Anda harus waspada dan berhati-hati! Sebab, disini ada jebakan kepahlawanan yang sering menipu banyak orang. Sahabat para pahlawan belum tentu juga pahlawan. Inilah tipuannya. Para pahlawan mungkin tidak tertipu, tetapi orang-orang yang bersahabat dengan para pahlawanlah yang lebih sering tertipu.
Dalam lingkungan pergaulan, para pahlawan adalah parfum. Apabila berada ditengah kerumunan, maka semua orang akan kecipratan keharumannya. Apabila ada “orang lain” yang mulai mendekat dan mencium keharuman itu, mungkin ia sulit mengenali dari mana keharuman itu berasal.
Situasi ini tentu saja menguntungkan orang-orang yang mengerumuni sang pahlawan. Mendapatkan peluang untuk diduga sebagai pahlawan. Itulah awal mula kejadiannya. Orang-orang biasa selalu merasa puas dengan bergaul dan menjadi sahabat para pahlawan. Mereka sudah cukup puas dengan mengatakan, “Oh, pahlawan itu sahabatku,” atau ungkapan “Oh, pahlawan itu seangkatan denganku.” orang-orang itu tidak mau bertanya, mengapa bukan dia yang menjadi pahlawan.
Akan tetapi, ada “orang biasa” yang mempunyai sedikit rasa megaloman, semacam obsesi kepahlawanan yang tidak terlalu kuat, namun ada dan meletup-letup pada waktu tertentu. Orang-orang seperti ini sering merasa telah menjadi pahlawan hanya karena ia bersahabat dengan para pahlawan. Dan karenanya, sering berperilaku seakan-akan dialah sang pahlawan.
Yang kita saksikan dalam kejadian ini adalah suatu proses identifikasi “orang biasa” dengan sahabatnya yang “pahlawan”. Ini merupakan tipuan jiwa: seseorang tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan para pahlawan, tetapi mau menyandang gelar kepahlawanan, dengan memanfaatkan kamuflase persahabatan.
Persahabatan memang sering menipu, bukan karena tabiat persahabatan yang memang menyimpan tipuan, tetapi karena sebuah “kebutuhan jiwa” tertentu, yang memanfaatkan persahabatan untuk memenuhinya. Maka, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, suatu ketika memperingatkan para “murid” yang sedang menuntut ilmu di bawah bimbingan para ulama. Katanya, “Waspadalah, jangan merasa telah menjadi ulama, hanya karena bergaul dan bersahabat dengan para ulama.”
Apakah kita harus meninggalkan sahabat-sahabat kita yang para pahlawan itu? Tentu saja tidak! Yang perlu kita lakukan adalah meluruskan perasaan kita sendiri dan meluruskan pandangan terhadap diri kita sendiri. Suatu saat, Buya Hamka membawa istrinya kedalam sebuah majelis, dimana ia akan berceramah. Tiba-tiba, tanpa diduga, sang protokol juga mempersilahkan juga istri beliau untuk berceramah. Mereka tentu berprasangka baik: istri sang ulama juga mempunyai ilmu yang sama. Dan, istri beliau benar-benar naik ke podium. Buya Hamka terhenyak. Hanya satu menit. Setelah memberi salam, istrinya berkata, “Saya bukan penceramah, saya hanya tukang masak untuk sang penceramah.”
Jangan melakukan identifikasi diri yag salah. Jangan menilai diri sendiri melampaui kadarnya yang objektif. Namun, ada yang jauh lebih penting dari itu. Jangan pernah berpikir untuk menjadi pahlawan, tanpa melakukan pekerjaan-pekerjaan para pahlawan.
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Saudara-saudaraku, Ikhwan yang dirahmati Allah, setelah kemarin memposting "20 Kriteria Ikhwan Genit" ternyata bukan ikhwan saja yang genit, akhwatpun pada genit juga tuh!!!
Ini nih sebagian ciri-ciri yang dapat kami jelaskan : 1. Berpakaian yang mengundang pandangan
Mungkin ia memakai jilbab lebar, gamis, namun jilbab dan busana muslimah yang digunakannya dibuat sedemikian rupa agar menggoda pandangan para ikhwan. Warna yang mencolok, renda-renda, atau aksesoris lain yang membuat para pria jadi terpancing untuk memandang.
2. Senang dilihat
Akhwat genit, senang sekali bila banyak dilihat oleh para ikhwan. Maka ia pun sering tampil di depan umum, sering mencari-cari perhatian para ikhwan, sering membuat sensasi-sensasi yang memancing perhatian para ikhwan dan suka berjalan melewati jalan yang terdapat para ikhwan berkumpul.
3. Kata-kata mesra yang ‘Islami’Seringkali akhwat-akhwat genit melontarkan ‘kata-kata mesra’ kepada para ikhwan. Tentu saja kata-kata mesra mereka berbeda dengan gayanya orang berpacaran, namun mereka menggunakan gaya bahasa Islami.
“Jazakalloh yach akhi”
“Akh, antum bisa saja dech”
“Pak, jangan sampai telat makan lho, sesungguhnya Alloh menyukai hamba-Nya yang qowi”
“Kaifa haluk akhi, minta tausiah dunks…”
“Akh, besok syuro jam 9, jangan mpe telat lhoo..”
4. SMS tidak penting
Biasanya akhwat-akhwat genit banyak beraksi lewat SMS. Karena aman, tidak ketahuan orang lain, bisa langsung dihapus. Ia sering SMS tidak penting, menanyakan kabar, mengecek shalat malam sang ikhwan, mengecek shaum sunnah, atau SMS hanya untuk mengatakan “Afwan…” atau “Jazakalloh”
5. Banyak bercanda
Akhwat genit banyak bercanda dengan para ikhwan. Mereka pun saling tertawa tanpa takut terkena fitnah hati. Betapa banyak fitnah hati, VMJ, yang hanya berawal dari sebuah canda-mencandai.
6. Tidak khawatir berikhtilat
Ada saat-saat dimana kita tidak bisa menghindari khalwat dan ikhtilat. Namun seharusnya saat berada pada kondisi tersebut seorang mu’min yang takut kepada Allah sepatutnya memiliki rasa khawatir berlama-lama di dalamnya. Bukan malah enjoy dan menikmatinya. Demikian si akhwat genit. Saat terjadi ihktilat akhwat genit tidak khawatir. Bukannya ingin cepat-cepat keluar dari kondisi tersebut, akhwat genit malah menikmatinya, berlama-lama, dan malah bercanda-ria dengan pada ikhwan laki-laki di sana.
7. Berbicara dengan nada
Maksudnya berbicara dengan intonasi kata yang bernada, mendayu, atau agak mendesah, atau dengan gaya agak kekanak-kanakan, atau dengan gaya manja, semua gaya bicara seperti ini dapat menimbulkan ‘bekas’ pada hati laki-laki yang mendengarnya. Dan ketahuilah wahai muslimah, hal ini dilarang oleh syariat. Allah SWT berfirman yang artinya: “Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma‘ruf.” (Al Ahzab: 32) Para ulama meng-qiyaskan ‘merendahkan suara’ untuk semua gaya bicara yang juga dapat menimbulkan penyakit hati pada lelaki yang mendengarnya.
Maka mari sama-sama kita perbaiki diri. Kita tata lagi pergaulan kita dengan lawan jenis. Karena inilah yang telah diperintahkan oleh syariat. Dan tidaklah Allah memerintahkan sesuatu kepada hamba-Nya, kecuali itu kebaikan. Dan tidaklah Allah melarang sesuatu kepada hamba-Nya, kecuali itu keburukan. Dan sesungguhnya Rasulullah SAW telah mewasiatkan kepada ummatnya bahwa fitnah (cobaan) terbesar bagi kaum laki-laki adalah cobaan syahwat, yaitu yang berasal dari wanita: ”Tidaklah ada fitnah sepeninggalanku yang lebih besar bahayanya bagi laki-laki selain fitnah wanita. Dan sesungguhnya fitnah yang pertama kali menimpa bani Israil adalah disebabkan oleh wanita.” (HR. Muslim)
"Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lohmahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (QS. Al Hadiid: 22)
8. Jilbab Berponi Dan Jilbab Setengah Tiang
Mungkin temen-temen pada penasaran apaan sih jilbab berponi? itu tuh orang yang pake kerudung tapi ga pake daleman kerudung dan poninya dikeluarin, (gambarnya ga ada sih, lagian ntar malah bikin dosa para ikhwan Nyengir) malah ada yg poninya di cat merah jadi persis kaya anak kecil yg hobby maen layangan jd rambutnya merah, dan itu dengan sengaja diperlihatkan...
Selain itu jilbab setengah tiang, inget ga dulu aku pernah ngomong masalah celana jeans setengah tiang? nah ini ada lagi jilbab setengah tiang, jilbab yang leher dan separuh dadanya masih terlihat dan jilbab yg antara rambut (rambut bagian belakang) sama jilbabnya panjangan rambutnya jadi jilbabnya cuma nutupin setengah dari rambutnya. Dan kebanyakan rambutnya kan lurus (entah lurus asli atau hasil rebonding pake setrika) itu dia ko sekarang makin banyak ya aku liat di lingkunganku padahal udah banyak terpampang tentang kriteria busana muslimah tapi makin kesini ko malah makin banyak...
Heran aku sungguh heran... I don't know - New!
Maaf buat yg tersinggung.
Berhati-hatilah para ikhwan, bisa saja di balik hijab itu ada akhwat genit.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Sumber : JM Community
Pengetahuan kita memang sedikit. Teramat sedikit. Hanya seperti setetes embun di lautan pengetahuan Allah. Itupun tidak bisa dengan sendirinya menciptakan peristiwa-peristiwa kehidupan kita. Kesalahan kita, dengan begitu, selalu ada disitu; saat dimana kita menafsirkan seluruh proses kehidupan kita dengan pengetahuan sebagai tafsir tunggal. Tapi setetes embun itu yang sebenarnya memberikan sedikit kuasa bagi manusia atas peserta alam raya lainnya, dan karenanya membedakannya dari mereka.
Walaupun bukan dalam kerangka hubungan kausalitas mutlak, Allah tetap saja menyebutnya sulatan; kekuasaan, kekuatan. Pengetahuan menjadi kekuasaan dan kekuatan karena Allah dengan kehendak-Nya meniupkan kuasa dan kekuatan itu kedalamnya kapan saja Ia menghendaki-Nya. Dan karena pengetahuan itu adalah input Allah yang diberikannya kepada akal sebagai infrastruktur komunikasi manusia dengan-Nya, maka ia menjadi penting sebagai penuntun bagi kehidupan manusia. Dalam kerangka itulah Allah mengulangi kata ilmu, dengan seluruh perubahan morfologisnya, lebih dari 700 kali dalam Al-Qur’an. Di jalur makna seperti itu pula Rasulullah saw. mengatakan: “Siapa yang menginginkan dunia hendaklah ia berilmu. Siapa yang menginginkan akhirat hendaklah ia berilmu. Siapa yang menginginkan kedua-duanya hendaklah ia berilmu.”
Ada sesuatu yang tampak tidak bertemu disini; antara ilmu yang sedikit, dan kuasa yang diberikan Allah pada ilmu yang sedikit itu. Yang pertama menyadarkan kita akan ketidakberdayaan kita. Tapi yang kedua menggoda kita dengan kekuasaan besar atas dunia kita. Kisah Fir’aun, Haman dan Qarun, adalah kisah-kisah orang-orang yang gagal menemukan titik temu antara keduanya. Sebaliknya ada kisah Yusuf dan Sulaeman yang menemukan simpul perekat antara kedua situasi.
Yusuf menguasai perbendaharaan negara karena ia, seperti yang beliau lukiskan sendiri, hafiz ‘aliim; penjaga harta yang tahu bagaimana cara menjaganya. Ilmu tentang bagaimana menjaga harta kekayaan negara telah memberinya posisi tawar politik yang kuat dalam kerajaan. Begitu juga dengan kerajaan Sulaeman yang disangga oleh para ilmuwan yang bahkan melampaui kedalaman ilmu pasukan Jinnya. Sebab pasukan Jin hanya mampu memindahkan singgasana Balqis dari Yaman ke Palestina dalam waktu antara duduk dan berdirinya Sulaeman. Sementara para ilmuwannya mempu memindahkan singgasana itu dalam satu kedipan mata. Itu bukan pengiriman data dan suara seperti dalam sms dan hubungan telepon. Tapi pengiriman barang atau cargo.
Luar biasa. Bukan terutama pengetahuannya yang luar biasa. Tapi tafsir Sulaeman atas itu semua: “Ini adalah keutamaan dari Tuhanku, yang dengan itu Ia hendak menguji aku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (kufur) nikmat itu.” Sulaeman memahami bahwa Allahlah yang meniupkan sedikit kuasa pada pengetahuan itu. Sedikit kuasa itu membuatnya percaya diri di depan Balqis dengan menggunakan diplomasi teknologi dalam menyampaikan risalah, tapi juga membuatnya rendah hati dan bersyukur di depan Allah.
Itulah kata kuncinya: kerendahan hati dan kepercayaan diri. Persis seperti embun; sejuk karena kerendahan hati, tapi tak pernah berhenti menetes karena percaya bahwa dengan kelembutannya ia bisa menembus batu.
[Sebelumnya]
John Lenon adalah sebuah trauma. Lahir ditengah puing perang dunia pertama, kedua, dan perang Vietnam, Legenda Pop tahun 60-an itu tiba-tiba menemukan bumi ini seperti sepenggal neraka. Maka lahirlah Flower Generation dengan semangat anti perang dan fenomena hyppies. Bahkan ketika Tuhan disebut dalam perang, Bob Dylan justru mengatakan: "If God in our side, Hell stop the next war."
Sejarah perang modern adalah mimpi buruk terpanjang umat manusia. Api. Debu. Darah. Air mata. Terlalu mengerikan. Perang modern jadi tragedi kemanusiaan karena ia lahir dari dendam, keserakahan, megalomania dan kesunyian. Imperialisme Eropa ke timur adalah riwayat dendam dan keserakahan. Perang dunia pertama dan kedua adalah kisah keserakahan dan megalomania. Napoleon, Hitler, dan Mussolini adalah legenda megalomania dan kesunyian: perang adalah cara mereka menyebar kemeranaan mereka. Sebab itu perang modern adalah brutalisme, sadisme, kanibalisme: saat-saat panjang tanpa kasih, dari orang-orang yang menemukan kepuasan pada tesis-tesis darah dan air mata.
Tapi perang tidak hanya punya satu wajah. Perang punya wajah lain yang lebih agung, etis dan manusiawi. Perang adalah takdir manusia. Kamu suka atau tidak suka. Perang itu niscaya. Bedanya hanya pada dua hal: siapa musuhmu, dan dengan cara apa kamu melawannya. Siapa musuhmu menentukan atas nama apa kamu berperang. Caramu melawan menggambarkan watak perang yang kamu lakoni. Di dasar batinmu yang terdalam sebenarnya kamu tahu atas nama siapa kamu berperang: kebenaran atau kebatilan. Angkara murka yang lahir dari kebatilan niscaya melahirkan dendam, keserakahan, megalomania, sadisme, brutalisme, dan kanibalisme. Habis itu kesunyian yang panjang: dan darah yang terus mengalir tanpa kasih.
Maka begitu Hitler menyadari kekalahannya, ia bunuh diri. Darahnya dan darah korban-korbannya sama saja: merah! Tapi Khalid justru menangis karena mati di atas kasur: bukan di medan laga! Tapi mengapa revolusi Chili jadi nyanyian Pablo Nerudo? Mengapa Khalid bin Walid mengatakan: "Berjaga pada sebuah malam dingin, ditengah deru peperangan, lebih aku suka daripada disisi seorang gadis di malam pengantin?" Mengapa Abu Bakar mengatakan: "Carilah kematian agar kamu menemukan kehidupan?"
Jika kamu berperang di bawah bendera kebenaran, cinta mengendalikan motifmu dan caramu berperang. Tetap ada kekerasan. Darah. Tapi cinta membuatnya jadi agung. Etis. Manusiawi. Perang atau revolusi adalah drama kemanusiaan. Disana kita menyabung nyawa, karena ada yang kita cintai di sini: Tuhan, hidup, tanah air, bangsa, keluarga, diri sendiri. Perang bukan kebencian. Maka mereka yang tidak terlibat dalam perang tidak boleh dijadikan korban: anak-anak, orang tua, wanita, tumbuhan, hewan dan lingkungan hidup. Jika kebutuhan biologismu tersumbat selama perang, kamu bisa jadi sadis. Atau bahkan kanibalis. Maka prajurit perang -dalam islam- harus kembali ke keluarganya setiap empat bulan: biar jihad jadi lebih dekat kepada cinta, tidak berubah jadi benci.
Perang semacam ini menciptakan kehidupan dari kematian. Hanya perang semacam ini yang dapat menghentikan perang dengan perang.
[Sebelumnya]
Tidak ada manusia yang sempurna. Memang itulah kenyataannya. Akan tetapi, pada waktu yang sama kita juga diperintahkan untuk berusaha menjadi sempurna. Atau, setidaknya mendekati kesempurnaan.
Inilah masalahnya. Adakah kesalahan dalam perintah ini? Tidak! Namun, mengapa kita diperintahkan melakukan sesuatu yang tidak mungkin menjadi kenyataan? Jawabannya adalah kesempurnaan itu relatif. Ukuran kesempurnaan itu relatif. Ukuran kesempurnaan adalah batas maksimum dari kemampuan setiap individu untuk berkembang. Karena, “Allah membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”(Al-Baqarah: 286)
Maka, bergerak menuju kesempurnaan adalah bergerak menuju batas maksimum itu. Akan tetapi, kemudian muncul pertanyaan baru, “Bagaimana cara mengetahui batas maksimum itu?”
Tidak ada jawaban ilmiah yang cukup valid untuk pertanyaan ini, jika jawaban yang kita harapkan adalah ukuran kuantitatif. Bahkan, tokoh-tokoh besar dalam sejarah manusia, kata Syeikh Muhammad Al-Ghazali dalam Jaddid Hayataka, ternyata hanya menggunakan lima sampai sepuluh persen dari total potensi mereka. Berapakah, misalnya, jumlah waktu yang dibutuhkan Einstein untuk menemukan teori realitivitas, jika sebanding dengan total umurnya?
Jadi, ukurannya tidak bersifat kuantitatif. Namun, bersifat psikologis. Yaitu, semacam kondisi psikologis tertentu yang dirasakan seseorang dari suatu proses maksimalisasi penggunaan potensi diri, dimana seseorang memasuki keadaan yang oleh Al-Qur'an disebut “menjelang putus asa.” (Yusuf: 110)
Maka, kesempurnaan itu obsesi. Bila obsesi itu kuat, maka ia akan menjadi mesin yang memproduksi tenaga jiwa, yang membuat seseorang mampu bergerak secara konstan menuju titik kesempunaan. Yang kemudian terjadi dalam kenyataan adalah suatu proses perbaikan berkesinambungan. Karena itu, kadar kepahlawanan seseorang tidak diukur pada awal perjalanan hidupnya. Tidak juga pada pertengahannya. Namun, pada akhirnya; pada perbandingan antara satuan waktunya dengan satuan karyanya dan pada perbandingan antara karyanya dengan karya orang lain. Seseorang dianggap pahlawan karena jumlah satuan karyanya melebihi jumlah satuan waktunya dan karena kualitas karyanya melebihi kualitas rata-rata orang lain.
Itulah sumber dinamika yang dimiliki para pahlawan mukmin sejati: obsesi kesempurnaan. Akan tetapi, obsesi ini mudah dilumpuhkan oleh sebuah virus yang biasanya menghinggapi para pahlawan. Yaitu, kebiasaan merasa besar karena karya-karya itu, walaupun ia sangat merasakan hal itu. Sebab, perasaan itu akan membuatnya berhenti berkarya. Maka, Imam Ghazali mengatakan, “Siapa yang mengatakan saya sudah tahu, niscaya ia segera menjadi bodoh.”
Jadi, musuh obsesi kesempurnaan adalah sifat megalomania. Inilah hikmah yang kita pahami dari turunnya surah Al-Nasr pada saat Fathu Makkah, “Apabila ia datang pertolongan Allah dan kemenangannya, dan engkau melihat orang-orang berbondong-bondong masuk kedalam agama Allah, maka bertasbihlah kepada Tuhanmu dan mintalah ampunan-Nya, karena sesungguhnya Ia Maha Menerima Taubat.”
Rasulullah saw pun tertunduk sembari menangis tersedu-sedu saat menerima wahyu itu, hingga janggut beliau menyentuh punuk untanya. Membebaskan satu negeri adalah karya besar. Akan tetapi, ketika Uqbah bin Nafi' bergerak untuk membebaskan Afrika, beliau hanya mengucapkan sebuah kalimat yang sangat seerhana, “Ya Allah, terimalah amal kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Beberapa karakter ustadz Umar At-Tilmisani:
1. Zuhud pada dunia
Beliau sangat memahami wasiat nabi saw yang disampaikan kepada Abdullah bin Umar, “Jadilah di dunia seakan-akan asing atau dalam perjalanan” (Bukhari). Setelah bergabung dengan kafilah dakwah, beliau tidak pernah mau tunduk pada dunia, bahkan beliau begitu zuhud, berkhidmat untuk dakwah dengan hati, lisan dan jasadnya; hatinya selalu tenteram dengan berdzikir kepada Allah dan mencintai dakwah ini, dan melalui lisannya beliau memberikan dan menyampaikan muhadharah, pelajaran dan makalahnya di berbagai media masa, dan melalui jasadnya beliau mampu bergerak ke berbagai penjuru sehingga diikuti oleh banyak manusia dalam berdakwah kepada Allah.
Dan beliau tidak pernah putus asa, dan beliau pernah ditawarkan harta berlimpah dalam menunaikan dakwah ini namun beliau menolaknya, beliau berkata kepada orang yang memberi harta kepadanya: “Telah datang kepada Anda seorang dai bukan pencari harta”. Beliau juga menolak untuk mengambil upah dari salah satu media yang di dalamnya beliau menulis makalah tentang dakwah, dan beliau berkata: “Saya tidak akan menjual sedikit pun dakwah Ikhwan, saya hanyalah seorang juru dakwah kepada Allah”.
2. Sabar dan berharap hanya kepada Allah
Ustadz Umar At-Tilmisani adalah sosok yang memiliki teladan dalam kesabaran, ketika berada dalam penjara –penjara yang begitu kotor- tempat yang banyak kotoran yang menjijikan, dingin menusuk tulang, panas yang terik dan angin yang menghembus keras membawa debu-debu; membuat hidup tidak nyaman, tidur tidak tenang, jiwa selalu gelisah.. namun beliau menerimanya dengan penuh senyum dan suka ria. Beliau adalah sosok yang memiliki keteguhan, iman yang kuat dan kepercayaan yang sangat kokoh, selalu mengumbar senyum kepada Ikhwan nya, memberikan keteguhan dan selalu menolak dari seorangpun ketika ingin memberikan bantuan untuknya, dan beliau selalu melakukan segala urusannya dengan sendirinya.
3. Keteguhan dalam mengucapkan kebenaran
Nampaknya beliau adalah sosok yang disebutkan Allah dalam ayat “yaitu mereka yang menyampaikan risalah Allah dan takut kepada Allah dan tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah”. Beliau tegar dan berani dalam menyampaikan kebenaran di hadapan presiden Sadat, ketika beliau bertemu dengannya, Sadat menuduhnya dengan berbagai kecaman, lalu dengan berani beliau menjawabnya, memanggilnya dengan nama asli dan mengadukan nya kepada Allah, sedangkan Sadat mendengarkan jawabannya dengan tubuh gemetar, dan ketika Sadat bertanya siapakah mursyid Am Ikhwanul Muslimin? Beliau menjawab: “Sayalah Mursyid Am Ikhwan."
Ketika itu hukuman atas orang yang menjabat sebagai ketua jamaah ilegal adalah 25 tahun, dan beliau menerimanya dengan senang hati, hanya berharap ganjaran dari Allah, bagaimanapun kondisinya.
4. Lisan yang bersih
Beliau juga memiliki lisan yang bersih, ungkapan yang manis dan sama sekali tidak pernah menyakiti seorang pun dari lisannya. Beliau pernah berkata tentang dirinya: “Saya telah berjanji pada diri ini untuk tidak menyakiti seorang pun melalui ungkapan para nabi, sekalipun diriku adalah pelaku oposisi (penentang) dalam kebijakan politik, bahkan sekalipun mereka menyiksa saya.. bahwa pekerjaan saya adalah berjuang di jalan Allah, yang mesti menanggung berbagai cobaan dan siksaan yang diarahkan kepada saya, menangkap saya namun saya tetap bertawakal kepada Allah, tidak peduli dengan apa yang mereka lakukan, dan berbagai tindakan yang mereka lakukan terhadap diriku."
5. Di antara ungkapan-ungkapan beliau
Imam Hasan Al-Banna telah mengajarkan kepada saya bahwa kezhaliman tidak akan mampu dihancurkan kecuali karena umat manusia tidak penuh menguasai kekuatannya”. Para anggota Ikhwanul Muslimin pada masa pemerintahan Abdul Naser banyak yang dipenjara, meninggalkan anak-anak dan istri-istri mereka tanpa ada yang menanggungnya, namun Ikhwan berharap perbuatan mereka adalah karena Allah, sehingga Allah melindungi anak-anak dan istri-istri mereka, karena barangsiapa yang hanya berharap kepada Allah, memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya maka hal tersebut merupakan kelapangan rezki dan karunia dari Allah SWT.
Bahwa penjara telah mampu menelurkan generasi dakwah yang agung dan mulia, generasi dengan penuh keteguhan dan ketegaran, hafal Al-Qur’an dan menerima ilmu yang banyak di dalamnya, mereka terus meningkatkan kesabaran dan tsabat, sekalipun jasad mereka menjadi lemah namun ruh mereka begitu besar dan begitu dekat hubungannya dengan Allah, di antara mereka adalah Umar At-Tilmisani, dan Allah telah menjanjikan untuk memberikan kepada jamaah ini seorang pemimpin yang kharismatik, seorang rabbani yang mampu memimpin kapal ini di tengah kerasnya ujian dan cobaan dengan penuh kesabaran dan hikmah.
Dakwah pada masa beliau menjabat telah menyebar begitu luas, para pemuda banyak menerima akan dakwah beliau sehingga menjadi arus Islam yang begitu luas dan besar, terutama di universitas-universitas, persatuan-persatuan, dan lain sebagainya.
Awal mula bergabung dengan Ikhwanul Muslimin
Awal mula bergabungnya Umar At-Tilmisani dengan jamaah Ikhwanul Muslimin adalah langsung dihadapan pendirinya yaitu Hasan Al-Banna pada tahun 1933, setelah beliau diajak oleh dua orang anggota Ikhwanul Muslimin; Izzat Muhammad Hasan dan Muhammad Abdul Aa’l untuk mengikuti pelajaran yang diisi oleh Imam Hasan Al-Banna.
Beliau masuk penjara pada 1948 dan kemudian pada tahun 1954, dan saat dibebaskan dari penjara pada akhir bulan Juni 1971 seorang petugas militer menghampirinya dan berkata: Anda telah dibebaskan … dan sekarang kumpulkan barang-barangmu untuk segera keluar dari tempat ini, dan pada saat waktu telah masuk malam; yaitu setelah waktu Isya, beliau berkata kepada petugas tersebut: bolehkah saya bermalam di sini untuk malam ini saja, lalu saya akan pergi nanti pada waktu pagi, karena saya telah lupa jalan-jalan di Kairo. Petugas tersebut berkata: Ini adalah bukan tanggung jawab saya, silakan keluar dari penjara, dan tidur di pintu masuk hingga waktu yang Anda inginkan, maka saya pun meminta taksi dan akhirnya kembali ke rumah dengan selamat.
Di kota Ismailia saat terjadi pertemuan antara Sadat dan Ustadz Umar At-Tilmisani, dan al-akh Abdul Azhim Al-muth’ini, lalu Sadat berbicara dan menyerang Ikhwanul Muslimin, lalu meminta Umar untuk membalasnya, maka diapun mempersilakan kepadanya untuk melanjutkan.
Dan ketika Sadat selesai berbicara, Umar menjawab dan berkata: “Jika orang lain berkata seperti ini maka saya akan mengadukannya kepada Anda, namun karena Anda yang berkata seperti demikian, maka saya akan mengadukan Anda kepada Allah,” maka Sadat pun berkata kepadanya: “Tolong tarik pengaduan Anda wahai Umar,” dan saat itu tubuhnya gemetaran, dan pertemuan berakhir tetapi kondisi masih tidak bersih karena Sadat masih saja melakukan pengkhianatan terhadap Ikhwanul Muslimin.
Kemudian Sadat pada tahun 1981 menangkap Umar At-Tilmisani dan bersama ratusan orang dari para cendekiawan, Coptic’s, uskup, dan para penulis serta lain-lainnya, dan Umar At-Tilimsani meninggal pada hari Rabu, 13 Ramadan 1406 H bertepatan dengan tanggal 22 Mei 1986 pada usia 82 tahun, setelah dirawat di rumah sakit akibat penyakit menderanya dan usia tua, kemudian beliau dishalatkan di Masjid Umar Makram di Kairo, dan upacara pemakamannya diiringi oleh sejumlah orang yang begitu besar hingga mencapai lebih dari seperempat juta orang –dan ada berpendapat setengah juta – dari masyarakat Mesir dan para utusan yang datang dari luar Mesir.
Begitu pula ikut hadir para pemuda yang berumur di bawah dan di atas dua puluh … mereka datang dari kota-kota dan desa-desa di Mesir, mereka ikut berpartisipasi dalam mengikuti prosesi pemakaman ini, mereka berlari-lari kecil dengan bertelanjang kaki di belakang mobil yang membawa jenazah, sementara air mata mereka membasahi wajah-wajah mereka, menangis atas meninggalnya sang dai pujaan nan kharismatik. Selain itu pula; pemerintah juga ikut berpartisipasi dan berbelasungkawa terhadap meninggalnya pemimpin Ikhwanul Muslimin tersebut.. dan ikut mengiringi pemakamannya, sebagaimana dihadiri pula oleh Perdana Menteri, Sheikh Al-Azhar saat itu, para anggota dari majma’ buhuts al-islamiyah (Akademi Penelitian Islam) dan ketua DPR/MPR, dan beberapa pimpinan dan tokoh Organisasi Kemerdekaan Palestina, dan beberapa tokoh dan ulama Mesir dan Islam serta sekelompok besar dari para diplomat; Arab dan dunia Islam.
Kesaksian tokoh tentang Umar At-Tilmisani
Ibrahim Saa’dah, pemimpin redaksi Akhbar El Youm berkata dengan satu ungkapan: Umar At-Tilimsani telah meninggal .. negara dalam kondisi tenang.. bagi jamaah… bangsa… dan tanah air!
radio Amerika: Jenazah ini telah menampakkan kekuatan dan antusiasme gerakan Islam di Mesir secara khusus dan mayoritas yang hadir adalah para pemuda.
Majalah Kreeznet Internasional pada edisi tanggal 1-06-1986 menulis tentang beliau: “Dengan meninggalnya Umar At-Tilimsani seluruh harakah Islamiyah kehilangan seseorang yang memiliki kharisma yang mengagumkan, dan pengorbanannya akan menjadi inspirasi serta menempati posisi yang selalu dikenang sepanjang masa”.
Beberapa tulisan Mursyid Am “Umar At-Tilmisani”:
1. Dzikroyat la mudzakirat
2. Syahid al-mihrab
3. Hassan al-Banna al-mulhim al-mauhub (Hassan al-Banna dan inspirasi yang berbakat)
4. Wa ba’dhu ma ‘allamani al-ikhwan (beberapa sikap yang diajarkan oleh Ikhwanul Muslimin)
5. Fi riyadhi tauhid (dalam naungan tauhid)
6. Al-makhraj al-Islami min ma’zaq as-siyasi (Solusi Islam dari krisis politik)
7. Al-Islam wal hukumah ad-diniyah (Islam dan pemerintahan teokratis)
8. Islam wanzhratuhu as-samiyah lil mar’ah (Pandangan Islam terhadap wanita)
9. wa qala an -naas walam aqul fi ahdi Abdun nasir (ungkapan orang-orang namun saya tidak ikut mengatakannya pada masa pemerintahan Abdul Nasser)
10. Minsifatil abidin (beberapa karakteristik Abidin)
11. Ya hukkamal muslimin ala takhafunallah (Wahai para pemimpin Islam, tidakkah kalian takut pada Allah)
12. Wala nakhafus salam walakin (kami tidak khawatir terhadap perdamaian, namun?)
13. Al-Islam wal Hayah (Islam dan kehidupan)
14. Haula risalah Nahwan nuur
15. Min fiqhil I’lam Al-Islami
16. Ayyam ma’as Sadat
17. Ara fiddiin wa siyasah (Beberapa pandangan tentang agama dan politik)
2. Syahid al-mihrab
3. Hassan al-Banna al-mulhim al-mauhub (Hassan al-Banna dan inspirasi yang berbakat)
4. Wa ba’dhu ma ‘allamani al-ikhwan (beberapa sikap yang diajarkan oleh Ikhwanul Muslimin)
5. Fi riyadhi tauhid (dalam naungan tauhid)
6. Al-makhraj al-Islami min ma’zaq as-siyasi (Solusi Islam dari krisis politik)
7. Al-Islam wal hukumah ad-diniyah (Islam dan pemerintahan teokratis)
8. Islam wanzhratuhu as-samiyah lil mar’ah (Pandangan Islam terhadap wanita)
9. wa qala an -naas walam aqul fi ahdi Abdun nasir (ungkapan orang-orang namun saya tidak ikut mengatakannya pada masa pemerintahan Abdul Nasser)
10. Minsifatil abidin (beberapa karakteristik Abidin)
11. Ya hukkamal muslimin ala takhafunallah (Wahai para pemimpin Islam, tidakkah kalian takut pada Allah)
12. Wala nakhafus salam walakin (kami tidak khawatir terhadap perdamaian, namun?)
13. Al-Islam wal Hayah (Islam dan kehidupan)
14. Haula risalah Nahwan nuur
15. Min fiqhil I’lam Al-Islami
16. Ayyam ma’as Sadat
17. Ara fiddiin wa siyasah (Beberapa pandangan tentang agama dan politik)
[Tamat]
Cerita Musa dan Khidir adalah cara Allah mendidik nabi-Nya, Musa as, untuk tidak merasa terlalu tahu, untuk tidak merasa hebat. Dengan cara itu Allah hendak memangkas keangkuhannya, sekaligus menanamkan kepadanya sebuah kesadaran baru bahwa apa yang tidak kita ketahui jauh lebih banyak daripada apa yang kita ketahui. Semua yang kita ketahui dan yang tidak kita ketahui terangkum lengkap dalam ilmu Allah. Yang kita ketahui itu terbatas. Sementara yang tidak kita ketahui itu tidak terbatas. Pengetahuan kita adalah gambaran keterbatasan kita sebagai manusia. Sementara ketidaktahuan kita adalah gambaran ketidakterbatasan Allah, sekaligus ketergantungan kita kepada-Nya.
Bisakah embun mengalahkan laut? Tidak! Tapi itu juga bukan perbandingan yang setara. Ilmu kita memang hanya ibarat setetes embun di tengah lautan. Tapi lautan sendiri takkan pernah cukup untuk menulis ilmu Allah itu. Itu sebabnya di penghujung surat Al-Kahfi dimana Allah mengisahkan cerita Musa dan Khidir, Allah mengatakan: ”Andaikan laut dijadikan tinta untuk menulis kalimat-kalimat Allah, niscaya habislah laut itu ebelum kalimat-kalimat Allah itu habis, walaupun Kami mendatangkan laut lain sebanyak itu lagi.” Laut itu akan kering sebelm semua ilmu-Nya, segenap kebijaksanaan-Nya, tercatat!
Semakin dalam kita menyadari betapa luasnya ruang ketidak tahuan kita, semakin cepat kita sampai pada sebuah kesadaran baru, bahwa adalah salah besar untuk menafsirkan keberhasilan-keberhasilan kita dengan pengetahuan. Tentu saja pengetahuan kita berhubungan dengan kesuksesan kita. Katakanlah misalnya antara pengetahuan dengan kekayaan. Tapi hubungan itu tidaklah bersifat kausalitas mutlak. Pengetahuan hanyalah salah satu faktor yang bisa menjelaskan kekayaan seseorang atau sebuah bangsa. Tapi apa yang menjelaskan fakta bahwa banyak orang pintar yang miskin, dan sebaliknya, banyak juga orang bodoh yang kaya raya? Pengetahuan mungkin menjelaskan kekayaan Bill Gates dan Amerika. Tapi mungkinkah Bill Gates sekaya itu seandainya dia lahir dua ratus tahun yang lalu? Sebaliknya, apa yang menjelaskan kekayaan nagara-negara Teluk? Pengetahuan? Atau keberuntungan?
Selain itu, apa yang terjadi seandainya Allah memberikan semua pengetahuan dan sumber daya alam kepada bangsa-bangsa Barat, dan membiarkan bangsa-bangsa Teluk hidup tanpa pengetahuan dan tanpa sumber daya alam? Pengetahuan adalah karunia Allah. Sumber daya alam juga adalah karunia Allah. Dengan membelahnya ke Barat dan Timur, Allah menciptakan interdependensi dalam kehidupan manusia. Dalam makna ini pula Allah menghadirkan kisah Qarun, Haman, dan Fir’aun dalam keseluruhan riwayat hidup Nabi Musa. Qarun adalah simbol kekayaan. Haman adalah simbol pengetahuan. Fir’aun adalah simbol kekuasaan. Ketiganya tenggelam ditelam laut dan bumi. Karena Qarun, misalnya, menafsirkan kekayaannya dengan tafsir tunggal ”Sesungguhnya aku diberi kekayaan ini karena pengetahuan yang kumiliki.”
Ketiga tokoh simbol itu adalah cerita tentang keangkuhan yang rapuh. Dan dihadirkan untuk mengajari kita makna perbedaan antara embun dan laut.
[Sebelumnya]
Kakinya berdarah-darah. Orang-orang thaif bukan saja menolak dakwahnya. Tapi juga menggunakan kekerasan untuk menolak dakwahnya. Setelah Quraisy menolak habis dakwahnya, dan orang-orang mulia seperti Khadijah yang menjadi tulang punggungnya wafat, kini anak-anak Thaif melemparinya batu. Sampai ia berlumuran darah. Di saat seperti itulah Jibril datang menawarkan bantuan: biar kuhancurkan mereka semua!
Menggoda betul tawaran Jibril itu. Tapi, "Tidak!" jawab Rasulullah saw kepada Jibril. "Aku bahkan memohon penangguhan untuk mereka. Sungguh aku berharap bahwa Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi mereka anak-anak yang akan menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya." (H.R Bukhari dan Muslim)
Seandainya ia seorang pendendam, ia pasti menerima tawaran Jibril itu. Tapi tidak! Ia seorang pencinta. Dan ia sadar bahwa ia bisa mengubah komunitas penggembala kambing yang angkuh di jazirah Arab menjadi pemimpin-pemimpin peradaban dunia yang rendah hati. Hanya dengan kekuatan cinta. Dan itulah yang kemudian terjadi: hanya dalam waktu 22 tahun 2 bulan dan 22 hari, beliau merampungkan tugas kenabiannya dangan membawa seluruh jazirah kedalam cahaya Islam.
Cinta adalah kekuatan perubahan yang dahsyat. Lima belas abad kemudian, Erich Fromm menjelaskan kekuatan cinta dalam proses perubahan:
"Pendekatan cinta adalah kebalikan dari pendekatan dengan kekerasan. Cinta berusaha memahami, menguatkan dan menghidupkan. Dengan cinta, seorang individu akan selalu mentransformasikan dirinya. Dia menjadi akan lebih menghargai, lebih produktif, lebih menjadi dirinya sendiri. Cinta tidak sentimental dan tidak melemahkan. Cinta adalah cara untuk mempengaruhi dan merubah sesuatu tanpa menimbulkan 'efek samping' sebagaimana kekerasan. Tidak seperti kekerasan, cinta membutuhkan kesabaran, usaha dari dalam. Lebih dari semua itu, cinta membutuhkan keteguhan hati untuk terhindar dari frustasi, untuk tetap sabar meskipun menemui banyak hambatan. Cinta lebih membutuhkan kekuatan dari dalam, kepercayaan daripada sekedar kekuatan fisik." (Cinta, Seksualitas, Monarki, Gender; 291;2002)
Kalau Erich Fromm menjelaskan kekuatan cinta dalam merubah individu dan masyarakat dengan bahasa psikososial, maka Iqbal menjelaskannya dalam bait-bait puisinya:
Kekuatan cinta bukan dari tanah, air dan udara,
Kekuatannya bukan keliatan urat asalnya;
Cinta menundukkan Khaibar tanpa kesulitan,
Cinta membelah badan bulan,
Cinta memecahkan tengkorak Nimrod tanpa pukulan,
Menghancurkan tentara Fir'aun tanpa pertempuran.
Kekuatannya bukan keliatan urat asalnya;
Cinta menundukkan Khaibar tanpa kesulitan,
Cinta membelah badan bulan,
Cinta memecahkan tengkorak Nimrod tanpa pukulan,
Menghancurkan tentara Fir'aun tanpa pertempuran.
[Sebelumnya]
Orang-orang menjadi pahlawan karena ia mempunyai bakat kepahlawanan alam dirinya dan karena bakat itu menemukan lingkungan yang memicu pertumbuhannya, kemudian menemukan momentum histiris yang menjadikannya abadi. Setiap orang datang membawa bakat yang berbeda, dan kemudian menemukan momentum historis yang berbeda.
Betapa banyak orang yang berbakat yang tidak menjadi pahlawan, karena tidak menemukan lingkungan dan momentum historis yang mengakomodasi bakatnya. Dan betapa banyak orang yang hidup ditengah lingkungan dan momentum historis yang memungkinkannya menjadi pahlawan, tetapi mereka tidak juga menjadi pahlawan. Karena memang mereka tidak berbakat.
Maka, keunikan individual para pahlawan itu adalah keniscayaan sejarah. Sebagian keunikan itu bersumber dari bakatnya, sebagian yang lainnya bersumber dari ruang dan waktu serta situasi-situasinya. Keharmonisan dan perpaduan antara bakat, ruang, waktu dan situasi adalah faktor utama yang mengantarkan seseorang kepada dunia kepahlawanan. Inilah yang dimaksud Allah SWT, “Setiap orang dimudahkan melakukan apa yang untuknya ia ciptakan.”
Maka, seseorang kemudian dianggap pahlawan karena ia melahirkan karya yang berbeda dari karya orang lain. Sejarah tidak mencatat pengulangan-pengulangan. Kecuali, untuk karya dalam bidang yang sama dengan kualitas yang berbeda secara hirarkis, tetapi berbeda dalam situasinya. Hal ini menyebabkan letak kepahlawanan setiap orang selalu berbeda.
Jadi, justru disinilah letak masalahnya. Menjadi unik adalah beban psikologis yang tidak semua orang dapat memikulnya. Ancaman bagi orang-orang yang unik adalah isolasi, keterasingan, dan akhirnya adalah kesepian. Sebab, tidak semua orang dapat memahaminya. Ketika Umar bin Khattab menemukan bahwa ternyata Allah SWT membuka pintu kekayaan dunia pada masa khilafahnya, ia mulai cemas jangan-jangan ini bukan prestasi, tetapi justru karena Allah ingin memisahkannya dari kedua pendahulunya, Rasulullah saw dan Abu Bakar. Sebab, Allah tidak membuka pintu kekayaan dunia pada kedua masa itu.
Para pahlawan mukmin sejati memahami kenyataan ini dengan baik. Dibutuhkan suatu tekad dan keberanian moral untuk menembus tirai kesalahpahaman publik dan lingkungan. Itu pada tahap awalnya. Namun, dibutuhkan tekad dan keberanian yang lebih besar lagi pada tahap selanjutnya. Yaitu, tekad dan keberanian untuk “memaksakan” kehadiran pribadi mereka dalam struktur kesadaran masyarakat. Inilah saat yang paling menegangkan dalam proses “pensejarahan” seseorang, karena sejarah hanyalah refleksi dari struktur kesadaran kolektif masyarakat. Pada saat seperti itulah, seorang pahlawan “memaksa” masyarakat untuk mengakuinya secara natural. Memaksa masyarakat untuk tunduk dihadapan kehebatan-kehebatannya. Memaksa masyarakat menyerah pada rasa kagum mereka terhadapnya, karena kebaikan-kebaikan yang berserakan pada individu-individu masyarakat itu berkumpul dalam diri sang pahlawan.
Maka, ketika Rasulullah saw wafat, para sahabat terguncang. Ketika Khalid bin Walid meninggal, para wanita Madinah menangis. Guncangan jiwa dan derai air mata dan bentuk-bentuk penyerahan diri masyarakat terhadap rasa kagum mereka.
Jika engkau bersedia untuk menerima takdir kesepian sebagai pajak bagi keunikan, maka niscaya masyarakat juga akan membayar harga yang sama: kelak mereka akan merasa kehilangan.
Karena dunia, dalam benak kita sebagai manusia, adalah lukisan yang tak selesai, maka selamanya cara pandang kita tentang dunia dan hidup kita akan mengandung kenaifan yang permanen. Dan itu selamanya akan menurun pada sikap-sikap kita yang juga naif. Sebab sikap-sikap kita adalah buah dari cara pandang dan pemahaman kita tentang sesuatu.
Sekarang, walaupun kita hidup di tengah sebuah peradaban ilmu dan teknologi yang canggih, akses tak terbatas pada sumber informasi yang juga tak terbatas, dimana setiap hari kita dicekoki dengan doktrin bahwa pengetahuan adalah kekuasaan, dimana apa yang ada di alas bumi, di perut bumi, dan di angkasa sana, semuanya masuk dalam wilayah penjelajahan ilmu pengetahuan manusian modern; semua itu tidak dapat menghapus fakta bahwa lukisan kita tentang dunia ini tetaplah tak pernah selesai, dan karenanya kenaifan kita sebagai manusia tetap permanen. Begitulah Allah menitahkan: ”Dan tiadalah kamu diberi ilmu kecuali hanya sedikit.”
Tapi doktrin bahwa pengetahuan adalah kekuasaan adalah doktrin yang sebenarnya benar. Pengetahuan, dalam sejarah peradaban manusia, selalu berbandin lurus dengan kekuasaan. Peradaban Yunani, Romawi, Islam, dan sekarang Barat, semuanya menjadi pemimpin peradaban manusia di eranya karena basis pengetahuan mereka yang sangat kokoh. Bahkan, dalam sejarah nabi-nabi, Sulaeman menjadi begitu berkuasa juga karena pengetahuannya, serta banyaknya ilmuwan yang menjadi pembantunya. Pengetahuan adalah landasan bagi sebuah kekuasaan yang kokoh.
Namun masalah manusia juga muncul dari situ, pertambahan pengetahuan biasanya memang membuat manusia makin berkuasa. Tapi semakin berkuasa, manusi berpeluang menjadi sombong, angkuh dan melampaui batas. Dan itu ironis. Karena pengetahuannya sebenarnya tak pernah lengkap, tak pernah sempurna, jadi alasan untuk sombong dan angkuh juga tak pernah cukup. Keangkuhan manusia itu selamanya rapuh.
Masalahnya adalah bahwa kesombongan dan keangkuhan itu adalah sifat Allah. Berbeda dengan sifat Allah yang lain, Allah sama sekali tidak mengizinkan manusia mengambil sifat itu. Maka dosa manusia yang paling cepat dibalas Allah adalah kesombongan. Dan Allah punya ribuan cara untuk memangkas dan bahkan meluluhlantakkan kesombongan manusia itu. Misalnya melalui bencana alam. Sebagian maksud dari begitu banyak bencana alam yang terjadi di dunia kita adalah meluluhlantakkan keangkuhan manusia itu. Seakan-akan Allah hendak berkata: coba kalau kamu bisa!
Bahkan ketika salah seorang nabi dan rasul-Nya, Nabi Musa as, suatu saat mulai merasa terlalu tahu, Allah pun memangkas perasaan itu dalam dirinya. Itulah latar dari cerita pembelajaran Nabi Musa kepada Khidir. Itu cara Allah mengajarkan beliau akan makna keangkuhan manusia yang rapuh, makna kerendahan hati, dan kesadaran yang mendalam bahwa ”Dan di atas setiap orang yang memiliki ilmu, ada Yang Maha Mengetahui.”
Makna itulah yang diajarkan juga oleh Imam Ghozali, bahwa ”Siapa yang mengatakan dia telah tahu, maka sesungguhnya dia bodoh.” Makna itu pula yang diajarkan Imam Ahmad bin Hambalketika beliau mengatakan, bahwa ”Siapa yang mengatakan Allahu A’lam Bishshawab (Allah lebih tahu apa yang benar), maka dia telah mendapat setengah pengetahuan.”
Kita tak kan pernah bisa menjadi pembelajar sejati kecuali ketika kita menyadari ketidaktahuan kita, sekaligus merasakan kebutuhan yang kuat untuk mengetahui.
[Sebelumnya]
Lelaki tua itu akhirnya merenggut takdirnya. Roket-roket Yahudi mungkin telah meluluhlantakkan tubuh lumpuhnya. Tapi mereka keliru. Sebab nafas cintanya telah memekarkan bunga-bunga jihad di Palestina. Sebuah generasi baru tiba-tiba muncul ke permukaan sejarah dan hanya satu kata: jihad. Dan darahnya yang tumpah setelah fajar itu, adalah siraman Allah yang akan menyuburkan taman jihad di bumi nabi-nabi itu. Dan tulang belulang hanya akan menjadi sumbu yang menyalakan api perlawanan dalam jiwa anak-anak Palestina.
Syeikh Ahmad Yasin, lelaki tua dan lumpuh itu, adalah keajaiban cinta. Ia hanya seorang guru mengaji. Tapi dialah sesungguhnya bapak spiritual yang menyalakan api jihad di Palestina. Ia tahu, perjuangan Palestina telah dinodai para oportunis yang menjual bangsanya. Tapi ia tetap harus melawan. Dan lumpuhnya bukan halangan. Maka ia pun meniupkan nafas cintanya pada bocah-bocah Palestina yang ia ajar mengaji. Dari tadarus Quran yang hening dan khusyu itulah lahir generasi baru di bawah bendera Hamas. Palestina memang belum merdeka. Tapi ia telah merampungkan tugasnya: perang telah dimulai. Ketika akhirnya ia syahid juga, itu hanya jawaban Allah atas doa-doanya.
Lelaki tua itu mengingatkan aku pada syair Iqbal: Tak berwaktu cinta itu, kemarin dan esok terlepas daripadanya Tak bertempat ia, atas dan bawah terlepas daripadanya Bila ia mohon pada Tuhan akan keteguhan dirinya Seluruh dunia pun menjadi gunung, dan ia sendiri penuggang kuda
Sejarah adalah catatan keajaiban. Tapi cinta adalah rahasianya. Cinta adalah saat kegilaan jiwa. Begitu cinta merasuki jiwamu, kamu jadi gila. Begitu kamu gila, energimu berlipat-lipat, lalu membulat, mendidih bagai kawah yang siap meledak dan membakar semua yang ada di sekelilingnya. Begitu energimu meledak, keajaiban tercipta. Begitulah naturanya: keajaiban-keajaiban yang kita temukan dalam sejarah tercipta dalam saat-saat jiwa itu.
Legenda keadilan Umar bin Khattab adalah keajaiban. Tafsirnya adalah cintanya pada Allah dan rakyatnya telah menjadi roh kepemimpinannya. Legenda perang Khalid bin Walid adalah keajaiban. Tafsirnya juga begitu: karena ia lebih mencintai jihad ketimbang tidur bersama seorang gadis cantik di malam pengantin. Hasan Al-Banna adalah legenda dakwah yang melahirkan kebangkitan Islam modern. Tafsirnya juga begitu: ia lebih mencintai dakwahnya di atas segalanya.
Saat cinta adalah saat gila. Saat gila adalah saat keajaiban. Bumi bergetar saat sejarah mencatat keajaiban itu. Iqbal menyebut saat cinta itu sebagai saat jiwa jadi sadar-jaga.
Apabila jiwa yang sadar-jaga terlahir dalam raga, Maka persinggahan lama ini, ialah dunia, gemetar hingga ke dasar-dasarnya.
[Sebelumnya]
Seseorang tidak menjadi pahlawan karena ia melakukan pekerjaan-pekerjaan kepahlawanan sepanjang hidupnya. Kepahlawanan seseorang biasanya mempunyai momentumnya. Ada potongan waktu tertentu dalam hidup seseorang dimana anasir kepahlawanan menyatu padu. Saat itulah ia tersejarahkan.
Akan tetapi, kita tidak mengetahui kapan datangnya momentum itu. Yaitu, kematangan pribadi dan peluang sejarah. Simaklah firman Allah SWT, “Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan....” (Al-Qashash: 14)
Para pahlawan mukmin sejati tidak pernah mempersoalkan secara berlebihan masalah peluang sejarah. Kematangan pribadi seperti modal dalam infestasi. Seperti apapun baiknya peluang anda, hal itu tidak berguna jika pada dasarnya Anda memang tidak punya modal. Peluang sejarah hanyalah ledakan keharmonisan dari kematangan yang terabaikan. Seperti keharmonisan antara pedang dan keberanian dalan medan perang, antara kecerdasan dan pendidikan formal dalam dunia ilmu pengetahuan. Akan tetapi, anda harus memilih salah satunya, maka pilihlah keberanian tanpa pedang dalam perang, atau kecerdasan tanpa pendidikan formal dalam ilmu. Selebihnya, biarlah itu menjadi wilayah takdir dimana anda mengharap datangnya sentuhan keberuntungan.
Kesadaran semacam ini mempunyai dampak karakter yang sangat mendasar. Para pahlawan mukmin sejati bukanlah pemimpi di siang bolong, atau orang-orang yang berdoa dalam kekosongan dan ketidakberdayaan. Mereka adalah para petani yang berdoa ditengah sawah, para pedagang yang berdoa ditengah kecamuk perang. Mereka mempunyai mimpi besar, tetapi pikiran mereka tercurahkan sepenuhnya pada kerja. Sekali-kali mereka menatap langit untuk menyegarkan ingatan pada misi mereka. Namun, setelah itu mereka menyeka keringat dan kembali bekerja kembali.
Wilayah kerja adalah lingkungan realitas, sedangkan wilayah peluang adalah ruang keserbamungkinan. Semakin luas pijakan kaki kita dalam lingkaran kenyataan, semakin besar kemungkinan menjadi kepastian, mengubah peluang menjadi pekerjaan, mengubah mimpi menjadi kenyataan.
Berjalanlah dengan mantap menuju rumah sejarah. Jika engkau sudah sampai di depan pintu gerbangnya, ketuklah pintunya dan bacakan pada penjaganya puisi Chairil Anwar:
Akukalau sampai waktuku ku
mau tak seorang kan merayu
tidak juga kau...
Valentine day tinggal beberapa hari lagi. Banyak orang yang sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya demi menyambut hari yang katanya hari kasih sayang ini. Ada yang sudah menyiapkan kado Valentine bagi orang yang dikasihi semisal coklat, bunga, boneka atau bahkan parfum. Seolah-olah tanpa adanya kado berupa benda-benda di atas, ungkapan kasih sayang jadi kurang afdhol.
Ada juga orang-orang yang jauh hari sudah menyiapkan baju untuk menghabiskan momen Valentine bersama sang kekasih. Ada yang menicure pedicure (itu tuh, perawatan kuku yang ngabisin duit) di salon, ganti rambut model baru, mandi kembang tujuh rupa (ini mau Valentine-nan apa mau ke dukun ya, hehehe) dan macam-macam persiapan lainnya. Parahnya, ada juga yang menyiapkan kondom demi menyambut hari bernuansa pink ini. Waduh…mengarah ke gaul bebas nih.
Kota Medan pada moment Valentine tahun 2009, penjualan kondom malam Valentine Day terdongkrak tajam dibanding hari biasa. Beberapa di antaranya adalah apotek-apotek yang mengaku bahwa sedikitnya 20 kotak kondom berisi 3 buah merek apapun ludes terjual khusus di malam Valentine Day. Dan ada beberapa apotek yang menegaskan bahwa dalam 24 jam sudah menjual sedikitnya 6 kotak kondom berisi 24 merek dan isi 13 kotak yang dibeli oleh pemuda remaja setiap mendekati pertengahan Februari. Umumnya, pembeli adalah pria berusia 20 tahun.
Fenomena merebaknya perbuatan mesum ini juga ditemukan di Thailand. Pihak kepolisian dan pemerintah langsung waspada ketika banyak poling yang menunjukkan hasil bahwa remaja memilih melakukan hubungan seks untuk merayakan Valentine day. Dalam hal ini pemerintah pun turun tangan dengan menyalakan semua lampu di taman-taman umum di malam Valentine. Para orang tua pun diminta untuk mengawasi anak-anaknya agar tidak pulang terlalu malam. Polisi dan mereka yang peduli pendidikan remaja mengadakan razia ke motel-motel untuk mencegah terjadinya pesta seks di malam Valentine....penjualan kondom malam Valentine Day terdongkrak tajam dibanding hari biasa. Umumnya, pembeli adalah pria berusia 20 tahun. Fenomena merebaknya perbuatan mesum ...
See, ternyata perayaan V-day itu memang identik dengan maksiat. Masa iya sudah tahu fakta kayak begini, kamu masih mau ikut-ikutan merayakannya. Tak ada gunanya kamu latah merayakan sesuatu yang tak ada tuntunannya dalam Islam. Asli, gak keren banget mereka yang merayakan V-day baik yang sekadar ikut-ikutan maupun yang merayakannya dengan penuh kesadaran. Maksudnya, masih ada saja orang-orang yang ‘ngeyel’ bahwa merayakan V-day itu bersifat universal dan tak ada hubungannya dengan seks bebas. Orang-orang inilah yang akan dengan gencar mengajak-ajak untuk merayakan V-day dengan penuh kesadaran meskipun menyesatkan....See, ternyata perayaan V-day itu memang identik dengan maksiat. Masa iya sudah tahu fakta kayak begini, kamu masih mau ikut-ikutan merayakannya....
Jadi, bagi remaja muslim cerdas dan berkualitas kayak kamu, pasti ogah banget bersikap latah dengan merayakan V-day ini. Kamu punya sikap. Kamu punya prinsip meskipun itu artinya harus berbeda dan berseberangan dengan pendapat dan sikap yang diambil mayoritas remaja. Biar saja! Toh, masing-masing diri akan memikul amal masing-masing di yaumul hisab nanti. Tak pernah ada ruginya tak ikut perayaan V-day. Tapi sebaliknya, bakalan menyesal mereka yang tasyabbuh (meniru-niru) kaum kafir dalam perayaannya.
Remaja muslim yang cerdas pastilah bisa menyikapi dengan bijak fenomena V-day dengan segala bentuk kemaksiatannya ini. So, perayaan V-day? Gak keren, coy!
Sumber : JM Community
Setiap saat, dalam perjalanan hidup yang panjang, kita selalu menemukan satu per satu rahasia kehidupan. Setiap satu rahasia yang kita temukan, menambah pengetahuan kita tentang hidup. Setiap kali pengetahuan kita bertambah, kita menjadi lebih arif dan bijaksana.
Situasi itulah yang terekam dalam salah satu warisan hikmah orang Arab. Mereka mengatakan, sebodoh-bodohnya manusia, umur akan tetap membuatnya lebih bijaksana. Kebijaksanaan terbentuk dari akumulasi informasi yang membentuk pengetahuan kita tentang hidup. Karena seifatnya yang akumulatif, maka kesadaran hidup kita tidak akan pernah bisa terbentuk seketika. Karena tidak terbentuk seketika, maka sikap hidup kita juga berubah dari waktu ke waktu.
Situasi itulah yang terekam dalam salah satu warisan hikmah orang Arab. Mereka mengatakan, sebodoh-bodohnya manusia, umur akan tetap membuatnya lebih bijaksana. Kebijaksanaan terbentuk dari akumulasi informasi yang membentuk pengetahuan kita tentang hidup. Karena seifatnya yang akumulatif, maka kesadaran hidup kita tidak akan pernah bisa terbentuk seketika. Karena tidak terbentuk seketika, maka sikap hidup kita juga berubah dari waktu ke waktu.
Tapi kapankah pengetahuan kita tentang hidup menjadi sempurna dan lengkap? Atau, jika pertanyaannya lebih mendasar lagi, bisakah pengetahuan kita tentang hidup menjadi sempurna dan lengkap? Jawabannya pasti. Tidak. Tidak akan pernah bisa pengetahuan kita tentang hidup ini menjadi sempurna dan lengkap. Salah satu sebabnya karena Allah setiap saat menciptakan makhluk-makhluk baru, baik manusia, hewan dan tumbuhan, atau benda-benda lain di alam raya ini, atau ciptaan-ciptaan yang tak terlihat seperti pikiran-pikiran dan ide-ide baru. “Dan Tuhanmu, menciptakan apa saja yang Dia kehendaki dan memilih dari ciptaan-ciptaan itu.” Setiap satu ciptaan baru tentu melahirkan fakta baru, yang kemudian terintegrasi ke dalam fakta-fakta yang ada sebelumnya, lalu terjadilah semacam rekonfigurasi keseluruhan fakta-fakta itu.
Itulah yang menjelaskan mengapa pengetahuan itu bersifat akumulatif, dan harus diwariskan secara turun temurun agar kita tidak setiap saat harus memulainya dari awal. Itu juga yang menjelaskan mengapa pengetahuan, seperti kata Ibnu Jauzi, harus diikat dengan tulisan; tulisan membuat proses pewarisannya menjadi lebih mudah. Warisan pengetahuan dari peradaban Yunani, Romawi dan Islam secara akumulatif diwarisi oleh Barat sekarang, dan lahirlah wajah peradaban baru seperti yang sekarang kita saksikan.
Karena pengetahuan kita tentang hidup ini tidak akan pernah sempurna dan lengkap, maka kesadaran hidup kita juga tidak akan pernah sempurna dan lengkap. Maka manusia kepada hidup, seperti tiga orang buta yang melukiskan gajah dari sudut yang mereka pegang. Ini adalah lukisan yang tak selesai. Dan takkan pernah selesai.
Sebab Allah sendiri yang mengatakan bahwa: “Tiadalah kamu diberi pengetahuan kecuali hanya sedikit saja.” Maka proses pembelajaran juga tak boleh selesai. Pepatah lama itu rasanya teramat bijak: “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat.”
[Sebelumnya]
Alangkah idealnya pesan ini bagi mereka yang mampu memilih egoisme pribadi dan tarikan negatif gravitasi in grouping yang sering tampil menjadi kembaran egoisme itu sendiri. Perasaan ikhlas yang kadang terkacaukan oleh kecenderungan egoisme akan melahirkan khawarij zaman yang dungu dan menafikan kebersamaan, hanya karena kelemahan umat dalam menggapai injazat (karya-karya) dakwah secara serempak , kemas dan tuntas. Seperti egoisme murjiah yang menikmati kelezatan fatalisme dan mengolah menunya untuk disantap dengan lahap oleh para tiran : "Vonis itu nanti di sana, amar ma'ruf nahi munkar tiada guna, dosa jangan disesali dan kebajikan usahlah disyukuri, karena kita cuma setitik debu yang diterbangkan angin takdir kemana ia mau."
Putus asa telah membuka lebar-lebar pintu nafsu untuk mendorong masing-masing kelompok untuk berbangga diri. Seandainya saja karya-karya mereka dapat dirakit menjadi kesatuan produk umat, niscaya ia akan menjadi mozaik-mozaik indah dalam lembaran sejarah umat. Alangkah indahnya klaim-klaim mereka, kalau saja amaliahnya tidak mencabik-cabik kebersamaan yang --- dalam tataran operasional --- nyaris menjadi aksioma kebenaran yang tak pernah takut kesendirian dan keterasingan itu.
Di jalan dakwah banyak bertumbangan kader dengan kadar militansi yang nyaris total pada momentum yang sebenarnya masih dapat di kompromikan. Sebaliknya, tak sedikit semua itu mencair pada momentum yang seharusnya militansi hadir dengan tegar. Semoga Allah merahmati Imam Syafii yang salah satu qaidah fiqh unggulannya ialah Alkhuruj Minal Khilaf Mustahab (Keluar dari Khilafiyah Sangat Disukai). Tentu saja ini berlaku dalam hal yang kompromistik. Tak ada tempat bagi mereka yang sengaja memuaskan syahwat menghindari syari'ah atau produk ijtihad yang sangat representatif dengan dalih "Ini perkara khilafiah atau itu kan tafsiran subyektif Ibnu Katsir atau Sayid Qutb." Atau semangat zaman telah menaklukkan makna hakiki sabda. Akhirnya segalanya boleh kecuali yang bertentangan dengan nafsu mereka. Untuk meyakin-yakinkan publik terkadang mereka mengutip qaidah-qaidah fiqh dan pada satnya mereka terbentur dengan prinsip: "Tak semua khilaf datang dengan (bobot) yang pantas diterima, kecuali khilaf yang berakar pada nalar (yang benar)."
Seperti orang yang tak mau shalat hanya karena ada beberapa perbedaan teknis yang mereka tak (mau) tahu batas toleransinya. Atau seorang alim yang menjustifikasi pakaian yang membuka aurat, hanya karena ada perbedaan aplikasi, antara perempuan kota yang resik dan kering dengan perempuan sawah yang sehari-hari harus bergelut lumpur.
Kalau benar hati sang raja. Putera mahkotanya ternyata seorang pemuda pemalas. Apatis. Talenta raja-raja tidak terlihat dalam pribadinya. Suatu saat sang raja menemukan cara mengubah pribadi puteranya: the power of love.
Sang raja mendatangkan gadis-gadis cantik ke istananya. Istana pun seketika perubah jadi taman: semua bunga mekar di sana. Dan terjadilah itu. Sesuatu yang memang ia harapkan: putranya jatuh cinta pada salah seorang di antara mereka. Tapi kepada gadis itu raja berpesan, "Kalau putranya menyatakan cinta padamu, bilang padanya, 'Aku tidak cocok untukmu. Aku hanya cocok untuk raja atau seseorang yang berbakat jadi raja.'"
Benar saja. Putra mahkota itu seketika tertantang. Maka ia pun belajar. Ia mempelajari segala hal yang harus diketahui seorang raja. Ia melatih dirinya untuk menjadi raja. Dan seketika talenta raja-raja meledak dalam dirinya. Ia bisa, ternyata! Tapi karena cinta!
Cinta telah bekerja dalam jiwa anak muda itu secara sempurna. Selalu begitu: menggali tanah jiwa manusia, sampai dalam, dan terus ke dalam, sampai bertemu mata air keluhurannya. Maka meledaklah potensi kebaikan dan keluhuran dalam dirinya. Dan mengalirlah dari mata air keluhuran itu sungai-sungai kebaikan kepada semua yang ada disekelilingnya. Deras. Sederas arus sungai yang membanjir, deras mendesak menuju muara. Cinta menciptakan perbaikan watak dan penghalusan jiwa. Cinta memanusiakan manusia dan mendorong kita memperlakukan manusia dengan etika kemanusiaan yang tinggi.
Jatuh cinta adalah peristiwa paling penting dalam sejarah kepribadian kita. Cinta, kata Quddamah, mengubah seorang pengecut menjadi pemberani, yang pelit jadi dermawan, yang malas jadi rajin, yang pesimis jadi optimis, yang kasar jadi lembut. Kalau cinta kepada Allah membuat kita mampu memenangkan Allah dalam segala hal, maka cinta kepada manusia atau hewan atau tumbuhan atau apa saja, mendorong kita mempersembahkan semua kebaikan yang diperlukan orang atau binatang atau tanaman yang kita cintai. Jatuh cinta membuat kita mau merendah, tapi sekaligus tertekad penuh untuk menjadi lebih terhormat.
Cobalah simak cerita cinta Letnan Jenderal Purnawirawan Yunus Yosfiah, yang suatu saat ia tuturkan pada saya dan beberapa kawan lain. Ketika calon istrinya menyatakan bersedia berhijrah dari Katolik menuju Islam, ia tergetar hebat. "Kalau cinta telah mengantar hidayah pada calon istrinya," katanya membatin, "seharusnya atas nama cinta ia mempersembahkan sesuatu yang istimewa padanya." Ia sedang bertugas di Timor Timur saat itu. Maka ia berjanji, "Besok aku akan berangkat untuk sebuah operasi. Aku berharap bisa mempersembahkan kepada dedengkot Fretelin untukmu." Tiga hari kemudian, janji itu ia bayar lunas!
Gampang saja memahaminya. Keluhuran selalu lahir dari mata air cinta. Sebab, "cinta adalah gerak jiwa sang pencinta kepada yang dicintainya," kata Ibnul Qoyyim.
[Sebelumnya]
Para pahlawan mukmin sejati selalu mengetahui kadar kepahlawanan dari setiap perbuatan dan karyanya. Maka tidak bisa membesar-besarkan nilai perbuatan dan karya mereka jika kadar kepahlawanan dalam perbuatan dan karyanya itu secara objektif memang tidak ada atau sedikit. Demikian pula sebaliknya.
Mereka juga mengetahui letak sisi kepahlawanan mereka. Sebab, tidak ada orang yang bisa menjadi pahlawan dalam segala hal. Maka, mereka menempatkan diri pada sisi dimana mereka bisa menjadi pahlawan. Mereka tidak pernah memaksakan kehendak dan juga tidak pernah melawan kodrat mereka. Mereka yang merasa hanya bisa menjadi pahlawan dalam perang, tidak akan pernah memaksakan diri menjadi pahlawan dalam ilmu pengetahuan.
Menilai diri sendiri adalah seni yang paling rumit dari sekian banyak keterampilan jiwa yang harus dimiliki seorang pahlawan. Sebab, inilah saat-saat yang paling menentukan sejarah kepahlawanan mereka, sekaligus menentukan jalan masuk mereka kepada sejarah sebagai pahlawan.
Seni ini dimulai dari pengamatan yang mendalam tentang peta diri sendiri. Setelah itu, berlanjut pada penemuan letak kepahlawanan mereka. Setiap ditahap ini, seni itu belum terlalu rumit. Seni itu akan menjadi rumit menakala memasuki penilaian tentang karya dan perbuatan mereka. Sebab, setiap manusia mempunyai kecenderungan untuk membesarkan dirinya sendiri melampaui kadar yang sebenarnya. Karenanya, letak kerumitan dari seni penilaian ini ada pada pertarungan antara kecenderungan membesarkan diri sendiri dengan keharusan bersikap objektif yang sudah menjadi sifat sejarah yang niscaya dalam menilai para pahlawan. Inilah pertarungan antara megalomania dengan objektivitas. Simaklah firman Allah tentang kecenderungan ini, “Jangan sekali - kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang bergembira dengan apa yang mereka kerjakan; janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dan siksa, dan bagi mereka siksaan yang pedih.” (Ali Imran: 188)
Para ilmuwan mengalami pertarungan ini, ketika menilai manakah dari karya-karya mereka yang paling monumental dan dimanakah letak kedudukan karya-karya ilmiah mereka itu dihadapan para ilmuan lain yang sejenis. Para sastrawan mengalami pertarungan ini, ketika mereka menilai manakah karya-karya sastra mereka yang paling abadi dan dimanakah letak kedudukan karya sastra itu diantara karya-karya para sastrawan lainnya? Para pemimpin perang juga mengalami pertarungan ini, ketika menilai manakah pertarungan yang dimenangkannya yang paling monumental, dan dimanakah letak kehebatannya, jika dibanding kehebatan para pemimpin perang lainnya dalam jenis perang yang mereka menangkan? Para pemimpin politik dan dakwah juga mengalami pertarungan ini ketika mereka menilai jejak-jejak kepemimpinan mereka tentang dimanakah letak kehebatannya dan seperti apa nilai kehebatan itu dibanding jejak-jejak para pemimpin lain dalam bidang politik dan dakwah?
Mempertahankan objektifitas di depan godaan megalomania adalah pekerjaan jiwa yang paling rumit yang senantiasa akan dirasakan oleh para pahlawan. Cobalah simak cara seorang khalifah dari Zaman Abbasiyah menilai dirinya, “Saya tidak akan pernah bangga pada prestasi yang saya capai, tapi sebenarnya tidak saya rencanakan. Tapi saya juga tidak akan menyesali setiap kegagalan yang saya alami, selama saya sudah merencanakan semuanya dengan baik sebelum melakukannya.”