Satu ketika ada seorang gubernur di masa kejayaan Islam menolak hadiah ikan lezat kegemarannya dari penduduk. Sikap ini membuat adiknya bertanya alasan dia melakukannya. "Sangat sederhana," ujarnya. Seorang yang bijaksana, kata dia, sebaiknya tidak membiarkan kesenangan pribadinya diketahui oleh umum. "Orang-orang itu berusaha memuaskanku. Jika aku terima, aku berutang pada mereka. Ketika membuat keputusan, aku ingin membelokkan hukum untuk membalas kebaikan mereka."
Adiknya manggut-manggut setuju. Sang gubernur melanjutkan, "Jika ini berlanjut, mungkin aku tertangkap dan kehilangan kedudukanku. Lalu siapa yang akan peduli kepadaku? Olehnya aku menolak kedermawanan mereka, aku bebas mengatur diriku sendiri. Dengan membuat keputusan yang tepat dan tidak berat sebelah, aku dapat mempertahankan posisiku jauh lebih lama dan tetap akan membeli ikanku sendiri."
Manusia dikaruniai Allah SWT fitrah mencintai dan membenci. Cinta pada diri, ibu-bapak, istri, anak, saudara dan lainnya. Demikian pula dengan sifat benci. Keduanya kadang memengaruhi penilaian.
Seseorang akan selalu memaafkan kesalahan orang yang dicintainya, sebesar apapun kesalahannya. Sebaliknya seseorang akan selalu melihat kesalahan orang yang dibencinya sekecil apapun kesalahan itu.
Seorang pemimpin Muslim harus bisa memilah antara kepentingan pribadi dan umat. Ia harus sadar bahwa jabatan adalah amanah Allah kepadanya dan akan dipertanggungjawabkan.
Di negeri ini, tak sedikit pejabat yang bukan hanya menerima tetapi juga memberikan hadiah untuk mendapatkan dan mempertahankan jabatannya. Untuk jadi pemimpin, tak cukup hanya modal pintar saja tapi juga harus berduit. Jika tak punya modal, tak usah bermimpi menjadi menteri, gubernur, bupati, dan jabatan bergengsi lainnya. Sebab itu, banyak pejabat yang semula dipercaya rakyat, akhirnya terjerumus jadi koruptor karena harus mengembalikan modal yang telah dikeluarkannya dulu.
Kita butuh seorang pemimpin yang amanah, adil dan berani. Kita perlu sosok seperti Abu Bakar yang mengembalikan seluruh gaji yang diperolehnya dari Baitul Mal. Kita perlu tokoh seperti Umar bin Abdul Aziz yang mematikan nyala lilin karena digunakan bukan untuk kepentingan umat.
Rasulullah pernah berdoa, "Ya Allah, berilah hamba-Mu ini untuk selalu dapat bersikap adil, baik dalam keadaan cinta maupun benci." (Muttafaq 'Alaih). Bahkan Rasulullah yang merupakan pemimpin umat dan kekasih Allah pun berdoa demikian pada Tuhannya, dan selalu menjaga amanah yang diembankan padanya. Apalagi kita semestinya!
Sumber : Pengajian Online
Dalam satu kesatuan amal jama’i ada orang yang mendapatkan nilai tinggi karena ia betul-betul sesuai dengan tuntutan dan adab amal jama’i. Kejujuran, kesuburan, kejernihan dan kehangatan ukhuwahnya betul-betul terasa. Keberadaannya menggairahkan dan menenteramkan. Namun perlu diingat, walaupun telah bekerja dalam jaringan amal jama’i, namun pertanggungjawaban amal kita akan dilakukan di hadapan Allah SWT secara sendiri-sendiri.
Karenanya jangan ada kader yang mengandalkan kumpulan-kumpulan besar tanpa berusaha meningkatkan kualitas dirinya. Ingat suatu pesan Rasulullah SAW: Man abtha-a bihi amaluhu lam yusri’ bihi nasabuhu (Siapa yang lamban beramal tidak akan dipercepat oleh nasabnya).
Makna tarbiyah itu sendiri adalah mengharuskan seseorang lebih berdaya, bukan terus-menerus menempel dan tergantung pada orang lain. Meskipun kebersamaan itu merupakan sesuatu yang baik tapi ada saatnya kita tidak dapat bersama, demikian sunahnya. Sebab kalau mau, para sahabat Rasulullah SAW bisa saja menetap dan wafat di Madinah, atau terus menerus tinggal ber-mulazamah tinggal di masjidil Haram yang nilainya sekian ra-tus ribu atau di Masjid Nabawi yang pahalanya sekian ribu kali. Tapi mengapa makam para Sahabat tidak banyak berada di Baqi atau di Ma’la. Tetapi makam mereka banyak bertebaran jauh, beribu-ribu mil dari negeri mereka.
Sesungguhnya mereka mengutamakan adanya makna diri mereka sebagai perwujudan firman-Nya: Wal takum minkum ummatuy yad’una ilal khoir. Atau dalam firman-Nya: Kuntum khoiro ummati ukhrijat linnasi (Kamu adalah sebaik-baiknya ummat yang di-tampilkan untuk ummat manusia. QS. Ali Imran,3:110). Ummat yang terbaik bukan untuk disembunyikan tapi untuk ditampilkan kepada seluruh ummat manusia. Inilah sesuatu yang sangat perlu kita jaga dan perhatikan. Kita semua beramal tapi tidak larut dalam kesendirian. Hendaklah ketika sendiri kita selalu mendapat cahaya dan menjadi cahaya yang menyinari lingkungan sekitarnya.
Jangan ada lagi kader yang mengatakan, saya jadi buruk begini karena lingkungan. Mengapa tidak berkata sebaliknya, karena lingkungan seperti itu, saya harus mempengaruhi lingkungan itu dengan pengaruh yang ada pada diri saya. Seharusnya dimanapun dia berada ia harus berusaha membuat kawasan-kawasan kebaikan, kawasan cahaya, kawasan ilmu, kawasan akhlak, kawasan taqwa, kawasan al-haq, setelah kawasan-kawasan tadi menjadi sempit dan gelap oleh kawasan-kawasan jahiliyah, kezaliman, kebodohan dan hawa nafsu. Demikianlah ciri kader PK, dimanapun dia berada terus menerus memberi makna kehidupan. Seperti sejarah da’wah ini, tumbuh dari seorang, dua orang kemudian menjadi beribu-ribu atau berjuta-juta orang.
Sangat indah ungkapan Imam Syahid Hasan Al Banna, "Antum ruhul jadid tasri fi ja-sadil ummah". Kamu adalah ruh baru, kamu adalah jiwa baru yang mengalir di tubuh ummat, yang menghidupkan tubuh yang mati itu dengan Al-Qur’an.
Jangan ada sesudah ini, kader yang hanya mengandalkan kerumunan besar untuk mera-sakan eksistensi dirinya. Tapi, dimanapun dia berada ia tetap merasakan sebagai hamba Allah SWT, ia harus memiliki kesadaran untuk menjaga dirinya dan taqwanya kepada Allah SWT, baik dalam keadaan sendiri maupun dalam keadaan terlihat orang. Kemana-pun pergi, ia tak merasa kesunyian, tersudut atau terasing, karena Allah senantiasa ber-samanya. Bahkan ia dapatkan kebersamaan rasul-Nya, ummat dan alam semesta senantiasa.
Kehebatan Namrud bagi Nabi Ibrahim AS tidak ada artinya, tidaklah sendirian. ALLAH bersamanya dan alam semesta selalu bersamanya. Api yang berkobar-kobar yang dinya-lakan Namrud untuk membinasakan dirinya, ternyata satu korps dengannya dalam menu-naikan tugas pengabdian kepada ALLAH. Alih-alih dari menghanguskannya, justeru ma-lah menjadi "bardan wa salaman" (penyejuk dan penyelamat). Karena itu, kader sejati yakin bahwa Allah SWT akan senantiasa membuka jalan bagi pejuang Da’wah sesuai dengan janji-Nya, In tansurullah yansurukum wayu sabit akdamakum (Jika kamu menolong Allah, Ia pasti akan menolongmu dan mengokohkan langkah kamu).
Semoga para kader senantiasa mendapatkan perlindungan dan bimbingan dari Allah SWT ditengah derasnya arus dan badai perusakan ummat. Kita harus yakin sepenuhnya akan pertolongan Allah SWT dan bukan yakin dan percaya pada diri sendiri. Masukkan diri kedalam benteng-benteng kekuatan usrah atau halaqah tempat Junud Da’wah melingkar dalam suatu benteng perlindungan, menghimpun bekal dan amunisi untuk terjun ke arena pertarungan Haq dan bathil yang berat dan menuntut pengorbanan.
Disanalah kita mentarbiyah diri sendiri dan generasi mendatang. Inilah sebagian pelipur kesedihan ummat yang berkepanjangan, dengan munculnya generasi baru. Generasi yang siap memikul beban da’wah dan menegakan Islam. Inilah harapan baru bagi masa depan yang lebih gemilang, dibawah naungan Al-Quran dan cahaya Islam rahmatan lil alamin.
Kehebatan Namrud bagi Nabi Ibrahim AS tidak ada artinya, tidaklah sendirian. ALLAH bersamanya dan alam semesta selalu bersamanya. Api yang berkobar-kobar yang dinya-lakan Namrud untuk membinasakan dirinya, ternyata satu korps dengannya dalam menu-naikan tugas pengabdian kepada ALLAH. Alih-alih dari menghanguskannya, justeru ma-lah menjadi "bardan wa salaman" (penyejuk dan penyelamat). Karena itu, kader sejati yakin bahwa Allah SWT akan senantiasa membuka jalan bagi pejuang Da’wah sesuai dengan janji-Nya, In tansurullah yansurukum wayu sabit akdamakum (Jika kamu menolong Allah, Ia pasti akan menolongmu dan mengokohkan langkah kamu).
Semoga para kader senantiasa mendapatkan perlindungan dan bimbingan dari Allah SWT ditengah derasnya arus dan badai perusakan ummat. Kita harus yakin sepenuhnya akan pertolongan Allah SWT dan bukan yakin dan percaya pada diri sendiri. Masukkan diri kedalam benteng-benteng kekuatan usrah atau halaqah tempat Junud Da’wah melingkar dalam suatu benteng perlindungan, menghimpun bekal dan amunisi untuk terjun ke arena pertarungan Haq dan bathil yang berat dan menuntut pengorbanan.
Disanalah kita mentarbiyah diri sendiri dan generasi mendatang. Inilah sebagian pelipur kesedihan ummat yang berkepanjangan, dengan munculnya generasi baru. Generasi yang siap memikul beban da’wah dan menegakan Islam. Inilah harapan baru bagi masa depan yang lebih gemilang, dibawah naungan Al-Quran dan cahaya Islam rahmatan lil alamin.
Para penakluk imperium dari jazirah itu menyisakan satu realitas yan lucu. Mereka tumbuh di tengah gurun sahara dan tidak bisa berenang. Itulah yang jadi kendala pasukan Muslim saat akan menaklukkan Persia dimana mereka harus menyebrangi sungai Eufrat dan Tigris. Dalam waktu singkat kendala itu bisa dilalui. Sebab itu cuma sungai. Begitu juga ketika pasukan Muslim di bawah komando Amr bin ’Ash itu harus menaklukkan Mesir dari kolonialisme Romawi. Sebab masih ada jalur darat untuk sampai kesana.
Kendala menjadi lebih besar ketika Syam, Irak, dan Mesir sudah ditaklukkan. Sebab semua ekspansi setelah ituharus melewati laut. Itulah yang menggusarka Umar bin Khattab. Itu terlalu beresiko. Apalagi ketika beliau bertanya kepada Amr bin ’Ash tentang suasana di atas kapal di tengah laut. Amr yang cerdas dan humoris melukiskan suasana itu dengan cara yang agak dramatis. Bayangkan saja, ada sebatang kayu yang terapung di atas laut yang berombak, sementara ulat-ulat yang ada dalam batang kayu itu berusaha untuk tetap bertahan dan tidak jatuh atau terseret ombak. Begitu juga manusia-manusia yang ada di atas perahu dan kapal.
Umar bin Khattab tentu saja tidak buta dengan dramatisasi dalam deskripsi Amr bin ’Ash itu. Tapi ia toh akhirnya menghentikan semua ekspansi yang harus melewati laut. Ada alasan lain memang. Teritori mereka sudah terlalu luas, masyarakat muslim baru ini juga terlalu multikultur. Persoalannya terletak pada pengendalian. Tapi kemudian kebijakan Umar itu mengalihkan arah ekspansi ke kawasan Asia Tengah dari arah Irak, sementara ekspansi ke arah Cyprus menuju Konstantinopel dihentikan.
Inilah yang kemudian menjadi pembeda dalam riwayat Umar dan Utsman. Sebab Utsman justru melanjutkan ekspansi ke wilayah-wilayah Romawi. Dan itu memicu penemuan teknologi maritim dalam sejarah peradaban Islam untuk pengembangan armada laut pasukan Muslim. Dari situlah mereka berkspansi ke teritori terakhir Mesir, Alexandria, selanjutnya ke Afrika Selatan dan Utara, lalu membebaskan Cyprus dan Rhodes. Itu di luar ekspansi darat yang berlanjut sampai ke Armenia. Jadi hampir seluruh wilayah koloni Romawi sudah jatuh ke tangan Islam sejak saat itu. Yang tersisa adalah pusat kekuasaan mereka di Timur, Konstantinopel, dan di Barat, Roma. Putra Heraclius, Constantine, bahkan dibunuh pasukannya sendiri di kamar mandinya di Cyprus akibat kekalahan bertubi-tubi itu. Tujuh abad kemudian, dengan armada laut pula Muhammad Al Fatih berhasil membebaskan Konstantinopel yang sudah terlalu lama kesepian dan terkepung.
Peradaban adalah sebuah narasi besar. Tapi para mujahid itu telah mengubah narasi besar itu menjadi kapasitas besar. Maka mereka mengembangkan teknologi jihad untuk mengimbangi narasi besar mereka. Teknologi berkembang mengikuti semangat jihad mereka. Dan bukan hanya ketika ada teknologi baru mereka berjihad. Mereka adlaha para mujahid pembelajar. Lalu, takdir sejarah mempertemukan dua kekuatan dahsyat itu: narasi peradaban untuk generasi penakluk. Jadi kalau kamu punya cita-cita besar, kamu harus menjadi pembelajar cepat. Pembelajaran niscaya akan mengubahmu menjadi penakluk.
[Sebelumnya]
Dibalik setiap PAHLAWAN BESAR selalu ada PEREMPUAN YANG AGUNG. Begitu kata pepatah arab. Perempuan agung itu biasanya satu dari dua, atau dua duanya sekaligus; sang IBU dan atau sang ISTRI.
Pepatah itu merupakan hikmah psiko-sejarah yang menjelaskan sebagian dari latar belakang kebesaran seorang pahlawan. Bahwa karya-karya besar seorang pahlawan lahir ketika seluruh energi di dalam dirinya bersinergi dengan momentum di luar dirinya; tumpah ruah bagai banjir besar yang tak terbendung. Tiba-tiba, sebuah sosok telah hadir dalam ruang sejarah dengan tenang dan ajeg.
Apa yang dijelaskan oleh hikmah psiko-sejarah itu adalah sumber energi para pahlawan; perempuan adalah salah satunya. Perempuan bagi banyak pahlawan adalah penyangga spiritual, sandaran emosional; dari sana mereka mendapatkan ketenangan dan gairah, kenyamanan dan keberanian, keamanan dan kekuatan. Laki-laki menumpahkan energinya di luar rumah, dan mengumpulkannya kembali dari dalam rumahnya.
Kekuatan besar yang dimiliki para perempuan yang mendampingi para pahlawan adalah kelembutan, kesetiaan, cinta dan kasih sayang. Kekuatan itu sering dilukiskan seperti dermaga tempat kita menambat kapal atau pohon rindang tempat sang musafir berteduh. Namun, kekuatan emosi itu sesungguhnya merupakan padang jiwa yang luas dan nyaman, tempat kita menumpahkan sisi kepolosan dan kekanakan kita, tempat bermain dengan lugu dan riang, saat kita melepaskan kelemahan-kelemahan kita dengan aman, saat kita bukan siapa-siapa, saat kita menjadi bocah besar. Sebab, di tempat dan saat itulah para pahlawan menyedot energi jiwa mereka.
Itu sebabnya Umar bin Khattab mengatakan, "Jadilah engkau bocah didepan istrimu, tapi berubahlah menjadi lelaki perkasa ketika keadaan memanggilmu". Kekanakan dan keperkasaan, kepolosan dan kematangan, saat lemah dan saat berani, saat bermain dan saat berkarya, adalah ambivalensi-ambivalensi kejiwaan yang justru berguna menciptakan keseimbangan emosional dalam diri para pahlawan.
"Saya ingin selamanya ingin menjadi bocah besar yang polos," kata Sayyid Quthb. Para pahlawan selalu mengenang saat-saat indah ketika ia berada dalam pangkuan ibunya, dan selamanya ingin begitu ketika terbaring dalam pangkuan istrinya.
Siapakah pertama kali ditemui Rasulullah SAW setelah menerima wahyu dan merasakan ketakutan luar biasa? Khadijah! Maka ketika Rusullulah SAW ditawari untuk menikah setelah khadijah wafat, beliau mengatakan; "Dan siapakah yang sanggup menggantikan peran khadijah?"
Itulah keajaiban dari kesederhanaan. Kesederhanaan yang sebenarnya adalah keagungan; kelembutan, kesetiaan, cinta dan kasih sayang. itulah keajaiban perempuan.
[Selanjutnya]
[Sebelumnya]
Matahari terbit pagi ini
Mencium bau kencing orok di kaki langit
Melihat kali coklat menjalar ke lautan
dan mendengar dengung di dalam hutan
Lalu kini ia dua penggalah tingginya
dan ia menjadi saksi kita berkumpul disini
Memeriksa keadaan
Kita bertanya :
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga
Orang berkata : "kami ada maksud baik"
dan kita bertanya : "maksud baik untuk siapa?"
Ya !
Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka
Ada yang duduk, ada yang diduduki
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras
dan kita disini bertanya :
"maksud baik saudara untuk siapa?
saudara berdiri di pihak yang mana?"
Kenapa maksud baik dilakukan
Tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang - orang kota
Perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja
alat-alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya
Tentu, kita bertanya :
"lantas maksud baik saudara untuk siapa ?"
Sekarang matahari semakin tinggi
lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala
dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
kita ini dididik untuk memihak yang mana?
ilmu - ilmu diajarkan disini
akan menjadi alat pembebasan
ataukah alat penindasan?
Sebentar lagi matahari akan tenggelam
Malam akan tiba
Cicak-cicak berbunyi di tembok
dan rembulan berlayar
tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda
akan hidup di dalam mimpi
akan tumbuh di kebon belakang
Dan esok hari
matahari akan terbit kembali
sementara hari baru menjelma
pertanyaan - pertanyaan kita menjadi hutan
atau masuk ke sungai
menjadi ombak di samodra
di bawah matahari ini kita bertanya :
ada yang menangis, ada yang mendera
ada yang habis, ada yang mengikis
dan maksud baik kita
berdiri di pihak yang mana!
Kamu haruslah seorang pemberani kalau kamu mau jadi pecinta sejati. Orang-orang yang kamu cintai harus merasa aman saat berada di dekatmu. Rasa aman adalah aroma kepribadian para pecinta pemberani.
Kalau kita sudah memberi perhatian mendalam, melakukan kerja-kerja penumbuhan, merawat cinta kasih dengan siraman kebajikan harian, hal terakhir yang kita persembahkan kepada orang yang kita cintai adalah melindunginya: melindungi jiwanya, raganya, masa depannya serta proses pertumbuhannya.
Tapi perlindungan bukan penjara bagi sang kekasih. Orang yang kita cintai tidak boleh merasa bahwa perlindungan adalah cara kita untuk mempertahankan ‘kekuasaan’ dan ‘kepemilikan’ atas dirinya. Perlindungan adalah langkah-langkah proteksi yang bersifat antisipatif untuk memastikan bahwa orang yang kita cintai menjalani proses kehidupannya secara aman, baik fisik maupun psikis, dan proses pertumbuhannya berjalan baik tanpa gangguan berarti yang bias menggagalkannya. Yang terakhir ini, misalnya, gangguan lingkungan pergaulan dan kultur yang bisa merusak nilai-nilai yang kita tanamkan untuk menumbuhkan orang-orang yang kita cintai. Jadi perlindungannya bersifat menyeluruh: fisik, psikis, dan moral bahkan finansial.
Semua bentuk perlindungan itu hanya mungkin dilakukan para pecinta pemberani. Keberanian mereka juga menyeluruh: keberanian moral dan keberanian fisik. Orang-orang yang kita cintai harus menikmati sebuah perasaan yang kuat saat berada di sekitar kita bahwa mereka bebas dari rasa takut, sekaligus gembira karena kepercayaan yang kuat bahwa jauh dari luar dirinya ada kekuatan cinta yang bekerja secara diam-diam dan penuh keberanian untuk melindungi proses pertumbuhannya.
Dalam banyak situasi, proses perlindungan itu mengharuskan kita berkorban apa saja, termasuk jiwa. Dalam makana pengorbanan yang tulus itulah cinta menemukan kesejatiannya. Dan keindahannya, sekaligus. Apakah ada riwayat percintaan dalam sejarah manusia yang menggugah nurani kita selain karena ia dipenuhi keringat, airmata, dan darah, tanpa akhir? Pengorbanan dalam sejarah cinta seperti pelangi yang menghiasi langit kehidupan. Atau tetesan darah yang akan menjadi saksi bagi para syuhada di hadapan Allah: saksi atas cinta dan rindu yang tak pernah selesai.
Itu sebabnya cinta sejati selalu melahirkan sifat-sifat ksatria, keterhomatan, kedermawanan, kesetiaan dan pengorbanan. Karena sifat-sifat itulah yang memberi kekuatan pada cinta, dan membuatnya penuh daya gugah. Sifat-sifat itu semua mengalir dari mata air: kecemburuan. Kecemburuan adalah semangat pembelaan yang lahir dari cinta sejati. Ia hanya menjadi negatif ketika dia lahir dari semangat menguasai dan memiliki.
Dalam makna pembelaan itulah Rasullullah saw bersabda, “siapa yang mati karena membela harta dan keluarganya maka ia mati syahid”.
[Sebelumnya]
“Ketika bangsa ini tertatih-tatih, haruskah kita kehilangan banyak pemimpin?”
Pemimpin dan pimpinan adalah dua kata yang seakan sama, namun memiliki dua makna yang berbeda. Ketika kita disuguhkan tentang pertanyaan manakah yang lebih baik maknanya, maka kemungkinan kita akan terlihat bingung untuk menentukan isinya.
Berbicara mengenai pemimpin atau pimpinan sudah barang tentu memiliki bawahan atau ada sesuatu yang di bawahnya, namun dalam segi pemahamannya maka akan berbeda jauh. Ketika kita bicara pemimpin maka akan tercipta sebuah stereotip yang sebenarnya harus berbeda dengan makna pimpinan.
Pimpinan memiliki pemahaman bahwa ia harus memimpin berdasarkan pengangkatan, dalam artian suka atau tidak suka bawahannya ia tetap menjadi orang yang memimpin suatu jabatan. Makna pemimpin adalah ia memimpin berdasarkan pengakuan oleh bawahan, dalam artian memang yang pantas memimpin.
Lalu apa hubungannya kita membahas pemahaman itu? dan apa konteksnya dengan kebangsaan? ada, dan ternyata ini adalah salah satu hal yang membuat kita tak bisa bangkit dari “keterpurukan”. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki wilayah yang besar dan memiliki keragaman budaya yang begitu besar. Bahkan saat ini sedang diperjuangkan untuk menjadi catatan dunia bahwa bangsa ini memiliki kebudayaan terbanyak di dunia.
Maka tak ayal lagi, kita pun sebenarnya harus segera sesadar mungkin untuk lakukan perubahan yang berarti bagi kemajuan bangsa. Berbicara pemimpin dan pimpinan, kita akan kembali kepada konteks “pendewasaan” peradaban. Dalam artian, tidak mudah menghasilkan pemimpin jika dibandingkan dengan pimpinan.
Seorang pimpinan entah itu memang “capable” atau tidak, mau tidak mau harus memimpin karena ia diangkat meski terkadang tidak memiliki jiwa pemimpin. Namun seorang pemimpin itu memang layak untuk di cari dan diperjuangkan. Mari kita coba berfikir sama-sama, apakah memang sudah banyak pemimpin di negeri ini, mari kita perhatikan hadits Rasulullah saw ini:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabann ya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang suami adalah pemimpin terhadap keluarganya, dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawabann ya. Seorang pembantu adalah pemimpin terhadap harta majikannya, dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Berbicara pimpinan bisa siapa saja untuk memimpin, namun yang harus kita kritisi adalah apakah memang dia pantas jadi pimpinan atau apa benar ia memiliki jiwa pemimpin? sebenarnya yang harus kita cari adalah pemimpin yakni orang-orang yang bertanggungjawab dengan segala kesadarannya untuk menjaga amanah yang diberikan kepadanya, yang berani mengambil resiko untuk kepentingan umum meski dirinya sendiri harus menderita.
Kondisi bangsa saat ini adalah krisis pemimpin dan bukan krisis pimpinan. Untuk menjadi pemimpin dibutuhkan waktu yang lama karena memakan proses, jika dibaratkan seperti emas yang terbenam dalm lumpur yang pekat maka harus segera di bersihkan agar memang ia terlihat sebagai barang yang berharga. Proses-proses menuju pemunculan pemimpin-pemimpin bangsa ini yang terkadang tidak jalan, betapa tidak banyak orang yang memang mau untuk lakukan itu.
Kita memang dijadikan untuk menjadi pemimpin seperti yang terkandung di dalam surat Al-Baqarah ayat 30, namun pada kehidupannya kita cenderung lupa bahwa kita itu pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban akan perbuatan-perbuatan yang kita lakukan di dunia. Pemimpin itu harus melakukan islah di muka bumi agar pengakuan kita terhadap Allah seperti yang tertuang dalam surah Al-A’raf ayat 172 mengenai kesaksian kita terhadap Allah sebagai Rabb menjadi benar-benar terealisir.
Bangsa ini sedang butuh pemimpin yang memang sesuai dengan pemahaman yang sama yakni akan dimintai pertanggungjawaban. Tidak ada kata-kata lagi yang harus dikedepankan selain, masihkah kita harus menunggu dipimpin oleh pimpinan yang bukan memiliki jiwa pemimpin? kita harus sama-sama bangkit dari keterpurukan dengan sadar bahwa kita itu pemimpin.
Syaikh Sayyid Quthb memberikan pemahaman bahwa seseorang akan meninggal jika rizkinya memang telah habis dan tugasnya telah selesai. Tugasnya telah selesai berarti kembali kepada pemahaman bahwa kita harus berusaha merdeka sesuai tafsiran surat Al-Imran ayat 110 yakni sebuah makna kemerdekaan yakni merdeka untuk menyatakan pendapat (amar ma’ruf), kemerdekaan untuk mengkritik yang salah (nahi munkar) dan kemerdekaan untuk beriman kepada Allah (Tafsir Al Azhar).
Seorang pemimpin harus berani tegakan amar ma’ruf nahi munkar dan menerima untuk dikritik, seorang pemimpin tidak akan berani berkata saya capek saya mau istirahat ketika memang belum terasa keadilan dan kesejahteraan yang dirasakan mayarakat.
Dan pemimpin itu tidak akan menjual keadilan hanya untuk kepentingan dirinya karena ia sadar bahwa Yasytaruna bi ayatil-lahi tsamanan qalila, sehingga meski emas sebesar dunia ini diberikan ia tidak akan goyah untuk takut melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Pemimpin itu harus menjadi pendengar setia dan penjaga keadilan untuk kesejahteraan rakyatnya sehingga rakyat menjadi merasa tentram dan melakukan yang terbaik karena memang mereka ikhlas dipimpin.
Sumber : Dakwatuna
Sumber : Dakwatuna
Agar do’a-do’a yang kita sampaikan kepada Allah swt semaksimal mungkin mencapai pengabulan dari-Nya, maka ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan. Di antaranya sebagai berikut:
1) Hendaknya kita hanya meminta kepada Allah swt, tidak mempersekutukan-Nya dengan siapapun
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (QS Al-Fatihah,1 : 5)
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a apabila ia memohon kepada-Ku.” (QS Al-Baqarah,2 : 186)
2) Hendaknya kita semakin banyak melaksanakan berbagai perintah Allah berlandaskan iman kepada-Nya, serta dengan jalan menghidupkan berbagai sunnah Rasulullah sawوَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي
”Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku.” (QS Al-Baqarah,2 : 186)
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah,'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali Imran 31)
3) Hendaknya isi redaksi do’a tidak hanya mencakup urusan dunia semata, melainkan mencakup urusan dunia dan akhirat sekaligus
فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا ءَاتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا ءَاتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ أُولَئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Maka di antara manusia ada orang yang berdo`a, 'Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia', dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdo`a, 'Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.' Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian dari apa yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS Al-Baqarah,2 : 200-202)
مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا
نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (QS Asy-Syuro : 20)
4) Hendaknya do’a disampaikan dengan “merendahkan diri” dan “suara yang lembut”
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Berdo`alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS Al-A’raf,7 : 55)
Dalam Shahihain diriwayatkan bahwa Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa orang-orang mengeraskan suaranya ketika berdo’a, maka Rasulullah saw bersabda:
ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا قَرِيبًا
“Hai manusia, kasihanilah dirimu karena kamu bukan menyeru kepada yang tuli dan gha’ib (tidak ada), yang kamu seru itu adalah Maha Mendengar, Maha Melihat dan Maha Dekat.”(HR Bukhari) 5) Hendaknya pada saat berdo’a memadukan di dalam jiwa perasaan “berharap” dan “takut”. Berharap kepada Allah swt agar do’a tersebut dikabulkan-Nya, dan cemas kalau-kalau do’a kita tidak dikabulkan, bahkan tidak didengar-Nya.
وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا
“…dan berdo`alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).” (QS Al-A’raf,7 : 56)
6) Hendaknya kita meyakini bahwa do’a kita pasti InsyaAllah dikabulkanNya. Cepat ataupun lambat. Di dunia ini maupun di akhirat kelak nanti. Yang penting kita tidak memaksa atau “mendikte” Allah swt, suatu hal yang memang mustahil.
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Tuhanmu berfirman, "Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina." (QS Al-Mu’min : 60)
Dan yang tidak kalah pentingnya bahwa seorang muslim tidak boleh pernah berhenti meminta kepadaNya, karena sikap demikian merupakan suatu kesombongan yang akan menjebloskannya ke dalam siksa Allah yang pedih. Maka Rasulullah saw bersabda:
مَنْ لَمْ يَدْعُ اللَّهَ غَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ
“Barangsiapa tidak berdo’a kepada Allah swt, maka Allah murka kepada-Nya.” (HR Ahmad)Kekalahan umat Islam dalam perang Uhud menyebabkan bangkitnya kemarahan orang-orang badwi di sekitar Madinah untuk mencemuh dan mengungkit-ngungkit dendam lama yang sebelumnya sudah terpendam. Namun tanpa curiga sedikit pun Rasulullah memberikan sambutan baik atas kedatangan sekelompok pedagang Arab yang menyatakan keinginan sukunya hendak mendengar dan memeluk Islam. Untuk itu mereka meminta para juru dakwah dikirimkan ke kampung suku itu. Rasulullah s.a.w meluluskan. Enam orang sahabat yang alim diutus untuk melaksanakan tugas tersebut. Mereka berangkat bersama para pedagang Arab itu.
Di kampung Ar-Raji, dalam wilayah kekuasaan suku Huzail, para pedagang itu tiba-tiba melakukan pengurangan atas keenam sahabat Rasulullah s.a.w, sambil berseru meminta bantuan kaum Huzail. Keenam pendakwah itu dengan pantas menghunus senjata masing-masing dan siap mengadakan perlawanan, setelah insaf bahawa mereka tengah dijebak.
Para pedagang yang licik tadi berteriak, "Sabar saudara-saudara. Kami tidak bermaksud membunuh atau menganiayai kalian. Kami cuma mahu menangkap kalian untuk kami jual ke Makkah sebagai budak belian. Keenam sahabat Rasulullah s.a.w itu tahu nasib mereka bahkan lebih buruk daripada terbunuh dalam pertarungan tidak berimbang itu. Kerana mereka segera bertakbir seraya menyerang dengan tangkas.
Terjadilah pertempuran seru antara enam pendakwah berhati tulus dengan orang-orang yang beringas yang jumlanya jauh lebih besar. Pedang mereka ternyata cukup tajam. Beberapa orang lawan telah menjadi korban. Akhirnya tiga sahabat tertusuk musuh dan langsung gugur. Seorang lagi dibaling batu beramai-ramai hingga tewas. Bakinya tinggal dua orang; Zaid bin Addutsunah dan Khusaib bin Adi.
Apalah daya dua orang pejuang, betapa pun lincahnya perlawanan merek, menghadapi begitu banyak musuh yang tangguh ? Selang beberapa saat sesudah jatuhnya empat sahabat tadi, kedua orang itu dapat dilumpuhkan dan belenggu. Lalu mereka diangkut menuju pasar budak di Makkah. Zaid dibeli oleh Shafwan bin Umayyah. Ayah Shafwan, Umayyah bin Khalaf, adalah majikan Bilal dan Amir bin Fuhairah. Umayyah terkenal sangat kejam kepada budak-budaknya. Bilal pernah disalib di atas pasir dan dijemur di tengah teik matahari dengan badan ditindihi batu. Untung Bilal ditebus oleh Saiyidina Abu Bakar Assidiq dan dimerdekakan. Orang Habsyi ini kemudian terkenal sebagai sahabat dekat Rasulullah s.a.w. dan diangkat sebagai Muazin, tukang azan.
Dalam perang Badar, Umayyah bin Khalaf berhadap-hadapan dengan bekas budaknya itu. Dan Bilal berhasil membunuhnya dalam pertempuran yang sengit satu lawan satu. Adapun Khubaib bin Adi diambil oleh Uqbah bin Al-Harits dengan tujuan yang sama seperti maksud Shafwan membeli Zaid bin Abdutsunah. Iaitu untuk membalas dendam kebencian mereka kepada umat Islam.
Maka oleh orang-orang Quraisy, Zaid diseret menuju Tan'im, salah satu tempat untuk miqat umrah. DI sanalah Zaid akan dijalani hukuman pancung, buatkan sesuatu yang ia tidak pernah melakukannya, iaitu terbunuhnya Umayyah bin Khalaf, ayahanda Shafwan. Menjelang algojo menetak parangnya, pemimpin kaum Musyrikin Abu Sufyan bertanya garang, "Zaid bedebah, apakah engkau senang seandainya di tempatmu ini Muhammad, sedangkan engkau hidup tenteram bersama keluargamu di rumah ?"
"Janganlah begitu," bantah Zaid dengan keras. "Dalam keadaan begini pun aku tidak rela Rasulullah tertusuk duri kecil di rumahnya."
Abu Sufyan menjadi marah. "Bereskan," teriaknya kepada algojo. Dalam sekelip mata, sebilah parang berkilat di tengah terik matahari dan darah segar menyembur keluar. Zaid bin Abdutsunah gugur setelah kepalanya dipotong, menambah jumlah penghuni syurga dengan seorang syuhada' lagi. Di hati Abu Sufyan dan orang-orang Quraisy lainnya timbul kehairanan akan kesetiaan para sahabat kepada Muhammad. Sampai tergamam di bibir Abu Sufyan ucapan kagum, "Aku tidak perna menemukan seorang yang begitu dicintai para sahabat seperti Muhammad."
Sesudah selesai pemancungan Zaid, datang pula rombongan lain yang menyeret Khubaib bin Adi. Sesuai dengan hukum yang berlaku di seluruh Tanah Arab, kepada pesalah yang dijatuhi qisas mati diberikan hak untuk menyampaikan permintaan terakhir. Demikian juga Khubaib. Juru dakwah yang bestari ini meminta izin untuk solat sunnah dua rakaat. Permohonan tersebut dikabulkan. Dengan khusyuk dan tenang, seolah-olah dalam suasana aman tenteram tanpa ancaman kematian, Khubaib melaksanakan ibadahnya sampai selesai. Setelah salam dan mengangkat dua tangan, ia berkata, "Demi Allah. Andaikata bukan kerana takut disangka aku gentar menghadapi maut, maka solatku akan kulakukan lebih panjang."
Khubaib disalib dahulu lalu dihabisi sepertimana dilaksanakan ke atas Zaid bin Abdutsunah. Jasadnya telah lebur sebagaimana jenazah lima sahabatnya yang lain. Namun semangat dakwah mereka yang dilandasi keikhlasan untuk menyebarkan ajaran kebenaran takkan pernah padam dari permukaan bumi. Semangat itu terus bergema sehingga makin banyak jumlah pendakwah yang dengan kekuatan sendiri, atas biaya peribadi, menyelusup keluar-masuk pedalaman berbatu-batu karang atau berhutan-hutan belantara buat menyampaikan firman Tuhan menuju keselamatan.