Dua alam ciptaan Allah, alam dunia dan alam akhirat, mutlak berbeda dalam karakteristik dan esensi wujudnya. Walaupun begitu setiap manusia pasti memasuki dan bergumul di dalamnya. Tak seorang pun dapat menghindar dari keberadaan di dalam alam dunia dan alam akhirat.
Oleh karena kedua alam, baik secara realitas sejatinya ataupun karakteristiknya berbeda, setiap manusia diberikan potensi untuk dapat menyempurnakan eksistensi dirinya di dalam kedua alam tersebut sehingga dapat meraih puncak kesempurnaannya. Meskipun pada kenyataannya sebagian besar manusia justru mengalami kegagalan sebelum merealisasikan kesempurnaannya secara utuh.
Alam dunia, dengan segala watak dan karakteristiknya, adalah sebuah perjalanan sedangkan alam akhirat adalah persinggahan terakhir kita, kampung halaman, dan rumah kita yang abadi.
Oleh karena itu meskipun kita dilahirkan di dunia, dan dunia menjadi tempat tinggal kita sekarang ini, namun realitas sejatinya, setidak-tidaknya secara spiritual, sedang berjalan jauh menuju tempat kembali hakiki kita, alam keabadian, alam akhirat. Di sanalah kita akan dihadapkan kepada berbagai peristiwa eskatologis yang belum pernah kita jumpai selama hayat kita.
Di tempat kembali itu masing-masing individu benar-benar akan merasakan sebagai makhluk moral yang harus mempertanggungjawabkan seluruh sepak terjang kita selama di dunia.
Di sana pula akan terbukti jati diri kita yang sebenarnya, menjadi individu yang sejatinya terhormat mencapai kebaikan tertinggi atau bahkan menjadi hina dina terjerembab ke dalam lumpur keburukan.
Allah Swt telah menunjuki manusia jalan agar dapat mencapai tempatnya yang layak dalam penciptaan, di surga-Nya. Sebagai manusia bahkan kita diperintahkan agar menempuh jalan-Nya meskipun harus berjalan mendaki lagi sukar.
Tidak sepatutnya di dunia yang fana ini menjadi tumpuan hidup. Tidak sepatutnya pula kita bermegah-megah karena tunduk kepada pesonanya dan tidak menjadikannya sebagai medan perjuangan untuk menghimpun aset untuk kembali ke rumah asalnya. ”Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?” (QS, al-Balad [90]: 11).
Bukan harta yang akan menjadi aset kehidupan akhirat kita. Bisa jadi harta menjadi simbol kemuliaan dunia. Akan tetapi di balik simbol itu ada nilai tanggungjawab moral yang harus ditunaikan.
Dalam satu riwayat dikatakan, Nabi Muhammad Saw bersabda, “Kemuliaan umur dan waktu lebih bernilai dibandingkan dengan kemuliaan harta.” Bahkan harta bisa memperbudak orang yang mencintainya. Orang yang menjadikan kekayaan harta benda sebagai standar keagungan seseorang akan membenci kematian.
Padahal kematian itu adalah pintu pertemuan dengan Allah Swt yang pasti akan diketuk oleh setiap manusia. Bahkan karena cintanya kepada harta ia tidak rela berpisah darinya.
Oleh sebab itu orang-orang berakal mencela dan merendahkan orang yang serakah dalam mengumpulkan harta. Sebaliknya mereka sepakat untuk mengagungkan orang yang bersikap zuhud terhadap harta, tidak mau menumpuk-numpuknya, dan tidak menjadikan dirinya sebagai budak harta.
Oleh sebab itu orang-orang berakal mencela dan merendahkan orang yang serakah dalam mengumpulkan harta. Sebaliknya mereka sepakat untuk mengagungkan orang yang bersikap zuhud terhadap harta, tidak mau menumpuk-numpuknya, dan tidak menjadikan dirinya sebagai budak harta.
Padahal Allah menjelaskan bahwa amal salih kitalah aset sejati bagi kehidupan di akhirat nanti. Amal shalih pula yang menjadi kendaraan perjalanan jauh kita menuju haribaan-Nya. Setiap perjalanan, lebih-lebih perjalanan jauh dan menentukan, memerlukan kendaraan dan bekal.
Oleh sebab hakikat hidup di dunia adalah sebuah perjalanan jauh menuju alam akhirat dan medan perjuangan meraih kebahagiaan sejati, maka kita harus mampu melintasi segala rintangan yang mungkin terhampar di tengah jalan.
Rasulullah Saw mengingatkan, ”Jalan menuju surga itu dipenuhi dengan hal-hal yang tidak diisukai, sedangkan jalan menuju neraka dipenuhi dengan berbagai kenikmatan syahwati.” (HR, Muslim)
Sumber : Eramuslim
Selain doa dan ikhtiar, ada amalan lain yang juga bisa mengantarkan proses 'perubahan takdir'. Amalan itu adalah amalan hati, yaitu selalu berbaik sangka (husnuzhan) dengan semua keputusan Allah SWT. Berbaik sangka merupakan produk dari olahan kekuatan iman. Tidak mungkin seseorang memiliki kemuliaan akhlak berupa husnuzhan, jika tidak yakin dengan segala sesuatu yang sudah diputuskan Allah.
Seseorang yang mengaku beriman sadar benar bahwa dari setiap peristiwa maka Allah telah mentransformasikan mutiara hikmah untuk manusia. Yakni, sesuatu yang berharga yang hilang milik orang beriman (al-Hikmatu zhalatul mu'minin). Artinya, kejadian yang menimpa kita, pasti ada kadar atau nilai berharga yang sudah dipersiapkan untuk kita. Namun, sementara ini belum ditemukan. Karena itulah, kata Imam Ali karramallahu wajhah, "Jika kita menemukannya, segeralah diambil; fain wajadaha akhadzaha."
Pertanyaannya, bagaimana bisa mengambil barang berharga itu, sementara kita sulit untuk mendeteksinya. Di sinilah peranan amalan hati, yaitu husnuzhan. Jika kita mempersangkakan bahwa ada banyak kebaikan yang telah Allah sediakan untuk kita dari takdir-Nya itu, akan benarlah persangkaan kita.
Karena itu, bagaimana rupa takdir kita ke depan, turut ditentukan dari persangkaan kita terhadap-Nya. Simak Hadis Qudsy berikut, Anaa 'inda zhanni 'abdi bih, wa Ana ma'aka idza da'awtani, "Aku mengikuti persangkaan hamba-Ku tentang Aku. Dan aku bersamamu jika memohon kepada-Ku."
Dengan demikian, husnuzhan bisa mengantarkan seseorang meraih apa yang diharapkan. Kalaulah saat ini kita sedang berduka karena kegagalan, bersegeralah husnuzhan bahwa akan ada kebaikan setelah kegagalan itu. Yakinlah bahwa takdir kita ke depan pasti dipenuhi dengan takdir kesuksesan. Tetaplah optimis. Selama hari masih menjelang, kesempatan meninggalkan kegelapan malam masih selalu terbuka. Dan, kita akan berada di jalur siang yang terang benderang.
Keberuntungan orang yang husnuzhan, tak hanya didapatkan di dunia ini, tapi juga di akhirat kelak. Rasul menyebut orang yang husnuzhan sebagai pemegang kunci surga. Dalam sebuah taklim di hadapan para sahabatnya, Rasul mengatakan bahwa sebentar lagi akan masuk seorang yang kelak akan memegang kunci surga. Semua sahabat terpana. Sampai seorang Umar bin Khattab 'iri' dengan penyematan istilah tersebut. Tidak lama kemudian masuklah orang yang dimaksud.
Orang ini penampilannya biasa-biasa saja. Tidak ada ciri khusus. Karena penasaran, Umar meminta izin untuk menginap di rumah orang tersebut. Tiga hari Umar RA menginap di rumah orang ini. Namun, dia tidak menemukan amalan khusus orang tersebut.
Ketika Umar bertanya, apa rahasianya. Orang itu menjawab, "Ibadah dan amalanku sebenarnya biasa saja, wahai Umar. Hanya selama hidupku, aku diajari oleh ibuku untuk tidak punya perasaan buruk sangka terhadap apa pun dan siapa pun. Barangkali itulah amalan yang dimaksud Rasulullah SAW."
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
Angin tergantung
terkecap pahitnya tembakau
bendungan keluh dan bencana
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan
Dengan tujuh lubang pelor
diketuk gerbang langit
dan menyala mentari muda
melepas kesumatnya
Gadis berjalan di subuh merah
dengan sayur-mayur di punggung
melihatnya pertama
Ia beri jeritan manis
dan duka daun wortel
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
Orang-orang kampung mengenalnya
anak janda berambut ombak
ditimba air bergantang-gantang
disiram atas tubuhnya
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan
Lewat gardu Belanda dengan berani
berlindung warna malam
sendiri masuk kota
ingin ikut ngubur ibunya..
Keikhlasan yang “naïf” Nabi Ibrahim yang rela ― demi melaksanakan perintah Allah ― meninggalkan istri dan bayinya di lembah yang tak bertanaman di dekat rumah Allah yang dihormati (Q.S Ibrahim : 37) menghasilkan bukan hanya urunan nasab yang konsisten, tetapi juga turunan fikrah yang militan.
Ummu Sulaim ibu Anas bin Malik yang begitu stabil emosinya dan begitu mendalam keikhlasannya menerima kematian bayinya, mendapat 100 anak dan cucu, semuanya telah hafal Al-Qur’an dalam usia sangat dini. Itu hasil hubungan yang penuh berkah ― ditingkahi do’a berkah Rasulullah saw. di malam yang sangat beralasan baginya untuk “meratapi” bayinya yang tiada. Demikian pula pengkhianatan istri Nabi Luth dan Nabi Nuh ― yang karenanya Allah menyebutnyadengan imra-ah (perempuan) bukan zaujah (istrinya) ― melahirkan generasi yang sangat berbeda.
Yang satu generasi sangat rabbani seperti Nabi Ismail as., yang cermin kepribadiannya membersit dalam ungkapan pekat nilai-nilai tauhid: “Ayahanda, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, akan kau temukan daku insyaAllah termasuk orang-orang yang sabar.” (Q.S 37 : 102)
Di seberang lain dengan pongahnya Yam bin Nuh berkata, saat ayahnya mengajak naik bahtera penyelamat, ”Aku akan berlindung ke gunung yang akan menyelamatkanku dari air bah.” (Q.S 11 : 43)
Di zaman ketika setiap serigala dengan mudah menyerbu masuk ke rumah-rumah yang tak lagi berpagar dan berpintu, siapa yang merasa aman dan mampu melindungi anak-anak fitrah dari terkamannya? Siapa yang tabah melindungi gelas bening dan kertas putih suci itu dari ancaman yang setiap waktu dapat memecah-hancurkan dan mencemari mereka? Siapa yang tak tergetar hatinya melihat cermin bening yang semestinya ia perhatikan betul raut wajahnya disana, seraya merintihkan desakan suara hatinya dalam sujud panjang di keheningan malam:
“Dan Kami telah berpesan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya mengandungnya dengan susah dan melahirkannya dengan susah. (Masa) hamil dan menyapihnya tiga puluh bulan. Sehingga ketika ia mencapai masa kuatnya dan mencapai usia empat puluh tahun ia berkata ; Ya Rabbi, ajarkan daku agar dapat mensyukuri nikmat yang Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dane beramal shalih yang Engkau ridhai serta perbaikilah untukku dalam keturunanku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu, dan aku termasuk kaum yang menyerahkan diri.”
Datang kepada teks dengan pikiran dan jiwa yang kosong. Itulah syarat untuk menyatu dengan teks. Tapi itu juga sumber masalah manusia dengan teks. Karena sebagian besar mereka datang untuk mendebat teks. Mereka mempertanyakan keabsahan teks, atau mempertanyakan kebenaran makna teks. Itulah perdebatan antara Rasulullah saw. Dengan manusia di zamannya. Itu pula yang selamanya akan menjadi perdebatan antara manusia dan Tuhan.
Mempertanyakan keabsahan teks adalah sumber permasalahan yang melahirkan kekufuran dan kemusyrikan. Sementara mempertanyakan kebenaran makna teks adalah akar problem kaum munafiqin. Tapi akar dari keduanya adalah keangkuhan intelektual. Meanusia cenderung mendatangi teks dengan angkuh sembari mengajukan dua pertanyaan. Pertama, benarkan ini teks Tuhan? Kedua, atas dasar apa seseorang bisa mengklaim diri sebagai pembawa teks dari Tuhan? Kedua pertanyaan inilah yang selamanya merintangi sebagian besar manusia untuk melihat cahaya kebenaran. Mereka mengingkari keabsahan teks dan keabsahan pembawa teks.
Itulah, misalnya, yang kita saksikan dalam peristiwa Isra Mi’raj. Pada tahun kesepuluh dari masa nubuwwah itu, perdebatan dengan teks mencapai puncaknya. Pengingkaran pada keabsahan teks dan pembawa teks menemukan momentumnya pada peristiwa yang sama sekali tidak masuk keabsahan pembawa teks. Itu sebabnya jawaban Abu Bakar menyatukan keduanya ketika beliau mengatakan: “Saya percaya kepada Muhammad (sebagai pembawa teks), maka saya percaya kepada semua yang ia katakan. Saya percaya bahwa ia membawa teks dari langit, maka saya percaya pada peristiwa yang ia ceritakan.”
Jika dengan rahmat Allah manusia berhasil melewati rintangan ini, lalu mereka bermigrasi dari kekufuran menuju keimanan, maka keangkuhan intelektual itu masih menyisakan satu rintangan besar bagi mereka. Yaitu kecenderungan untuk mempertanyakan makna teks. Ini terkait dengan otoritas intelektual untuk menafsirkan teks. Misalnya debat antara Nabi Musa dengan Bani Israel tentang sapi. Keangkuhan intelektual inilah yang kelak menjadi akar kemunafikan seseorang setelah ia beriman. Mempertanyakan keabsahan tafsir atas teks sebenarnya hanya merupakan tipuan jiwa untuk membenarkan mengapa mereka tidak harus melaksanakan teks itu.
Sikap jiwa yang begitu itulah yang dijelaskan dalam surat Al-Kahfi ayat 54: “Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam AL-Qur’an ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.”
Lelaki perlente itu tidak hanya dikenal sangat tampan, yang ketampanannya bahkan mengalahkan kecantikan wanita paling cantik. Ia juga lelaki paling berkuasa dan paling disegani di muka bumi ketika itu. Lelaki itu adalah khalifah pertama sekaligus pendiri khilafah Bani Umayyah.Di ibu kota khilafahnya, Damaskus, ia membangun sebuah istana megah. Ia punya selera. Semua yang ia miliki adalah mimpi-mimpi wanita. Namun itu lantas jadi ironi: kali ini cinta tersedak. Ia tergila-gila pada seorang gadis badui yang cantik dan innocent. Ia menikahinya. Lalu memboyongnya tinggal di istannya. Tapi ia gagal menerbitkan bahkan sebersitpun cinta dalam hati sang istri. Ketampanan, kemewahan dan kekuasaan Muawiyah tidak cukup memadai membangkitkan cinta dalam jiwanya. Ia bahkan tidak mengerti bagaimana menikmati kemewahan dalam istana sang suami. Setiap kali langkah kakinya menderap di sudut-sudut istana, ingatannya malah kembali ke dusunnya. Sebab disana ada seorang pemuda badui yang terus merindukannya.
Pada suatu malam yang sunyi, ketika purnama menghias langit malam, kesabarannya berakhir. Rindunya meledak dalam bait-bait syair yang ia senandungkan. Sayup-sayup Muawiyah mendengarnya. Ia terhenyak. Ia tahu bait-bait itu adalah sebuah deklarasi: aku tidak mencintaimu, aku tidak mencintaimu, aku ingin pulang, aku tidak bisa mencintaimu, aku ingin menikah dengan kekasihku! Muawiyah tersadar. Kekuasaan memungkinkan ia menikahi gadis badui itu dengan mudah. Tapi kekuasaan tidak dapat membantunya merebut cintanya. Gadis innocent itu adalah perempuan merdeka. Ia memilih untuk meninggalkan istana Muawiyah yang megah hanya untuk hidup bersama seorang pemuda dusun yang teramat sederhana. Dengan berat hati akhirnya Muawiyah menceraikan sang istri, seorang gadis lugu yang telah membuatnya tergila-gila.
Cinta secara umum adalah emosi kebajikan yang meledakkan semangat memberi dalam jiwa kita. Itu sebabnya kita selalu menjadi lebih baik ketika kita sedang jatuh cinta. Tapi ketika cinta dihadapkan pada objeknya, khususnya cinta antara laki-laki dan wanita, emosi kebajikan tetaplah emosi kebajikan, tapi dengan chamistry yang sangat unik. Dua emosi kebajikan belum tentu bisa bertaut secara kimiawi dengan mudah. Jauh sebelum cinta menjelma menjadi pertemuan dia fisik, ia terlebih dahulu bertaut di alam jiwa. Jika ada pertemuan fisik yang tidak didahului oleh pertemuan jiwa itu bukanlah cinta. Maka sepasang laki-laki dan wanita bisa melakukan hubungan seks tanpa cinta. Atau, pernikahan bisa berlangsung tanpa cinta. Sebagai manusia jiwa kita memiliki tabiat kimiawi yang sangat unik. Dan tidak bisa ditebak. Seorang perempuan lembut bisa jadi mencintai seorang laki-laki kasar, kerena kelembutan dan kekasaran adalah dua kutub jiwa yang bisa bertemu seperti air dan api: saling tergantung dan saling menggenapkan.
api keunikan jiwa itu sama sekali tidak mengurangi kadar kebenaran dari fakta bahwa cinta sebagai emosi kebajikan tetaplah harus mengejawantah pada semangat memberi, dan bahwa nilai kita di mata orang yang kita cintai tetaplah terletak pada kadar manfaat yang kita berikan padanya. Dan jika pada suatu hubungan cinta kita tidak memberi sesuatu pada yang kita cintai, sementara hubungan cinta itu tetap berlanjut, bahkan langgeng, percayalah, itu semata-mata karena kesabaran sang kekasih menyaksikan pencintanya mengkonsumsi kebajikannya setiap saat, atas nama cinta. Yang satu memberi atas nama cinta, yang lain menerima atas nama cinta. Ironis memang. Tapi faktanya ada. Bahkan mungkin banyak beredar di sekitar kita.
[Sebelumnya]
[Sebelumnya]
Jika kita hanya membaca biografi pahlawan, atau mendengar cerita kepahlawanan dari seseorang yang belum pernah kita lihat, barangkali imajinasi yang tersusun dalam benak kita tentang pahlawan itu akan berbeda dengan kenyataannya. Itu berlaku untuk lukisan fisiknya, juga untuk lukisan emosionalnya.
Abu hasan Ali Al-Halani Al-Nadwi, yang tinggal di anak Benua India, telah membaca tulisan-tulisan Sayyid Quthb, yang tinggal di Mesir. Tulisan–tulisannya memuat gagasan-gagasan yang kuat, solid, atraktif, berani dan terasa sangat keras. Barangkali bukan merupakan suatu kesalahan, bila dengan tanpa alasan kita membuat korelasi antara tulisan–tulisan itu dengan postur tubuh Sayyid Quthb. Penulisnya, seperti juga tulisannya, pastilah seorang laki–laki bertubuh kekar, tinggi dan besar. Itulah kesan yang terbentuk dalam benak Al-Nadwi. Akan tetapi, ketika ia berkunjung ke Mesir, ternyata ia menemukan seorang laki–laki dengan perawakan yang kurus, ceking dan jelas tidak kekar.
Begitu juga dengan potret emosi seorang pahlawan. Kadang–kadang, ketegaran dan keberanian para pahlawan membuat kita berpikir bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai sisi–sisi lain dalam dirinya, yang lebih mirip dengan sisi–sisi kepribadian orang–orang biasa. Misalnya, kebutuhan akan kemanjaan.
Umar bin khattab mengajar sesuatu yang lain ketika beliau mengatakan : "Jadilah engkau seperti seorang bocah didepan istrimu". Laki–laki dengan postur tubuh yang tinggi, besar, putih dan botak itu, yang dikenal keras, tegas, berani dan tegar, ternyata senang bersikap manja di depan istrinya.
Mungkin bukan cuma Umar. Sebab Rasulullah SAW, ternyata juga melakukan hal yang sama. Adalah Khadijah tempat ia kembali saat kecemasan dan ketakutan melandanya setelah menerima wahyu pertama. Maka kebesaran jiwa Khadijahlah yang senantiasa beliau kenang, dan yang memberikan tempat paling istimewa bagi perempuan itu dalam hatinya, bahkan setelah beliau menikahi seorang perawan. Akan tetapi, beliau juga sering berbaring dalam pangkuan Aisyah untuk disisiri rambutnya, bahkan ketika beliau sedang i'tikaf dibulan Ramadhan.
Itu mengajarkan kita sebuah kaidah; bahwa para pahlawan mukmin sejati telah menggunakan segenap energi jiwanya untuk dapat mengukir legenda kepahlawanannya. Namun, untuk itu mereka membutuhkan suplai energi kembali. Dan untuk sebagiannya, energi itu berasal dari kelembutan dan kebesaran jiwa sang istri.
Kemanjaan itu, dengan begitu, barangkali memang merupakan cara para pahlawan tersebut memenuhi kebutuhan jiwa mereka akan ketegaran, keberanian, ketegasan dan kerja–kerja emosi lainnya. Kepahlawanan membutuhkan energi jiwa yang dasyat, maka para pahlawan harus mengetahui dari mana mereka mendapatkan sumber energi itu.
Petuah ini agaknya tidak pernah salah : "Di balik setiap laki–laki agung, selalu berdiri seorang wanita agung." Dan mengertilah kita, mengapa sastrawan besar besar Mesir ini, Musthafa Shadiq Al Rafii, mengatakan: "Kekuatan seorang wanita sesungguhnya tersimpan di balik kelemahannya."
[Sebelumnya]
Pada zaman dahulu ada seorang yang bernama Abul Hassan yang pergi haji di Baitul Haram. Diwaktu tawaf tiba-tiba ia melihat seorang wanita yang bersinar dan berseri wajahnya.
"Demi Allah, belum pernah aku melihat wajah secantik dan secerah wanita itu,tidak lain kerana itu pasti kerana tidak pernah risau dan bersedih hati."
Tiba-tiba wanita itu mendengar ucapan Abul Hassan lalu ia bertanya, "Apakah katamu hai saudaraku ? Demi Allah aku tetap terbelenggu oleh perasaan dukacita dan luka hati kerana risau, dan seorang pun yang menyekutuinya aku dalam hal ini."
Abu Hassan bertanya, "Bagaimana hal yang merisaukanmu ?"
Wanita itu menjawab, "Pada suatu hari ketika suamiku sedang menyembelih kambing korban, dan pada aku mempunyai dua orang anak yang sudah boleh bermain dan yang satu masih menyusu, dan ketika aku bangun untuk membuat makanan, tiba-tiba anakku yang agak besar berkata pada adiknya, "Hai adikku, sukakah aku tunjukkan padamu bagaimana ayah menyembelih kambing ?"
Jawab adiknya, "Baiklah kalau begitu ?"
Lalu disuruh adiknya baring dan disembelihkannya leher adiknya itu. Kemudian dia merasa ketakutan setelah melihat darah memancut keluar dan lari ke bukit yang mana di sana ia dimakan oleh serigala, lalu ayahnya pergi mencari anaknya itu sehingga mati kehausan dan ketika aku letakkan bayiku untuk keluar mencari suamiku, tiba-tiba bayiku merangkak menuju ke periuk yang berisi air panas, ditariknya periuk tersebut dan tumpahlah air panas terkena ke badannya habis melecur kulit badannya. Berita ini terdengar kepada anakku yang telah berkahwin dan tinggal di daerah lain, maka ia jatuh pengsan hingga sampai menuju ajalnya. Dan kini aku tinggal sebatang kara di antara mereka semua."
Lalu Abul Hassan bertanya, "Bagaimanakah kesabaranmu menghadapi semua musibah yang sangat hebat itu ?"
Wanita itu menjawab, "Tiada seorang pun yang dapat membedakan antara sabar dengan mengeluh melainkan ia menemukan di antara keduanya ada jalan yang berbeda. Adapun sabar dengan memperbaiki yang lahir, maka hal itu baik dan terpuji akibatnya. Dan adapun mengeluh, maka orangnya tidak mendapat ganti yakni sia-sia belaka."
Demikianlah cerita di atas, satu cerita yang dapat dijadikan tauladan di mana kesabaran sangat digalakkan oleh agama dan harus dimiliki oleh setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah dalam setiap terkena musibah dan dugaan dari Allah. Kerana itu Rasulullah s.a.w bersabda dalam firman Allah dalam sebuah hadith Qudsi,:
" Tidak ada balasan bagi hamba-Ku yang Mukmin, jika Aku ambil keksaihnya dari ahli dunia kemudian ia sabar, melainkan syurga baginya."
Begitu juga mengeluh. Perbuatan ini sangat dikutuk oleh agama dan hukumnya haram. Kerana itu Rasulullah s.a.w bersabda,:
" Tiga macam daripada tanda kekafiran terhadap Allah, merobek baju, mengeluh dan menghina nasab orang."
Dan sabdanya pula, " Mengeluh itu termasuk kebiasaan Jahiliyyah, dan orang yang mengeluh, jika ia mati sebelum taubat, maka Allah akan memotongnya bagi pakaian dari wap api neraka." (Riwayat oleh Imam Majah)
Semoga kita dijadikan sebagai hamba Tuhan yang sabar dalam menghadapi segala musibah.
“Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS. Al-Hajj: 77)
Ayat ini merupakan ayat kedua terakhir dari surah yang unik dan istimewa, surah al-Hajj. Dikatakan surah yang unik karena sebagian ulama tafsir menggolongkan surah ini ke dalam kategori surah Makkiyah, namun sebagian yang lain justru sebaliknya menggolongkannya ke dalam kategori surah Madaniyah. Surah ini juga unik karena di dalamnya ada dua ayat sajdah, yaitu ayat 18 dan ayat ini seperti yang di pahami dari sebuah riwayat dari Uqbah bin Amir:
”Keutamaan surah al-Hajj karena terdapat dua ayat sajdah padanya. Barangsiapa yang tidak bersujud pada keduanya, janganlah ia membaca surah ini.” (HR. at-Tarmidzi dan Abu Dawud)
Ayat ini menggambarkan secara ringkas manhaj Allah SWT untuk manusia dan beban taklif bagi mereka agar mendapatkan keselamatan dan kemenangan. Ia di awali dengan perintah untuk rukuk dan sujud yang merupakan gambaran gerakan shalat yang tampak dan jelas, dilanjutkan dengan perintah untuk beribadah secara umum yang meliputi segala gerakan, amal dan pikiran yang di tujukan hanya kepada Allah SWT sehingga segala aktivitas manusia bisa beralih menjadi ibadah bila hati ditujukan hanya kepada Allah SWT bahkan Kenikmatan-kenikmatan dari kelezatan hidup dunia yang dirasakannya dapat bernilai ibadah yang di tulis sebagai pahala amal baik .
Ayat ini di tutup dengan perintah berbuat baik secara umum dalam hubungan horizontal dengan manusia setelah perintah untuk membangun hubungan vertikal dengan Allah SWT, dalam shalat dan ibadah lainnya. Oleh sebab itu, perintah ibadah dimaksudkan agar umat Islam selalu terhubung dengan Allah SWT sehingga kehidupan berdiri di atas fondasi yang kukuh dan jalur yang dapat membawa kepada-Nya. Sedangkan perintah untuk melakukan kebaikan, dapat membangkitkan kehidupan yang istiqamah dan kehidupan masyarakat yang penuh dengan suasana kasih sayang.
Perintah ini dipertegas kembali di akhir surah al-Hajj, bahwa umat Islam akan mampu mempertahankan eksistensinya sebagai umat pilihan dan sebagai saksi atas umat yang lain manakala mampu membina hubungan baik dengan Allah SWT dan membina hubungan baik sesama manusia:
”Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (AL-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, Dialah sebaik-baik pelindung dan Sebaik-baik penolong.” (QS. al-Hajj:78)
Pada ayat di atas, Allah SWT memberi perintah kepada orang beriman agar mampu membangun kesalehan personal dan sosial secara bersamaan agar senantiasa dalam kemenangan, rukuk dan sujud merupakan cermin tertinggi dari pengabdian seseorang kepada Allah SWT, sedang ”berbuatlah kebaikan” merupakan indikasi kesalehan sosial.
Secara redaksional dalam urutan perintah ayat di atas, ternyata Allah SWT mendahulukan kesalehan personal dari kesalehan sosial. Ini berarti bahwa untuk membangun kesalehan sosial, harus dimulai dengan kesalehan personal. Atau kesalehan personal akan memberikan kekuatan untuk saleh juga secara sosial. Bahkan seluruh perintah beribadah kepada Allah SWT dimaksudkan agar lahir darinya kesalehan sosial, seperti shalat misalnya, bagaimana ia bisa mencegah dari perbuatan keji dan munkar:
“Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar.” (QS. Al Ankabut : 45)
Kisah yang diabadikan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya bagaimana seorang wanita yang saleh secara personal yang diwujudkan dengan ibadah shalat, puasa dan ibadah mahdhah lainnya namun ternyata Rasulullah SAW menyatakan bahwa ia dalam neraka. Karena ternyata kesalehan itu tidak membawanya menuju kesalehan sosial, bahkan ia cenderung tidak mampu menjaga lisannya dari tidak melukai hati orang lain.
Dalam tataran tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, terdapat beberapa hubungan dan korelasi (munasabah) yang sangat erat antara kesalehan personal dan sosial dengan nilai-nilai mulia dari ajaran Islam. Untuk menggapai predikat ihsan misalnya, seseorang dituntut untuk mampu sholeh secara individu dan sosial yang diwakili dengan shalat malam dan berinfak,
“Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar. Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Adz-Dzariyat : 16-19)
Ibnu Asyur mengomentari ayat ini dengan menjelaskan bahwa dua bentuk amal inilah yang sangat berat untuk dilakukan karena: pertama, bangun malam merupakan sesuatu yang sangat berat karena mengganggu istirahat seseorang. Padahal amal itu merupakan amal yang paling utama untuk membangun kesalehan personal seseorang. Kedua, amal yang melibatkan harta terkadang sangat sukar untuk dipenuhi karena manusia pada dasarnya memiliki sifat kikir dengan sangat mencintai hartanya. Di sinilah Allah SWT menguji kesalehan sosial seseorang dengan memintanya untuk mengeluarkan sebagian harta untuk mereka yang membutuhkan.
Nilai lain yang terkait dengan dua kesalehan ini, adalah sebab utama yang paling banyak menjerumuskan seseorang ke dalam neraka karena tidak mampu membentengi diri dengan dua kesalehan tersebut, seperti pernyataan jujur penghuni neraka yang diabadikan Allah SWT dalam firman-Nya,
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab, ’Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat dan kami tidak pula memberi makan orang miskin dan adalah kami membicarakan yang batil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya.” (QS. Al-Mudatsir : 42-45)
Resep agar tidak bersifat keluh kesah lagi kikir juga sangat terkait dengan kemampuan seseorang membangun dalam dirinya dua kesalehan tersebut secara simultan. Allah SWT memberi jaminan,
“Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya, dan orang-orang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang miskin yang meminta dan orang yang tidak memiliki apa-apa (yang tidak mau meminta).” (QS. Al-Ma’arij : 22-25)
Berapa banyak dari umat ini yang hanya mementingkan saleh secara sosial tapi lupa akan hubungan baik dengan Allah SWT. Sebaliknya, banyak juga yang saleh secara personal namun ketika berhadapan dengan sosial, ia larut dan tidak mampu membangun kesalehan di tengah-tengah mereka. Sungguh umat ini sangat membutuhkan kehadiran komunitas yang saleh secara personal, dalam arti mampu menjaga hubungan baik dengan Allah SWT. Saleh secara sosial dalam arti mampu memelihara hubungan baik dan memberi kebaikan dan manfaat yang besar bagi kemanusiaan. (Allahu a’lam)
Sumber : Dakwatuna
“Dakwah itu adalah sebuah kebaikan…namun terkadang kalah oleh karena kita tak berfikir visioner”
Visioner adalah padanan kata yang tepat itu menempatkan gerakan dakwah di berbagai ranah kehidupan. Mengapa? Karena tanpa pemikiran yang visioner, gerakan dakwah itu hanya akan bertahan sebentar sekali dalam area yang dimasukinya. Apakah itu yang kita inginkan? tentu sama sekali tidak.
Pagi tadi ketika sedang berkunjung ke sebuah sekolah umum dan berbincang-bincang dengan guru-guru, di tengah perbincangan kami salah satu guru tersebut mengatakan:
“Aneh tetangga saya yang baru lulus kemarin, sekarang sedang kuliah kemarin menikah.” Guru lain menanggapi: Pacaran tidak?
Ibu itu menjawab: “Tidak!! Langsung nikah.” Kemudian ibu tadi bicara: “Hm…Jelas itu mah masuk “aliran” yang gak mau pacaran, oh yang perempuannya pake jilbab yang lebar ya? Hmm..ya kayaknya aliran itu tuh.” Jawab guru yang pertama menimpali.
Wahai saudara/i…ku pejuang dakwah dan mencintai Allah swt. dan Rasul saw. dengan ikhlas..itulah gambaran jelas yang terjadi di masyarkat…
Dalam hiruk pikuk film-film Islam, novel-novel Islami dan juga buku-buku Islami ternyata belum mampu mensibghoh masyarakat dengan utuh.. baru sebatas ada “alternatif”.
Inilah sebenarnya tugas da’i dan da’iyah di belahan bumi manapun, karena masyarakat itu butuh sentuhan langsung. Maka akan salah sekali jika para da’i dan da’iyah itu menjadikan indikator keberhasilan itu ketika yang terlihat adalah kuantitas yang begitu banyak tanpa kemudian melupakan tugas selanjutnya bagaimana agar menjadi berkualitas.
Yang sering terjadi di tataran grass root adalah para punggawa dakwah itu menjadi semakin elitis, sehingga objek dakwah kita hanyalah menjadi sekedar kue biasa yang dimakan kemudian tidak berbekas dalam ingatan mereka.
Padahal seharusnya analogi kue itu jika ada pengemasan yang baik seperti distribusi yang rapi dan mendekat dan juga kemasan kue yang diberikan dalam bentuk baik, kemudian senyum-senyum yang manis dari sang pengantar kue maka akan lain ceritanya.
Sekali lagi, objek dakwah itu butuh sentuhan langsung bukan bersikap elitis.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Al-Hasyr:18
Ayat ini mengingatkan bahwa strategi kemenangan itu letaknya pada sebuah perencanaan yang visioner dengan balutan taqwa dalam setiap langkah pencapaian. Maka tak ada lagi logika retorika, semua yang harus ada adalah ketika retorika berbanding lurus dengan perbuatan.
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” As-Shaff:2-3
Jangan menyerah saudara-saudariku… Lanjutkan perjuangan para Nabi, dengan perencaaan visioner.
Sumber : Dakwatuna
Untuk sebuah cinta, ia rela menempuh perjalanan jauh. Berangkat dari Singkawang menuju Pontianak dengan menggunakan motor dan menempuh perjalanan selama 3,5 jam. Disambung dengan menggunakan pesawat Pontianak - Jakarta selama 1,5 jam. Lalu diteruskan dengan menggunakan bis dari Bandara Soekarno Hatta Jakarta menuju Bandung selama 4 jam. Dan terakhir, menempuh perjalanan Bandung - Yogyakarta dengan menggunakan mobil selama 12 jam.
Untuk sebuah cinta, ia rela mengorbankan tenaga. Perjalanan Singkawang - Pontianak - Jakarta - Bandung - Yogyakarta, ia tempuh sekitar 30 jam. Satu hari penuh tanpa istirahat yang cukup, tentu menguras tenaga yang dapat membuat fisik drop. Belum lagi selama mengikuti kegiatan silaturrahim yang acaranya lumayan padat.
Untuk sebuah cinta, ia rela mengorbankan pekerjaan. Demi silaturrahim dengan rekan-rekannya sesama Klab Santri, ia berani mengajukan ijin meninggalkan pekerjaan selama beberapa hari, padahal status kepegawaiannya masih terbilang baru.
Untuk sebuah cinta, ia rela mengorbankan biaya. Tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan untuk transportasi, akomodasi, dan lain sebagainya dalam perjalanan tersebut. Rejeki yang baru ia dapatkan, digunakannya untuk keperluan silaturrahim.
Untuk sebuah cinta, ia rela mengorbankan waktu yang selalu diisi dengan rutinitasnya. Ketika bersilaturrahim selama beberapa hari di Bandung, Yogyakarta, dan Solo, tentu ia meninggalkan beberapa rutinitasnya yang mungkin bisa dibilang penting.
Itulah salah seorang sohib saya. Dalam waktu yang singkat, ia memutuskan untuk mengikuti silaturrahim Klab Santri Road to Jogja. Secara logika, untuk melakukan perjalanan jauh, tentu membutuhkan persiapan yang matang, waktu yang cukup, dan biaya yang tidak sedikit. Namun, karena ia melakukan semua itu untuk sebuah cinta; cinta akan silaturrahim, cinta akan kebersamaan, cinta akan ukhuwah, dan tentunya cinta karenaNya, maka semuanya terasa begitu mudah.
Ya, dengan mudahnya ia mendapatkan rejeki dan mengeluarkan sejumlah biaya yang begitu besar. Dan dengan mudahnya pula ia mendapatkan ijin dari atasannya untuk meninggalkan pekerjaan selama beberapa hari. Serta berbagai kemudahan lainnya yang ia dapatkan ketika bersilaturrahim.
Ia yakin, dengan menjalin silaturrahim karenaNya, maka apa yang ia lakukan tidaklah sia-sia, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Tahukah kalian tentang sesuatu yang paling cepat mendatangkan kebaikan ataupun keburukan?" Sabda Rasulullah SAW, "Sesuatu yang paling cepat mendatangkan kebaikan adalah balasan (pahala) orang yang berbuat kebaikan dan menghubungkan tali silaturrahim, sedangkan yang paling cepat mendatangkan keburukan ialah balasan (siksaan) bagi orang yang berbuat jahat dan yang memutuskan tali persaudaraan." (HR. Ibnu Majah).
Sumber : Era Muslim
Untuk sebuah cinta, ia rela mengorbankan pekerjaan. Demi silaturrahim dengan rekan-rekannya sesama Klab Santri, ia berani mengajukan ijin meninggalkan pekerjaan selama beberapa hari, padahal status kepegawaiannya masih terbilang baru.
Untuk sebuah cinta, ia rela mengorbankan biaya. Tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan untuk transportasi, akomodasi, dan lain sebagainya dalam perjalanan tersebut. Rejeki yang baru ia dapatkan, digunakannya untuk keperluan silaturrahim.
Untuk sebuah cinta, ia rela mengorbankan waktu yang selalu diisi dengan rutinitasnya. Ketika bersilaturrahim selama beberapa hari di Bandung, Yogyakarta, dan Solo, tentu ia meninggalkan beberapa rutinitasnya yang mungkin bisa dibilang penting.
Itulah salah seorang sohib saya. Dalam waktu yang singkat, ia memutuskan untuk mengikuti silaturrahim Klab Santri Road to Jogja. Secara logika, untuk melakukan perjalanan jauh, tentu membutuhkan persiapan yang matang, waktu yang cukup, dan biaya yang tidak sedikit. Namun, karena ia melakukan semua itu untuk sebuah cinta; cinta akan silaturrahim, cinta akan kebersamaan, cinta akan ukhuwah, dan tentunya cinta karenaNya, maka semuanya terasa begitu mudah.
Ya, dengan mudahnya ia mendapatkan rejeki dan mengeluarkan sejumlah biaya yang begitu besar. Dan dengan mudahnya pula ia mendapatkan ijin dari atasannya untuk meninggalkan pekerjaan selama beberapa hari. Serta berbagai kemudahan lainnya yang ia dapatkan ketika bersilaturrahim.
Ia yakin, dengan menjalin silaturrahim karenaNya, maka apa yang ia lakukan tidaklah sia-sia, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Tahukah kalian tentang sesuatu yang paling cepat mendatangkan kebaikan ataupun keburukan?" Sabda Rasulullah SAW, "Sesuatu yang paling cepat mendatangkan kebaikan adalah balasan (pahala) orang yang berbuat kebaikan dan menghubungkan tali silaturrahim, sedangkan yang paling cepat mendatangkan keburukan ialah balasan (siksaan) bagi orang yang berbuat jahat dan yang memutuskan tali persaudaraan." (HR. Ibnu Majah).
Sumber : Era Muslim
Ahmad Syah Masoud. Singa Lembah Panshir itu adalah legenda yang tidak terlupakan dalam sejarah jihad di Afghanistan. Ada banyak bintang di langit jihad Afganistan saat para mujahidin yang papa mengusir Pasukan Beruang Merah Uni Soviet dari negeri mereka, atau bahkan menjadi sebab keruntuhan imperium itu beberapa tahun kemudian, tetapi bintang Ahmad Syah Masoud, mungkin yang paling terang di antara semua bintang.
Ketika beliau syahid beberapa waktu lalu, di penggalan terakhir dari pemerintahan Taliban, atau sebelum invasi Amerika ke bumi jihad itu, kita semua mempunyai alasan untuk menitikkan air mata kesedihan. Sekali lagi, kesedihan. Sebagaimana kesedihan yang dirasakan wanita-wanita Madinah ketika mereka mendengar berita kematian Khalid bin Walid di Syam. Sebab, orang-orang seperti mereka itu memang layak ditangisi. Sebab, tidak banyak wanita yang bisa melahirkan laki-laki seperti mereka.
Akan tetapi, di sini terdapat sebuah petuah: bahwa legenda kepahlawanan boleh jadi sudah tertulis, sebelum pahlawannya sendiri mati; bahwa pahlawan itu telah mencapai puncak karyanya, sebelum ia mati. Sebab, kepahlawanan bukanlah puncak karya yang ditulis sepanjang hayat. Ia ditulis hanya sesaat dalam hidup, tidak terlalu lama, tetapi maknanya melampaui usia kita, atau bahkan generasi kita, atau bahkan beberapa generasi kemudian.
Khalid bin Walid mencapai puncak prestasi militernya dalam Perang Yarmuk, saat ia memimpin 36.000 pasukan Kaum Muslimin dan mengalahkan Pasukan Romawi yang berjumlah 240.000 orang. Setelah itu, beliau dipecat oleh Umar bin Khattab. Ia tidak lagi ikut dalam peperangan setelah itu. Ia melewati tahun-tahun yang berat dalam hidupnya, sebagiannya dalam keadaan sakit, untuk kemudian menghembuskan nafas terakhir di atas kasur. Bukan di medan perang, walauapun ia membawa lebih dari 70 luka tusukan dalam tubuhnya.
Itulah saat-saat berat yang dilalui oleh banyak pahlawan. Saat-saat setelah legenda kepahlawanannya terukir dalam sejarah, dan ia harus melalui jalan menurun di akhir hayatnya. Sebab, ajal para pahlawan tidak selalu ditulis padea waktu yang sama dengan saat-saat legendanya. Itu saat yang paling berat, saat para pahlawanan harus menyadari bahwa ia toh hanyalah manusia biasa, ia bukan manusia super, yang dapat mengendalikan waktu dan ruang dalam genggaman kehendaknya sepenuhnya.
Akan tetapi, itu juga merupakan cara Allah SWT mendistribusikan karunia kepahlawanan kepada hamba-hamba-Nya. Maka, setelah Khalid, Saad bin Abi Waqqash melengenda dalam pembebasan Persia, 'Amr bin 'Ash di Mesir, dan Uqbah bin Nafi' di Afrika. Selalu ada pahlawan yang tepat untuk setiap masa. Apa yang harus diketahui seorang pahlawan adalah masanya sendiri, bukan masa orang lain.
Di lembah-lembah dan kaki-kaki gunung Afghanistan terbaring jutaan syuhada. Ahmad Syah Masoud ada di antara mereka. Ia mungkin melalui saat-saat yang paling berat dalam hidupnya ketika Taliban datang merebut semua kemenangannya. Ia mungkin melewati lima tahun terakhir yang paling pahit. Akan tetapi, ia telah menunaikan tugas sucinya. Ia bahkan telah merebut medali kepahlawanannya.
Tidak ada kesia-siaan dalam dunia kepahlawanan, walaupun prahara Afghanistan belum selesai, toh setiap masa mempunyai pahlawannya sendiri.
[Sebelumnya]
Lelaki tua menjelang 80-an itu menatap istrinya. Lekat-lekat. Nanar. Gadis itu masih terlalu belia. Baru saja mekar. Ini bukan persekutuan yang mudah. Tapi ia sudah memutuskan untuk mencintainya. Sebentar kemudian iapun berkata, “Kamu kaget melihat semua ubanku? Percayalah! Hanya kebaikan yang akan kamu temui di sini.” Itulah kalimat pertama Utsaman bin Affan ketika menyambut istri terakhirnya di Syam, Naila. Selanjutnya adalah bukti.
Sebab cinta adalah kata lain dari memberi... sebab memberi adalah pekerjaan... sebab pekerjaan cinta dalam siklus memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi itu berat... sebab pekerjaan itu harus ditunaikan dalam waktu lama... sebab pekerjaan berat dalam waktu lama begitu hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang memiliki kepribadian kuat dan tangguh... maka setiap orang hendaklah berhati-hati saat ia akan mengatakan, “Aku mencintaimu.” Kepada siapapun!
Sebab itu adalah keputusan besar. Ada taruhan kepribadian di situ. “Aku mencintaimu,” adalah ungkapan lain dari, “Aku ingin memberimu sesuatu.” Yang terakhir ini juga adalah ungkapan lain dari, “Aku akan memperhatikan dirimu dan semua situasimu untuk mengetahui apa yang kamu butuhkan untuk tumbuh menjadi lebih baik dan bahagia... aku akan bekerja keras untuk memfasilitasi dirimu agar bisa tumbuh semaksimal mungkin... aku akan merawat dengan segenap kasih sayangku, proses pertumbuhan dirimu melalui kebajikan harian yang kulakukan padamu... aku juga akan melindungi dirimu dari segala sesuatu yang dapat merusak dirimu dan proses pertumbuhan itu...” Taruhannya adalah kepercayaan orang yang kita cintai terhadap integritas kepribadian kita. Sekali kamu mengatakan kepada seseorang, “Aku mencintaimu,” kamu harus membuktikan ucapan itu. Itu deklarasi jiwa bukan saja tentang rasa suka dan ketertarikan, tapi terutama tentang kesiapan dan kemampuan memberi, kesiapan dan kemampuan berkorban, kesiapan dan kemampuan melakukan pekerjaan-pekerjaan cinta: memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi.
Sekali deklarasi cinta tidak terbukti, kepercayaan hilang lenyap. Tidak ada cinta tanpa kepercayaan. Begitulah bersama waktu suami atau istri kehilangan kepercayaan kepada pasangannya. Atau anak kehilangan kepercayaan kepada orang tuanya. Atau sahabat kehilangan kepercayaan kepada kawannya. Atau rakyat kehilangan kepercayaan kepada pemimpinnya. Semua dalam satu situasi: cinta yang tidak terbukti. Ini yang menjelaskan mengapa cinta yang terasa begitu panas membara di awal hubungan lantas jadi redup dan padam pada tahun kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Dan tiba-tiba saja perkawinan bubar, persahabatan berakhir, keluarga berantakan, atau pemimpin jatuh karena tidak dipercaya rakyatnya.
Jalan hidup kita biasanya tidak linier. Tidak juga seterusnya pendakian. Atau penurunan. Karena itu konteks di mana pekerjaan-pekerjaan cinta dilakukan tidak selalu kondusif secara emosional. Tapi disitulah tantangannya: membuktikan ketulusan di tengah situasi-situasi yang sulit. Disitu konsistensi diuji. Di situ juga integritas terbukti. Sebab mereka yang bisa mengejawantahkan cinta di tegah situasi yang sulit, jauh lebih bisa membuktikannya dalam situasi yang longgar.
Mereka yang dicintai dengan cara begitu, biasanya merasakan bahwa hati dan jiwanya penuh seluruh. Bahagia sebahagia-bahagianya. Puas sepuas-puasnya. Sampai tak ada tempat lagi yang lain. Bahkan setelah sang pencinta mati. Begitulah Naila. Utsman telah memenuhi seluruh jiwanya dengan cinta. Maka ia memutuskan untuk tidak menikah lagi setelah suaminya terbunuh. Ia bahkan merusak wajahnya untuk menolak semua pelamarnya. Tak ada yang dapat mencintai sehebat lelaki tua itu.
[Sebelumnya]
Teks memang sudah dimudahkan. Para pewaris nabi juga sudah menjelaskan dan menafsirkannya. Para pembaharu dibangkitkan dari waktu ke waktu untuk memperbaharui memori, pemahaman dan juga komitmen. Tapi persolan dengan teks tidak selesai hanya dengan itu semua.
Proses pembelajaran melalui teks bukan merupakan rangkaian perburuan pada makna-makna yang rumit. Seperti misalnya yang dilakukan para arkeolog ketika mereka menerjemahkan sebuah naskah kuno. Atau seperti pergumulan para filosof untuk menemukan makna dari sebuah rangkaian kata yang gelap. Ini bukan sekedar sebuah pergumulan intelektual.
Teks yang sudah dimudahkan ini adalah narasi dari sebuah sistem kehidupan. Ia adalah content dari ruang dan waktu manusia. Hanya ketika content itu diintegrasikan ke dalam kerangka ruang dan waktu di mana manusia menjadi pelaku maka sebuah wajah kehidupan akan muncul.ke permukaan. Jadi pergumulan dengan teks tidak boleh berhenti pada sekadar mengetahui makna, tapi harus berlanjut pada merasakan makna di dalam jiwa dan melalui tindakan. Dengan begitu pergumulan dengan teks seharusnya melalui tiga tapan itu: mengetahui, merasakan dan melakukan. Dua tahapan yang pertama, yaitu mengetahui dan merasakan, menghasilkan pengetahuan tentang kebenaran dari sebuah teks. Ia membuat kita sadar, lalu yakin, lalu tercerahkan. Tapi tapan yang ketiga, yaitu melakukan, menghasilkan pengalaman. Yang terakhir ini menyatukan teks dengan raga kita, dan bukan hanya dengan jiwa. Dari situ makna bukan hanya terpatri dalam jiwa, tapi bahkan mengalir dalam darah. Menyatu dengan teks dengan cara begitu akan membuat pengetahuan kita terkuatkan oleh pengalaman. Dan itulah fungsi dari pengalaman: membuat pengetahuan jadi solid.
Menyatu dengan teks adalah pencapaian tertinggi dari seluruh proses pembelajaran kita dengan teks. Tapi itu justru bisa dicapai ketika kita mendekati teks dengan cara sederhana: datanglah pada teks dengan pikiran dan jiwa yang kosong, lalu bertanyalah: apa yang harus saya lakukan dalam hidup? Maka jawaban kita pasti sama dengan jawaban Umar bin Khatab ketika beliau ditanya tentang mengapa baru di akhir hayatnya beliau menghafal Al-Qur’an. Katanya: ”karena baru sekarang saya melaksanakan semua isinya”.
Itu yang menginspirasi Sayyid Qutb ketika beliau menulis Fi Zhilalil Qur’an. Bahwa sikap jiwa kita pada teks memang seharusnya begitu: menerima untuk melaksanakan (at talaqqii lit tanfiidz).
Di dalam kitab Al-Multaqith diceritakan, bahwa sebagian bangsa Alawiyah ada yang bermukim di daerah Balkha. Ada sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri dengan beberapa anak wanita mereka. Keadaan keluarga tersebut serba kekurangan.
Ketika suaminya meninggal dunia, istri beserta anak-anak wanitanya meninggalkan kampung halamannya pergi ke Samarkand untuk menghindari ejekan orang di sekitarnya. Kejadian tersebut berlaku pada musim dingin. Saat mereka telah memasuki kota, si ibu mengajak anak-anaknya singgah di masjid, sementara dirinya pergi untuk mencari sesuap nasi.
Di tengah perjalanan si ibu berjumpa dengan dua kelompok orang, yang satu dipimpin oleh seorang Muslim yang merupakan tokoh di kampung itu sendiri, sedang kelompok satunya lagi dipimpin oleh seorang Majusi, pemimpin kampung itu. Si ibu tersebut lalu menghampiri tokoh tersebut dan menjelaskan mengenai dirinya serta berkata, "Aku mohon agar tuan berkenan memberiku makanan untuk keperluan malam ini!" "Tunjukkan bukti-bukti bahwa dirimu benar-benar bangsa Alawiyah," kata tokoh orang Muslim di kampung itu. "Di kampung tidak ada orang yang mengenaliku," kata ibu tersebut.
Sang tokoh itu pun akhirnya tidak menghiraukannya. Seterusnya dia hendak memohon kepada si Majusi, pemimpin kampung tersebut. Setelah menjelaskan tentang dirinya dengan tokoh kampung, lelaki Majusi lalu memerintahkan kepada salah seorang anggota keluarganya untuk datang ke masjid bersama si ibu itu, akhirnya dibawalah seluruh keluarga janda tersebut untuk tinggal di rumah Majusi yang memberinya pula berbagai perhiasan serba indah.
Sementara tokoh masyarakat yang beragama Islam itu bermimpi seakan-akan hari Kiamat telah tiba dan panji kebenaran berada di atas kepala Rasulullah SAW. Dia pun sempat menyaksikan sebuah istana tersusun dari zamrud berwarna hijau. Kepada Rasulullah SAW. dia lalu bertanya, "Wahai Rasululah! Milik siapa istana ini?" "Milik seorang Muslim yang mengesakan Allah," jawab baginda. "Wahai Rasulullah, aku pun seorang Muslim," jawabnya. "Coba tunjukkan kepadaku bahwa dirimu benar-benar seorang Muslim yang mengesakan Allah," sabda Rasulullah SAW. kepadanya. Tokoh di kampung itu pun bingung atas pertanyaan baginda, dan kepadanya Rasulullah SAW. kemudian bersabda lagi, "Di saat wanita Alawiyah datang kepadamu, bukankah kamu berkata kepadanya, "Tunjukkan mengenai dirimu kepadaku!" Karenanya, demikian juga yang harus kamu lakukan, yaitu tunjukkan dahulu mengenai bukti diri sebagai seorang Muslim kepadaku!"
Sesaat kemudian lelaki muslim itu terjaga dari tidurnya dan air matanya pun jatuh berderai, lalu dia memukuli mukanya sendiri. Dia berkeliling kota untuk mencari wanita Alawiyah yang pernah memohon pertolongan kepadanya, hingga dia mengetahui di mana kini wanita tersebut berada.
Lelaki Muslim itu segera berangkat ke rumah orang Majusi yang telah menampung wanita Alawiyah beserta anak-anaknya. "Di mana wanita Alawiyah itu?" tanya lelaki Muslim kepada orang Majusi. "Ada padaku," jawab si Majusi. "Aku sekarang menghendakinya," ujar lelaki Muslim itu. "Tidak semudah itu," jawab lelaki Majusi. "Ambillah uang seribu dinar dariku dan kemudian serahkan mereka padaku," desak lelaki Muslim. "Aku tidak akan melepaskannya. Mereka telah tinggal di rumahku dan dari mereka aku telah mendapatkan berkatnya," jawab lelaki Majusi itu. "Tidak boleh, engkau harus menyerahkannya," ujar lelaki Muslim itu seolah-olah mengugat.
Maka, lelaki Majusi pun menegaskan kepada tokoh Muslim itu, "Akulah yang berhak menentukan apa yang kamu minta. Dan istana yang pernah kamu lihat dalam mimpi itu adalah diciptakan untukku! Adakah kamu mau menunjukkan keislamanmu kepadaku? Demi Allah, aku dan seluruh keluargaku tidak akan tidur sebelum kami memeluk agama Islam di hadapan wanita Alawiyah itu, dan aku pun telah bermimpi sebagaimana yang kamu mimpikan, serta Rasulullah SAW. sendiri telah pula bersabda kepadaku, "Adakah wanita Alawiyah beserta anaknya itu padamu?" "Ya, benar," jawabku. "Istana itu adalah milikmu dan seluruh keluargamu. Kamu dan semua keluargamu termasuk penduduk syurga, kerana Allah sejak zaman azali dahulu telah menciptakanmu sebagai orang Mukmin," sabda baginda kembali.
Meski ditimpa berbagai kesulitan hidup, anak-anak Jalur Gaza masih bisa unjuk kebolehan. Seperti diritakan aljazeera, Jumat (23/7), anak-anak Gaza berhasil masuk ke Guinness Book of Records melalui rekor memantulkan bola basket.
Di area bandara Rafah di Gaza selatan yang hancur lebur itu terlibat tujuh ribu dan 203 anak-anak dalam acara itu dimana mereka semua memantulkan bola basket selama lima menit.
Direktur UNRWA di Gaza, John Ging, usai menggelar acara itu mengatakan, "Anak-anak kamp musim panas yang berada di bawah UNRWA berhasil memecahkan rekor sebelumnya yang tercatat di negara bagian Indiana tiga tahun lalu, dan inilah pesan anak-anak dari Gaza ke dunia, yang bakatnya dapat diandalkan dan kreasinya ditungggu-tunggu."
Sementara penasihat media UNRWA, Adnan Abu Hasna, menegaskan bahwa anak-anak Gaza mampu unggul jika diberi kesempatan, demikian juga pemilihan bandara Gaza sebagai lokasi kegiatan itu merupakan pesan kepada dunia bahwa anak-anak Gaza mampu merajut asa di tengah kehancuran.
Abu Hasna juga mengatakan dalam sebuah pernyataannya bahwa UNRWA bermaksud untuk memecahkan rekor lainnya yakni rekor layang-layang pada tanggal 29 Juli ini.
Sementara Marwan Abu Rukbah (13 tahun), salah satu peserta dalam pemecahan rekor yang berasal dari kamp pengungsi Shati, ia mengungkapkan kegembiraannya atas tercapainya rekor itu. Ia menggambarkannya sebagai prestasi besar.
"Kami terkejut dengan jumlah anak-anak itu, saya tidak membayangkan bahwa kami akan berhasil masuk ke ensiklopedia (rekor) itu, saya berpikir bahwa penjajah (Israel) tidak bisa menghentikan kami untuk memenanginya seperti juga mereka tidak dapat mencegah kami dari memasuki tanah kami yang dicuri beberapa meter jauhnya dari tempat ini," ujar Rukbah.
Rukbah juga berharap dapat memecahkan rekor lainnya, tetapi setelah pembebasan Palestina dari pendudukan, dan bukan sebelumnya.
Sumber : KNRP
Sumber : KNRP