manusia tidak mendapatkannya melalui pengorbanan. Lain halnya dengan kecantikan bathiniyyah. Ia melewati proses yang panjang. Berliku. Melalui pengorbanan dan segala macam pengalaman pahit. Ia adalah intisari dari manisnya kata, sikap, tindak tanduk dan perbuatan. Apabila seorang lelaki menikah wanita kerana kecantikan batinnya, maka ia telah amat sangat menghargai perjuangan seorang manusia dalam mencapai kemuliaan jati dirinya. Faham?
Akhifillah, Tubuh ini hanya pinjaman yang terpulang pada-Nya bila-bila masa mengambilnya. Tapi ruh, kecantikannya menjadi milik kita yang abadi. Kerananya, manusia diperintahkan untuk merawat ruhiyahnya bukan hanya jasmaninya yang boleh usang dan koyak sampai waktunya.
Akhifillah, Kalau antum ingin mencari akhwat yang cantik, antum juga seharusnya menilai pihak yang lain. Mungkin antum tidak memerhatikannya dengan teliti. (Alhamdulillah, tercapai maksudnya untuk keluar rumah tanpa menimbulkan perhatian orang). Pakaiannya sederhana, ia hanya memiliki beberapa helai. Dalam waktu seminggu antum akan menjumpainya dalam jubah-jubah yang tidak banyak koleksinya. Tempoh masanya untuk keluar rumah tidak lama. Ia lebih suka memasak dan mengurus rumah demi membantu kepentingan saudari-saudarinya yang sibuk da’wah di luar. Ia nyaris tidak mempunyai keistimewaan apa-apa kecuali kalau antum sudah melihat shalatnya. Ia begitu khusyu’. Malam-malamnya dihiasi tahajjud dengan uraian air mata. Dibaca Qur’an dengan terisak. Ia begitu tawadhu’ dan zuhud. Ah, saya iri akan kedekatan dirinya dengan Allah. Benar, ia mengenal Rabbnya lebih dari saya. Dalam ketenangannya, ia tampak begitu cantik di mata saya. Beruntung ikhwan yang kelak memperisterikannya… (saya tidak perlu menyebut namanya.)
Malam semakin beranjak. Kantuk yang menghantar ke alam tidur tidak menyerang saat surat panjang ini belum usai. Tapi, sudah menjadi kebiasaanku tidak boleh tidur tenang bila saudaraku tercinta tidak hadir menemani. Aku tergugat apabila merasakan bantal dan guling di samping kanan telah kehilangan pemilik. Rasa penat yang belum ternetral menyebabkan tubuhku terhempas di sofa.
Aida sedang diam dalam kekhusyu’kan. Wajahnya begitu syahdu, tertutup oleh deraian air mata. Entah apa yang terlintas dalam qalbunya. Sudah pasti ia merasakan aku tidak heran saat menyaksikannya. Tegak dalam rakaatnya atau lama dalam sujudnya.
“Ukhti, tidak solat malam? “ tanyanya lembut seusai melirik mata.
“Ya, sekejap,” kupandang wajahnya. Ia menatap jauh keluar jendela ruang tamu yang dibiarkan terbuka. “Dzikrul maut lagi?”
“Khusnudzan anti terlalu tinggi.”
Aku tersenyum. Sikap tawadhu’mu, Aida, menyebabkan bertambah rasa rendah diriku. Angin malam berhembus dingin. Aku belum mau beranjak dari tempat duduk. Aida pun nampaknya tidak meneruskan shalat. Ia kelihatan seperti termenung menekuri kegelapan malam yang kelam.
“Saya malu kepada Allah,” ujarnya lirih.
“Saya malu meminta sesuatu yang sebenarnya tidak patut tapi rasanya keinginan itu begitu mendesak dada. Siapa lagi tempat kita meminta kalau bukan diri-Nya?”
“Apa keinginan anti, Aida?”
Aida menghela nafas panjang.
“Saya membaca buku Syeikh Abdullah Azzam pagi tadi,” lanjutnya seolah tidak menghiraukan. “Entahlah, tapi setiap kali membaca hasil karyanya, selalu hadir simpati tersendiri. Hal yang sama saya rasakan tiap kali mendengar nama Hasan al-Banna, Sayyid Quthb atau mujahid lain saat nama mereka disebut. Ah, wanita macam mana yang dipilihkan Allah untuk mereka? Tiap kali nama Imaad Aql disebut, saya bertanya dalam hati: Wanita macam mana yang telah Allah pilih untuk melahirkannya?”
Aku tertunduk dalam-dalam.
“Anti tahu,” sambungnya lagi, “Saya ingin sekiranya boleh mendampingi orang-orang sekaliber mereka. Seorang yang hidupnya semata-mata untuk Allah. Mereka tak tergoda rayuan harta dan benda apalagi wanita. Saya ingin sekiranya boleh menjadi seorang ibu bagi mujahid-mujahid semacam Immad Aql…”
Air mataku menitis perlahan. Itu adalah impianku juga, impian yang kini mulai kuragui kenyataannya. Aida tak tahu berapa jumlah ikhwan yang telah menaruh hati padaku. Dan rasanya hal itu tak berguna diketahui. Dulu, ada sebongkah harapan kalau kelak lelaki yang mendampingiku adalah seorang mujahid yang hidupnya ikhlas kerana Allah. Aku tak menyalahkan mereka yang menginginkan isteri yang cantik. Tidak. Hanya setiap kali bercermin, ku tatap wajah di sana dengan perasaan duka. Serendah inikah nilaiku di mata mereka? Tidakkah mereka ingin menilaiku dari sudut kebagusan dien-ku?
“Ukhti, masih tersisakah ikhwah seperti yang kita impikan bersama?” desisku.
Aida meramas tanganku. “Saya tidak tahu. Meskipun saya sentiasa berharap demikian. Bukankah wanita baik untuk lelaki baik dan yang buruk untuk yang buruk juga?”
“Anti tak tahu,” air mata mengalir tiba-tiba. “Anti tak tahu apa-apa tentang mereka.”
“Mereka?”
“Ya, mereka,” ujarku dengan kemarahan terpendam. “Orang-orang yang saya kagumi selama ini banyak yang jatuh berguguran. Mereka menyatakan ingin ta’aruf. Anti tak tahu betapa hancur hati saya menyaksikan ikhwan yang qowiy seperti mereka takluk di bawah fitnah wanita.”
“Ukhti!”
“Sungguh, saya terfikir bahwa mereka yang aktif da’wah di kampus adalah mereka yang benar-benar mencintai Allah dan Rasulnya semata. Ternyata mereka mempunyai sekelumit niat lain.”
“Ukhti, jangan su’udzan dulu. Setiap manusia punya kelemahan dan saat-saat penurunan iman. Begitu juga mereka yang menyatakan perasaan kepada anti. Siapa yang tidak ingin punya isteri cantik dan shalihah?”
“Tapi, kita tahukan bagaimana prosedurnya?”
“Ya, memang…”
“Saya merasa tidak dihargai. Saya berasa seolah-olah dilecehkan. Kalau ada pelecehan seksual, maka itu wajar kerana wanita tidak menjaga diri. Tapi saya…. Samakah saya seperti mereka?”
“Anti berprasangka terlalu jauh.”
“Tidak,” aku menggelengkan kepala. “Tiap kali saya keluar rumah, ada sepasang mata yang mengawasi dan siap menilai saya mulai dari ujung rambut -maksud saya ujung jilbab- hingga ujung sepatu. Apakah dia fikir saya boleh dinilai melalui nilaian fisik belaka..”
“Kita berharap agar ia bukan jenis ikhwan seperti yang kita maksudkan.”
“Ia orang yang aktif berda’wah di kampus ini, ukh.”
Aida memejamkan mata. Bisa kulihat ujung matanya basah. Kurebahkan kepala ke bahunya. Ada suara lirih yang terucap,
“Kasihan risalah Islam. Ia diemban oleh orang-orang seperti kita. Sedang kita tahu betapa berat perjuangan pendahulu kita dalam menegakkannya. Kita disibukkan oleh hal-hal sampingan yang sebenarnya telah diatur Allah dalam kitab-Nya. Kita tidak menyibukkan diri dalam mencari hidayah. Kasihan bocah-bocah Palestin itu. Kasihan saudara-saudara kita di Bosnia . Adakah kita boleh menolong mereka kalau kualitas diri masih seperti ini? Bahkan cinta yang seharusnya milik Allah masih berpecah-pecah. Maka, kekuatan apa yang masih ada pada diri kita?”
Kami saling bertatapan kemudian. Melangkau seribu makna yang tidak mampu dikatakan oleh kosa kata. Ada janji. Ada mimpi. Aku mempunyai impian yang sama seperti Aida: mendukung Islam di jalan kami. Aku ingin mempunyai anak-anak seperti Asma punyai. Anak-anak seperti Immad Aql. Aku tahu kualiti diri masih sangat jauh dari sempurna. Tapi seperti kata Aida; Meskipun aku lebih malu lagi untuk meminta ini kepada-Nya. Aku ingin menjadi pendamping seorang mujahid ulung seperti Izzuddin al-Qassam.
Akhifillah, Mungkin antum tertawa membaca surat ini. Ah akhwat, berapa nilaimu sehingga mengimpikan mendapat mujahid seperti mereka? Boleh jadi tuntutanku terlalu besar. Tapi tidakkah antum ingin mendapat jodoh yang setimpal? Afwan kalau surat antum tidak saya layani. Saya tidak ingin masalah hati ini berlarutan. Satu saja yang saya minta agar kita saling menjaga sebagai saudara. Menjaga saudaranya agar tetap di jalan yang diridhai-Nya. Tahukah antum bahwa tindakan antum telah menyebabkan saya tidak lagi berada di jalan-Nya? Ada riya’, ada su’udzhan, ada takabur, ada kemarahan, ada kebencian, itukah jalan yang antum bukakan untuk saya, jalan neraka? –‘Afwan. Akhifillah, Surat ini seolah menempatkan antum sebagai tertuduh. Saya sama sekali tidak bermaksud demikian. Kalau antum mahu cara seperti itu, silakan. Afwan, tapi bukan saya orangnya. Jangan antum kira kecantikan lahir telah menjadikan saya merasa memiliki segalanya. Jesteru, kini saya merasa iri pada saudari saya. Ia begitu sederhana. Tapi akhlaknya bak lantera yang menerangi langkah-langkahnya. Ia jauh dari fitnah. Sementara itu, apa yang saya punyai sangat jauh nilainya. Saya bimbang apabila suatu saat ia berhasil mendapatkan Abdullah Azzam impiannya, sedangkan saya tidak.
Akhifillah, ‘Afwan kalau saya menimbulkan fitnah bagi antum. Insya Allah saya akan lebih memperbaiki diri. Mungkin semua ini sebagai peringatan Allah bahwa masih banyak amalan saya yang riya’ maupun tidak ikhlas. Wallahua’lam. Simpan saja cinta antum untuk isteri yang telah dipilihkan Allah. Penuhilah impian ratusan akhwat, ribuan ummat yang mendambakan Abdullah Azzam dan Izzuddin al-Qassam yang lain. Penuhilah harapan Islam yang ingin generasi tangguh seperti Imaad Aql. Insya Allah antum akan mendapat pasangan yang bakal membawa hingga ke pintu jannah.
Akhifillah, Malam bertambah-dan bertambah larut. Mari kita shalat malam dan memandikan wajah serta mata kita dengan air mata. Mari kita sucikan hati dengan taubat nasuha. Pesan saya, siapkan diri antum menjadi mujahid. Insya Allah, akan ada ratusan Asma dan Aisyah yang akan menyambut uluran tangan antum untuk berjihad bersama-sama.
Salam dari ukhtukum fillah.
-------------------------------------------------------------
Diperoleh dari milis
Pada mulanya cinta adalah gagasan tentang bagaimana membahagiakan dan menumbuhkan orang lain. Selanjutnya cinta adalah kemauan baik yang menjembatani gagasan itu menuju alam kenyataan. Sisanya adalah kemampuan. Cinta yang hanya berkembang dibatas gagasan dan kemauan baik akan tampak seperti pohon rindang yang tidak berubah.
Bagian cinta yang pertama dan kedua, gagasan dan kemauan baik, biasanya terbentuk dari serangkaian penghayatan akan nilai-nilai luhur kemanusian dan keagamaan tentang kehidupan dan hubungan antar manusia didalamnya, hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan alam. Sedalam apa penghayatan itu dalam diri seorang pecinta sedalam itu pula sumber energi cinta yangada dalam dirinya.
Tapi bagian ketiga dari cinta, kemampuan, memerlukan latihan dan proses pembelajaran. Kalau kita mau memberi, kita harus belajar dan berlatih bagaimana memiliki. Kalau kita mau memperhatikan orang yang kita cintai, kita harus belajar dan berlatih bagaimana bertumbuh sendiri terlebih dahulu. Begitu seterusnya: memberi, memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi mengharuskan kita memiliki kemampuan pribadi untuk melakukan tindakan-tindakan produktif.
Membangun kemampuan mencintai berarti membangun kemampuan produktif dalam diri kita. Menjadi seorang pecinta sejati berarti menjadi seorang produktif yang selalu berorientasi bukan saja pada proses, tapi juga terutama hasil akhir. Produktivitas adalah indikator kematangan seorang pecinta. Seorang pecinta yang tidak produktif adalah pohon rindang yang tidak berubah.
Ini sisi cinta yang paling rasional dan paling produktif: belajar dan berlatih untuk menjadi produktif. Ini bukan pelajaran tentang bagaimana menguntai kata-kata cinta. Atau tentang teknik-teknik merawat cinta kasih. Ini pelajaran tentang bagaimana kita mengembangkan diri kita menjadi kemampuan-kemampuan baru, mengarahkan semua kemampuan baru itu menjadi sumber produktif.
Mencintai dengan semua siklusnya adalah kerja dari dalam keluar. Seorang pecinta sejati adalah seorang yang mampu keluar dari dirinya sendiri menuju orang lain. Tapi jauh sebelum seseorang mampu keluar dari dirinya sendiri, ia harus masuk kedalam dirinya sendiri. Sedalam mungkin. Karna dari kedalaman itulah ia bisa keluar sejauh mungkin. Pelajaran cinta adalah pelajaran tentang bagaimana kita masuk kedalam diri sendiri untuk kemudian keluar dengan cara yang lain. Ini latihan untuk menjadi lebih baik untuk kemudian menjadikan orang lain lebih baik . Dan akhirnya, ini adalah pelajaran tentang bagaimana mengubah kehidupan kita menjadi taman yang lebih indah dipandang dan lebih nyaman dihuni. Karena disana kita bertumbuh. Karena dalam pertumbuhan itu kita berbahagia.
[Sebelumnya]
[Sebelumnya]
Tiga komandan pasukan dalam Perang Mu’tah itu berguguran sebagai syuhada. Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Pasukan Muslim yang berjumlah sekitar 3000 orang memang tampak tidak seimbang ketika harus berhadapan dengan 200.000 orang dari Pasukan Romawi yang dipimpin langsung oleh raja mereka, Heraclius.
Kelihatannya, Rasulullah saw. sudah meramalkan kejadian itu. Maka, beliau berpesan kepada pasukan ini, apabila ketiga komandan mereka gugur, maka mereka harus memilih seorang komandan baru di antara mereka. Dan yang dipilih oleh kaum muslimin ketika itu adalah Khalid bin Walid.
Akan tetapi, apakah yang kemudian dilakukan Khalid bin Walid? Beliau malah menarik mundur pasukannya ke Madinah. Penduduk Madinah tidak dapat memahami strategi ini. Maka, anak-anak mereka melempari Pasukan Khalid, karena menganggap mereka pengecut dan meninggalkan peperangan. Namun, Rasulullah saw. justru memberi gelar kepada Khalid sebagai ”Saefullah Al-Maslul” (Pedang Allah yang Senantiasa Terhunus).
Secara gemilang, Khalid telah berhasil menyelamatkan banyak nyawa para sahabat dari sebuah pertempuran yang tidak seimbang. Ini bukan sekedar sebuah pertempuran, tetapi sebuah peperangan. Masih ada medan lain yang akan mempertemukan mereka dengan Pasukan Romawi. Hanya lima tahun setelah itu, Khalid bin Walid membuktikan sabda sang Nabi dalam Perang Yarmuk.
Sukses dalam Perang Yarmuk adalah puncak dari sukses-sukses kecil yang diraih Khalid sebelumnya. Dialah ujung tombak pembebasan Mekkah, komandan Perang Riddah, dan pembuka pintu pembebasan Persi. Maka, begitulah kenyataan ini menjadi kaidah kepahlawanan, bahwa kesuksesan besar sesungguhnya merupakan kumpulan dari kesuksesan-kesuksesan kecil, yang dirakit perlahan-lahan, dalam rentang waktu yang panjang.
Sukses besar, dalam sejarah hidup seorang pahlawan di mana ia mencapai puncak, lebih mirip sebuah pendakian. Tidak semua orang sampai ke puncak. Namun, semua yang sampai ke puncak harus memulai langkah pertamanya dari kaki gunung. Ini kaidah yang terjadi dalam semua medan kepahlawanan.
Imam Syafi’i menulis banyak buku. Namun, prestasi ilmiahnya yang paling gemilang adalah temuannya atas ilmu Ushul Fiqh. Ibnu Taimiyah menulis banyak buku, tetapi kumpulan fatwanyalah yang paling monumental. Dr. Yusuf Al-Qardhawi menulis banyak buku, tetapi mungkin buku Fiqh Zakat yang paling prestisius. Sayyid Qutb menulis banyak buku, tetapi Fii Dzilalil Qur’an yang paling abadi.
Apa yang perlu kita ketahui adalah proses perjalanan dari sukses kecil ke sukses besar. Secara psikologis, sukses-sukses kecil itu membangun dan memperkokoh rasa percaya diri para pahlawan. Akan tetapi, dalam proses kreativitas, sukses-sukses kecil itu memberi mereka inspirasi untuk memunculkan karya yang lebih besar. Ibnul Qayyim benar ketika beliau mengatakan, “Setiap kebaikan yang kita lakukan akan mengajak saudara-saudaranya yang lain.”
[Sebelumnya]
[Sebelumnya]
Datanglah kepada teks dengan pikiran dan jiwa yang kosong. Itulah jalannya. Jika keangkuhan adalah kendalanya, maka jauh sebelum manusia mendatangi teks mereka harus terlebih dahulu belajar tentang kerendahan hati. Hanya dengan begitu teks akan menemukan tempatnya yang terhormat dalam jiwa kita. Dan hanya ketika ia menjadi terhormat maka ia akan dipandang secara utuh dan apa adanya.
Kerendahan hati sejatinya merupakan penampakan akhir dari iman. Sebab iman melahirkan pengakuan. Pengakuan membuahkan kepasrahan. Kepasrahan menampak dalam ketundukan. Ketundukan mengejawantah dalam kerendahan hati. Jadi kita menerima keabsahan teks dan keabsahan pembawa teks, kita menyiapkan jiwa kita untuk menerima semua makna yang mencerahkan kebenaran di balik teks tersebut.
Kerendahan hati itu dimanifestasikan dengan melepaskan teks berbicara apa adanya, membiarkan teks menampakkan diri dan maknanya tanpa berusaha membuat plot pada makna tertentu yang kita inginkan. Kita harus belajar melepaskan teks mengalir dalam akal dan jiwa kita seperti air mengaliri sungai, mengikuti arusnya, merasakan derasnya, mendengarkan bunyinya, menikmati gelombangnya, menatap beningnya, melepas pandang pada riaknya yang mungkin menyembunyikan gelora dari permukaan.
Kerendahan hati itu dimanifestasikan dengan membebaskan diri dari apa yang oleh Sayyid Qutb disebut sebagai muqorrarat fikriyah saabiqah atau pikiran-pikiran lama yang sebelumnya kita yakini secara aksiomatik. Karena pikiran-pikiran terlalu sering menjadi preferensi kita dalam memaknai teks. Padahal belum tentu teks tersebut terhubung kesana. Itu membuat teks masuk dalam perangkap pemaknaan kita yang sempit dan menghilangkan begitu banyak kemungkinan makna yang terkandung dalam teks tersebut.
Walaupun makna teks yang kita pahami kemudian tetap merupakan kebenaran subjektif, adalah penting untuk menyadari sejak awal bahawa karena iman merupakan pilihan keyakinan yang subjektif, maka kebenaran subjektif itu juga merupakan bagian dari proses penyatuan kita dengan teks yang tidak perlu dipertentangkan dengan keharusan menyisakan ruang bagi pemaknaan yang lain atas teks.
Masalahnya tidaklah terletak pada kemungkinan pemaknaan yang beragam. Sebab teksnya sendiri membuka ruang itu. Intinya adalah pada kerendahan hati yang membebaskan kita dari semua pretense pemaknaan yang memungkinkan teks lebih bebas dan lepas menampakkan diri bersama makna-maknanya secara apa adanya.
Setiap manusia merindukan kebahagiaan. Tidak ada kebahagian kecuali masuk surga. Dan Allah swt. telah memastikan di dalam Al-Qur’an bahwa di akhirat hanya ada dua pilihan: surga arau neraka. Dan sudah maklum bahwa surga adalah tempat kebahagiaan abadi, sebagaimana juga maklum bahwa neraka adalah tempat kesengsaraan abadi. Berdasarkan ini jelas bahwa setiap manusia sebenarnya bercita-cita mendapatkan surga. Apapun istilahnya, diakui atau tidak, surga tetap menjadi dambaan setiap insan. Silahkan anda tanyakan kepada pemeluk-pemluk agama lain tentang konsep kebahagiaan yang mereka rindukan, mereka akan segera menjawab bahwa mereka mencitakan surga, sekalipun dengan istilah yang berbeda.
Di dalam Islam, Allah swt. sangat jelas menggariskan jalan ke surga. Iman adalah pondasi, dan ibadah adalah bangunan. Gabungan keduanya adalah jalan ke surga. Siapa yang beribadah tanpa iman, tidak akan sampai ke surga. Begitu juga sebaliknya. Di antara ibadah utama dalam Islam adalah puasa Ramadhan. Ramadhan adalah sebuah kesempatan emas bagi setiap insan-insan beriman untuk mendekatkan diri kepada Allah, Tuhannya. Siapa yang mengabaikannya ia akan menyesal seumur hidupnya. Ramadhan ibarat kepompong bagi ulat, maka ulat yang berhasil menekuni kesunyiannya dalam kepompong ia kelak akan terbang menjadi kupu-kupu. Ramadhan adalah pom bensin bagi setiap musafir yang hendak bepergian jauh. Maka siapa yang mengisi bensin dengan penuh, ia akan merasa aman dalam perjalanan. Ramadhan adalah universitas, di dalamnya seorang muslim benar-benar membina diri. Bila ia benar-benar sukses mengikuti segala rangkaian ibadah di dalamnya maka ia terjamin istiqomah seumur hidupnya. Dari keistiqomahan inilah ia akan terhantar kelak ke surga.
Ada tiga macam manusia dalam menjalani Ramadhan:
- Seorang yang menganggap Ramadhan sama dengan hari-hari biasa. Bedanya hanya ia berpuasa menahan lapar dan haus di siang hari. Sementara akhlaknya tetap bejat. Ibadah lainnya tidak ditegakkan. Contohnya, banyak orang yang berpuasa sekalipun ia tidak pernah shalat. Bahkan juga banyak orang yang siang harinya berpuasa sementara malamnya berbuat dosa besar. Orang seperti ini tergolong yang disebutkan dalam hadits: “Tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan haus.” Dengan kata lain, secara fikih puasa orang ini sah tetapi tidak ada pahalanya, karena digerogoti oleh dosa-dosanya.
- Seorang yang memang tidak memiliki kebanggaan sama sekali dengan Ramadhan. Dan tidak punya niat sama sekali untuk melaksanakan puasa di dalamnya. Maka selama Ramadhan ia tidak pernah berpuasa. Bukan hanya itu, ibadah-ibadah wajib lainnya juga diabaikan. Namanya saja ia seorang muslim, sementara hakikatnya tidak mencerminkan sebagai seorang muslim. Dalam istilah popular, orang seperti ini dikenal sebagai muslim KTP. Di manakah tempat mereka kelak di alam akhirat? Di surga atau di neraka? Allah yang Maha Tahu. Jika memang di dalam hatinya tidak ada iman sama sekali, maka selamanya ia masuk neraka. Sebaliknya jika masih ada iman sekalipun sebasar dzarrah di dalam hatinya, maka ia akan diangkat dari api neraka setelah dibakar sesuai dengan dosanya.
- Seorang yang menyadari makna kehambaannya kepada Allah. Dan menyadari bahwa Ramadhan adalah tamu agung yang datang untuk membuka kesempatan berharga untuk meningkatkan iman. Maka dengan datangnya Ramadhan ia benar-benar bersiap-siap menyambutnya. Lalu selama Ramadhan ia benar-benar mengisi semua waktu dengan kebaikan dan ketaatan. Lalu setelah Ramadhan, ia tetap istiqomah menjalankan ibadah seperti dalam kondisi Ramadhan. Orang seperti ini adalah benar-benar mengikuti jejak Rasulullah saw. Inilah sebenarnya yang dimaksud dengan ungkapan meneladani Rasulullah dalam Ramadhan.
Alumni Ramadhan adalam pribadi muslim sejati. Muslim yang tidak hanya mengamalkan Islam di Ramadhan saja, tetapi ia mengamalkannya selama hidup. Alumni Ramadhan tidak kenal Islam musiman. Maksdunya semangat mengamalkan Islam di musim haji saja, di bulan Ramadhan saja dan lain sebagainya. Melainkan ia benar-benar muslim sepanjang masa dan di mana saja. Sampai ia kembali menghadap Allah swt. Inilah sebenarnya ajaran Islam seperti yang diwahyukan kepada Rasulullah saw. Yaitu Islam universal dan komprehensif. Bukan Islam tradisi atau Islam versi golongan tertentu. Kita kini sangat membutuhkan hadirnya Islam yang murni, seperti yang diwahyukan kepada Nabi saw. dan seperti yang dipahami oleh para sahabat. Yaitu Islam yang mencakup semua kehidupan bukan Islam parsial. Sebab hanya dengan pemahaman yang lengkap inilah, umat Islam pertama bangkit memimpin dunia, begitu juga hanya dengan pemahaman yang lengkap inilah, umat Islam kelak akan bangkit kembali dan menjadi pioner keselamatan bagi kemanusiaan di seluruh alam. Wallahu a’lam bishshawab.
Sumber : Dakwatuna
Sumber : Dakwatuna
Chemistry yang biasanya mempengaruhi hubungan cinta antara laki-laki dan wanita sebenarnya hanya menegaskan satu fakta: ketika cinta yang genuine bertemu dengan motif lain dalam diri manusia, dalam hal ini hasrat atau syahwat biologis, hubungan cinta antara laki-laki dan wanita memasuki wilayah yang sangat rumit dan kompleks. Banyak fakta yang tidak bisa di pahami dalam perspektif norma cinta yang lazim. Lebih banyak lagi kejutan yang lahir di ruang ketidakterdugaan. Namun itu tidak menghalangi kita menemukan fakta yang lebih besar: bahwa dengan memandang itu sebagai pengecualian-pengecualian, seperti dalam kasus Muawiyah bin Abi sufyan dengan gadis badui yang tidak dapat mencintainya, kakeatan cinta sesungguhnya tetap dan selalu mengejawantah pada kematangan kepribadian kita. Misalnya antara Utsman bin Affan dan istrinya, Naila.
Para pecinta sejati tidak memancarkan pesonanya dari ketampanan atau kecantikannya, atau kekuasaan dan kekayaannya, atau popularitas dan pengaruhnya. Pesona mereka memancar dari kematangan mereka. Mereka mencintai maka mereka memberi. Mereka kuat. Tetapi kekuatan mereka menjadi sumber keteduhan jiwa orang-orang yang dicintainya. Mereka berisi, dan sangat independen. Tapi mereka tetap merasa membutuhkan orang lain, dan percaya bahwa hanya melalui mereka ia bisa bertumbuh dan bahwa pada orang-orang itulah pemberian mereka menemukan konteksnya. Kebutuhan mereka pada lain bukan sebentuk ketergantungan. Tapi lahir dari kesadaran mendalam tentang keterbatasan manusia an keniscayaan independensi manusia.
Pesona inilah yang dipancarkan Khadijah pada Muhammad. Maka selisih umur tidak sanggup menghalangi pesona Khadijah menembus jiwa Muhammad. Pesona kematangan itu pula yang membuat beliau enggan menikah lagi bahkan setelah Khadijah wafat. “Siapa lagi yang bisa menggantikan Khadijah?”, tana Rasulullah saw. Tapi bisakah kita membayangkan pertemuan dua pesona kecantika serta pesona kecerdasan? Pesona itulah yang dimiliki Aisyah: muda, cantik, innocent, cerdas dan matang dini. Dahsyat, pasti! Pesonanya pesona. Dalam chemistery ini tidak ada pengecualian Muawiyah. Disini semua pesona menyatu padu: seperti goresan pelangi dilangit kehidupan sang Nabi. Dua perempuan terhormat dari suku Quraisy itu mengisi kehidupan pribadi sang Nabi pada dua babak yang berbeda. Khadijah hadir pada periode paling sulit di Mekah. Aisyah hadir pada periode pertumbuhan yang pertumbuhan yang rumit di Madinah. Khadijah mengawali kehidupan kenabiannya. Tapi dp pangkuan Aisyahlah ia menghembuskan nafas terakhirnya setelah menyelesaikan misi kenabiannya.
Dalam jiwa Sang Nabi ada dua cinta yang berbeda pada kedua perempuan terhormat itu. Ketika beliau ditanya tentang orang yang paling ia cintai, ia menjawab: Aisyah! Tapi ketika beliau ditanya tentang cintanya pada Khadijah, ia menjawab: “cinta itu dikaruniakan Allah padaku.” cintanya pada Aisyah adalah bauran dari pesona kematangan dan kecantikan yang melahirkan syahwat. Maka Ummu Salamah berkata, “Rasulullah saw tidak bisa “menahan” dirinya untuk bertemu Aisyah.” tapi cintanya pada Khadijah adalah jawaban jiwa pesona kematangan Khadijah: cinta itu dikirim Allah melalui kematangan Khadijah.
[Sebelumnya]
[Sebelumnya]
Andai kau tahu ini Ramadhan terakhir
tentu siangnya engkau sibuk berzikir
tentu engkau tak akan jemu melagukan syair rindu
mendayu..merayu. ..kepada-Nya, Tuhan yang satu
Andai kau tahu ini Ramadhan terakhir
tentu sholatmu kau kerjakan di awal waktu
sholat yang dikerjakan.. .sungguh khusyuk lagi tawadhu'
tubuh dan qalbu...bersatu memperhamba diri
menghadap Rabbul Jalil... menangisi kecurangan janji
"innasolati wanusuki wamahyaya wamamati lillahirabbil 'alamin"
[sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku...
kuserahkan hanya kepada Allah Tuhan seru sekalian alam]
Andai kau tahu ini Ramadhan terakhir
tidak akan kau sia siakan walau sesaat yang berlalu
setiap masa tak akan dibiarkan begitu saja
di setiap kesempatan juga masa yang terluang
alunan Al-Quran bakal kau dendang...bakal kau syairkan
Andai kau tahu ini Ramadhan terakhir
tentu malammu engkau sibukkan dengan
bertarawih...berqiyamul lail...bertahajjud...
mengadu...merintih. ..meminta belas kasih
"sesungguhnya aku tidak layak untuk ke syurga-Mu
tapi...aku juga tidak sanggup untuk ke neraka-Mu"
Andai kau tahu ini Ramadhan terakhir
tentu dirimu tak akan melupakan mereka yang tersayang
mari kita meriahkan Ramadhan
kita buru...kita cari...suatu malam idaman
yang lebih baik dari seribu bulan
Andai kau tahu ini Ramadhan terakhir
tentu engkau bakal menyediakan lahir dan batin
mempersiap diri...rohani dan jasmani
menanti-nanti jemputan Izrail
di kiri dan kanan ...lorong-lorong ridha Ar-Rahman
Duhai Ilahi....
andai ini Ramadhan terakhir buat kami
jadikanlah ia Ramadhan paling berarti...paling berseri...
menerangi kegelapan hati kami
menyeru ke jalan menuju ridho serta kasih sayang-Mu Ya Ilahi
semoga bakal mewarnai kehidupan kami di sana nanti
Namun teman...
tak akan ada manusia yang bakal mengetahui
apakah Ramadhan ini merupakan yang terakhir kali bagi dirinya
yang mampu bagi seorang hamba itu hanyalah
berusaha...bersedia ...meminta belas-Nya
Wahai Tuhanku tak layak kesyurga-Mu ...
namun tak pula aku sanggup ke neraka-Mu ...
kamilah hamba yang mengharap belas kasih dari-Mu
"Ya Allah jadikan lah kami hamba-hamba-Mu yang bertaqwa..
ampunkan dosa-dosa kami, kedua ibu bapak kami,
dosa semua umat-umat Islam yang masih hidup
maupun yang telah meninggal dunia"
Amin.....
Sumber : FBnya Fathur IzzIs
Kemanjaan. Itu sifat yang natural yang banyak ditemukan dalam kehidupan pribadi pahlawan mukmin sejati. Akan tetapi, itu berbeda dengan sifat melankolik, semacam kelemahan emosional yang membuat seorang pahlawan terkalahkan oleh dorongan-dorongan emosinya, seperti cinta dan benci, yang setiap saat dapat mengalihkan arah hidupnya. Di sini, cinta itu tidak menjadi sumber energi jiwa, tetapi berubah menjadi beban yang boleh jadi dapat mencabut karunia kepahlawanan yang telah disiapkan untuknya.
Tampaknya inilah rahasia besar dibalik peringatan Allah swt. dalam Al-Qur’an, bahwa istri, anak-anak, orang tua, atau siapa saja yang kita cintai, setiap saat dapat menjadi musuh bagi kita. Mungkin, bukan dalam bentuk permusuhan langsung, tetapi bisa juga dalam bentuk cinta yang berlebihan, yang berkembang sedemikian rupa menjadi ketergantungan jiwa.
Cinta seperti itu pasti tidak akan menjadi sumber energi dan kekuatan jiwa. Kecantikan sang istri akan berubah menjadi ancaman yang membuat kita ngeri membayangkan perpisahan. Tidak akan pernah ada karya besar yang lahir dari jiwa yang tergantung pada emosi-emosinya sendiri, yang takluk pada perasaan-perasaannya sendiri, walaupun itu bernama cinta.
Itulah sebabnya Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah menyuruh anaknya, Abdullah, menceraikan istrinya. Itu karena beliau melihat bahwa anaknya terlalu mencintai istrinya, dan cintanya telah berubah menjadi semacam ketergantungan. Ketergantungan itu membuatny takut berpisah dengan istrinya, bahkan walau untuk sekedar melakukan shalat jamaah di masjid. Umar bin Khattab juga pernah menyuruh anaknya, Abdullah bin Umar, yang notabene merupakan satu dari tujuh ulama besar di kalangan sahabat, untuk menceraikan istrinya, dalam kasus yang sama.
Cinta adalah sumber kekuatan jiwa yang dahsyat. Akan tetapi, ketergantungan adalah kelemahan jiwa yang fatal, yang dalam banyak hal merupakan sumber kehancuran. Ada banyak pahlawan yang kehilangan momentum kepahlawanannya karena kelemahan jiwa ini.
Maka, para pahlawan mukmin sejati selalu menanamkan sebuah tradisi dalam dirinya: ”Jagalah jarak tertentu terhadap siapa pun yang engkau cintai. Sebab, kita tidak akan selalu bersamanya setiap saat. Takdir mungkin memisahkan kita dengan orang-orang yang kita cintai setiap saat. Namun, perjalanan menuju kepahlawanan tidak boleh berhenti.”
Tradisi itu membuat para pahlawan mukmin sejati selalu mengontrol pergerakan emosinya secara ketat. Mereka harus dapat mendeteksi secara dini kapan saatnya cinta menjelma menjadi ketergantungan yang fatal. Suatu saat Imam Syahid Hasan Al-Banna meninggalkan anaknya yang sedang sakit parah, atau mungkin sekarat untuk sebuah acara dakwah. Istrinya telah mendesaknya untuk meninggalkan acara tersebut demi anaknya. Namun ia tetap pergi sembari berkata, ”Saya tidak akan pernah sanggup menyelamatkan anak ini, walaupun saya tetap berada di sisinya.” Toh anak itu masih tetap hidup hingga kini.
Mungkin ini bukan kasus yang dapat digeneralisasi. Namun, para pahlawan mukmin sejati selalu dapat menangkap jenak-jenak yang rumit ketika ia akan mengukir legenda kepahlawanannya.
[Sebelumnya]
Orang-orang Quraisy (Makkah) mencoba cara yang lain dalam menghentikan dakwah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam, yaitu sebuah cara yang terkumpul di dalamnya Targhieb (iming-iming) dan Tarhieb (ancaman). Diutuslah seorang utusan kepada beliau untuk menawarkan dunia yang beliau kehendaki (sebagai ganti kesediaan beliau meninggalkan dakwah Islamiyah), dan diutus pula seorang utusan kepada paman¬nya yang selalu melindungi rasulullah dan dakwahnya untuk memberi peri¬ngatan kepadanya agar melepas pembelaannya dan jaminan pertolongannya kepada keponakannya yaitu Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam, dan meminta¬nya agar menghentikan Muhammad dan agamanya.
Pada suatu hari para tokoh (pembesar) Quraisy mendatangi Abu Thalib, mereka berkata kepadanya: Wahai Abu Thalib, engkau adalah orang yang kami tokohkan, dan engkau memiliki kemuliaan dan kedudukan di kaum kami, kami telah memintamu agar engkau melarang keponakanmu tetapi engkau tidak melarangnya, demi Allah Subhanahu wa Ta'ala, kami tidak sabar atas hal ini; nenek moyang kami dicela, kaum cerdik kami dibodohkan, dan tuhan-tuhan kami dicemoohkan. Engkau lakukan permintaan kami, ataukah kami yang akan mencegah perbuatan keponakanmu itu, atau bahkan kami umumkan perang sedang engkau masih tetap dalam kebisuanmu (tidak mau bertindak), hingga salah satu dari dua kubu itu menemui kehancuran.
Ancaman dan peringatan keras dari tokoh-tokoh Quraisy ini terasa berat membebani benak Abu Thalib, dia masih keberatan jika berpisah dengan kaumnya dan bermusuhan dengan mereka, sedang¬kan dia juga tidak mau menyerahkan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam keponakannya kepada mereka, dan dia juga tidak rela jika keponakannya dihinakan dan direndahkan. Akhirnya dia menemui Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam, lalu berkata kepadanya: "Wahai keponakanku, sesungguhnya kaummu telah menda¬tangiku dan memberitahukan kepadaku tentang hal ini dan itu, juga meminta kepadaku agar aku berbuat ini dan itu, maka sekarang cukuplah kita dengan apa yang selama ini aku dan dirimu meyakininya. Janganlah engkau membebaniku dengan perkara yang aku tidak kuat memikulnya begitu juga engkau, maka tariklah perkataanmu tentang kaummu yang mana hal itu sangat dibenci oleh mereka".
Tetapi Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam tetap kokoh di atas dakwahnya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tidak sedikitpun dipengaruhi oleh celaan orang yang mencela, karena beliau di atas kebenaran, dan beliau tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala akan meno¬long agama-Nya dan meninggikan agama-Nya.
Maka tatkala Abu Thalib melihat keteguhan keponakannya yang begitu kokoh, dan dia telah putus asa membujuknya agar memenuhi permintaan kaum Quraisy untuk meninggalkan dakwahnya mengajak manusia kepada tauhid, dia berkata: "Demi Allah, tidak akan mengenaimu makar-makar mereka hingga aku tertimbun tanah dan rata dengan debu. Maka teruskanlah urusan dakwahmu jangan sedikitpun merasa rendah diri. Berilah kabar gembira dan sejukkan dengan beritamu itu beberapa pandangan mata."