Pernahkah Anda melihat orang-orang yang Anda anggap hebat, berbakat potensial, tetapi kemudian tidak menjadi apa-apa? Atau dengan kata lain, kehidupannya dan prestasi-prestasinya dalam hidup tidak menunjukkan bakat dan potensi yang sebenarnya ia miliki.
Di sekeliling kita banyak orang-orang seperti itu. Mungkin juga saya dan Anda. Mereka adalah orang-orang yang tidak mengetahui bahwa mereka menyimpan kehebatan yang dahsyat, atau mungkin mereka merasakannya, tetapi tidak berminat memunculkannya, atau mungkin berminat, tetapi ia kalah dengan godaan untuk menjadi ”orang biasa”. Sebab, menjadi orang biasa membuat hidup lebih santai, relatif tanpa beban, tanpa sorotan, tanpa stres, tanpa depresi.
Menjadi orang biasa adalah godaan bagi para pahlawan inilah yang membuat mata air kecemerlangan di dalam dirinya hanya keluar dan kemudian tergenang. Dan di mana pun ada genangan air, di situ selalu ada kemungkinan pembusukan. Air itu tidak menggelombang, maka tidak ada debur kehebatan di dalam dirinya. Air itu tergenang teduh, dan dalam keteduhannya ia tersedot oleh cahaya matahari kehidupan, maka ia mengering dan habis. Atau ia terkotori oleh sampah yang terbuang dalam genangan itu, maka ia mengeruh dan kemudian membusuk.
Para pahlawan adalah sungai yang mengalir deras, atau air yang menggelombang dahsyat. Semua potensi di dalam dirinya keluar satu demi satu, semua kehebatan di dalam dirinya menggelora ke permukaan bagai gelombang, semua bakat di dalam dirinya bertiup kencang bagaikan badai. Ia menantang kehidupan, maka ia mengukir sejarah, sebab sejarah adalah catatan petualangan hidup. Ia mengejar dan menangkap takdirnya, maka ia mendapatkan mahkota kepahlawanan. Sebab, mahkota itu tidak pernah dihadiahkan, ia diperoleh karena ia direbut. Sebagaimana kemerdekaan adalah piala yang direbut oleh bangsa-bangsa yang terjajah, seperti itulah kepahlawanan menjadi mahkota yang dinobatkan kepada para pengejarnya.
Karena itulah kepahlawanan senantiasa menjadi beban yang berat bagi jiwa manusia. Karena itulah, tidak banyak manusia yang bersedia menempuh jalan panjang kepahlawanan. Jika pun ada di antara mereka yang bersedia, mungkin dia tidak akan bertahan lama. Lalu berhenti, dan menerima hidupnya yang mungkin hanya ala kadarnya.
Itulah sebabnya mengapa pahlawan selalu sedikit. Bukan karena tidak banyak yang bisa menjadi pahlawan. Itu lebih karena orang-orang berbakat itu tidak mau dan tidak bersedia memenuhi syarat-syarat kepahlawanan. Itulah yang membuat para pahlawan selalu ”menderita”, karena beban hidup yang banyak ini akhirnya hanya dipikul oleh sedikit orang. Hidup ini seringkali tampak tidak adil dalam pandangan ini, karena ia mendistribusi beban-bebannya secara tidak merata.
Dulu, Abu Tammam, sang penyair hikmah dari tanah arab, pernah berkata, ”Tidak ada aib kutemukan dalam diri manusia, melebihi aib orang-orang yang sanggup menjadi sempurna, namun tidak mau menjadi sempurna.”
[Sebelumnya]
[Sebelumnya]
Mataku terbuta
tak bisa melihat
semua yang Kau cipta
semua yang Kau hendaki
Telingaku tertutup
tak bisa mendengar
semua alunan Al-Qur’an
semua nada-nada Islami
Mulutku terbungkam
tak bisa melafadzkan
lafadz indah Al-Qur’an
dan meminta perlindungan
Ya Allah....
Dengarlah hamba-Mu yang lemah ini
yang hanya bisa memohon
dengan sisa tenaga di hati
hanya untuk.... memohon pada-Mu
Ya Allah....
Berilah hamba-Mu yang lemah ini
cahaya hidayah penuh arti
“Maka disebabkan rahmat Allah atasmu, kamu berlaku lemah lembut kepada mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkan mereka dan mohonkanlah ampun bagi mereka…”(QS. 3:159)
Saudaraku, Sejarah telah memaparkan pancaran pesona akhlaq Rasulullah dalam perjuangan dakwah beliau sebagai suri teladan bagi kita (QS. 33:21). Kemudian Allah SWT menguatkan dengan firman-Nya “wa innaka la’alaa khuluqin ‘azhiim. Dan sesungguhnya engkau memiliki akhlak yang mulia.”(QS. 68:4). Tentunya ini merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Rumusan nyata dan gamblang tentang model manusia terbaik. Maka siapa yang ingin berhasil dalam mengemban tugas dakwah sebagaimana Rasul, hendaklah mengikuti jejak langkah Rasulullah dan menerapkan akhlaq Rasulullah dalam segenap aktivitas kehidupannya.
Dulu sering kita jumpai keluhan-keluhan dan kekecewaan terhadap penanganan dakwah di kalangan para mutarobbi –binaan atau murid ngaji atau anggota tarbiyah-. Fenomena berjatuhannya para aktivis dakwah, ditambah lagi dengan ketidaksukaan mereka terhadap pola dakwah ternyata – menurut mereka – disebabkan karena seringnya mereka menerima perlakuan yang tidak bijaksana.
Jawaban sederhana dari permasalahan di atas boleh jadi karena ketidak utuhan kita dalam meneladani Rasul atau bahkan mungkin karena kita belum mampu menanamkan akhlaq Rasul pada diri mereka. Akibatnya kita sering tidak sabar dan tidak bijaksana menyikapi mereka, sementara merekapun terlalu mudah tersinggung dan cengeng menyikapi teguran dan nasihat yang mereka anggap sebagai pengekang kebebasan. Komunikasi yang tidak sehat ini sebenarnya bisa diatasi dengan menyadari sepenuh hati akan begitu pentingnya penanaman dan penerapan akhlaq Rasulullah dalam berbagai pendekatan dakwah. Ditinjau dari segi juru dakwah, keinginan meluruskan, teguran, penugasan, sindiran dan sebagainya sebenarnya dapat dikemas dengan akhlaq. Begitupun dari segi mad’u –peserta dakwah atau yang didakwahi- ; ketidakpuasan, ketersinggungan, perasaan terkekang dan kejenuhan juga dapat diredam dengan akhlaq. Akhlaq menuntun kepada kemampuan untuk saling menjaga perasaan, saling memaklumi kesalahan dan mengantarkan kepada penyelesaian terbaik.
Banyak murabbi –pembina atau yang mentarbiyah- yang dikecewakan dan ditinggalkan binaaanya, tapi dia mampu mengemas luka itu dengan empati dan terus mendoakan kebaikan bagi binaannya. Bahkan diiringi harapan suatu saat Allah swt. mengembalikan binaannya dalam aktvitas dakwah, walaupun mungkin bukan dalam penanganannya. “Mungkin dengan saya tidak cocok, tapi semoga dengan murabbi lain cocok”. Ada mutarabbi yang diperlakukan tidak bijaksana oleh murabbinya namun akhlaq menuntunnya untuk mengerti dan menyadari bahwa murabbinya bukan nabi, sehingga dia tidak dendam dan menjelek-jelekkan murabbinya, melainkan tetap merasa bahwa murabbi dengan segala kekurangannya telah berjasa banyak padanya. Dia tidak membenci dakwah meskipun dia dikecewakan oleh seorang aktivis dakwah.
Di antara nilai-nilai akhlaq yang semuanya mesti kita tanamkan dalam diri kita masing-masing adalah dua nilai yang cukup relevan dengan kelancaran dakwah, yaitu kelembutan dan rendah hati.
Kelembutan adalah perpaduan hati, ucapan dan perbuatan dalam upaya menyayangi, menjaga perasaan, melunakkan dan memperbaiki orang lain. Kelembutan adalah kebersihan hati dan keindahan penyajian yang diwujudkan dalam komunikasi lisan maupun badan. Bukanlah kelembutan bila ucapannya lembut tapi isinya penuh dengan kata-kata kasar menyakitkan (nyelekit). Bukan pula kelembutan bila menyampaikan kebenaran tapi dengan caci maki dan bentakan.
Berwajah manis penuh senyum, memilih pemakaian kata yang benar dan pas (qaulan sadidan), memaafkan, memaklumi, penuh perhatian, penuh kasih sayang adalah tampilan kelembutan. Wajah sinis, penuh sindiran yang terkadang tanpa tabayyun, buruk sangka, ghibah, mendendam, emosional merupakan kebalikan dari sifat kelembutan.
Rendah hati merupakan perpaduan hati, ucapan dan perbuatan dalam upaya mendekatkan atau mengakrabkan, melunakkan keangkuhan, menumbuhkan kepercayaan, membawa keharmonisan dan mengikis kekakuan. Angkuh, sok pintar dan hebat, merasa paling berjasa, merasa levelnya lebih tinggi, minta dihormati, enggan menegur atau menyapa lebih dulu, tidak mau diperintah, sulit ditemui atau dimintai tolong dengan alasan birokratis, menganggap remeh, cuek dan antipati merupakan lawan dari rendah hati. Allah swt. berfirman dalam surah Asy Syu’araa ayat 215 “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang beriman yang mengikuti kamu.”
Berwajah manis penuh senyum, memilih pemakaian kata yang benar dan pas (qaulan sadidan), memaafkan, memaklumi, penuh perhatian, penuh kasih sayang adalah tampilan kelembutan. Wajah sinis, penuh sindiran yang terkadang tanpa tabayyun, buruk sangka, ghibah, mendendam, emosional merupakan kebalikan dari sifat kelembutan.
Rendah hati merupakan perpaduan hati, ucapan dan perbuatan dalam upaya mendekatkan atau mengakrabkan, melunakkan keangkuhan, menumbuhkan kepercayaan, membawa keharmonisan dan mengikis kekakuan. Angkuh, sok pintar dan hebat, merasa paling berjasa, merasa levelnya lebih tinggi, minta dihormati, enggan menegur atau menyapa lebih dulu, tidak mau diperintah, sulit ditemui atau dimintai tolong dengan alasan birokratis, menganggap remeh, cuek dan antipati merupakan lawan dari rendah hati. Allah swt. berfirman dalam surah Asy Syu’araa ayat 215 “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang beriman yang mengikuti kamu.”
Bila Rasulullah saw. saja dengan berbagai pesona dan kelebihannya diperintah untuk tawadhu (dan Rasul telah menjalankan perintah itu), tentulah kita yang apa adanya ini harus lebih rendah hati. Rendah hati terhadap murabbi, rendah hati terhadap mutarabbi dan rendah hati terhadap seluruh orang-orang beriman menunjukkan penghormatan kita pada Rasul dan pada kebenaran Al-Qur’an. Sebaliknya, keangkuhan dan perasaan lebih dari orang lain menandakan masih jauhnya kita dari Al-Qur’an dan Hadist.
Saudaraku, Marilah kita lebih mengaplikasikan apa-apa yang sudah kita ketahui. Betapa pemahaman kita tentang pentingnya akhlak dalam mengantarkan pada kesuksesan dakwah mungkin sudah cukup mumpuni. Namun tinggal bagaimana kita terus meningkatkan penerapan nilai-nilai akhlaq itu dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya dalam mengemban tugas dakwah. Telah dan akan terus terbukti bahwa sambutan masyarakat terhadap dakwah adalah di antaranya karena pesona akhlaq kita, kelembutan kita, memaklumi, mengingatkan dan meluruskan mereka dan kerendahhatian kita untuk terus bersabar mendekati dan menemani hari-hari mereka dengan dakwah kita. Dalam konteks khusus pun demikian, betapa kelembutan dan kerendahhatian ternyata lebih melanggengkan atau mengawetkan binaan-binaan kita untuk terus berdakwah bersama kita.
Saudaraku, Hendaknya dari hari ke hari kita terus mengevaluasi diri, membenahi akhlaq kita dan memantaskan diri (sepantas-pantasnya) sebagai seorang juru dakwah. Memang kita manusia biasa yang penuh salah dan kekurangan, namun janganlah itu menjadi penghalang kita untuk bermujahadah diri menuju kepada kedewasaan sejati. Masa lalu yang kasar dan angkuh hendaklah segera pupus dari diri kita. Kita mulai membiasakan diri untuk lembut di tengah keluarga, di antara aktivis dakwah hingga ke masyarakat luas. Kita mesti melatih kerendahhatian di tengah murid-murid kita, dengan sesama aktivis, pada murabbi kita hingga ke seluruh masyarakat. Dan pada akhirnya nanti insya Allah kita dapatkan keberhasilan dakwah Rasulullah terulang kembali, lewat hati, ucapan dan perbuatan kita yang telah diwarnai nilai-nilai akhlaq.
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS 16:125).
Allahu a’lam.Sumber : Dakwatuna
Tirani selalu bermula dari sana: saat seseorang atau sekelompok orang atau sebuah rezim kehilangan respek dan penghargaan kepada orang lain atau kelompok lain atau rezim lain. ketika respek dan penghargaan hilang, persepsi kita beralih ke dalam, kedalamnya diri, sang Aku. Lalu kita mulai memandang dari perspektif sang Aku wilayah luar orang atau kelompok lain sebagai sesuatu yang terpisah dan asing, tidak berarti, tidak layak ada atau bahkan mengancam.
Saat itu hanya satu lagi yang ditunggu oleh tirani untuk muncul jadi kenyataan: kekuasaan yang melegitimasi. Itu sebabnya tirani selalu terkait dengan kekuasaan, sekecil apapun sekalanya. Misalnya tirani dalam rumah tangga, atau sekolah, atau organisasi, atau perusahaan, atau negara. kekuasaan adalah otoritas netral yang bisa digunakan untuk meligitimasi apa saja. Godaannya justru terletak disitu: pada netralitasnya. Maka begitu respek dan penghargaan lenyap dan berganti dengan kebencian, kekuasaan segera membei jalan mulus bagi tirani.
Begitulah pada mulanya Firaun merasakan sang Aku jadi Tuhan. Ketika respek dan penghargaannya hilang kepada kerumunan besar manusia bernama rakyat, ia mulai "meremehkan" mereka. Setelah itu ia memobilisasi mereka lalu mendeklarasikan ketuhanannya. Dan serial tirani berbesar dalam sejarah manusia pun dimulai.
Tirani. Momok dalam sejarah manusia ini selalu berkoalisi dengan kekuasaan. Tapi momok ini tetap bisa dilawan. Dan kekuatan yang bisa melawannya hanya cinta. Cinta adalah kutub jiwa yang berlawanan dengan tirani: ia lahir dari respek dan penghargaan kepada manusia. Begitu kekuasaan mendapatkan sentuhan cinta, wajahnya segera berubah: gurat-gurat kekejaman segera berganti jadi garis-garis kerentaan dari seorang penguasa yang lelah melayani rakyatnya.
Jika cinta adalah tindakan memberi, maka dari sanalah datangnya semua kebajikan dalam diri seorang penguasa: mendengar, melayani, memberi, melindungi, adil dan menyejahterakan. jadi hanya dalam genggaman cinta kekuasaan beruabah jadi alat untuk melindungi, melayani dan menyejahterakan. Di sana sang Aku bukan lagi kuda liar yang setiap saat bisa melompat dari kandang dengan energi kekuasaan. Sang Aku dalam genggaman cinta adalah mata air kebijakan yang pada suatu saat bertemu dengan hujan deras kekuasaan, maka jadilah banjir: kebijakan melimpah ruah dalam muara masyarakat manusia.
Dari tradisi kepemimpinan Amerika Serikat kita bertemu dengan ungkapan ini: "Jangan bertanya apa yang diberikan negara kepadamu, tapi bertanyalah apa yang kamu berikan untuk negaramu?" Tapi dari tradisi nubuwah kita mewarisi sabda yang diriwayatkan Muslim ini: "Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian, yang kalian laknat dan mereka melaknat kalian".
Bukan karena keangkuhan dan kesombongan, apabila seorang pahlawan mempunyai rasa harga diri dan keterhormatan yang tinggi. Keangkuhan dan kesombongan berasal dari akar yang berbeda dengan rasa harga diri dan keterhormatan. Tampak luar antara keduanya memang sering sangat mirip, dan karenanya banyak orang mudah tertipu.
Keangkuhan dan kesombongan berasal dari pandangan terhdap diri sendiri yang sering berlebihan, sejenis pemujaan (narsisme), dan karenanya menimbulkan perasaan ”lebih” dari orang lain. Dan karenanya (lagi), sering mendorong pelakunya meminta orang lain memperlakukannya dengan cara berbeda. Boleh jadi, ia memang mempunyai alasan objektif untuk angkuh, misalnya karena talenta dan prestasinya. Akan tetapi, keangkuhan dan kesombongan menciptakan ”pelipatgandaan perasaan” dalam dirinya: sesuatu yang membuatnya merasakan kesan atas talenta dan prestasinya―yang memang ada, melampaui kadarnya yang wajar. Inilah yang kemudian mendorongnya menuntut perlakuan berbeda.
Harga diri dan keterhormatan adalah tuntutan akan kelayakan. Sumbernya adalah rasa percaya diri akan kemampuan diri sendiri, namun kemudian diperkuat oleh dorongan-dorongan intrinsik, atau naluri kepahlawanan yang membuatnya selalu ingin melakukan perbuatan-perbuatan terhormat. Akarnya menukik jauh pada kesadarannya yang mendalam akar makna keluhuran dan kehormatan yang wajar. Kesadaran seperti ini selanjutnya menciptakan kesadaran akan citra diri yang tinggi: ini bukan kegilaan akan rasa hormat, tetapi sebuah konsistensi terhadap makna keluhuran dan kehormatan.
Rasa harga diri dan kehormatan menimbulkan ”rasa malu” yang sangat ekspresif. Inilah kekuatan paling dahsyat dalam diri seorang pahlawan yang senantiasa mencegahnya melakukan perbuatan-perbuatan yang hina dan tercela. Apabila kita kemudian mewarisi sebuah sabda dari Rasulullah saw. tentang bagaimana rasa malu merupakan salah satu cabang dari iman, maka mengertilah kita mengapa Rasulullah saw. sangat menanamkan kesadaran akan makna keluhuran dan kehormatan pada diri setiap muslim. Bahkan, beliau menegaskan lebih jauh, bahwasanya semua perbuatan hina dan tercela bermula ketika rasa malu itu mulai hilang dalam diri seseorang. ”Silakan melakukan apa saja, jika kamu sudah tidak punya rasa malu,” demikian sabdanya.
Rasa harga diri dan keterhormatan yang lahir dari kesadaran akan makna keluhuran dan kehormatan akan didukung oleh rasa percaya diri yang kuat dan didorong oleh naluri kepahlawanan yang cermat. Semua itulah yang kemudian kita temukan manakala Abu Bakar memutuskan untuk memerangi orang-orang yang murtad dan tidak mau membayar zakat. ”Apakah layak ajaran agama ini mulai berkurang sementara aku masih hidup?” kata Abu Bakar dalam pembelaannya.
Tidak! Maka, rasa harga diri dan keterhormatan yang demikian menciptakan soliditas dalam struktur jiwa kita. Adapun keangkuhan dan kesombongan menciptakan keterbelahan dalam diri kita. Sebab, orang-orang yang angkuh dan sombong, sesungguhnya menyembunyikan kekerdilan jiwanya di balik mulutnya yang besar.
[Sebelumnya]
[Sebelumnya]
"Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan ingkar kepada Allah dan menjatuhkan kaumnya ke negeri kebinasaan?" (QS Ibrahim: 28)
Setiap anak bangsa, terutama para dai, semestinya menjunjung tinggi idealisme dan cita-cita bagi perbaikan negeri Indonesia ini dengan sesuatu yang bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Kenyataannya, hampir setiap hari, kita disuguhkan dengan peristiwa-peristiwa yang mencoreng negeri ini.
Pertunjukan drama abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan), yang dilakukan oleh aparat pemerintah dan para penegak hukum, sangat menyesakkan dada. Mulai dari kriminalisasi KPK, kasus Century, makelar kasus dalam penggelapan pajak yang melibatkan aparat penegak hukum, hingga tertangkapnya sejumlah pengacara dan hakim PTUN oleh KPK.
Bangsa ini benar-benar tertinggal dalam persaingan dunia, bahkan oleh negara tetangganya. Kondisi negeri ini sangat memprihatinkan, menghinakan, dan menjadi bahan tertawaan negara-negara tetangga karena korupsi dan kemiskinan.
Kenyataan tersebut seakan mencerminkan firman Allah dalam QS 14:28 di atas, yakni negeri yang terancam menjadi daarul bawaar (negeri yang binasa) karena kesalahan dalam manajemen nikmat (baddallu ni'matallahi kufran).
Bila tak ingin negeri ini menjadi daarul bawar , terpuruk dalam kebinasaan, para dai sebagai kekuatan moral (force of power) harus memiliki peran konstruktif dan mengoreksi langkah-langkah salah para pemimpin negeri ini, temasuk para penegak hukumnya.
Tugas para dai adalah mengajak segenap anak negeri untuk melakukan harakatul inqadz (gerakan penyelamatan), dengan langkah awalnya adalah melakukan perubahan dalam memperlakukan nikmat Allah.
Rasulullah mengingatkan para dai agar memberikan peringatan kepada para pemimpin yang berada di pusat-pusat kedaulatan, kekuasaan, regulasi, serta perubahan agar rahmatan lil alamin menyebar lebih cepat. Karena, konsep perubahan tidak bisa dilepaskan dari upaya membuka kunci-kunci keberkahan dari Allah SWT untuk membawa masyarakat negeri ini ke arah yang lebih baik. (QS 7:96).
Jika para pemimpin negeri ini yang memiliki tanggung jawab mau bergerak dengan alur kehendak Allah, dukungan-Nya dalam segala aspek pasti akan datang. Selama ini, manajemen kufur nikmat yang dilakukan, telah menyebabkan kekayaan negeri ini digerogoti bangsa lain juga para pemimpinnya yang khianat.
Akibatnya, bangsa ini tidak memiliki izzah karena mengemis dan mengharap belas kasihan bangsa lain untuk mendapatkan kredit atau hibah. Padahal, bila bangsa ini makin bersyukur (QS 14:7), Allah akan melipatgandakan potensi nikmat bagi rakyatnya sehingga dapat menyebarkan kebajikan bagi bangsa lain di muka bumi.
Berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah dan dinyatakan hasan oleh Syekh Al-Albany dalam Shahih Ibnu Majah, diriwayatakan bahwa Nabi saw, jika salam pada shalat Shubuh, beliau membaca:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْماً نَافِعاً وَرِزْقاً حَلاَلاً وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً
"Ya Allah, aku mohon kepada-Mu; ILMU yang bermanfaat, Rezeki yang halal dan AMAL yang diterima."
Do'a yang singkat dan sangat mudah dihafal ini, tentu sangat layak kita jadikan sebagai wirid harian kita sehabis shalat Shubuh (disamping zikir lainnya). Sementara di sisi lain dia mengandung makna yang sangat menarik untuk kita cermati.
Mengingat bahwa do'a adalah harapan dan keinginan kita, sedangkan do'a dengan kandungan seperti di atas tersebut dibaca sehabis shalat Shubuh yang nota bene merupakan pembuka aktifitas harian kita, maka tak berlebihan jika kita katakan bahwa agenda harian seorang muslim adalah; menuntut ILMU, mencari REZEKI dan menunaikan AMAL (IBADAH).
Ketiga hal ini, ILMU, REZEKI DAN AMAL (IBADAH), adalah perkara yang memiliki kaitan sangat erat satu lain, kaitan yang saling mempengaruhi dan melengkapi, bukan saling mengenyampingkan apalagi menafikan, sebagaimana yang dipahami sebagian orang. ILMU adalah salah satu pintu kita untuk mencari REZEKI, ILMU pula yang dapat mengantarkan kita pada IBADAH yang benar. Begitu pula dengan REZEKI, sangat erat terkait dengan ILMU dan IBADAH, dan IBADAH sangat erat terkait dengan ILMU dan REZEKI.
Karenanya, agar kaitannya berlangsung positif dan barokah, ketiga agenda tersebut semestinya tidaklah sekedarnya dilakukan. ILMU yang kita cari hendaknya adalah ILMU yang bermanfaaat, yaitu ILMU yang dapat mengantarkan seseorang untuk beriman, tunduk dan patuh kepada Allah Ta'ala, tidak mesti harus ILMU agama, meskipun itu yang paling mendasar (QS. Ali Imran: 191). Setelah itu, dengan ILMUnya tersebut dia mendatangkan manfaat bagi orang lain dan masyarakat.
Begitupula dengan REZEKI yang kita cari, kehalalan hendaknya di tempatkan pada urutan pertama untuk menetapkan langkah kita mencari REZEKI (maisyah). Banyaknya orang yang menerobas larangan dalam mencari REZEKI, semestinya tidak menjadi alasan kita untuk melakukan hal yang sama, justeru seharusnya memotivasi kita untuk semakin memperkuat basis pertahanan agar tidak jebol dengan maisyah yang haram. Ungkapan salafusshaleh 'Kami tahan jika harus tidak makan sekian hari, namun kami tidak tahan dengan azab neraka sesaat saja' hendaknya harus selalu terngiang dalam aktivitas maisyah kita.
AMAL IBADAH kita pun begitu, hendaknya kita tidak cukup merasa puas dengan IBADAH yang sudah kita laksanakan. Kini pertanyaan yang harus kita munculkan bukan 'Apakah saya sudah berIBADAH? Apakah saya sudah shalat?', tapi 'Apakah IBADAH saya sudah masuk kriteria diterima? Apakah shalat saya diterima?'. Hal mana menuntut kita untuk jangan lupa menghadirkan dua faktor utama agar IBADAH kita diterima; niat yang IKHLAS karena Allah dan pelaksanaan yang BENAR sesuai petunjuk Allah dan Rasulullah-Nya.
Maka dalam kesehariannya, seorang muslim adalah orang yang memiliki tradisi ilmiah yang baik dan etos kerja yang tinggi namun tetap tekun berIBADAH. Atau dengan bahasa gaul bisa kita katakan, 'seorang muslim itu; sudah cerdas, tajir, shalih pula'.
Wallahua'lam.
Ketika perang dunia kedua meletus tahun 1942, Soekarno meramalkan bahwa kawasan pasifik pastiakan menjadi medan tempur yang sengit. Semua pihak past lelah. Belanda dan Jepang tidak akan mampu mengurus tanah jajahannya. Dan inilah kesempatan emas untuk merdeka. Tahun 1945, Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dan Bangsa Indonesia pun menobatkannya sebagai pahlawan nasional.
Menjelang setiap momentum kepahlawanan selalu aka nada sebuah pekerjaan berat: pengambilan keputusan. Kelihatannya mudah untuk mengatakan bahwa keputusan dapat diambil secara tepat manakala ada informasi yang cukup dan akurat. Namun, itu dalam situasi normal, sedang momentum kepahlawanan biasanya muncul dalam situasi tidak normal. Dalam keadaan seperti ini, rasionalitas menjadi tidak mandiri. Ada kekuatan lain yang lebih menentukan: firasat. Ia hadir di ujung rasionalitas, dan tangannyalah yang akan mengetuk palu, setelah itu: Anda jadi pahlawan atau tidak sama sekali.
Maka, di sini tersembunyi sebuah perjudian, sebuah spekulasi: sebab firasat menyerupai usaha peramalan yang tidak mempunyai ”dalil” selain dari keyakinan yang menumpuk dalam hati, kukuh, dan kuat. Dalam ruang hati itu tidak ada lagi tempat bagi keraguan, kegamangan, dan kekhawatiran. Nasib digariskan di sini, dan sejarah hanya akan memotret dan mencatatnya. Tidak lebih.
Peramalan, dalam situasi tidak normal, tentulah tidak sepenuhnya merupakan pekerjaan intuisi yang melahirkan firasat. Kecukupan dan akurasi informasi tetap akan menjadi faktor yang menentukan. Akan tetapi, ia hanya menentukan di awal peramalan, ketika seorang pahlawan sedang membangun kerangka pemahamannya tentang situasi dan masa depan. Sisanya, firasat akan menjadi referensi terakhir saat di mana seseorang harus menentukan pilihan terakhir.
Maka, ketika Abu Bakar memutuskan untuk memerangi orang-orang murtad, beliau menghadapi penolakan dari semua sahabat Rasulullah saw. Dan yang paling keras menolak adalah Umar bin Khattab. Akan tetapi, beliau tetap kukuh dengan keputusannya. Alasannya sederhana: dengan firasatnya yang tajam, gerakan murtad ini, walaupun hanya bermula dari penolakan membayar zakat, akan menjadi cikal akan lepasnya ikatan Islam, baik secara ideology maupun structural, yang akan sangat membahayakan.
Ketika Umar terus memintanya bersikap lebih lembut dengan alasan persatuan dan stabilitas setelah wafatnya Rasulullah saw., beliau mengatakan, ”apakah ajaran Islam kaan berkurang padahal saya masih hidup?” Maka, Umar pun terdiam, kemudian berkata, ”tampaknya Allah telah melapangkan dadanya dengan ilham tertentu.”
Ternyata Abu Bakar benar. Jazirah Arab menjadi basis kekuatan Islam setelah itu, karena sumber keretakan internal telah dilenyapkan. Dengan demikian, firasat merupakan simpul akhir dari keseluruhan kualitas kepribadian kita, sekaligus merupakan ”bantuan Allah” yang kemudian kita sebut, ”taufik” (sesuatu yang membuatnya tepat).
"Kalau aku adalah Muhammad," kata Iqbal, "aku takkan turun kembali ke bumi setelah sampai di Sidratul Muntaha."
Iqbal barangkali mewakili perasaan kita semua: persoalan keteduhan di haribaan Allah, di puncak langit ketujuh, di Sidratul Muntaha, terlalu menggoda untuk ditinggalkan apalagi untuk sebuah kehidupan penuh darah dan air mata di muka bumi. Dua kehidupan yang tidak dapat diperbandingkan. Sebab perjalanan ke Sidratul Muntaha itu memang terjadi setelah sepuluh tahun masa kenabian yang penuh tekanan, disusul kematian orang-orang tercinta yang menjadi penyangga, Khadijah dan Abu Thalib. Perjalanan itu perlu untuk menghibur Sang Nabi dengan panorama kebesaran Allah swt.
Tapi Sidratul Muntaha bukan penghentian. Maka Sang Nabi turun ke bumi juga akhirnya. Menembus kegelapan hati kemanusiaan dan menyalakannya kembali dengan api cinta. Cintalah yang menggerakkan langkah kakinya turun ke bumi. Cinta juga yang mengilhami batinnya dengan kearifan saat ia berdoa setelah anak-anak Tahif melemparinya dengan batu sampai kakinya berdarah: "Ya Allah, beri petunjuk pada umatku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui." Seperti juga cinta menghaluskan jiwanya sebelas tahun kemudian, saat ia membebaskan penduduk Makkah yang ia taklukkan setelah pertarungan berdarah-darah selama dua puluh tahun: "Pergilah kalian semua, kalian sudah kumaafkan," katanya ksatria.
Dengan kekuatan cintalah Sang Nabi menaklukan jiwa-jiwa manusia dan merentas jalan cepat kedalamnya. Maka wahyu mengalir bagai air membersihkan karat-karat hati yang kotor dan sakit, kemudian menyatukannya kembali dalam jalinan persaudaraan abadi, lalu menggerakkannya untuk menyalakan dunia dengan api cinta mereka. Seketika kota Madinah menyala dengan cinta. Lalu Jazirah Arab. Lalu Persi. Lalu Romawi. Lalu dunia. Dan Rumi pun bersenandung riang:
Jalan para nabi kita adalah jalan cinta
Kita adalah anak-anak cinta
Dan cinta adalah ibu kita
Jalan cinta selalu melahirkan perubahan besar dengan cara yang sangat sederhana. Karena ia menjangkau pangkal hati secara langsung darimana segala perubahan dalam diri seseorang bermula. Bahkan ketika ia menggunakan kekerasan, cinta selalu mengubah efeknya, dan seketika ia berujung haru.
Begitulah sebuah pertanyaan sederhana mengantar Khalid menuju Islam. Sang Nabi bertanya kepada saudara laki-laki Khalid yang sudah lebih dulu masuk Islam. "Kemana Khalid? Sesungguhnya aku menyaksikan ada akal besar dalam dirinya." Khalid yang pernah membantai pasukan panah Sang Nabi dalam perang Uhud seketika tergetar. Padahal saat itu ia sedang merencanakan serangan kepada Sang Nabi menjelang perjanjian Hudaibiyah. Ia pun mencapai kepasrahannya.