Kamu takkan pernah sanggup mendaki sampai ke puncak gunung iman, kecuali dengan satu kata: cinta. Imanmu hanyalah kumpulan keyakinan semu dan beku, tanpa nyawa tanpa gerak, tanpa daya hidup tanpa daya cipta. Kecuali ketika ruh cinta menyentuhnya. Seketika ia hidup, bergeliat, bergerak tanpa henti, penuh vitalitas, penuh daya cipta, bertarung dan mengalahkan diri sendiri, angkara murka atau syahwat.
Iman itu laut, cintalah ombaknya. Iman itu api, cintalah panasnya. Iamn itu angin, cintalah badainya. Iman itu salju, cintalah dinginnya. Iman itu sungai, cintalah arusnya.
Seperti itulah cinta bekerja ketika kamu harus memenangkan Allah atas dirimu sendiri, atau bekerja dalam diri pemuda ahli ibadah itu. Kejadiaanya diriwayatkan Al Mubarrid dari Abu Kamil, dari Ishak bin Ibrahim dari Raja' bin Amr Al Nakha'i. Seorang pemuda Kufa yang terkenal ahli ibadah suatu saat jatuh cinta dan tergila-gila pada seorang gadis. Cintanya berbalas. Gadis iru sama gilanya. Bahkan ketika lamaran sang pemuda ditolak karena sang gadis telah dijodohkan dengan saudara sepupunya, mereka tetap nekat, ternyata. Gadis itu bahkan menggoda kekasihnya, "Aku datang padamu, atau kuantar cara supaya kamu bisa menyelinap ke rumahku". Itu jelas jalan syahwat.
"Tidak! Aku menolak kedua pilihan itu. Aku takut pada neraka yang nyalanya tak pernah padam!" Itu jawaban sang pemuda yang menghentak sang gadis. Pemuda itu memenangkan iman atas syahwatnya dengan kekuatan cinta. "Jadi dia masih takut pada Allah?" Gumam sang gadis. Seketika ia tersadar, dan dunia tiba-tiba jadi kerdil di matanya. Ia pun bertaubat dan kemudian mewakafkan dirinya untuk ibadah. Tapi cintanya pada sang pemuda tidak mati. Cintanya berubah jadi rindu yang menggelora dalam jiwa dan doa-doanya. Tubuhnya luluh lantak didera rindu. Ia mati, akhirnya.
Sang pemuda terhenyak. Itu mimpi buruk. Gadisnya telah pergi membawa semua cintanya. Maka kuburan sang gadislah tempat ia mencurahkan rindu dan doa-doanya. Sampai suatu saat ia tertidur di atas kuburan gadisnya. Tiba-tiba sang gadis hadir dalam tidurnya. Cantik. Sangat cantik. "Apa kabar? Bagaimana keadaanmu setelah kepergianku," tanya sang gadis. "Baik-baik saja. Kamu sendiri disana bagaimana," jawabnya sambil balik bertanya. "Aku disini, dalam surga abadi, dalam nikmat dan hidup tanpa akhir," jawab gadisnya. "Doakan aku. Jangan pernah lupa padaku. Aku selalu ingat padamu. Kapan aku bisa bertemu denganmu," tanya sang pemuda lagi. "Aku juga tidak pernah lupa padamu. Aku selalu berdoa kepada Allah menyatukan kita di surga. Teruslah beribadah. Sebentar lagi kamu akan menyusulku," jawab sang gadis. Hanya tujuh malam setelah mimpi itu, sang pemuda pun menemui ajalnya.
Atas nama cinta ia memenangkan Allah atas dirinya sendiri, memenangkan iman atas syahwatnya sendiri. Atas nama cinta pula Allah mempertemukan mereka. Cinta selalu bekerja dengan cara itu.
[Sebelumnya]
Saudariku tampak pucat dan kurus. Namun sebagaimana kebiasaannya, ia tetap membaca Al-Qur'an... Jika engkau mencarinya, pasti akan mendapatinya di tempat shalatnya, sedang rukuk, sujud dan mengangkat kedua tangannya ke atas langit... Demikianlah setiap pagi dan petang, juga di tengah malam buta, tak pernah berhenti dan tak pernah merasa bosan.
Sementara aku amat gemar membaca majalah-majalah seni dan buku-buku yang berisi cerita-cerita. Saya juga biasa menonton video, sampai aku dikenal sebagai orang yang keranjingan nonton. Orang yang banyak melakukan satu hal, pasti akan ditandai dengan perbuatan itu. Aku tidak menjalankan kewajibanku dengan sempurna. Aku juga bukan orang yang melakukan shalat dengan rutin.
Akupun kembali ke pembaringanku. Wanita itu memanggilku dari arah mushallanya. "Apa yang engkau inginkan wahai Nurah?" Tanyaku. Dengan suara tajam saudariku itu berkata kepadaku: "Janganlah engkau tidur sebelum engkau menunaikan shalat Shubuh!"
"Ah. Masih tersisa satu jam lagi, yang engkau dengar tadi itu baru adzan pertama..."
Dengan suaranya yang penuh kasih – demikianlah sikapnya selalu sebelum terserang penyakit parah dan jatuh terbaring di atas kasurnya – saudariku itu kembali memanggil: "Mari sini Hanna, duduklah di sisiku." Sungguh aku sama sekali tidak dapat menolak permintaannya, yang menunjukkan karakter asli dan kejujurannya... Tidak diragukan lagi, dengan pasrah, kupenuhi panggilannya.
"Apa yang engkau inginkan?" Tanyaku, "Duduklah." Ujarnya. Akupun duduk. "Apa gerangan yang akan engkau utarakan?" Dengan suara renyah dan merdu, ia berkata: "Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman: "Masing-masing jiwa akan mati. Sesungguhnya kalian hanya akan dipenuhi ganjaran kalian di hari Kiamat nanti..." (Ali Imron, 3 : 185)
Dia diam sesaat. Kemudian bertanya kepadaku: "Apakah engkau percaya pada kematian?" "Tentu saja aku percaya." Jawabku. "Apakah engkau percaya bahwa engkau akan dihisab terhadap perbuatan dosa besar maupun kecil...?" "Benar. Tetapi Allah itu Maha Pengampun, dan umur itu juga panjang..."Jawabku.
"Hai saudariku! Tidakkah engkau takut akan mati mendadak? Lihatlah si Hindun yang lebih kecil darimu. Ia tewas dalam kecelakaan mobil. Juga si Fulanah dan si Fulanah." Ujarnya. "Kematian tidak mengenal umur, dan tidak dapat diukur dengan umur.." Ujarnya lagi.
Dengan suara ngeri aku menjawab ucapannya di tengah ruang mushallanya yang gelap: "Sesungguhnya aku takut dengan kegelapan, sekarang engkau malah menakut-nakutiku dengan kematian, bagaimana sekarang aku bisa tidur? Aku kira sebelumnya, engkau bersedia untuk bepergian bersamaku dalam liburan ini."
Tiba-tiba suaranya terisak dan hatikupun terenyuh: "Kemungkinan, pada tahun ini aku akan bepergian jauh, kenegeri lain ... Kemungkinan wahai Hanna ... Umur itu di tangan Allah... Dan meledaklah tangisnya."
Aku merenung ketika ia terserang penyakit ganas. Para dokter secara berbisik memberitahukan kepada ayahku bahwa penyakitnya itu tidak akan membuatnya bertahan hidup lama. Tetapi siapa gerangan yang memberitahukan hal itu kepadanya? Atau ia memang sudah menanti-nantikan kejadian ini?
"Apa yang sedang engkau fikirkan?" Terdengar suaranya, kali ini begitu keras. "Apakah engkau meyakini bahwa aku menyatakan hal itu karena aku sedang sakit? Tidak sama sekali. Bahkan mungkin umurku bisa lebih panjang dari orang-orang yang sehat. Dan engkau sampai kapan masih bisa hidup? Mungkin dua puluh tahun lagi. Mungkin juga empat puluh tahun lagi. Kemudian apa yang terjadi?" Tangannya tampak bersinar di tengah kegelapan, dan dihentakkan dengan keras.
Tak ada perbedaan antara kita semua. Masing-masing kita pasti akan pergi meninggalkan dunia ini; menuju Surga atau Neraka ... Tidakkah engkau menyimak firman Allah: "Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dan dimasukkan ke dalam Surga maka sungguh ia telah beruntung?" (Ali Imron, 3 : 185)
Semoga Pagi ini engkau baik-baik saja ..
Dengan bergegas aku berjalan meninggalkannya, sementara suaranya mengetuk telingaku: "Semoga Allah memberi petunjuk kepadamu. Jangan lupa shalat."
Jam delapan pagi, aku mendengar ketukan pintu. Ini bukan waktu kebiasaanku untuk bangun. Terdengar suara tangis dan hiruk pikuk ... Apa yang terjadi?
Kondisi Nurah semakin parah. Ayahku segera membawanya ke rumah sakit. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi raaji'un.
Tidak ada tamasya pada tahun ini. Sudah ditakdirkan aku untuk tinggal di rumah saja tahun ini. Pada jam satu waktu Zhuhur, ayahku menelepon dari rumah sakit: "Kalian bisa menjenguknya sekarang, ayo lekas!"
Ibuku memberitahukan, bahwa ucapan ayahku terdengar gelisah dan suaranya juga terdengar berubah ... Jubah panjangku kini sudah berada di tanganku ..
Mana sopirnya? Kamipun naik mobil dengan tergesa-gesa. Mana jalan yang biasa kulalui bersama sopirku untuk bertamasya yang biasanya terasa pendek? Kenapa sekarang terasa jauh sekali..., jauuuh sekali?! Mana lagi keramaian yang menyenangkan diriku agar aku bisa menengok ke kiri dan ke kanan? Kenapa sekarang terasa menyebalkan dan menyusahkan?
Ibuku berada di sampingku sedang mendoakan saudariku tersebut. Ia adalah wanita yang shalihah dan taat. Aku tidak pernah melihatnya menyia-nyiakan waktu sedikitpun ...
Kami masuk melewati pintu luar rumah sakit... Terdengar suara orang sakit mengaduh. Ada lagi orang yang tertimpa musibah kecelakaan mobil. Ada pula orang yang kedua matanya bolong... Tak diketahui lagi, apakah ia masih penjuduk dunia, atau penduduk akhirat? Sungguh pemandangan yang mengherankan yang belum pernah kusaksikan sebelumnya ...
Kami menaiki tangga dengan cepat... Ternyata dia berada di dalam kamar gawat darurat. Saya akan mengantar kalian kepadanya... Perawat meneruskan perkataannya bahwa ia seorang putri yang baik sekali, dan dia menenangkan Ibuku: "Sesungguhnya dia dalam keadaan baik setelah tadi mengalami pingsan ... "
"Dilarang masuk lebih dari satu orang", demikian tertulis. "Ini kamar gawat darurat."Melalui sela-sela beberapa orang dokter dan melalui celah-celah jendela kecil yang terdapat di kamar tersebut, aku melihat dengan kedua mata kepalaku sendiri saudariku Nurah sedang memandang ke arahku, sementara ibu berdiri di sampingnya ... Setelah dua menit kemudian, ibuku keluar tanpa bisa menahan air matanya ..
Mereka mengizinkanku masuk dan memberi salam kepadanya, dengan syarat, tidak boleh banyak berbicara kepadanya. "Dua menit, sudah cukup untuk saudari."
"Bagaimana kabarmu wahai Nurah?" tanyaku. Kemarin sore engkau baik-baik saja, apa yang terjadi pada dirimu?! Dia menjawabku setelah terlebih dahulu menekan tanganku. "Alhamdulilllah, aku sekarang baik-baik saja..." Ujarnya lagi. "Alhamdulillah ... tetapi tanganmu dingin?" Tanyaku ..
Aku duduk di sisi pembaringannya sambil mengelus-elus betisnya. Namun ia menyingkirkan betisnya dariku ... "Maaf, kalau aku mengganggumu ... " "Oh tidak, aku hanya sedang memikirkan firman Allah Subhanahu wa ta'ala: "Dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Rabbmulah pada hari itu kamu dihalau .. " (Al-Qiyaamah: 29-30)
Hendaknya engkau mendoakanku wahai saudariku Hanna, bisa jadi sebentar lagi aku akan menghadapi permulaan alam Akhirat. .. Perjalananku akan panjang, sementara bekalku amat sedikit ...
Air mataku kontan berderai dari kedua belah mataku begitu aku mendengar ucapannya. Aku menangis, tidak lagi sadar di mana aku berada. Kedua mataku terus mengalirkan air mata karena tangisan, sehingga ayahku justru lebih mengkhawatirkan kondisiku daripada Nurah sendiri. Mereka sama sekali tidak terbiasa mendengar tangisan ini dan mengurung diri di kamarku ..
Seiring tenggelamnya matahari, di hari yang penuh kedukaan... Muncullah keheningan panjang di rumah kami... Tiba-tiba masuklah saudari sepupu dari pihak ibuku dan saudari sepupu dari pihak ayahku.
Kejadian-kejadian yang sangat cepat... Orang-orang banyak berdatangan. Suara-suara ributpun terdengar bersahutan. Hanya satu yang aku ketahui: Nurah telah meninggal dunia.
Aku tidak dapat lagi membedakan siapa yang datang. Akujuga tidak mengetahui lagi apa yang mereka ucapkan ....
Ya Allah. Di mana aku, dan apa yang sedang terjadi? Menangis pun, aku sudah tidak sanggup lagi.
Setelah itu mereka memberitahuku bahwa ayahku menarik tanganku untuk mengucapkan selamat tinggal kepada saudariku, untuk terakhir kalinya. Aku juga sempat menciumnya. Aku hanya ingat satu hal: ketika aku melihatnya ditutupkan, di atas pembaringan maut. Aku ingat akan kata-katanya: "Ketika betis-betis bertautan," akupun mengerti, bahwa: "semuanya tergiring menuju Rabbmu .. "
Aku tidak ingat lagi bahwa aku pernah mengunjungi mushallanya, kecuali pada malam itu saja ... Yakni ketika aku teringat, siapa yang menjadi pasanganku di rahim ibuku. Karena kami adalah dua anak kembar. Aku ingat, siapa yang selalu menemaniku dalam kedukaan. Aku ingat, siapa yang selalu menghilangkan kegundahanku. Siapa pula yang mendoakan diriku untuk mendapatkan petunjuk? Siapa pula yang berlinang air matanya sepanjang malam, ketika ia mengajakku berbicara tentang kematian, dan tentang hari hisab. Allah-lah yang menjadi tempat memohon pertolongan.
Inilah hari pertamanya di alam kubur. Ya Allah, berikanlah rahmat kepadanya di dalam kuburnya. Ya Allah berilah dia cahaya di dalam kuburnya.
Ini dia mushaf Al-Qur'annya, dan ini sajadahnya. Ini, ini dan ini lagi. Bahkan ini, ini adalah rok merahnya yang pernah dia nyatakan: akan kusimpan, untuk hari pernikahanku nanti!!
Aku juga ingat, dan akupun menangisi hari-hari yang telah berlalu itu. Aku terus saja menangis dan menangis berkepanjangan. Aku berdoa kepada Allah, agar memberi rahmatNya kepadaku, memberi taubat dan mengampuni diriku. Aku juga berdoa semoga saudariku itu mendapatkan keteguhan dalam kuburnya, sebagaimana juga yang sering menjadi doanya.
Secara tiba-tiba, aku bertanya kepada diriku sendiri: Bagaimana bila yang meninggal dunia adalah diriku? Ke mana kira-kira tempat kembaliku? Aku tidak mampu mencari jawaban karena besarnya rasa takut yang mencekam diriku. Meledaklah tangisku dengan keras ...
Allahu Akbar, Allahu Akbar. Adzan Shubuh pun berkumandang. Namun betapa merdunya terdengar kali ini.
Aku merasakan ketenangan dan ketentraman. Akupun mengulangi apa yang diucapkan oleh sang muadzin. Aku melipat selimutku dan berdiri tegak untuk melaksanakan shalat Shubuh. Aku shalat, bagaikan orang yang melakukannya untuk terakhir kali, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh saudariku dahulu. Dan ternyata, itu memang shalatnya yang terakhir.
Bila datang waktu sore, aku tidak lagi menunggu waktu pagi. Dan bila datang waktu pagi, aku tidak lagi menunggu waktu sore ...
Dakwah artinya mengajak, tapi mengajak tanpa dibarengi contoh, sulit diterima. Sebab meniru adalah sifat dan karakter manusia. Dalam suatu pertemuan atau ceramah umum, dilakukan permainan rilek uji kepatuhan jamaah. Seorang ustadz mengatakan, "Saudara-saudara, silakan perhatikan dan ikuti komando saya! Letakkan tangan kanan di kepala!" Dengan komando perintah dan contoh tangan tuan guru di kepala, semua jamaah dengan sertamerta menirunya. Kemudian mengomando lagi dengan contoh seraya mengatakan, "Pegang telinga yang kanan!" Para jamaah pun kompak mengikutinya. Namun, ketika sang ustadz mengatakan, "Pegang hidung dengan tangan kiri!" sementara tangan sang ustadz tersebut masih di telinga, mayoritas tangan jamaah masih tetap di telinga mereka masing-masing karena melihat contoh dari sang ustadz.
Contoh di atas menunjukkan betapa pentingnya ketauladanan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, Allah swt. dengan tegas mempersonifikasi Rasulullah saw sebagai uswah hasanah (suri tauladan yang baik) agar menjadi contoh nyata yang dapat ditiru oleh masyarakat dan kaum muslimin. Dan dengan demikian, cara dakwah Rasulullah saw dikagumi oleh kawan maupun lawan.
Di zaman seperti sekarang ini sangat sulit mendapatkan uswah hasanah yang sempurna yang mencerminkan ilmu dan amal keislaman. Padahal di tingkat bawah, masyarakat tidak dapat mengetahui apa dalil dan bagaimana ajaran Islam yang sebenarnya kecuali apa-apa yang didengar atau dilakukan oleh kiyai atau tokoh agama. Oleh karena itu, perlu ada usaha pengkaderan tokoh agama yang berpredikat uswah hasanah yang keislamannya tidak hanya pada ucapan belaka, meskipun ilmu yang dimilikinya sebatas hal-hal yang mendasar.
Di kalangan umum, dakwah sering dipahami hanya sebagai kegiatan menyampaikan pesan-pesan agama. Hal itu tidak salah, tapi yang menjadi masalah, sejauh mana target-target dakwah dapat diraih. Kalau kerja dakwah ini dianggap cukup ketika banyak da’i yang menyampaikan pesan agama tanpa disertai adanya target-target yang harus dicapai maka dakwah seperti ini tidak akan banyak membawa perubahan di tingkat sosial, politik, budaya, dan pendidikan. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan paradigma dakwah, disamping mempersiapkan pelaku-pelaku dakwah kredibel.
Terminology dakwah yang perlu ditanamkan di kalangan para da’i adalah "mengubah keadaan individu ataupun komunitas masyarakat dari keadaan tidak baik menjadi baik." Kondisi tidak baik dilihat dari segala sisi: dari sisi kepahaman agama dan pengamalannya, sisi kondisi kehidupan sosial masyarakat, kesadaran pertanggung jawaban atas prilakunya di masyarakat, kesadaran akan perlunya perbaikan tatanan sosial, perbaikan sistem pemerintahan, dan perbaikan tata negara agar menjadi pelaku kehidupan yang bertanggung jawab.
Semua item terminologi tersebut memerlukan kerja keras dari para pelaku dakwah disamping perlu adanya panduan kerja dakwah yang mengacu kepada target-target yang diprogramkan. Hal ini telah dicanangkan oleh para aktifis dakwah dengan sistem tarbiyah islamiyah. Tarbiyah islamiyah bukan sekedar kegiatan dakwah yang memberi kecerdasan kepada masyarakat dalam masalah-masalah keislaman, melainkan suatu sistem kerja dakwah untuk menciptakan mad'u (sasaran dakwah) yang memiliki integritas dengan ajaran Islam. Dari integritas kepribadian terhadap Islam, segala potinsi yang dimiliki oleh individu akan dapat dieksploitasi untuk tegaknya nilai-nilai keislaman. Oleh karena itu, tarbiyah islamiyah tidak memaksakan seorang dokter, insinyur, ekonom, dan lain sebagainya, harus mampu membaca kitab kuning (kitab berbahasa Arab yang tidak diberi tanda baca), melainkan mereka dilatih untuk memahami dunianya masing-masing, dilihat dari kacamata Islam untuk menerapkan nilai-nilai keislaman di bidangnya.
Dalam hal ini, kerja da’wah profesional bertujuan membangun kredibilitas personal yang handal pada tiga titik esensial:
- Kredibilitas Moral, yaitu menciptakan individu yang ditarbiyah memiliki komitmen nilai keislaman yang berkaitan dengan pertanggung jawaban atas segala perbuatan di hadapan Allah SWT. Hal ini dikenal dengan kesalehan individu yang disimbolkan dengan ikon “Bersih”.
- Kredibilitas Sosial, yaitu menciptakan individu yang memiliki kepekaan sosial sehingga perjuangan hidup yang ditekuninya bukan sekedar untuk memuaskan ambisi kepentingan pribadi atau keluarga yang berlandaskan kepuasan emosional, melainkan untuk menyebarkan dan mendtribusikan nilai kesalehan di tengah-tengah komunitas umat sesuai kemampuan potensi diri. Hal ini dikenal dengan kesalehan sosial yang disimbulkan dengan ikon “Peduli”.
- Kredibilitas Profesional, yaitu menciptakan kader tangguh yang mempu melakukan tugas dengan penuh kecermatan, ketekunan dan pertanggung-jawaban. Untuk hal ini diperlukan core competence management and strategic thingking (penyatuan kemampuan manajerial dan strategi berpikir) lewat latihan-latihan. Yang ini kita namai kesalehan profesional dan disimbolkan dengan ikon “Profesional”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mensinyalir masalah ini dalam sebuah sabdanya:
إن اللهَ تعالى يُحِبُ إذاَ عَمِلَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُتْقِنَهُ
“Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang melakukan sesuatu dengan cermat dan teliti.”Sumber : PIP Arab Saudi
Di antara keajaiban hati para pahlawan mukmin sejati adalah cara mereka mengapresiasikan karya-karya mereka. Mereka tidak pernah memandang karya-karya besar mereka secara berlebihan, tetapi mereka juga tidak pernah meremehkan pekerjaan-pekerjaan kecil yang mereka lakukan.
Besar kecil suatu karya atau pekerjaan tidaklah ditentukan oleh suatu faktor saja. Misalnya, faktor kemampuan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi cara penilaian terhadap suatu karya dan pekerjaan seorang pahlawan. Misalnya, tingkat kebutuhan saat itu, kesinambungannya dengan pekerjaan-pekerjaan sebelumnya, atau dengan pekerjaan-pekerjaan sesudahnya, luas wilayah distribusi manfaat, tingkat kemempuan pelaku, tingkat keterlibatan orang lain, banyaknya daya dukung, dan seterusnya. Kata kunci yang dapat menyimpul semua faktor tersebut adalah ketepatan. Yaitu, pekerjaan itu tepat pada waktunya, tepat pada sasarannya, tepat pada tempatnya, tepat pada caranya, dan tapat pada cost-nya.
Akan tetapi, bagaimanakah cara kita menilai tingkat ketepatan? Jawabannya adalah pada strategi. Strategilah yang menentukan nilai dari sebuah pekerjaan. Individu dan pekerjaannya dalam sebuah strategi adalah unit-unit yang tidak berdiri sendiri. Strategilah yang menentukan jenis pekerjaan dan orang yang tepat untuk pekerjaan itu. Jika dalam strategi itu ditentukan bahwa seseorang harus melakukan suatu pekerjaan yang ’tidak terlihat’ dalam waktu lama, maka ia harus melakukannya. Dan letak kepahlawanannya ada pada keihlasannya, pada diamnya, dan pada penyelesaian pekerjaan itu pada waktunya. Demikian juga sebaliknya.
Dalam kerangka strategi itu, kita mungkin akan menemukan kenyataan-kenyataan yang boleh jadi paradoks dalam pandangan kasat mata kita. Apa yang kita duga sebagai pekerjaan-pekerjaan besar, ternyata mempunyai nilai yang kecil dalam kerangka strategi tersebut. Demikian juga sebaliknya. Para pahlawan mukmin sejati tidak pernah memandang dirinya lebih besar dari strategi. Sebaliknya, ia menyerahkan dirinya untuk menjadi salah satu instrumen dari strategi tersebut. Demikianlah, Rasulullah saw. pernah bersabda, "Jangan pernah meremehkan suatu kebaikan, walaupun itu kecil!"
Padanan dari ketepatan dalam bahasa agama kita adalah hikmah. Dan inilah hikmah yang dimaksud oleh Allah sebagai sumber dari semua sumber kebaikan. Allah swt. berfirman, "...Dan barangsiapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak..." (QS. Al-Baqarah, 2 : 269)
Akan tetapi, para pahlawan mukmin sejati itu sama-sama menyimpan sebuah impian di kedalaman jiwa mereka. Mereka semua bermimpi untuk dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan unggulan yang menjadi alasan utama bagi Allah untuk memasukkan mereka kedalam surga-Nya. Seseorang sahabat pernah meminta kepada Rasulullah saw. agar beliau mendoakan dirinya kepada Allah swt. untuk dimasukkan ke dalam surga. Rasulullah saw. lalu mengatakan kepada sahabat tersebut, "Bantulah aku (agar doamu terkabul) dengan memperbanyak sujud."
Itulah amal unggulannya. Dan apakah amalan unggulan Anda, hai calon pahlawan?
Syahid Mengenang Syahid
Dr. Asy-Syahid Abdul Aziz ar-Rantisi mengatakan, Syeikh Ahmad Yasin adalah simbol Islam yang besar ketika hidup. Dengan gugurnya, ia menjadi guru unik dan paling menonjol dalam sejarah umat yang besar. Tidak ada sejarah seperti yang diukur Syeikh Yasin, dimana pemimpin yang lemah (karena cacat fisik) mampu mengubah menjadi kekuatan. Ia adalah pemimpin yang tidak pernah percaya dengan kelemahan mutlak seharipun bagi manusia atau dengan kekuatan mutlak selama ia masih bernama makhluk.”
Rantisi yang gugur syahid sebulan setelahnya menegaskan bahwa Syeikh Yasin lah yang mengusung rakyat Palestina yang tidak berdaya untuk melawan Israel dengan batu dan pisau, kemudian dengan bom, kemudian dengan roket-roket Al-Qassam. Syeikh Yasin telah menciptakan dari kelemahan rakyat menjadi kekuatan yang kini tidak bisa diremehkan Israel dan Amerika. Akibatnya, poros teroris ini mulai merasa risau dengan kekuatan yang pernah dibuat oleh Syeikh Yasin.
Asy-syahid Rantisi menegaskan bahwa Israel salah ketika membunuh Syeikh Ahmad Yasin sebab Israel tidak pernah belajar dari masa lalu. Mereka membunuhi para nabi namun mereka gagal memadamkan cahaya yang mereka bawa. Israel tidak akan bisa mematikan cahaya dari jasad Syeikh Ahmad Yasin. Bahkan peristiwa pembunuhan ini akan memindahkan konflik kepada fase yang lebih maju.
Darah Syekh Yasin; pesan untuk bersatu
Sementara Khalid Misy’al, ketua Maktab Siyasi HAMAS menegaskan bahwa darah Syeikh Ahmad Yasin memberikan pesan untuk bersatu dan merapikan barisan. Ia menyatakan, para pejuang Palestina sudah memberikan ruh mereka untuk Allah, kemudian untuk membebaskan Palestina. Gugurnya Syeikh Ahmad Yasin akan semakin menjadikan gerakan perlawanan semakin kuat.
Ia menegaskan bahwa Israel harus tahu bahwa upaya mereka untuk mematahkan semangat rakyat Palestina akan gagal. Tindakan Israel membunuh Syeikh Ahmad Yasin menegaskan bahwa mereka hanya berfikir bagaimana melakukan kejahatan. Karenanya, Khalid Misy’al menyerukan agar rakyat Palestina bersatu di belakang perlawanan Palestina.
Hamas terus melawan
Sementara itu, Mahmod Zehar menegaskan bahwa kejahatan pembunuhan Syekh Ahmad Yasin sebelumnya sudah diprediksi. Namun itu tidak akan menyimpangkan HAMAS dan pimpinannya dari program perlawanan terhadap Israel. ia menegaskan bahwa Israel menegaskan Syeikh Yasin layak mati karena keberadaannya mengancam eksistensi mereka di kawasan. “Namun kami mengatakan bahwa Syeikh syahid di sisi Allah, ia hidup dan mendapatkan rizqi, yang mati adalah Israel dan para pemimpinnya yang melakukan kejahatan dan pembantaian terhadap rakyat Palestina,” tegas Zehar.
Darah Yasin tak akan lemahkan perlawananSementara itu, Dr. Yusuf Al-Qardlawi menegaskan bahwa Darah Yasin tak akan tumpah percuma. Bahkan ia akan menjadi api dan laknat bagi Israel. Kesyahidan Syeikh Yasin tidak akan melemahkan perlawanan seperti yang dibayangkan Israel.
Ia menegaskan bahwa pembunuhan Syekh Ahmad Yasin adalah kejahatan penjajah Israel. dan Amerika ikut bertanggungjawab atas kejahatan itu. sebab Israel melakukan kejahatan dengan senjata Amerika, dana, dan dukungan mereka.
Karenanya, menurut Qardawi, Arab harus sadar dari ‘teler’ mereka dan keluar dari gua tempat tidur panjang mereka untuk menunaikan amanah terhadap saudara-saudara mereka.
[Tamat]
KHUTBAH IEDUL FITHRI 1430 HIJRIAH
Allaahu Akbar Allaahu Akbar Allaahu Akbar. La Ilaaha Illallaahu Wallaahu Akbar, Allaahu Akbar Walillahil Hamdu
Sungguh bahagia dapat hadir bersama di sebuah tempat ini dimana takbir, tahmid dan tahlil dikumandangkan. Kehangatan mentari pagi turut menambah cerah suasana hari raya ini. Hembusan angin pagi serasa membisikkan kesujukan pada hati-hati yang merindukan limpahan rahmat, berkah dan ampunan dari Allah SWT. Rasanya, tiada kalimat yang layak untuk mengawali khutbah hari ini, selain rasa syukur tak terkira kepada Sang Maha Pencipta dan Pengendali alam semesta, Allah SWT.
Teriring pula shalawat dan salam kita haturkan kepada manusia mulia, Rasulullah Muhammad SAW, yang telah bersusah payah dengan dakwahnya mengeluarkan ummat manusia dari kegelapan menuju peradaban yang terang benderang dipenuhi cahaya Ilahi. Shalawat dan salam untuk seorang utusan Allah SWT, yang telah mengkhidmatkan diri untuk menjadi pemimpin manusia-manusia yang senantiasa meniti jalan kebenaran di sepanjang zaman. Shalawat dan salam untuk seorang manusia yang hatinya dipenuhi oleh kecintaan kepada ummat dan seruan-seruannya telah meninggikan derajat kehidupan kemanusiaan.
Allaahu Akbar Allaahu Akbar Allaahu Akbar. Allaahu Akbar Walillahil Hamdu
Hadirin jemaah shalat iedul fithri yang berbahagia.
Tanpa terasa, baru saja kita ditinggalkan oleh Ramadhan, sebuah bulan dimana jiwa dan hati manusia ditempa oleh kaderisasi Ilahi. Begitulah kehidupan, semuanya akan berakhir dan berlalu. Mudah-mudahan berlalunya bulan Ramadhan diiringi dengan keberhasilan kita semua menjadi lulusan terbaik dari pendidikan madrasah Ramadhan. Semoga Ramadhan tahun ini berhasil menempa hati dan jiwa kita sehingga menjadi hati dan jiwa yang senantiasa menjaga keharmonian selaras dengan tuntunan Allah SWT.
Kita berharap kepada Allah SWT, agar menjadikan kita termasuk kedalam kafilah manusia yang mampu menangkap begitu banyak hikmah yang diturunkan melalui kemuliaan bulan Ramadhan. Kasih sayang Allah SWT, menjadikan Ramadhan tahun ini memiliki lebih banyak hikmah, khususnya di bumi Jawa Barat.
Allaahu Akbar Allaahu Akbar Allaahu Akbar. Allaahu Akbar Walillahil HamduHadirin jemaah shalat iedul fithri yang berbahagia.
Beberapa hari yang lalu bumi Jawa Barat dikejutkan dengan musibah gempa bumi, marilah kita memaknai musibah gempa bumi ini dengan sikap yang benar supaya menjadi kebaikan bagi kita semua warga Jawa Barat, sebab Rasulullah SAW bersabda :
"Sungguh mengagungkan perkara seorang mukmin. Seluruh perkara yang menimpanya adalah kebaikan baginya. Jika dia ditimpa kenikmatan, kemudian dia bersyukur maka syukur itu akan menjadi kebaikan baginya. Jika dia ditimpa musibah kemudian dia bersabar, maka sabar itu menjadi kebaikan baginya. Dan ini hanya berlaku untuk orang yang beriman kepada Allah SWT saja." (H.R. Bukhari-Muslim)
Musibah adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan di muka bumi. Kemudahan dan kesulitan selalu dipergilirkan. Musibah dan kesulitan juga merupakan cara Allah untuk membedakan siapa manusia yang benar dan siapa yang dusta dengan keimanannya. Allah telah menegaskan dalam firman-Nya:
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, 'Kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta." (Q.S Al-Ankabut 2-3)
Musibah adalah ujian baik bagi yang menerimanya maupun yang tidak menerima musibah itu. Bagi yang tertimpa musibah jelas bahwa ujian sedang menghampirinya untuk tetap tabah menghadapinya sedangkan bagi yang tidak menerimanya ujian tersebut adalah sebuah ujian apakah dia dapat berempati dan membantu terhadap sesama atau tidak. Pada dimensi kehidupan dunia, musibah mungkin berarti sebagai sebuah cobaan dan kesulitan dalam kehidupan. Namun pada dimensi kehidupan akhirat, sesungguhnya musibah adalah pertanda bahwa kita masih termasuk bagian dari manusia-manusia yang dikasihi Allah dan tidak termasuk dalam golongan manusia yang dimurkai Allah. Sebab Rasulullah SAW bersabda :
"Jika Allah mencintai suatu kaum, maka Allah akan memberikan cobaan bagi kaum itu." (H.R. Bukhari-Muslim)
Pada dimensi waktu jangka pendek, sebuah musibah dapat berarti sebuah kerugian. Namun pada dimensi waktu jangka panjang, musibah dapat berarti sebuah keuntungan. Merubah kerugian menjadi keuntungan adalah perihal sikap dan kemampuan dalam menangkap hikmah pelajaran di balik terjadinya sebuah musibah. Kerugian sesungguhnya dari sebuah musibah terjadi jika orang-orang yang menjadi korban langsung maupun yang tidak langsung tidak mampu menangkap hikmah dari Sang Maha Kuasa atas musibah tersebut. Oleh karena itu, hal terpenting dalam menghadapi musibah adalah tentang bagaimana sikap kita dalam berhadapan dan mengambil hikmah dari sebuah musibah yang Allah berikan kepada kita.
Allaahu Akbar Allaahu Akbar Allaahu Akbar. Allaahu Akbar Walillahil HamduHadirin jemaah shalat iedul fithri yang berbahagia.
Sebuah perenungan sederhana terhadap bencana gempa bumi di tanah Jawa Barat mengantarkan kita kepada beberapa hikmah, antara lain adalah:
Pertama, musibah gempa bumi bisa jadi merupakan salah satu pintu untuk hadirnya pertolongan Allah di bumi Jawa Barat. Bukankah kunci dari pertolongan Allah adalah ketika kita bersabar terhadap ujian yang diberikan, lalu diiringi dengan usaha dan ikhtiar yang kuat untuk segera bangkit menanggulangi dampak dari musibah itu.
"...dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang bersabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata: “Sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kami pasti kembali kepada-Nya”. Mereka itulah (orang-orang yang) kepada mereka akan turun berbagai karunia dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." (Q.S. Al-Baqarah 155-157)
Bisa jadi, bencana gempa bumi merupakan cara Allah dalam memancangkan titik awal kebangkitan kehidupan masyarakat Jawa Barat. Kebangkitan sebuah peradaban hanya bisa dilakukan oleh manusia-manusia bermental kuat yang memiliki kesabaran luar biasa dan mempunyai kesungguhan dalam menyelesaikan berbagai beban tangung jawab. Amanah untuk membangkitkan peradaban membutuhkan manusia yang terbiasa mengatasi kesulitan dan rintangan dalam perjalanan kehidupannya. Amanah membangkitkan sebuah peradaban tidak dapat dipikul, kecuali oleh orang-orang yang terbiasa lebih mengutamakan tanggung jawab dari pada kehidupan santai dan mewah dan dari pada kesenangan dan godaan.
Musibah bencana, membuat orang tidak memiliki pilihan selain bekerja keras untuk dapat mempertahankan keberadaannya di muka bumi. Mudah-mudahan dari bencana ini, akan lahir sosok-sosok manusia yang kuat, ulet, tahan banting, punya visi yang jauh kedepan untuk menatap perubahan dan harapan baru.
Ustadz Sayyid Quthb dalam kitab tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an mengatakan:
"Jiwa yang ditempa dengan kesulitan-kesulitan akan terbersihkan dari unsur-unsur yang buruk, dan terlejitkan kekuatannya yang tersimpan sehingga bangkit dan terhimpun. Kesulitan-kesulitan itu mengetuknya dengan keras dan kuat sehingga ia menjadi kuat dan cemerlang."
Kedua, berbagai musibah seolah menunjukkan bahwa alam sepertinya mulai tidak tahan terhadap perilaku manusia yang sering kali tidak ramah terhadap lingkungan. Maha Suci Allah yang telah menciptakan alam ini dalam keadaan setimbang. Oleh karena itu setiap upaya yang berdampak pada rusaknya kesetimbangan alam akan menerima konsekuensi dari sunatullah. Ketidakharmonisan hubungan yang ditunjukkan oleh manusia kepada lingkungannya, pada gilirannya akan menuai reaksi negatif dari alam.
Berbagai bencana alam yang menghampiri manusia beberapa tahun terakhir ini merupakan sebuah peringatan bahwa alam mulai tidak suka dengan kesewenang-wenangan manusia. Keserakahan manusia telah terbukti mendorong alam semesta bergerak menjauhi titik kesetimbangannya. Sudah sepantasnya ummat manusia mulai mengkoreksi diri dan menata kembali pola hubungannya dengan alam. Manusia harus berhasil mengekang keserakahannya sehingga tidak mengambil sesuatu dari alam secara berlebihan.
Ramadhan telah mengajarkan kita untuk menahan diri tidak hanya terhadap hal-hal yang dilarang, tetapi juga terhadap hal-hal yang diperbolehkan. Sangatlah wajar jika Ramadhan mengajarkan kita agar tidak menjadi orang-orang yang melampaui batas. Allah sangat membenci orang-orang yang melampaui batas, termasuk kepada alam. Bukankah kita juga tahu bahwa kesudahan orang-orang yang melampaui batas adalah neraka.
"Sesungguhnya neraka Jahannam itu (padanya) ada tempat pengintai. Lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas. Mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya. Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman. Selain air yang mendidih dan nanah." (Q.S. An-Naba’ 21-25)
Tidaklah berlebihan jika manusia saat ini harus segera memulai kebijakan pembangunan yang juga berpihak kepada lingkungan. Hal tersebut tidak hanya akan menguntungkan alam, akan tetapi juga menguntungkan manusia itu sendiri. Bahkan tidak hanya manusia yang ada hari ini, tetapi juga manusia yang akan hadir kemudian. Konsep pembangunan berkelanjutan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Keinginan pemerintah provinsi, untuk menjadikan Jawa Barat sebagai green province, perlu untuk mendapatkan dukungan semua pihak. Kegiatan-kegiatan pemerintah yang berupaya memperbaiki hubungan dengan alam perlu untuk mendapatkan perhatian seluruh komponen warga Jawa Barat.
Ketiga, bencana gempa bumi merupakan bentuk ujian Allah kepada para peserta pendidikan madrasah Ramadhan. Ramadhan mengajarkan kepada kita untuk dapat berempati terhadap orang-orang yang hidup dalam kekurangan. Ramadhan juga mengajarkan kita untuk mau berbagi terhadap sesama. Ramadhan juga telah mengajarkan kepada kita tentang kesahajaan. Kesahajaan merupakan pilihan sadar bagi orang-orang yang dikaruniai dengan kelebihan rezeki. Kesahajaan akan membawa kita mampu menyisihkan rezeki yang kita miliki untuk dapat digunakan bagi kepentingan orang lain yang membutuhkan.
Kesahajaan mengajarkan kepada kita agar tidak berlebihan dalam menggunakan rezeki yang Allah titipkan melalui kita. Kesahajaan mencegah kita melampaui batas dengan tampil bermewah-mewahan. Sekali lagi, Allah sangat tidak menyukai manusia yang melampaui batas, termasuk dalam menggunakan rezekinya untuk kepentingan pribadi.
Bencana alam bukan sekedar menjadi ujian bagi orang-orang yang menjadi korban, akan tetapi juga menjadi ujian bagi orang-orang yang luput dari musibah tersebut, apakah mereka berempati dan bergegas memberikan bantuan untuk meringankan beban para korban. Dimanakah kita berada? Apakah kita termasuk orang-orang yang lulus dari ujian Allah tersebut, atau kita masih termasuk orang-orang yang belum lulus?
Pada ujian Allah tersebut, tidak ada kata terlambat. Masih ada kesempatan bagi kita untuk membuktikan diri kepada Allah bahwa kita termasuk orang-orang yang lulus. Jika kita belum ikut berkontribusi dalam meringankan beban saudara-saudara kita yang tertimpa musibah, maka sudah sepantasnya hal pertama yang kita lakukan setelah keluar dari lapangan ini adalah berinfak untuk para korban bencana.
Keempat, bencana gempa bumi juga mengisyaratkan kepada kita untuk dapat melaksanakan pekerjaan secara profesional. Profesionalisme kita dalam menentukan lokasi perumahan, dalam menentukan kualitas bangunan rumah dan dalam melakukan program-program penghijauan, sebenarnya dapat menjadi salah satu faktor yang akan mengurangi dampak dari bencana gempa bumi. Banyak bangunan dan infrastruktur yang rusak, ketika gempa bumi terjadi, dikarenakan tidak dikerjakan secara profesional dan memenuhi standar yang seharusnya. Kecepatan dalam melaksanakan program tanggap darurat juga sangat ditentukan oleh profesionalisme dari orang-orang yang memiliki amanah dan tanggung jawab melaksanakan hal tersebut.
Profesionalisme jika dipadukan dengan ketakwaan seharusnya menjadi paduan yang tidak boleh dilepaskan dalam menjalankan berbagai aktifitas tanggung jawab. Pertemuan antara ketakwaan dan profesionalisme merupakan faktor pemicu yang dapat mempercepat kebangkitan masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Masa depan peradaban manusia sangat tergantung kepada seberapa cepat perpaduan antara ketakwaan dan profesionalisme tersebut hadir dalam kehidupan kita. Perpaduan antara ketakwaan dan profesionalisme juga merupakan titik awal bagi hadirnya sebuah pemerintahan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat. Mudah-mudahan segala amal ibadah di bulan Ramadhan dapat mempercepat pertemuan antara ketakwaan dan profesionalisme dalam kehidupan individu maupun kehidupan berbangsa dan bernegara.
Allaahu Akbar Allaahu Akbar Allaahu Akbar. Allaahu Akbar Walillahil HamduHadirin jemaah shalat iedul fithri yang berbahagia.
Demikianlah, setidaknya empat hikmah tersebut bisa menjadi bahan perenungan bagi kita semua. Sebuah perenungan yang berpotensi untuk mendorong hadirnya sebuah peradaban baru yang menjadi harapan banyak masyarakat.
Tak lupa pula pada kesempatan yang berbahagia ini, dari kedalam lubuk hati, saya menghaturkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas hak-hak masyarakat yang belum dapat dipenuhi oleh pemerintah provinsi. Saya mengharapkan pula bantuan doa dari seluruh masyarakat, supaya berhasil mewujudkan cita-cita membangun masyarakat Jawa Barat yang mandiri, dinamis dan sejahtera seperti yang sama sama kita cita-citakan. Mudah-mudahan keinginan seluruh masyarakat Jawa Barat mendapat restu dan ridho dari Allah SWT.
Robbanaa aatina fiddunyaa hasanah wafil aakhiroti hasanahwaqinaa adzaabannar Taqobbalallohu minna waminkum taqobbal yaa karimMinal ’aidin wal faidzin
Selamat Hari Raya ‘Idul Fitri 1 Syawal 1430 H
Billahittaufiq wal-hidayah
Wassalamulaikum Wr. Wb.
Lelaki kaya raya itu menangis tersedu-sedu, selama berhari-hari, menjelang kematiannya. Bukan karena ia takut mati. Atau sedih karena harus meninggalkan kekayaanya yang melimpah ruah. Ia justru sedih karena tak mengerti bagaimana menafsirkan kekayaan dan kemakmurannya.
Begini ia bertanya pada dirinya sendiri: ”Ada sahabat Rasulullah SAW yang jauh lebih baik dariku, yaitu Mus’ab bin Umair, yang ketika wafat tidak meninggalkan harta sedikitpun juga. Ia bahkan tidak punya cukup kain kafan untuk menutupi jasadnya, hingga jika kepalanya ditutup maka kakinya terbuka, jika kakinya ditutup maka kepalanya terbuka. Lalu apa artinya bahwa mendapatkan kekayaan yang melimpah ruah ini sementara mereka tidak?? Tidakkah kekayaan ini malah akan mengantarkan aku ke neraka??"
Lelaki kaya itu, Abdurrahman bin Auf, mengulang-ulang pertanyaan itu, sembari menangis, sampai ia menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Kebanyakan kita belajar makna zuhud dari cerita itu. Tapi begitu kita menarik konteks di mana Abdurrahman bin Auf hidup dan bekerja, segera saja kita temukan nama beliau di deretan para sahabat Nabi yang ikut berjihad di semua medan tempur sepanjang hidupnya, ahli ibadah yang tidak kenal lelah, penderma yang tidak pernah berhenti berderma, yang pertama kali mengundurkan diri dari pencalonannya sebagai khalifah setelah Umar bin Khattab terbunuh. Semua makna zuhud ada di situ, persis di jantung kepribadiannya. Ia seharusnya tidak perlu menangis seperti itu jika semua makna zuhud itu kita nisbatkan kepada dirinya.
Tapi begitulah mereka. Mereka mewariskan pelajaran lain yang belum kita pahami. Abdurrahman bin Auf, satu diantara sekian nama besar pengusaha dari kalangan sahabat Rasulullah SAW, yang bekerja keras menciptakan kemakmuran dan kekayaan di tengah masyarakat Muslim yang baru berkembang menjadi pemimpin peradaban baru. Pembebasan-pembebasan yang terjadi sejak masa Abu Bakar hingga tujuh tahun pertama masa pemerintahan Usman bin Affan telah memberikan kemelimpahan bagi kaum Muslimin. Mereka mendapatkan wilayah-wilayah baru dengan segala isinya, yang salah satu artinya adalah pertambahan dan penggandaan pada pendapatan pemerintah, baik pada sumber yang sebelumnya sudah ada seperti zakat dan ghanimah, atau dari sumber yang baru seperti jizyah, kharaj dan usyur.
Itu menjelaskan tafsir utama atas kemakmuran di era itu: bahwa pada mulanya kemakmuran itu diciptakan oleh pembebasan-pembebasan besar. Kelak sejarah mencatat kebenaran fakta ini: bahwa bangsa-bangsa yang makmur selalu mencatat sejarah kemakmurannya dari kemenangan-kemenangan besar dalam perang-perang besar. Kemakmuran Eropa dan Amerika, misalnya, adalah hasil kemenangan dalam perang dunia pertama dan kedua serta perang dingin.
Tapi itu bukan tafsir tunggal atas kemakmuran. Pembebasan-pembebasan besar memberikan kemelimpahan pada sumber daya untuk menciptakan kemakmuran. Tapi hanya bangsa yang memiliki pengusaha-pengusaha besar yang bisa memanfaatkan dan mengkapitalisasi sumber daya baru itu menjadi kekayaan yang melimpah. Begitulah kemakmuran terjadi di era itu: pembebasan-pembebasan besar memberi tambahan sumber daya, tapi di tangan dingin para pengusaha tangguh, seperti Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan, sumber daya itu menjadi kekayaan yang melimpah. Lihatlah misalnya, bagaimana Usman bin Affan menghilangkan dominasi pengusaha Yahudi di Madinah. Mereka tidaklah lebih besar dari para pengusaha lain. Tapi mereka adalah pengusaha pembelajar. Dan diantara yang mereka pelajari adalah bagaimana mengimbangi ketangguhan para mujahidin yang terus-menerus membebaskan wilayah-wilayah baru sembari mengimbangi pengusaha-pengusaha setempat yang sebelumnya mendominasi wilayah itu. Amerika mungkin punya jenderal Mc Arthur yang menaklukkan kawasan pasifik dalam perang dunia kedua, tapi juga punya Bill Gate yang mengisi komputer-komputer kita dengan softwarenya atau Warren Buffet yang mengisi lantai bursa kita dengan investasi-investasinya. Begitu juga era itu: ada pembebas sekaliber Khalid bin Walid, tapi juga ada pengusaha tangguh seperti Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan.
Jadi tangis Abdurrahman bin Auf itu adalah pertanyaan yang rendah hati: bisakah perannya sebagai pengusaha mengimbangi peran para mujahidin di mata Allah??
[Sebelumnya]
Seorang lelaki shalih bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba ia melihat sebuah apel terjatuh di luar pagar suatu kebun buah-buahan. Melihat apel merah yang ranum itu tergeletak di tanah, terbitlah air liur Tsabit. Apalagi hari begitu panas dan Tsabit tengah kehausan. Tanpa berpikir panjang Tsabit memungut dan memakan apel itu. Tapi baru setengah memakannya Tsabit ingat: apel itu bukan miliknya dan dia belum mendapat izin dari pemiliknya.
Tsabit pun bergegas masuk ke dalam kebun itu. Ia hendak menemui si pemilik kebun dan meminta si pemilik menghalalkan sebuah apel yang telah dimakannya. Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki. “Aku sudah makan setengah dari buah apel ini. Aku berharap Anda menghalalkannya,” kata Tsabit kepada orang itu. Namun ornag itu menjawab, “Aku bukan pemilik kebun ini. Aku hanya orang yang ditugaskan menjaga dan mengurus kebun ini.”
Tsabit pun bertanya, “Di mana rumah pemilik kebun ini? Aku harus menemuinya untuk meminta ia menghalalkan apel yang telah kumakan ini.”
“Untuk sampai ke sana engkau harus menempuh perjalanan sehari semalam,” jawab si penjaga kebun.
“Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa izin pemiliknya. Bukankah Rasulullah saw. sudah memperingatkan kita melalui sabdanya: ‘Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka’,” tukas Tsabit tegas.
Tsabit pergi ke arah yang ditunjuk penjaga kebun. Ia menuju rumah si pemilik kebun. Dan setiba di sana dia langsung mengetuk pintu. Si pemilik rumah membukakan pintu. Tsabit langsung memberi salam dengan sopan.
“Wahai Tuan, saya terlanjur memakan setengah dari sebuah apel yang jatuh ke luar dari kebun milik Tuan. Karena itu, saya datang untuk meminta Tuan menghalalkan apa yang sudah saya makan itu.”
Lelaki tua si pemilik kebun itu mengamati Tsabit dengan cermat. Lalu dia berkata, “Tidak! Aku tidak akan menghalalkannya kecuali dengan satu syarat.”
Tsabit khawatir tidak dapat memenuhi syarat itu. Namun, ia tidak punya pilihan. “Apa syarat itu, Tuan?”
Si pemilik kebun menjawab dengan jawaban yang di luar dugaan. “Engkau harus mengawini putriku!”
Tsabit bin Ibrahim terkejut. “Hanya karena aku makan setengah buah apel yang jatuh keluar dari kebun Tuan, saya harus mengawini putri Tuan?” Tsabit membuat pertanyaan dengan warna penuh keheranan.
Tapi si pemilik kebun itu tidak peduli. Bahkan ia menambahkan, “Engkau juga harus tahu. Putriku punya kekurangan. Ia buta, bisu, dan tuli. Ia juga lumpuh.”
Tsabit terkejut. Haruskah ia menikahi perempuan seperti itu hanya karena ia memakan sebuah apel tidak dihalalkan baginya?
Si pemilik kebun itu kembali menegaskan sikapnya, “Aku tidak akan menghalalkan apel yang engkau makan kecuali engkau penuhi syarat itu.”
Tsabit yang tidak ingin di tubuhnya ada barang haram dengan tegas menjawab, “Baik, aku terima karena aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul ‘alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Allah meridhaiku. Mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta’ala.”
Pernikahan pun dilaksanakan. Pemilik kebun itu menghadirkan dua saksi untuk menyaksikan akad nikah itu. Setelah akad nikah selesai, Tsabit dipersilakan menemui istrinya. “Assalamu”alaikum!” Tsabit tetap mengucapkan salam, walau tahu istrinya tuli dan bisu.
Tsabit kaget. Ada suara wanita menjawab salamnya. Tsabit masuk menghampiri wanita itu. Wanita itu mengulurkan tangan menyambut tangannya. Sekali lagi Tsabit terkejut.
Setelah duduk di samping istrinya, Tsabit bertanya, “Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa kamu buta. Mengapa?”
Wanita itu menjawab, “Ayahku benar. Aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah.”
Tsabit bertanya lagi, “Ayahmu juga mengatakan kamu tuli, mengapa?”
“Ayahku benar. Aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat Allah ridha,” jawab wanita itu. “Ayahku pasti juga mengatakan kepadamu aku bisu dan lumpuh, bukan?”
Tsabit mengangguk mengiyakan pertanyaan istrinya itu.
“Aku dikatakan bisu karena aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah saja. Aku dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang membuat Allah gusar.”
Tsabit begitu bahagia. Ia mendapat istri yang shalihah. Apalagi wajahnya bagaikan bulan purnama di malam gelap. Dari pernikahan ini Tsabit dan istrinya dikaruniai seorang putra yang kelak menjadi ulama yang menjadi rujukan dunia: Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit.
Sumber : Dakwatuna
Sumber : Dakwatuna
Bismillaahirrohmaanirrohiim
Di bawah ini adalah Wasiat dari seseorang bernama Mujahid ( Bukan nama Asli ), Seorang pemuda penuntut ilmu Syar'i. dia Jatuh hati kepada Seorang Akhwat Operator Warnet, tapi ketika ia ingin berta'aruf, ia melakukannya dengan cara yang tidak Syar'i, udah gitu Kayaknya ditolak lagi ! ia juga mencari-cari akun Facebook Akhwat tersebut, tapi tidak ketemu.
Akhirnya Ia ingin bertaubat atas kesalahannya. dengan segala kekurangan ilmu yang ia miliki, Ia mengirim Wasiat untuk Kita . inilah wasiatnya :
------------------------------------------إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
Ammaa ba'd.
IKHWAH FILLAH ROHIMAKUMULLOH !
Saya bersyukur pada Allah, karena dengan izin-Nya lah saya bisa menyampaikan Nasihat ini. sungguh saya malu menceritakannya karena ini Aib, namun karena tujuannya untuk saling menasihati, saya menganggapnya boleh-boleh saja, agar Ikhwah sekalian mengambil pelajaran dari saya.
Allah berfirman :
“Wahai istri-istri nabi, kalian tidak sama dengan wanita-wanita yang lain, jika kalian bertakwa maka janganlah kalian melembutkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)
Rasulullah bersabda :
"Takutlah kepada (fitnah) dunia dan takutlah kepada (fitnah) wanita, karena sesungguhnya awal fitnah yang menimpa Bani Isra’il dari wanitanya.” (HR. Muslim)
IKHWAH FILLAH ROHIMAKUMULLOH !
Memanglah betul jika Godaan bisa berawal dari wanita,entah suaranya, senyumannya, dsb. akan tetapi sangatlah tidak bijak jika saya menyalahkan orang lain sementara saya tidak Introspeksi diri.
Kesalahan ini mungkin dianggap sepele bagi orang yg tak berilmu, namun Hal ini Besar bagi saya, karena Efeknya luar bisa terhadap kehidupan.
Sungguh, kalau bukan karena takut kepada Allah, mungkin sekarang saya sudah bunuh diri. Saya bertaubat kepada Allah atas semua kesalahan saya.
IKHWAH FILLAH ROHIMAKUMULLOH !
Tidaklah perlu saya panjang lebar, saya hanya ingin berpesan kepada kalian:
1.Peliharalah Tauhid
Ketika hatimu sakit Allah lah tempat mengadu, ketika kau ada masalah, Allah lah tempat mengadu. jika kau tidak punya Tauhid, maka hancurlah dunia & akhiratmu.
2.Melaksanakan perintahnya & menjauhi larangannyaJangan pernah menyepelekan Maksiat yang dianggap kecil. karena kau mungkin belum tahu Efek buruk di balik hal itu.
3.Untuk Akhwat
Janganlah kalian melembutkan suara dalam berbicara. “Wahai istri-istri nabi, kalian tidak sama dengan wanita-wanita yang lain, jika kalian bertakwa maka janganlah kalian melembutkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)
Janganlah kalian melembutkan suara dalam berbicara. “Wahai istri-istri nabi, kalian tidak sama dengan wanita-wanita yang lain, jika kalian bertakwa maka janganlah kalian melembutkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)
Janganlah keluar rumah sendirian tanpa mahrom ( kecuali utk alasan2 yg dibenarkan )
Jangan pula memajang Foto cantik di Facebook
"renungilah, Foto Ukhti dimana-mana"
4.Untuk Ikhwan
Janganlah berangan-angan yang indah-indah tentang Akhwat yg bukan Muhrim. Ingatlah, jika Rasa rindu sudah menumpuk, maka sulit untuk menghilangkannya.
Rasulullah bersabda:
Kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakannya. Menikahlah jika sudah sanggup, jika belum, Puasa saja.
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
"Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang mampu untuk menikah maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa" (HR. Bukhari No. 1905, Muslim 3379)
IKHWAH FILLAH ROHIMAKUMULLOH !
Akhir kata, Ikhwah, saya ingin minta dukungan & Doa kalian, agar saya bisa melewati Ujian-ujian Tauhid dalam hidup ini. saya ingin bisa berda'wah untuk kalian.
Dan saya ingin sekali bisa menjadi salah seorang yang Syahid di jalan Allah.
1.Allah tujuanku
2.Rasulullah Tauladanku
3.Al-Qur'an Pedomanku
4.As Salaf Manhajku
5.Jihad Jalan juangku
6.Syahid di jalan Allah....semoga Allah memberinya Kepadaku
Allahuakbar...Allahuakbar...Allahuakbar
Syukron
Dari Hamba Allah yang miskin ilmu
Mohon dikoreksi jika ada kesalahan
--------------------------------------------------------------
Itulah wasiat darinya.
Saudaraku, Kisah diatas adalah terjadi pada Ikhwan & akhwat.
Dan keduanya pun tidak pacaran. tapi bisa se-Tragis itu. lalu bagaimana dengan kisah2 patah hati orang-orang yang lemah imannya, yang masih doyan pacaran ? Tragis banget kali ya ?
Syukron atas perhatiannya, semoga bermanfaat
Mohon dikoreksi jika ada kesalahan
Sumber : JM Community
Tidak ada pahlawan sejati yang besar yang tidak mempunyai struktur filosofi yang solid dan kuat. Filosofi adalah sebuah ruang kecil dalam kepribadian kita darimana seluruh tindakan diarahkan dan dikontrol. Tindakan-tindakan kepahlawanan selalu lahir dari pikiran-pikiran kepahlawanan.
Filosofi adalah kerangka pikiran yang terbentuk sedemikian rupa dalam diri kita dan berfungsi.memberi kita ruang bagi semua tindakan yang ’mungkin’ kita lakukan. Semakin luas ’kerangka berfikir’ itu, semakin luas pula ’wilayah tindakan’ yang mungkin kita lakukan. Saya menyebutnya ’wilayah kemungkinan’. Setiap tindakan yang mempunyai wujud dalam pikiran kita akan segera masuk dalam wilayah kemungkinan. Pada saat sebuah tindakan masuk dalam wilayah kemungkinan itu, kita akan segera merasakan sesuatu yang ingin saya sebut sebagai ’perasaan berdaya’. Yaitu semacam keyakinan yang menguasai jiwa kita bahwa kita ’mampu’ melakukannya. Keyakinan itu saja sudah memadai untuk merangsang dorongan dari dalam jiwa kita untuk melakukannya. Begitulah akhirnya ’tekad’ terbentuk. Dan tekad seperti ini adalah ’power’ karena ia lahir dari persoalan berdaya.
Filosofi terbentuk dalam diri kita sebagai kumulasi dari kerja-kerja imajinatif. Adapun imajinasi itu sendiri merupakan bagian dari merupakan bagian dari fungsi pikiran dan emosi sekaligus. Itu merupakan proses yang paling sublim dalam diri kita, tetapi sekaligus merupakan tahapan kreativitas yang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian kita. Seperti ketika kita menyusun kata menjadi kalimat, atau memadukan warna menjadi gambar, atau menyerap selera ke dalam desain, seperti itulah imajinasi mempertautkan anak-anak pikiran menjadi sebua filosofi.
Sebagian dari yang terekam dalam filosofi itu adalah cara memaknai suatu sisi kepahlawanan. Misalnya, cara Khalid bin Walid memaknai jihad atau peperangan yang menjadi sisi kepahlawanannya. Ia pernah mengatakan, ”Berada pada suatu malam yang sangat dingin untuk berjihad di jalan Allah lebih aku senangi daripada mendapatkan pengantin perempuan cantik di malam pengantin.”
Atau misalnya cara Amr bin ’Ash memaknai keterampilan politik seorang pemimpin: ”Jika seorang pemimpin tahu bagaimana memasuki suatu urusan, maka ia harustahu juga bagaimana cara keluar dari urusan itu. Sesempit apapun jalan keluar yang tersedia.”
Atau misalnya cara Umar bin Khattab memaknai akseptabilitas seorang pemimpin di mata Allah dalam sebuah pesannya kepada para pejabat di masa kekhalifahannya, ”Ketahuilah kedudukan Anda di mata Allah dengan cara melihat tingkat penerimaan masyarakat kepada Anda.”
Akan tetapi, filosofi juga membicarakan harapan-harapan kita, arti kehormatan, sumber motivasi, apa-apa yang kita suka dan kita benci, proses pemaknaan terhadap sesuatu, fungsi keterampilan kepribadian, dan seterusnya. Pada akhirnya apa digambarkan oleh filosofi itu adalah keseluruhan kepribadian kita. Dan inilah kunci kepribadian kita.
Memang seperti itu dakwah. Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk, dan tidurmu. Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yang kau cintai.
Lagi-lagi memang seperti itu. Dakwah. Menyedot saripati energimu. Sampai tulang belulangmu. Sampai daging terakhir yang menempel di tubuh rentamu. Tubuh yang luluh lantak diseret-seret. .. Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari.
Seperti itu pula kejadiannya pada rambut Rasulullah. Beliau memang akan tua juga. Tapi kepalanya beruban karena beban berat dari ayat yg diturunkan Allah.
Sebagaimana tubuh mulia Umar bin Abdul Aziz. Dia memimpin hanya sebentar. Tapi kaum muslimin sudah dibuat bingung. Tidak ada lagi orang miskin yang bisa diberi sedekah. Tubuh mulia itu terkoyak-koyak.
Sulit membayangkan sekeras apa sang Khalifah bekerja. Tubuh yang segar bugar itu sampai rontok. Hanya dalam 2 tahun ia sakit parah kemudian meninggal. Toh memang itu yang diharapkannya; mati sebagai jiwa yang tenang.
Dan di etalase akhirat kelak, mungkin tubuh Umar bin Khattab juga terlihat tercabik-cabik. Kepalanya sampai botak. Umar yang perkasa pun akhirnya membawa tongkat ke mana-mana. Kurang heroik?
Akhirnya diperjelas dengan salah satu luka paling legendaris sepanjang sejarah; luka ditikamnya seorang Khalifah yang sholih, yang sedang bermesra-mesraan dengan Tuhannya saat sholat.
Dakwah bukannya tidak melelahkan. Bukannya tidak membosankan. Dakwah bukannya tidak menyakitkan. Bahkan juga para pejuang risalah bukannya sepi dari godaan kefuturan.
Tidak… Justru kelelahan. Justru rasa sakit itu selalu bersama mereka sepanjang hidupnya. Setiap hari. Satu kisah heroik, akan segera mereka sambung lagi dengan amalan yang jauh lebih “tragis”.
Justru karena rasa sakit itu selalu mereka rasakan, selalu menemani… justru karena rasa sakit itu selalu mengintai ke mana pun mereka pergi… akhirnya menjadi adaptasi.
Kalau iman dan godaan rasa lelah selalu bertempur, pada akhirnya salah satunya harus mengalah. Dan rasa lelah itu sendiri yang akhirnya lelah untuk mencekik iman. Lalu terus berkobar dalam dada.
Begitu pula rasa sakit. Hingga luka tak kau rasa lagi sebagai luka. Hingga “hasrat untuk mengeluh” tidak lagi terlalu menggoda dibandingkan jihad yang begitu cantik.
Begitupun Umar. Saat Rasulullah wafat, ia histeris. Saat Abu Bakar wafat, ia tidak lagi mengamuk. Bukannya tidak cinta pada Abu Bakar. Tapi saking seringnya “ditinggalkan” , hal itu sudah menjadi kewajaran. Dan menjadi semacam tonik bagi iman.
Karena itu kamu tahu. Pejuang yang heboh ria memamer-mamerkan amalnya adalah anak kemarin sore. Yang takjub pada rasa sakit dan pengorbanannya juga begitu. Karena mereka jarang disakiti di jalan Allah. Karena tidak setiap saat mereka memproduksi karya-karya besar.
Maka sekalinya hal itu mereka kerjakan, sekalinya hal itu mereka rasakan, mereka merasa menjadi orang besar. Dan mereka justru jadi lelucon dan target doa para mujahid sejati, “Ya Allah, berilah dia petunjuk… sungguh Engkau Maha Pengasih lagi maha Penyayang…“
Maka satu lagi seorang pejuang tubuhnya luluh lantak. Jasadnya dikoyak beban dakwah. Tapi iman di hatinya memancarkan cinta… Mengajak kita untuk terus berlari…
“Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu. Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu. Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu. Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu. Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.”(Alm. Ust. Rahmat Abdullah)
Kalau iman dan syetan terus bertempur. Pada akhirnya salah satunya harus mengalah.
“Apakah kamu mengira kamu akan dibiarkan (begitu saja), sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. At-Taubah,9 : 16)
Beranjak dari kandungan ayat di atas, mari kita coba telusuri realitas sejarah kondisi umat Islam saat ini, khususnya mentalitas dan sepak terjang para kader dakwah di Tanah air, terutama dalam menyikapi dan meyakini makna syahadat. Dengan kata lain, sejauhmana seorang muslim mampu mengaplikasikan makna dua kalimat syahadat dalam hidup dan kehidupannya.
Kita tahu, ucapan syahadat memang sangat mahal, sebab punya resiko yang sangat tinggi. Pernyataan (syahadat) tersebut punya makna yang tidak sederhana, pengakuan sekaligus pembatalan, menyangkut sesuatu yang sangat mendasar dan prinsipil dalam hidup dan kehidupan seorang muslim. Berbarengan dengan itu, harus ada kesiapan dan konsekwen dengan segala tuntutan yang mengiringinya. Persoalannya, dengan pernyataan itu, sekaligus berarti kita turut mendaftarkan diri untuk mendapat “kavling surga” di akhirat kelak.
Tentu tidak sedikit persyaratan yang mesti dipenuhi oleh seorang mukmin, sebagai konsekwensi syahadat. Disamping harus mampu mengaplikasikan syariat dalam batasan rukun iman dan islam, ia juga dituntut untuk selalu menegakkan keadilan dalam segala kondisi, baik keadilan dalam kontek ilahiyah maupun basyariah, seperti memperjuangkan rakyat kecil yang sering tertindas dan tercampakkan hak-hak kemanusiaannya. Tak terkecuali, memperjuangkan nasib para TKI yang sering jadi sapi perahan semua pihak, dari calo sampai majikan.
Mari sejenak kita tengok suri tauladan Nabi saw. dan para sahabatnya dalam menegakkan keadilan. Sawad ibn Gazyah adalah salah seorang sahabat yang pernah terkena pukulan Nabi saw. di saat perang Badar. Waktu Nabi saw. sedang meluruskan barisan, tiba-tiba Sawad maju ke depan (tidak lurus dengan barisan). Lalu Nabi saw. memukul perutnya dengan anak panah, “Lurus dalam barisan, hai Sawad!” Sawad memprotes, “Ya Rasulallah, Anda telah menyakitiku, padahal Allah telah mengutusmu dengan kebenaran dan keadilan. Aku tidak terima. Aku ingin menuntut qishas.” Para sahabat yang lain berteriak, “Hai Sawad, engkau mau menuntut balas dari Rasulullah?” Mendengar tuntutan Sawad, Nabi saw. menyingkap perutnya, “Balaslah!” (lihat : “Islam Aktual,”)
Sampai sedemikian Nabi saw. menyikapi arti sebuah keadilan. Dan ciri khas sosok mujahid dakwah seperti yang Nabi saw. miliki dan para sahabatnya ikuti adalah semangat pengabdian mereka yang luar biasa terhadap umat. Sampai ketika beliau mendekati ajal, yang pertama kali beliau khawatirkan adalah keadaan umatnya, “ummati…, ummati…,” bukan menghawatirkan bagaimana istri dan anak-anaknya, apalagi mengkhawatirkan harta peninggalannya.
Terkait dengan begitu mulianya pengabdian dan perjuangan membela rakyat kecil dan tertindas, Ahamad Wahib pernah berkomentar, “Seandainya hanya tangan kiri nabi Muhammad saw. yang memegang al-Hadits, sedang tangan kanannya tidak memegang wahyu Allah (al-Qur’an) maka dengan tegas aku katakan, Karl Mark dan Frederik Angels lebih hebat dari utusan Allah itu. Otak dan pengabdian --kepada rakyak tertindas-- kedua orang itu yang luar biasa, akan meyakinkan setiap orang bahwa kedua orang besar itu adalah penghuni surga tingkat pertama, berkumpul dengan para nabi dan syuhada." (lihat: “Pergolakan Pemikiran Islam”, catatan harian Ahmad Wahib)
Pemikiran yang cukup kontroversial ini jangan kita maknakan sebagai suatu kesimpulan final bahwa kedua tokoh sosialis itu akan masuk surga (sebab menurut keyakinan kita, bagaimanapun hebatnya seseorang, selagi tidak beriman, ia tidak akan masuk surga). Apalagi Ahmad Wahib cuma bicara dalam kontek ”seandainya”. Titik tekan yang dikehendaki di sini adalah betapa mulianya kedudukan seseorang yang hidup dan kehidupanya semua dicurahkan untuk pengabdian kepada umat, terutama pengabdian untuk masyarakat miskin, bodoh, dan tertindas. Semangat pengambdian seperti inilah yang perlu dimiliki para kader dakwah.
Sikap lain yang mesti dimiliki para kader dakwah adalah sikap gentleman, berani berbuat (progresif) dan berani bertanggung jawab (siap mengahdapi resiko dakwah). Lebih lanjut Ahmad Wahib berkomentar, “Pada saat ini, terlihat banyak sikap mental (masyarakat Indonesia) yang mengalami degradasi, termasuk dalam sikap mental bertanggung jawab. Beberapa orang pada mulanya kelihatan sangat potensial untuk berwatak penuh tanggung jawab, ternyata kemudian menjadi pelempar tanggung jawab. Kalau terus dibiarkan, kata Ahmad wahid, bangsa Indonesia akan menjadi society of responsibility shifters. Karena itu, di kalangan anak muda Indonesia harus tampil beberapa orang yang berani melawannya dan menegakkan masyarakat yang bertanggung jawab.
Sejarah Islam pernah mencatat nama besar seorang mujahid dakwah yang dengan tegas dan berani mengambil sikap penuh resiko, sekalipun kesempatan untuk mendapatkan “keselamatan” terbuka lebar-lebar untuknya. Namun karena apa yang telah beliau lakukan adalah suatu kebenaran dan mesti diperjuangkan maka beliau berani mengatakan “ya”, ketika hati nuraninya mengatakan demikian. Dialah Syiekh al-Badawi, ulama pejuang dari India (sebelum pecah menjadi India-Pakistan) yang pernah dituduh turut mengambil bagian dalam pemberotakan melawan penjajah Inggris tahun 1859. Waktu itu, beliau dihadapkan ke muka pengadilan untuk diadili (apakah beliau benar terlibat atau tidak). Kebetulan saat itu hakim yang mengadilinya adalah bekas murid beliau sendiri. Di saat-saat genting keputusan akan dibacakan, hakim tadi sempat memberi pesan melalui sahabatnya, agar beliau mengingkari tuduhan itu, supaya beliau bisa dibebaskan oleh hakim pengadilan. Akan tetapi al-Badawi menolak tawaran itu, dan dengan tegas beliau berkata, “Bagaimana aku mengingkari tuduhan itu, padahal aku turut memberontak?”
Dengan demikian terpaksa hakim menjatuhkan vonis hukuman mati. Ketika beliau diseret ke tiang gantungan, hakim (bekas muridnya) itu mendekat dan menangis, sambil berkata kepada gurunya, “Andaikata pada saat yang penting ini Tuan cukup mengatakan di muka pengadilan bahwa tuduhan (ikut pemberontakan) itu dusta dan tidak terlibat dalam pemberontakan, niscaya aku akan membebaskan Tuan dari hukuman mati.” Dengan satria al-Badawi menjawab, “Apakah kamu hendak menghapus amal selama ini dengan berkata dusta? Kalau demikian maksudmu, rugilah aku. Sesungguhnya aku turut dalam pemberontakan itu, dan lakukanlah apa yang kamu kehendaki.” Akhirnya sang guru dinaikkan ke tiang gantungan. (lihat, Abu Hasan an-Nadawi dalam buku (terj) “Apa Derita Dunia Bila Islam Mundur,” 1983)
Dalam peristiwa lain, sejarah Islam pernah mencatat seorang kader dakwah (berusia muda) yang gagah berani siap mengorbankan jiwanya demi mempertahankan ukhuwah Islamiyah, yakni ketika ia berusaha menahan pertumpahan darah untuk menuju perdamaian antara pasukan Ali bin abi Thalib ra. dengan pasukan Aisyah ra. yang dalam sejarah dikenal dengan peristiwa Perang Jamal.
Ketika itu, kedua pasukan sudah mendekat, untuk terakhir kalinya, Ali megirim Abdullah bin Abbas ra. menemui pasukan pembangkang, mengajak bersatu kembali dan tidak saling menumpahkan darah. Ketika usaha ini pun gagal, Ali ra. berbicara di hadapan para sahabatnya, sambil mengangkat mushaf al-Qur’an di tangan kanannya, “Siapa di antara kalian yang bersedia membawa mushaf ini ke tengah-tengah pasukan musuh. Sampaikan pesan perdamaian atas nama al-Qur’an. Jika tangannya terpotong, peganglah al-Qur’an ini dengan tangan yang lain. Jika tangan itu pun terpotong, gigitlah dengan gigi-giginya sampai terbunuh.”
Seorang pemuda Kufah bangkit menawarkan dirinya. Karena usianya masih terlalu muda, mula-mula Ali ra. tidak menghiraukannya. Lalu ia menawarkan kepada sahabat-sahabatnya yang lain. Namun tak seorang pun menjawab. Akhirnya Ali ra. memberikan al-Qur’an itu kepada anak muda tadi. “Bawalah al-Qur’an ini ke tengah-tengah mereka. Katakan kepada mereka, 'Al-Qur’an berada di tengah-tengah kita. Demi Allah, janganlah kalian menumpahkan darah kami dan darah kalian.'"
Tanpa rasa gentar dan dengan penuh keberanian, pemuda tadi berdiri di depan barisan pasukan Aisyah ra. Dia mengangkat al-Qur’an dengan kedua tangannya, mengajak mereka untuk memelihara ukhuwah. Teriakannya tidak didengar. Malah dia disambut dengan tebasan pedang. Tangan kanannya terputus. Lalu ia mengambil mushaf dengan tangan kirinya, sambil tidak henti-hentinya menyerukan perdamaian. Untuk kedua kalinya tangannya ditebas. Dia mengambil mushaf dengan gigi-giginya, sementara tubuhnya sudah bersimbah darah. Sorot matanya masih menyerukan perdamaian dan mengajak mereka untuk memelihara darah kaum muslimin. Akhirnya orang pun menebas lehernya.
Inna lillaahi wa innaa ilai raaji’uun. Pejuang perdamaian itu roboh. Orang-orang membawanya ke hadapan Ali bin Abi Thalib ra. Ali mengucapkan do'a untuknya, sementara airmatanya membasahi wajahnya. “Sampai juga kita harus memerangi mereka.” Demikian Ali mengambil keputusan. (lihat: ”Islam Aktual”)
Dua catatan sejarah yang digoreskan dengan tinta emas oleh al-Badawi dan pemuda Kufah tadi dapat kita pahami sebagai suatu bukti adanya kekuatan supra humanis yang dimiliki seseorang ketika dirinya mengerti bahwa keyakinan akan suatu kebenaran syahadat mampu membebaskan seseorang dari ketergantungan diri terhadap selain Allah. Mentalitas seperti ini hanya bisa dimiliki kader dakwah yang dalam hidup dan kehidapannya memegang teguh lima (5) prinsip kehidupan seorang muslim sejati, yaitu mengakui dan meyakini : 1) Allah adalah Rabbnya, 2) Muhammad adalah utusan-Nya, 3) Al-Qur’an adalah pedoman hidupnya, 4) Jihad adalah amal perbuatannya, dan 5) Mati sebagai syuhada adalah cita-citanya.
Bila setiap kader dakwah berpegang teguh dengan lima prinsip di atas, insya Allah ia akan mampu menghadapi segala ujian iman, sehingga Allah akan mengetahui, apakah ia benar-benar menjadi orang yang beriman seperti yang disinggung dalam QS. At-Taubah,9 :16, atau tidak. Oleh karena itu, mari kita coba evalusi kembali kualitas syahadat kita. Selanjutnya, apakah lima prinsip kehidupan tadi sudah kita miliki atau belum? Wallahu a’lam.
Sumber : PIP Arab Saudi
Sumber : PIP Arab Saudi