WAKTU adalah PEDANG TAJAM. Bila engkau tak memby-passnya, maka ia akan memby-passmu. Bahkan menurut Imam Syafi’i, seandainya Allah tidak menurunkan surat lain selain surat Al-’Ashr (QS.103), niscaya itu saja sudah cukup. ”Demi masa. Sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali orang-orang beriman, beramal shalih, saling berwasiat dalam kebenaran dan saling berwasiat dalam kesabaran.” Jadi, bila Ia sudah bersumpah dengan sesuatu ― dan itu tak boleh dilakukan oleh hamba-Nya ― maka artinya betapa penting peran yang dijadikan sumpah itu.
Bumi telah berputar mengitari matahari 24 jam dalam sehari. 365 hari dalam setahun, atau apapun nama satuan waktu itu. Saat Ibrahim AS mengayunkan langkah demi langkah dari utara menuju selatan, lembah yang tak bertanaman disisi rumah-Nya yang dihormati. (QS. Ibrahim, 14 : 37), meninggalkan istri dan putra tercinta yang belum kunjung lahir, kecuali sesudah menempuh waktu 85 tahun.
Berapa lama waktu berputar saat Ibnu Taimiyah mendiktekan fatwa-fatwanya atau menuliskan teori-teori nya dengan arang api unggun pengusir dingin yang dinyalakan para murid setia yang menjagai penjaranya. Puluhan jilid fatawa yang kini hadir dalam kemasan cetak modern, menghapuskan gambaran kelelahan proses menumbuhkannya.
Ajaib, konon waktu menuntun dan menuntut. Menuntun orang untuk bertindak benar di waktu yang benar dan pada tempat yang benar. Menuntut bila prinsip-prinsip tersebut dilanggar. Bukan lama waktu yang menentukan kebesaran seseorang. Ada orang hidup lebih dari satu abad tetapi biografinya selesai ditulis dalam tiga bari di batu nisan: nama, tanggal, bulan serta tahun lahir dan wafat.
Berapa tahun Rasulullah hidup di dunia? Enam puluh tiga tahun. Selesaikah orang menulis dan menggali sejarahnya? Belum lagi. Karena ia mewakili seluruh efisiensi, efektifitas dan produktifitas waktu. Bingkai waktu tak berubah saat Thariq bin Ziad menyebrangkan kapal-kapal perangnya, menantang pasukannya untuk mati di lautan atau hidupmulia membela kaum tertindas. Delapan abad waktu merambat, seperti tak terjadi apa-apa, sampai sultan terakhir Bani Ahmar dengan sedih meninggalkan tanah Andalus menuju pembuangan di Afrika Utara.
Dalam bingkai yang sama waktu merambat di kepengapan jeruji besi tempat Marwan Hadid disiksa sebelum dibunuh, atau tiang gantungan yang mengabadikan nama Syaikh Umar Al-Mukhtar, Sayyid Qutb, dan Abdul Qadir Audah.
Di era ini Wahbah Zuhaili tampil dengan 8 jilid tebal karyanya, alfiqhu’l Islami wa adillatuhu, 18 jilid Tafsir Almunir serta beberapa tulisan monumental. Sebelumnya Almarhum Syaikh Said Hawwa dengan Alasa fi’t Tafsir dan Al-asas fi’s Sunnah dalam beberapa belas jilid, di samping karya-karya monumental, khususnya doktrin-doktrin dasar dalam aqidah, tazkiah dan dakwah.
Hari, jam, menit dan detik tetap beredar seperti dulu, sementara masing-masing sibuk dengan diri sendiri. HIDUP SEAKAN HANYA SEBUAH KOTAK ISOLASI YANG BERNAMA WAKTU, DENGAN SESEKALI KEJUTAN. Tiba-tiba anak tetangga tampil sebagai juara nasional bidang studi tertentu. Saat yang lain melihat kenyataan temannya sudah meraih sekian gelar ilmiah, sementara diri masih bergelut dengan persoalan remeh-remeh. Apa yang tiba-tiba? Semua berjalan sesuai jadwal, hanya kesibukan masing-masing telah ’membenamkan’ kesadarannya dan memisahkannya jauh dari dinamika lingkungannya.
Bangsa yang kaya raya ini tak berhasil melahirkan seorang manusia besar yang cukup cerdas untuk membawa bangsanya pergi ke masa depan. LEBIH DARI SETENGAH ABAD MEREKA MEMBUANG WAKTU SIA-SIA. Bahkan budaya sia-sia telah mendominasi bagian terbesar kehidupan. WAKTU terbuang sia-sia dalam jadwal rapat yang selalu terlambat, jadwal perjalanan bus antar kota yang selalu mulur, kemacetan lalu lintas yang jelas disebabkan surplus produksi otomotif tanpa ada itikad baik untuk berjujur diri, kecuali kerakusan atas pajak penjualan, bea balik nama yang besarnya 100 %. WAKTU adalah limbah tak berharga yang dibuang sia-sia dalam program pendidikan yang tak berbasis kompetensi, melempar jauh-jauh potensi anak cerdas karena tak punya Pak De di posisi penentu. WAKTU adalah karikatur kepandiran bengsa yang sampai hari ini belum mampu menurunkan penumpang dari atap kereta api, walaupun dari hari ke hari angka-angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas semakin menumpuk, merawat pasien mangsa kecelakaan tanpa mensyaratkan bayar uang muka, memancung leher koruptor dan pengedar (serta pengkonsumsi) narkoba.
WAKTU adalah kisah kelambanan para pendeta Bani Israil mengamalkan perintah Allah sesudah kitab suci diturunkan, lalu mereka menunda amal dan perubahan diri, sehingga hati menjadi keras dan fasik. ”Belum tibakah masanya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka kepada peringatan Allah dan kebenaran yang turun. Dan janganlah mereka menjadi seperti ahli kitab sebelum mereka, lalu waktu menjadi panjang, hati mereka menjadi keras dan kebanyakan mereka adalah orang-orang itu menjadi fasik.” (QS. Al-Hadiid, 57 : 16)
WAKTU adalah goresan luka Palestina yang hari ini meraih puncak pretasinya dengan memasuki era baru perjuangan, era budaya syahid. WAKTU telah memperlihatkan betapa setiap lima detik serdadu Zionis-Israel, desersi akibat tekanan mental yang dari waktu ke waktu setia melucuti keberanian mereka. Dan WAKTU pula yang akan membuktikan (dan telah dibuktikan) ketika India membatalkan kontrak pembelian tank ultra canggih Israel karena luluh-lantak oleh serbuan roket Izzuddin Alqassam dengan bau pesing luar biasa karena para serdadu tak ada yang berani keluar, lalu ― maaf ― terkencing-kencing disana. Hari ini mitos kehebatan yang tak lain adalah kelicikan Zionis yang kerap dilukiskan secara berlebihan dan tak terkalahkan, dihadapkan kepada ujian berat yang takkan pernah dilaluinya dengan sukses.
WAKTU pula akhirnya yang menantang para belia dakwah untuk membuktikan dan bukan sekadar menonton heroisme perjuangan mereka agar tetap bertahta, dan agar 15-50 tahun kedepan ia masih dapat berkobar, tidak memfosil jadi catatan sejaran yang diratapi karena para pendukungnya telah kerasukan budaya hedonic.
Alangkah mudahnya mengeja huruf-huruf sejarah. Alangkah panjangnya menenpuh jalan, jurang, ngarai, tebing dan pendakian sejarah yang harus dilalui. Yang ini menengok sekejap ke masa lalu dan yang itu memandang jauh ke depan, seraya menguatkan azzam dan mengasah akal. Ada zaman keemasan saat anak-anak di Baghdad, Kufah, dan Cordova berksperimen dengan teropong bintang yang canggih, kota bermandi cahaya saat maghrib tiba, dan musabaqah matematika tinggi digelar bagi belia-belia masa depan, tepat di saat yang sama Paris dan London masih rawa-rawa dan hutan belukar, dengan raja-raja yang gemar memasang gelang dan kalung jimat ditubuh mereka.
WAKTU tak pernah berkompromi dengan siapapun.bahkan dengan kematian orang terbaik dan terjahat. Semua akan kesana, bahkan pada saat seseorang sedang gandrungnya kepada dunia dan tak sempat lagi membuat wasiat apa pun tentang pesan–pesan kematian yang getir.
Orang-orang bertanya mengapa saya menulis serial kepahlawanan ini? Biasanya, saya akan terdiam. Sebab, memang tidak ada alasan yang terlalu jelas. Yang saya rasakan hanyalah dorongan naluri: bahwa negeri ini sedang melintasi sebuah persimpangan sejarah yang rumit, sementara perempuan-perempuannya sedang tidak subur; mereka makin pelit melahirkan pahlawan.
Saya tidak pernah merisaukanbenar krisis yang melilit setiap sudut kehidupan negeri ini. Krisis adalah takdir semua bangsa. Apa yang memiriskan hati adalah kenyataan bahwa ketika krisis besar itu terjadi, kita justru mengalami kelangkaan pahlawan. Fakta ini jauh lebih berbahaya, sebab disini tersimpan isyarat kematian sebuah bangsa.
Bangsa Amerika pernah mengalami depresi ekonomi terbesar dalam sejarah dan tahun 1929 hingga 1937. Selang lima tahun setelah itu, lepatnya tahun 1942, mereka memasuki Perang Dunia Kedua; dan mereka menang. Selama masa itu, mereka dipimpin oleh seorang pemimpin yang lumpuh, dan satu-satunya presiden yang pernah terpilih sebanyak empat kali, FD. Rosevelt. Tapi krisis itu telah membesarkan Bangsa Amerika; selama masa depresi mereka menemukan teori-teori makroekonomi yang sekarang kita pelajari di bangku kuliah dan menjadi pegangan perekonomian jagat raya. Mereka juga memenangkan PD II dan berkuasa penuh di muka bumi hingga saat ini.
Itulah yang terjadi ketika kritis dikelola oleh tangan-tangan dingin para pahlawan; mereka mengubah tantangan menjadi peluang, kelemahan menjadi kekuatan, kecemasan menjadi harapan, ketakutan menjadi keberanian, dan krisis menjadi berkah.
Lorong kecil yang menyalurkan udara pada ruang kehidupan sebuah bangsa yang tertutup oleh krisis adalah harapan. Inilah inti kehidupan ketika tak ada lagi kehidupan. Inilah benteng pertahanan terakhir bangsa itu. Tapi benteng itu dibangun dan diciptakan para pahlawan. Mungkin mereka tidak membawa janji pasfi tentang jalan keluar yang instan dan menyelesaikan masalah. Tapi mereka membangun inti kehidupan; mereka membangunkan daya hidup dan kekuatan yang ter tidurdi sana, di atas alas ketakutan dan ketidakberdayaan. Itulah yang dilakukan Rosevell. Bangsa yang sedang mengalami krisis, kata Rosevelt, hanya membutuhkan satu hal; motivasi. Sebab, bangsa itu sendiri, pada dasamya, mengetahui jalan keluar yang mereka cari.
Sebuah kehidupan yang terhormat dan berwibawa yang dilandasi keadilan dan dipenuhi kemakmuran masih mungkin dibangun di negeri ini. Untaian Zamrud Katulistiwa ini masih mungkin dirajut menjadi kalung sejarah yang indah. Tidak peduli seberapa berat krisis yang menimpa kita saat ini. Tidak peduli seberapa banyak kekuatan asing yang menginginkan kehancuran bangsa ini.
Masih mungkin. Dengan satu kata: para pahlawan. Tapi jangan menanti kedatangannya atau menggodanya untuk hadir ke sini. Sekali lagi, jangan pernah menunggu kedatangannya, seperti orang-orang lugu yang tertindas itu; mereka menunggu datangnya Rata Adil yang tidak pemah datang.
Mereka tidak akan penah datang. Mereka bahkan sudah ada di sini. Mereka lahir dan besar di negeri ini. Mereka adalah aku, kau, dan kita semua. Mereka bukan orang lain.
Mereka hanya belum memulai. Mereka hanya perlu berjanji untuk merebut takdir kepahlawanan mereka; dan dunia akan menyaksikan gugusan pulau-pulau ini menjelma menjadi untaian kalung zamrud kembali yang menghiasi leher sejarah.
[TAMAT]
[Sebelumnya]"Kasih ibu kepada beta,
tak terhingga sepanjang masa.
Hanya memberi tak harap kembali,
bagai sang surya menyinari dunia..."
tak terhingga sepanjang masa.
Hanya memberi tak harap kembali,
bagai sang surya menyinari dunia..."
Syair itu begitu familiar dan sering kita senandungkan di masa kecil, dan kiranya masih relevan hingga kini.
Kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah. Betapa pepatah ini melukiskan begitu dalamnya cinta dan kasih sayang ibu kepada anak-anaknya, tak berbatas waktu, sementara kasih anak hanya sepanjang galah ...
Mestinya masih ingat dan relevan bagi kita, adalah keletihan yang dialami oleh ibu ketika mengandung kita. Selama kurang lebih 9 bulan, ibu sangat menderita. Dimana secara fisik dan psikologis telah terjadi perubahan akibat adanya adaptasi beberapa hormon dalam rangka ‘proses kehamilan’. Hormon yang menyebabkan ibu ‘mengidam’, terjadinya perubahan sikap, perubahan selera, dan sebagainya.
Mestinya masih ingat bagi kita, bagaimana keletihan yang dirasakan ketika sang ibu menyambut kehadiran kita dengan penuh senyum kebahagiaan. “Alhamdulillah”, ucapnya lirih, betapa Allah Maha Kuasa.
Mestinya masih bisa dirasakan dan relevan bagi kita, ketika ibu dengan sabar merawat, memelihara, menjaga, dan membesarkan kita. “Untuk anakku tercinta akan kukorbankan seluruh jiwa dan raga”. Begitu beliau berucap ikhlas.
Masih ingatkah kita, ketika di keremangan malam yang dingin ia dapati kita menangis. Beliau terjaga, kemudian beranjak bergegas mendatangi, dan memberikan sesuatu apa yang kita pinta.
Ketika kita sudah bisa bermain, dan berlari, seringkali ibu kita ikut bermain dan menemani, meninggalkan pekerjaannya yang begitu banyak. Setidaknya mengawasi setiap aktivitas bermain kita. Semua itu dilakukannya karena tidak ingin kita mendapat celaka ...
Ketika kita beranjak dewasa, saatnya perlu makan, bisa saja beliau rela tak makan demi kita. Kasih sayangnya begitu tulus tanpa pamrih, tak mengharapkan apa-apa kecuali kita sehat, selamat dan dapat tumbuh kembang secara baik.
Sedangkan keletihan seorang bapak adalah, ketika dia bertanggungjawab mencari rizki, pendidikan, dan pembinaan keluarga secara keseluruhan. Kadang tangan mesti dijadikan kaki, malam dijadikan siang, semua organ tubuh dipaksa berkeringat hanya untuk ’memakmurkan’ rumah tangganya.
Hari berganti hari, detik berganti detik, menit, waktu yang akhirnya kita sadari hakikat keberadaan kita, sang anak ...
’Membalas’ jasa Ibu (dan Bapak)
Lalu apa yang sudah kita lakukan untuk menghormati sekaligus ’membalas’ jasa dari apa yang sudah dikorbankan dan dihabiskan segala daya dan upaya oleh ibu (dan bapak) kita ?, setidaknya untuk mengiringi irama syair di atas agar tetap relevan dan hidup dalam kehidupan kita, anak-anak bangsa ini ??
Mestinya masih bisa dirasakan dan relevan bagi kita, ketika ibu dengan sabar merawat, memelihara, menjaga, dan membesarkan kita. “Untuk anakku tercinta akan kukorbankan seluruh jiwa dan raga”. Begitu beliau berucap ikhlas.
Masih ingatkah kita, ketika di keremangan malam yang dingin ia dapati kita menangis. Beliau terjaga, kemudian beranjak bergegas mendatangi, dan memberikan sesuatu apa yang kita pinta.
Ketika kita sudah bisa bermain, dan berlari, seringkali ibu kita ikut bermain dan menemani, meninggalkan pekerjaannya yang begitu banyak. Setidaknya mengawasi setiap aktivitas bermain kita. Semua itu dilakukannya karena tidak ingin kita mendapat celaka ...
Ketika kita beranjak dewasa, saatnya perlu makan, bisa saja beliau rela tak makan demi kita. Kasih sayangnya begitu tulus tanpa pamrih, tak mengharapkan apa-apa kecuali kita sehat, selamat dan dapat tumbuh kembang secara baik.
Sedangkan keletihan seorang bapak adalah, ketika dia bertanggungjawab mencari rizki, pendidikan, dan pembinaan keluarga secara keseluruhan. Kadang tangan mesti dijadikan kaki, malam dijadikan siang, semua organ tubuh dipaksa berkeringat hanya untuk ’memakmurkan’ rumah tangganya.
Hari berganti hari, detik berganti detik, menit, waktu yang akhirnya kita sadari hakikat keberadaan kita, sang anak ...
’Membalas’ jasa Ibu (dan Bapak)
Lalu apa yang sudah kita lakukan untuk menghormati sekaligus ’membalas’ jasa dari apa yang sudah dikorbankan dan dihabiskan segala daya dan upaya oleh ibu (dan bapak) kita ?, setidaknya untuk mengiringi irama syair di atas agar tetap relevan dan hidup dalam kehidupan kita, anak-anak bangsa ini ??
Perintah untuk berbuat baik kepada ibu (dan bapak), dengan melihat keletihan dan kesusahan sang ibu melahirkan sampai membesarkan anaknya, sudah ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya;
”Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia berdo’a : ”Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal shaleh yang Engkau ridhai, dan berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. Al Ahqaaf,46 :15)
Dan diperjelas, dalam sabda Rasulullah SAW, dari Abu Hurairah r.a;
”Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, ”Ya, Rasulullah, siapakah dari keluargaku yang paling berhak dengan kebaktianku yang terbaik?,
jawab beliau, ”Ibumu!, dia bertanya, kemudian siapa?
Rasulullah menjawab, “Ibumu!, dia bertanya, kemudian siapa?
Rasulullah menjawab, “Ibumu!, dia bertanya, kemudian siapa?
Rasulullah menjawab, “Bapakmu!“
Dari hadist tersebut, perbandingan cinta menurut Rasulullah SAW kepada ibu dibanding bapak adalah 3 : 1. Begitu besar porsi cinta yang mesti kita berikan kepada ibu kita dibanding bapak kita.
”Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, ”Ya, Rasulullah, siapakah dari keluargaku yang paling berhak dengan kebaktianku yang terbaik?,
jawab beliau, ”Ibumu!, dia bertanya, kemudian siapa?
Rasulullah menjawab, “Ibumu!, dia bertanya, kemudian siapa?
Rasulullah menjawab, “Ibumu!, dia bertanya, kemudian siapa?
Rasulullah menjawab, “Bapakmu!“
Dari hadist tersebut, perbandingan cinta menurut Rasulullah SAW kepada ibu dibanding bapak adalah 3 : 1. Begitu besar porsi cinta yang mesti kita berikan kepada ibu kita dibanding bapak kita.
Berbakti sebaik-baiknya kepada ibu dan bapak juga merupakan jihad yang Allah janjikan sangat besar pahalanya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dari Abdullah bin Amru bin Ash r.a;
“Seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah SAW, lalu dia berkata, “Aku berjanji setia kepada Anda, dengan ikut berhijrah dan jihad, karena aku mengingini pahala dari Allah SWT. Tanya Nabi SAW, “Apakah orang tuamu masih hidup ?, jawab orang itu, “Bahkan keduanya masih hidup.” Tanya Nabi SAW, “Apakah kamu mengharapkan pahala dari Allah ?, jawabnya, “Ya !”, sabda Nabi SAW, “Pulanglah kamu kepada kedua orang tuamu, lalu berbaktilah pada keduanya sebaik-baiknya !” Besar pahalanya juga seimbang dengan dosanya jika tidak berbakti padanya.”
“Seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah SAW, lalu dia berkata, “Aku berjanji setia kepada Anda, dengan ikut berhijrah dan jihad, karena aku mengingini pahala dari Allah SWT. Tanya Nabi SAW, “Apakah orang tuamu masih hidup ?, jawab orang itu, “Bahkan keduanya masih hidup.” Tanya Nabi SAW, “Apakah kamu mengharapkan pahala dari Allah ?, jawabnya, “Ya !”, sabda Nabi SAW, “Pulanglah kamu kepada kedua orang tuamu, lalu berbaktilah pada keduanya sebaik-baiknya !” Besar pahalanya juga seimbang dengan dosanya jika tidak berbakti padanya.”
Fatwa para ulama mengatakan, orang yang paling berhak untuk kamu syukuri dan berbuat baik kepadanya, terus menerus berbuat baik, taat kepadanya, dan mementingkan untuk tunduk setelah kepada Allah SWT, yakni kedua orang tua, Allah berfirman ;
“Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada Ku dan kepada kedua orang ibu bapakmu, hanya kepada Ku lah kembalimu.” (QS.Luqman,31 : 14)
“Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada Ku dan kepada kedua orang ibu bapakmu, hanya kepada Ku lah kembalimu.” (QS.Luqman,31 : 14)
Berbuat Baik Kepada Ibu (dan Bapak)
Adapun pentingnya, wujud dari berbuat baik kepada kedua ibu bapak, adalah karena:
1. Merupakan amal yang paling dicintai oleh Allah SWT
Sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abdir Rahman Abdillah Ibni Mas’ud r.a,
“Aku pernah bertanya kepada Nabi SAW, amal apa yang paling dicintai di sisi Allah ?” Rasulullah menjawab, “Shalat tepat pada waktunya.” Kemudian aku tanya lagi, “Apalagi selain itu ?” Bersabda Rasulullah SAW, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku tanya lagi, “Apa lagi? Jawab Rasulullah SAW, “Jihad di jalan Allah.”
Ini berarti, bahwa diantara dua amal yang paling dicintai, yakni shalat tepat waktu dan jihad fisabilillah, tidak akan berarti, jika durhaka kepada kedua orang tua.
Hal ini dikisahkan, ketika Rasulullah SAW pernah menolak salah seorang sahabat untuk berjihad di jalan Allah SWT karena belum mendapat ridha orang tuanya. Akhirnya Rasulullah SAW memerintahkan sahabat tersebut untuk segera pulang guna memperbaiki hubungan dengan kedua orang tuanya.
2. Bukanlah merupakan suatu balas budi
Seseorang anak tidak akan dapat membalas jasa kedua orang tua. Sebagaimana dalam hadist.
“Tidak akan dapat membalas jasa seorang anak kepada kedua orang tuanya melainkan anak itu mendapatkan orang tuanya sebagai hamba sahaya lalu dia membelinya dan memerdekakannya.”
3. Prioritas untuk mendapatkan perlakuan yang lebih dekat dari kedua orang tua ialah ibu
Dalam QS.Lukman,31 : 34, Allah memerintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya, terutama pada ibunya yang telah mengandung dan menyusuinya.
4. Berbakti kepada ibu bapak dibarengi dengan ibadah kepada Allah SWT
Sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abdir Rahman Abdillah Ibni Mas’ud r.a,
“Aku pernah bertanya kepada Nabi SAW, amal apa yang paling dicintai di sisi Allah ?” Rasulullah menjawab, “Shalat tepat pada waktunya.” Kemudian aku tanya lagi, “Apalagi selain itu ?” Bersabda Rasulullah SAW, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku tanya lagi, “Apa lagi? Jawab Rasulullah SAW, “Jihad di jalan Allah.”
Ini berarti, bahwa diantara dua amal yang paling dicintai, yakni shalat tepat waktu dan jihad fisabilillah, tidak akan berarti, jika durhaka kepada kedua orang tua.
Hal ini dikisahkan, ketika Rasulullah SAW pernah menolak salah seorang sahabat untuk berjihad di jalan Allah SWT karena belum mendapat ridha orang tuanya. Akhirnya Rasulullah SAW memerintahkan sahabat tersebut untuk segera pulang guna memperbaiki hubungan dengan kedua orang tuanya.
2. Bukanlah merupakan suatu balas budi
Seseorang anak tidak akan dapat membalas jasa kedua orang tua. Sebagaimana dalam hadist.
“Tidak akan dapat membalas jasa seorang anak kepada kedua orang tuanya melainkan anak itu mendapatkan orang tuanya sebagai hamba sahaya lalu dia membelinya dan memerdekakannya.”
3. Prioritas untuk mendapatkan perlakuan yang lebih dekat dari kedua orang tua ialah ibu
Dalam QS.Lukman,31 : 34, Allah memerintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya, terutama pada ibunya yang telah mengandung dan menyusuinya.
4. Berbakti kepada ibu bapak dibarengi dengan ibadah kepada Allah SWT
Dalam QS. Al Isra,17 : 23, Allah memerintahkan untuk beribadah kepada Nya dan berbuat baik kepada ibu bapak dengan melarang perkataan “ah” dan membentak kepada keduanya dan seyogyanya mengucapkan perkataan yang mulia. Ayat ini mengartikan, bahwa berbakti kepada kedua ibu bapak sama wajibnya dengan ibadah kepada Allah SWT.
Kemudian, sikap dan akhlaq yang senantiasa diperlihatkan dalam rangka berbuat baik kepada ibu bapak, adalah :
1. Seorang anak hendaknya menjaga dan memelihara ucapannya di hadapan orang tua, terlebih bagi mereka yang sudah berusia lanjut jangan sampai perkataan atau perbuatannya menyinggung perasaan mereka, sebagaimana yang dijelaskan Allah SWT dalam QS. 17 : 23.
2. Sikap bahasa tubuh seorang anak tidak boleh membusungkan dada terhadap orang tua melainkan merendahkan diri kepada keduanya dengan penuh kasih sayang dan mendo’akan mereka agar keduanya dikasihi Allah sebagaimana mereka mengasihinya waktu kecil. Hal ini diperintahkan Allah SWT dalam surat Al Israa’ ayat 24.
3. Akhlaq seorang anak yang selalu taat dan memiliki kedekatan serta keakraban dengan orang tua, walaupun mungkin ketidaktaatan seorang anak kepada orang tua karena permasalahan yang sangat syar’i (prinsip) tetapi sikap mushahabah (keakraban) tetap harus dilakukan karena hal itu merupakan hak orang tua.
4. Tetap berkewajiban untuk berbakti kepada orang tua setelah keduanya meninggal dunia. Allah SWT memberikan kesempatan kepada orang tua yang telah meninggal dunia masih memiliki simpanan amal kebaikan yang dapat diperoleh dari anak-anaknya yang sholeh dan sholehah.
2. Sikap bahasa tubuh seorang anak tidak boleh membusungkan dada terhadap orang tua melainkan merendahkan diri kepada keduanya dengan penuh kasih sayang dan mendo’akan mereka agar keduanya dikasihi Allah sebagaimana mereka mengasihinya waktu kecil. Hal ini diperintahkan Allah SWT dalam surat Al Israa’ ayat 24.
3. Akhlaq seorang anak yang selalu taat dan memiliki kedekatan serta keakraban dengan orang tua, walaupun mungkin ketidaktaatan seorang anak kepada orang tua karena permasalahan yang sangat syar’i (prinsip) tetapi sikap mushahabah (keakraban) tetap harus dilakukan karena hal itu merupakan hak orang tua.
4. Tetap berkewajiban untuk berbakti kepada orang tua setelah keduanya meninggal dunia. Allah SWT memberikan kesempatan kepada orang tua yang telah meninggal dunia masih memiliki simpanan amal kebaikan yang dapat diperoleh dari anak-anaknya yang sholeh dan sholehah.
Dalam suatu hadist dikisahkan, bahwa suatu ketika datang seseorang menghadap Rasulullah SAW kemudian berkata, “Ya Rasulullah apakah masih ada kesempatan bagiku untuk berbakti kepada orang tuaku setelah keduanya meninggal dunia ?” Rasulullah SAW dengan tegas menjawab, “Ya masih ada.“ Ada lima hal yang harus dijalankan oleh seorang anak agar tetap berbakti kepada orang tuanya yang telah meninggal dunia, yakni :
Asshalatu ‘alaihima (berdo’a untuk keduanya)
Wal istigfaru lahuma (memohonkan ampun keduanya)
Wainfadzu ahdihima (melaksanakan janji-janjinya, ketika masih hidup)
Waiqramu shadiqihima (memuliakan teman-teman dan kerabat keduanya)
Wasilaturrahimmisilati latu shallu illa bihima (melakukan silaturrahim kepada orang-orang yang tidak ada hubungan silaturrahim kecuali melalui wasilah kedua orang tua)
Asshalatu ‘alaihima (berdo’a untuk keduanya)
Wal istigfaru lahuma (memohonkan ampun keduanya)
Wainfadzu ahdihima (melaksanakan janji-janjinya, ketika masih hidup)
Waiqramu shadiqihima (memuliakan teman-teman dan kerabat keduanya)
Wasilaturrahimmisilati latu shallu illa bihima (melakukan silaturrahim kepada orang-orang yang tidak ada hubungan silaturrahim kecuali melalui wasilah kedua orang tua)
Para anak, tentunya tidak menginginkan dirinya menjadi seperti apa yang diisyaratkan Rasulullah SAW dalam sabdanya;
”Dia celaka !, Dia celaka !, Dia celaka !” Lalu beliau ditanya orang lain. “Siapakah yang celaka, Ya Rasulullah ?” jawab Rasulullah SAW, “Siapa yang mendapati kedua orang tuanya (dalam usia lanjut), atau salah satu keduanya, tetapi dia tidak berusaha masuk syurga (dengan merawat orang tuanya sebaik-baiknya)"
Untuk itu,
Jika ibu (dan bapak) kita masih ada, jangan pernah lupa untuk mencintainya,
Jika ia telah tiada, ingatlah kasih sayangnya yang tanpa syarat,
Ingatlah selalu untuk mencintai ibu (dan bapak) kita,
karena kita hanya memiliki satu ibu seumur hidup kita ...
Jika ibu (dan bapak) kita masih ada, jangan pernah lupa untuk mencintainya,
Jika ia telah tiada, ingatlah kasih sayangnya yang tanpa syarat,
Ingatlah selalu untuk mencintai ibu (dan bapak) kita,
karena kita hanya memiliki satu ibu seumur hidup kita ...
Segeralah temuilah ibu (dan bapak) kita jangan sampai terlambat untuk mengatakan bahwa kita mencintai dan menghormati mereka. Karena memang kita tetap mencintainya dalam kondisi apapun juga.
I love you, Mom! .. You're the best !! ...
Tribute to my mom ...
Untuk semua Ibu ... yang memiliki Ibu ...
Tribute to my mom ...
Untuk semua Ibu ... yang memiliki Ibu ...
Sumber : Irwan Prayitno
Bisa jadi hanyalah sebuah kebetulan bahwa tsunami keuangan global dengan episentrum di Amerika Serikat terjadi saat ummat Islam sedang menikmati gemblengan Allah melalui berbagai amal ibadah di bulan Ramadhan. Namun bisa saja, guncangan terhadap sistem kapitalis global yang ditandai dengan jatuhnya perusahaan sekuritas terbesar keempat di AS, Lehman Brothers, merupakan cara Allah berkomunikasi untuk menunjukkan betapa rapuhnya peradaban manusia di bawah hegemoni idiologi kapitalisme.
Secara cermat ayat-ayat kauniyah telah berbicara kepada seluruh manusia untuk menunjukkan rapuhnya kapitalisme tepat di titik yang menjadi kebanggaannya. Bukankah selama ini para pendukung dan penganjur kapitalisme senantiasa mengagung-agungkan keberhasilan mereka dalam membangun sistem perekonomian dunia hingga berhasil mengantarkan manusia kepada kehidupan yang lebih beradab. Namun realitas menuturkan bahwa semakin hari dapat kita saksikan peradaban kapitalis kian menunjukkan tanda-tanda keruntuhannya.
Secara cermat ayat-ayat kauniyah telah berbicara kepada seluruh manusia untuk menunjukkan rapuhnya kapitalisme tepat di titik yang menjadi kebanggaannya. Bukankah selama ini para pendukung dan penganjur kapitalisme senantiasa mengagung-agungkan keberhasilan mereka dalam membangun sistem perekonomian dunia hingga berhasil mengantarkan manusia kepada kehidupan yang lebih beradab. Namun realitas menuturkan bahwa semakin hari dapat kita saksikan peradaban kapitalis kian menunjukkan tanda-tanda keruntuhannya.
Selama ini serangan para pemikir Islam terhadap peradaban kapitalis hanya menyentuh aspek ruhiyah atau moral kejiwaan yang tidak mendapatkan perhatian dari peradaban berbasis materi tersebut. Dampak dari peminggiran ide-ide ketuhanan pada peradaban kapitalis telah melahirkan generasi yang kering kerontang jiwanya. Keberhasilan di bidang materi yang dapat dicapainya harus dibayar mahal dengan kehampaan jiwa. Kegelisahan, kegundahan hati dan kekosongan jiwa adalah aksesoris dari peradaban berbasis idiologi kapitalisme.
Ustadz Sayyid Quthb dalam mukadimah tafsir Fi Zhilalil Qur’an mengkritisi peradaban kapitalis dengan pandangan bahwa peradaban materialis tersebut tegak berdiri seperti burung yang mengepakkan satu sayapnya yang perkasa, sedangkan sayapnya yang lain lemah lunglai. Peradaban ini sukses mencapai kemajuan dalam bidang penemuan materi tetapi gagal di bidang nilai-nilai kemanusian. Peradaban berbasis idioligi kapitalis itu telah melahirkan kecemasan, kebingungan, berbagai penyakit jiwa dan saraf.
Kehampaan jiwa pada masyarakat peradaban kapitalis telah menghasilkan dekadensi moral luar biasa dan kejahatan kemanusiaan yang tak pernah terbayangkan. Seorang anak mampu membunuh orang tuanya hanya karena persoalan video game. Seseorang mengamuk di kampus dengan memberondongkan peluru dari senjatanya tanpa sebuah alasan yang jelas. Hubungan badan antara anggota keluarga sedarah mulai sering kita dengar. Pada gilirannya kehampaan jiwa pada masyarakat kapitalis tersebut akan meruntuh sendi-sendi peradaban materialis itu sendiri.
Demikianlah biasanya para pemikir Islam melakukan kritisi terhadap ide-ide kapitalis. Mereka menggap kapitalisme telah berhasil mencapai kemajuan di bidang materi tetapi gagal di persoalan ruhiyah atau kejiwaan. Namun akhir-akhir ini, khususnya di bulan Ramadhan, Allah telah membukakan jalan bagi para pemikir Islam untuk juga dapat menunjukkan borok-borok idiologi kapitalisme di bidang materi yang menjadi kebanggaan para pendukungnya.
Sampai hari ini kapitalisme masih gagal mendistribusikan kesejahteraan materi kepada seluruh warga dunia. Peradaban kapitalis gagal memberikan pemerataan kesejahteraan dan gagal melakukan pengentasan kemiskinan. Terjadi kesenjangan kehidupan antar negara, antar daerah dalam sebuah negara dan antar anggota masyarakat. Kegagalan kapitalisme sebenarnya sudah terlihat dari beberapa data statistik.
Seabrook (2003) pada bukunya The No-Nonsense Guide to World Proverty, sebagaimana dikutip oleh Dr. Dradjad H. Wibowo, mengungkapkan bahwa diperkirakan lebih dari 840 juta penduduk dunia mengalami malnutrisi dan enam juta balita meninggal setiap tahun sebagai akibatnya. Sekitar 1,2 miliar penduduk dunia hidup dengan penghasilan kurang dari US$ 1 sehari. Sekitar separuh penduduk dunia hidup dengan US$ 2 sehari. Sementara di lain pihak, penghasilan dari kelompok 1% terkaya di dunia setara dengan kekayaan 57% penduduk dunia.
Rapuhnya sistem ekonomi kapitalis sesungguhnya telah ditunjukkan melalui krisis dalam skala global yang telah terjadi berkali-kali. Setidaknya sejarah mencatata bahwa pada tahun 1930 pernah terjadi krisis ekonomi dunia. Pada tahun 1996-1997 terjadi kembali krisis keuangan yang melanda negara-negara Asia dengan di tandai rontoknya nilai mata uang beberapa negara Asia, termasuk Indonesia. Tentu masih segar dalam ingatan bahwa kita baru saja keluar dari krisis harga minyak mentah dunia. Melambungnya harga minyak dunia hingga ke tingkat US$ 147 telah memaksa Indonesia kembali melakukan kebijakan mencabut subsidi BBM. Terakhir adalah krisis subprime mortgage yang telah dimulai sejak 2006 dan kemudian menyebabkan runtuhnya beberapa kekuatan keuangan dunia.
Runtuhnya beberapa raksasa keuangan dunia di bulan Ramadhan 1429 H, mengisyaratkan kepada kita semua bahwa perubahan harus segera dimulai. Peradaban dunia tidak lagi bisa dipercayakan kepada ide kapitalisme. Kegagalan ide kapitalisme seharusnya sudah bisa diterka dengan mudah, karena ide tersebut lari dari fitrah manusia. Ide kapitalisme gagal menghargai manusia secara utuh. Kehidupan manusia tidak hanya di topang oleh aspek jasad dan akal. Perlu hadir sebuah peradaban manusia yang memberikan perhatian secara integral terhadap seluruh aspek kehidupan manusia mulai dari akal, jasad hingga persoalan ruh atau moral.
Faktor utama yang melakukan pembusukan terhadap keberhasilan ide kapitalisme adalah tidak berperannya faktor moral. Kerusakan sistem kapitalis sebenarnya bersumber dari persoalan moral. Keserakahan yang berujung pada tindakan mementingkan diri sendiri dan kecurangan telah mendorong sistem kapitalis sedikit demi sedikit ke arah jurang kehancuran. Keserakahan telah mengakibatkan ide kapitalisme gagal mendistribusikan kesejahteraan. Korupsi yang telah mengakibatkan pengentasan kemiskinan di Indonesia berjalan di tempat juga dipicu oleh nafsu serakah.
Keberkahan bulan suci Ramadhan telah menunjukkan kepada kita bahwa perubahan sudah tidak bisa di tunda-tunda lagi. Saatnya memulai sebuah gerakan yang mengintegrasikan nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai moral agama ke dalam sistem perekonomian. Moral keagamaan akan berfungsi sebagai kendali terhadap nafsu serakahnya manusia. Mungkin ini rahasia besar mengapa bapaknya kapitalisme, Adam Smith, lebih dulu menulis buku tentang The Theory of Moral Sentiments sebelum The Wealth of Nations, rujukan para penganjur kapitalisme.
Mudah-mudahan Ramadhan 1429 H membawa angin perubahan dalam prilaku ekonomi. Para pedagang tidak lagi bertindak curang dengan mengurangi timbangan. Para pejabat dan birokrat mulai menghindarkan diri dari kejahatan korupsi. Para pegawai swasta mengedapankan kejujuran dalam melaksanakan perkerjaannya. Para pengusaha tidak lagi serakah dalam mengambil profit atau keuntungan dan mulai memberikan perhatian besar pada kesejahteraan karyawannya. Alangkah indahnya dunia tanpa keserakahan.
Seseorang disebut pahlawan karena timbangan kebaikannya jauh mengalahkan timbangan keburukannya, karena kekuatannya mengalahkan sisi kelemahannya. Jika engkau mencoba menghitung kesalahan dan kelemahannya, niscaya engkau menemui bahwa kesalahan dan kelemahan itu "tertelan" oleh kebaikan dan kekuatannya.
Tapi kebaikan dan kekuatan itu bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan merupakan rangkaian amal yang menjadi jasanya bagi kehidupan masyarakat manusia. ltulah sebabnya tidak semua orang baik dan kuat menjadi pahlawan yang dikenang dalam ingatan kolektif masyarakat atau apa yang kita sebut sejarah. Hanya apabila kebaikan dan kekuatan menjelma jadi matahari yang menerangi kehidupan, atau purnama yang merubah malam jadi indah, atau mata air yang menghilangkan dahaga.
Tapi kebaikan dan kekuatan itu bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan merupakan rangkaian amal yang menjadi jasanya bagi kehidupan masyarakat manusia. ltulah sebabnya tidak semua orang baik dan kuat menjadi pahlawan yang dikenang dalam ingatan kolektif masyarakat atau apa yang kita sebut sejarah. Hanya apabila kebaikan dan kekuatan menjelma jadi matahari yang menerangi kehidupan, atau purnama yang merubah malam jadi indah, atau mata air yang menghilangkan dahaga.
Nilai sosial setiap kita terletak pada apa yang kita berikan kepada masyarakat atau pada kadar manfaat yang dirasakan masyarakat dari keseluruhan perfomance kepribadian kita. Maka Rasulullah saw berkata: "Sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain."
Demikian kita menobatkan seseorang menjadi pahlawan karena ada begitu banyak hal yang telah ia berikan kepada masyarakat. Maka takdir seorang pahlawan adalah bahwa ia tidak pemah hidup dan berpikir dalam lingkup dirinya sendiri. la telah melampui batas-batas kebutuhan psikologis dan biologisnya. Batas-batas kebutuhan itu bahkan telah hilang dan lebur dalam batas kebutuhan kolektif masyarakatnya dimana segenap pikiran dan jiwanya tercurahkan.
Dalam makna inilah pengorbanan menemukan dirinya sebagai kata kunci kepahlawan seseorang. Disini ia bertemu dengan pertanggungjawaban, keberanian, dan kesabaran. Tiga hal terakhir ini adalah wadah-wadah kepribadian yang hanya akan menemukan makna dan fungsi pahlawanannya apabila pengorbanan yang mengisi dan menggerakkannya. Pengorbananlah yang memberi arti dan fungsi kepahlawanan bagi sifat-sifat pertanggunjawaban, keberanian, dan kesabaran.
Maka keempat makna dan sifat ini -rasa tanggung jawab keagamaan, semangat pengorbanan, keberanian jiwa, dan kesabaran- adalah rangkaian dasar yang seluruhnya terkandung dalam ayat-ayat jihad. Dorongannya adalah tanggung jawab keagamaan (semacam semangat penyebaran dan pembelaan). Hakikat dan tabiatnya adalah pengorbanan. Perisainya keberanian jiwa. Tapi nafas panjangnya adalah kesabaran.
Begitulah kemudian menjadi benar apa yang dikatakan oleh Sayyid Qutb: "Orang yang hidup bagi dirinya sendiri akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Tapi orang yang hidup bagi orang lain akan hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar."
Kaidah itu tidak saja berlaku bagi kehidupan individu, tapi juga merupakan kaidah universal yang berlaku bagi komunitas manusia. Syakib Arselan, pemikir Muslim asal Syiria, yang menulis buku Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan Orang Barat Maju, menjelaskan jawabannya dalam kalimat yang sederhana, "Karena," kata Syakib Arselan, "orang-orang Barat lebih banyak berkorban daripada kaum Muslimin. Mereka memberi lebih banyak demi agama mereka ketimbang apa yang diberikan kaum Muslimin bagi agamanya.”
Sekarang mengertilah kita, "Apakah yang dibutuhkan untuk menegakkan agama ini dalam realitas kehidupan?" Yaitu, hadirnya para pahlawan sejati yang tidak lagi hidup bagi dirinya sendiri, tapi hidup bagi orang lain dan agamanya serta mau mengorbankan semua yang ia miliki bagi agamanya itu.
Rahmat Abdullah juga aktif mengisi ceramah di radio dan televisi. Beliau adalah pengisi rutin rubrik ”Titik Pandang Rahmat Abdullah” di Radio Dakta Bekasi setiap Sabtu jam 06.30 WIB. Di radio ini pula beliau menggagas rubrik SAMARA yang disiarkan setiap malam Rabu.
Sebagai seorang penulis, beliau aktif menulis buku dan mengisi rubrik di beberapa majalah Islam, seperti majalah Sabili, Islah, Saksi, Ummi, dan Tarbawi. Di majalah yang disebutkan terakhir inilah, beliau secara rutin mengisi rubrik Asasiyat yang kemudian oleh Pustaka Dakwatuna diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul “Untukmu Kader Dakwah” pada tahun 2005.
Sebagai seorang penulis, beliau aktif menulis buku dan mengisi rubrik di beberapa majalah Islam, seperti majalah Sabili, Islah, Saksi, Ummi, dan Tarbawi. Di majalah yang disebutkan terakhir inilah, beliau secara rutin mengisi rubrik Asasiyat yang kemudian oleh Pustaka Dakwatuna diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul “Untukmu Kader Dakwah” pada tahun 2005.
Awal tahun 80-an, ia memasuki dunia Harokah Islamiyah yang pada saat itu mulai tumbuh di Indonesia hingga menghantarkan beliau sebagai pakar dalam bidang Tarbiyah, majalah Sabili pernah memberinya gelar ”Syaikhut Tarbiyah” pada tahun 2001. Dengan bermodalkan sepeda motor tua ia masuk kampung keluar kampung, masuk kampus keluar kampus menabur fikrah Islamiyah yang shahih dan syamil. Fikrah Ikhwanul Muslimin yang didistribusikan ternyata mendapat sambutan yang hangat dari berbagai kalangan yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya PK Sejahtera.
Awal tahun 90 beliau memasuki pengembangan dunia pendidikan dan sosial secara formal, sebagai wujud dari kepeduliannya terhadap lingkungan. Ia mendirikan ISLAMIC CENTER IQRO’ yang bergerak dalam bidang pendidikan, sosial dan da’wah di wilayah Bekasi, Jawa Barat. Di sinilah ia menetap dan disinilah ia berekspresi mengembangkan cita-citanya melalui kajian kitab-kitab klasik setiap Ahad pagi.
Proses perjalanan da’wah yang panjang akhirnya telah menggiringnya pada keterlibatan dalam dunia politik yang kini ia geluti. Partai Keadilan yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), adalah bagian dari dirinya. Ia salah satu pendiri dari partai yang berbasis islam intelektual itu.
Posisi tertinggi dalam partai, yang pada saat ini diperhitungkan itu, telah dicapainya. Sebagai bentuk kepercayaan pendukung terhadapnya. Disamping ia menjabat sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) dan Majelis Syuro, iapun menjabat sebagai anggota DPR-RI (parlemen).
Hari-harinya diwarnai oleh kesibukan yang luar biasa. Mengajar, ceramah di berbagai stasiun radio dan televisi, mengisi seminar-seminar keislaman di berbagai daerah dan luar negeri, menulis artikel di sejumlah media cetak, disamping melakukan tugas lobby politik dengan berbagai kalangan.
Di akhir hayatnya, beliau masih sempat mengikuti rapat Lembaga Tinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Selasa (14 Juni 2005) di Gedung Kindo Duren Tiga Jakarta Selatan yang dimulai ba’da Ashar sekitar jam 16.30 WIB. tak ada tanda-tanda kalau beliau sedang sakit. Wajahnya cerah seperti biasa. Namun, ketika beliau wudhu untuk menunaikan shalat Maghrib, beliau merasakan sakit di sekitar kepalanya. Beliau sempat diperikas dr. Agus Kushartoro, Direktur Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI). Ia dinyatakan terkena stroke. Sempat dibawa ke rumah sakit Triadipa Pancoran, akan tetapi karena peralatannya kurang memadai, beliau lalu dibawa ke rumah sakit Islam Cempaka Putih, Jakarta. Namun di tengah perjalanan, beliau dipanggil Allah SWT. Beliau wafat dalam usia 52 tahun, meninggalkan satu istri dan tujuh orang anak.
SELAMAT JALAN MUJAHID DAKWAH. MURIDMU, KADER-KADERMU AKAN MENERUSKAN CITA-CITA DAN PERJUANGANMU.
[Sebelumnya]
Al-Qur'an dan sunnah merupakan dua pusaka Rasulullah SAW yang harus selalu dirujuk oleh setiap muslim dalam segala aspek kehidupan. Satu dari sekian aspek kehidupan yang amat penting adalah pembentukan dan pengembangan pribadi muslim. Pribadi muslim yang dikehendaki Al-Qur'an dan sunnah adalah pribadi yang saleh. Pribadi yang sikap, ucapan dan tindakannya terwarnai oleh nilai-nilai yang datang dari Allah SWT.
Persepsi (gambaran) masyarakat tentang pribadi muslim memang berbeda-beda. Bahkan banyak yang pemahamannya sempit sehingga seolah-olah pribadi muslim itu tercermin pada orang yang hanya rajin menjalankan Islam dari aspek ubudiyah. Padahal itu hanyalah satu aspek saja dan masih banyak aspek lain yang harus melekat pada pribadi seorang muslim. Oleh karena itu standar pribadi muslim yang berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah merupakan sesuatu yang harus dirumuskan, sehingga dapat menjadi acuan bagi pembentukan pribadi muslim.
Persepsi (gambaran) masyarakat tentang pribadi muslim memang berbeda-beda. Bahkan banyak yang pemahamannya sempit sehingga seolah-olah pribadi muslim itu tercermin pada orang yang hanya rajin menjalankan Islam dari aspek ubudiyah. Padahal itu hanyalah satu aspek saja dan masih banyak aspek lain yang harus melekat pada pribadi seorang muslim. Oleh karena itu standar pribadi muslim yang berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah merupakan sesuatu yang harus dirumuskan, sehingga dapat menjadi acuan bagi pembentukan pribadi muslim.
Bila disederhanakan, setidaknya ada sepuluh karakter atau ciri khas yang mesti melekat pada pribadi muslim.
1. Salimul Aqidah (Aqidah yang bersih)
Salimul aqidah merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah SWT. Dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan-ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-Nya yang artinya: "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, semua bagi Allah tuhan semesta alam." (Q.S Al-An'am,6 : 162). Karena aqidah yang salim merupakan sesuatu yang amat penting, maka dalam awal da'wahnya kepada para sahabat di Mekkah, Rasulullah SAW mengutamakan pembinaan aqidah, iman dan tauhid.
2. Shahihul Ibadah (ibadah yang benar)
Shahihul ibadah merupakan salah satu perintah Rasulullah SAW yang penting. Dalam satu haditsnya, beliau bersabda: "Shalatlah kamu sebagaimana melihat aku shalat." Dari ungkapan ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada sunnah Rasul SAW yang berarti tidak boleh ada unsur penambahan atau pengurangan.
3. Matinul Khuluq (akhlak yang kokoh)
Matinul khuluq merupakan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk-makhluk-Nya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat. Karena begitu penting memiliki akhlak yang mulia bagi umat manusia, maka Rasulullah SAW diutus untuk memperbaiki akhlak dan beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlaknya yang agung sehingga diabadikan oleh Allah SWT di dalam Al Qur'an. Allah berfirman yang artinya: "Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung." (Q.S Al-Qalam,68 : 4)
4. Qowiyyul Jismi (kekuatan jasmani)
Qowiyyul jismi merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang harus ada. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya.
Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi. Namun jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Karena kekuatan jasmani juga termasuk hal yang penting, maka Rasulullah SAW bersabda yang artinya:"Mukmin yang kuat lebih aku cintai daripada mukmin yang lemah ." (HR. Muslim)
5. Mutsaqqoful Fikri (intelek dalam berfikir)
Mutsaqqoful fikri merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang juga penting. Karena itu salah satu sifat Rasul adalah fatonah (cerdas). Al Qur'an juga banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berfikir, misalnya firman Allah yang artinya: "Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir." (Q.S Al-Baqarah,2 : 219)
Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktifitas berfikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas.
Bisa dibayangkan, betapa bahayanya suatu perbuatan tanpa mendapatkan pertimbangan pemikiran secara matang terlebih dahulu.
Oleh karena itu Allah mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas seseorang, sebagaimana firman Allah yang artinya: Katakanlah: "samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?"', sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (Q.S ,Az-Zumar,39 : 9)
6. Mujahadatul Linafsihi (berjuang melawan hawa nafsu)
Mujahadatul linafsihi merupakan salah satu kepribadian yang harus ada pada diri seorang muslim karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan. Kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: "Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran Islam)." (HR. Hakim)
7. Harishun Ala Waqtihi (pandai menjaga waktu)Harishun ala waqtihi merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT banyak bersumpah di dalam Al Qur'an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan seterusnya.
Allah SWT memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama, yakni 24 jam sehari semalam. Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan tak sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah semboyan yang menyatakan: "Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan waktu". Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi.
Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk pandai mengelola waktunya dengan baik sehingga waktu berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi SAW adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum datang sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.
8. Munazhzhamun fi Syuunihi (teratur dalam suatu urusan)Munazhzhaman fi syuunihi termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al Qur'an maupun sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam, baik yang terkait dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama, maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah menjadi cinta kepadanya.
Dengan kata lain, suatu urusan mesti dikerjakan secara profesional. Apapun yang dikerjakan, profesionalisme selalu diperhatikan. Bersungguh-sungguh, bersemangat , berkorban, berkelanjutan dan berbasis ilmu pengetahuan merupakan hal-hal yang mesti mendapat perhatian serius dalam penunaian tugas-tugas.
9. Qodirun Alal Kasbi (memiliki kemampuan usaha sendiri/mandiri)Qodirun alal kasbi merupakan ciri lain yang harus ada pada diri seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Karena pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang muslim boleh saja kaya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan ibadah haji dan umroh, zakat, infaq, shadaqah dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al Qur'an maupun hadits dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi.
Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik. Keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari Allah SWT. Rezeki yang telah Allah sediakan harus diambil dan untuk mengambilnya diperlukan skill atau ketrampilan.
10. Nafi'un Lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain)Nafi'un lighoirihi merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim. Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaan. Jangan sampai keberadaan seorang muslim tidak menggenapkan dan ketiadaannya tidak mengganjilkan.
Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berfikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dan mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya. Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain." (HR. Qudhy dari Jabir)
Demikian secara umum profil seorang muslim yang disebutkan dalam Al Qur'an dan sunnah. Sesuatu yang perlu kita standarisasikan pada diri kita masing-masing.
Sumber : Pengajian Online
Sumber : Pengajian Online
B.Pandu Qur’ani menebar kebaikan
Ummat Islam dikeluarkan Allah untuk manusia. Artinya ummat Islam dirancang untuk membawa manfaat yang seluas-luasnya untuk manusia. Manfaaat itu diwujudkan dengan amar ma’ruf nahi munkar. Amar ma’ruf adalah setiap upaya menumbuhkan dan memelihara kebaikan dan sumber-sumbernya baik fisik maupun non fisik. Sebaliknya nahi munkar adalah setiap upaya mencegah, menghentikan dan memberantas kerusakan dan sumber-sumbernya baik fisik maupun non fisik. Dalam syariat Islam dikenal apa yang disebut dengan Maqaashid Asy-Syarii’ah Al-Khamsah yaitu lima objek perlindungan syariat yaaitu; agama, akal, jiwa, harta benda, dan kehormatan.
Amar ma’ruf nahi munkar akan langgeng jika dilandasi iman kepada Allah dan sebaliknya iman kepada Allah mengharuskan amar ma;ruf nahi munkar.Allah berfirman:”Kalian sebaik-baik ummat yang dikeluarkan bagi manusia, menyerukan kebaikan (amar ma’ruf) dan mencegah keburukan (nahi munkar) dan kalian beriman kepada Allah.” (Q.S Ali Imran, 3 : 110)
Pandu Qur’ani adalah pelayan ummat yang kebaikannya senantiasa diharapkan. Diantara mereka terdapat pemimpin publik, guru, aleg, praktisi hukum, muballigh, relawan kemanusiaan dsb. Pandu qur’ani adalah penolong manusia setiap saat seperti yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan sahabatnya ketika di keheningan malam di Madinah terdengar suara meminta pertolongan. Para sahabat yang mendengarnya bergegas menuju sumber suara namun ditengah jalan bertemu Rasulullah yang telah kembali dan mengatakan bahwa masalahnya sudah teratasi. Atau seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab yang berlomba membereskan rumah seorang nenek tua yang hidup sendirian.
Pandu Qur’ani pemburu cinta Allah yang terinsfirasi berita Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam;”sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia". Kesalihan Pandu Qur’ani membuahkan karya dan perbuatan (al-‘amal) dengan manfaat sosial yang sebanyak-banyaknya.
C.Jihad Pandu Qur’ani
Allah jalla wa ‘alaa mengutus RasulNya shallallahu ‘alaihi wasallam membawa risalah agung agar dimenangkannya atas segala agama dan isme-isme buatan manusia.
Allah berfirman:
“Dialah (Allah) yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan Din yang haq agar dimenangkannya atas din-din (agama-agama) yang lain, dan cukuplah Allah yang menjadi saksinya.” (Q.S Al-Fath,48 :28)
Ini adalah proyek sangat besar yang diserukan Allah atas orang-orang beriman, Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman jadilah penonlong-penolong (agama) Allah, sebagaimana Isa bin Maryam berkata: ”Siapakah penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?”Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: ”Kamilah penolong-penolong (agama) Allah”, lalu segolongan dari Bani Israel beriman dan segolongan lain kafir; maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang.” (Q.S Ash-Shaff,61 : 14)
Mega proyek ini telah dirintis dan diletakkan pondasi bangunannya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabat beliau radliallahu ‘anhum sebagai pola bagi penerus-penerus sampai ke akhir zaman. Allah berfirman:
“Muhammad Rasulullah, dan orang-orang yang bersamamnya bersikap keras terhadap oang-orang kafir dan penuh kasih sayang antar sesama mereka. Engkau melihat mereka rukuk dan sujud dengan mengharap keutamaan dan keridlaan dari Allah. Ciri mereka terdapat tanda sujud di wajah. Itulah perumpamaan mereka di dalam Taurat dan Injil, bagaikan tanaman yang mengeluarkan tunas dan menyanggahnya, maka ia (tunas itu) menguat, lantas (tanaman itu) berdiri kokoh diatas cabang-cabangnya yang membuat kagum para petani, agar orang-orang kafir murka terhadap mereka. Allah menjanjikan ampunan dan ganjaran yang agung bagi orang-orang beriman dan beramal saleh dari mereka.” (Q.S Al-Fath,48 : 29)
Penegakan agama Allah berbanding lurus dengan kebencian orang-orang musyrik. Allah berfirman:
”Dialah (Allah) yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan Din yang haq agar dimenangkannya atas din-din yang lain walau orang-orang musyrik membencinya.” (Q.S At-Taubah,9 :33 ; Q.S Ash-Shaff,61 : 9)
Pandu qur’ani berjuang menegakkan bangunan Islam dan sendi-sendi ajarannya dalam kehidupan nyata, dan menempatkan diri sebagai pembela dari serangan-serangan yang bermaksud meruntuhkannya. Sepanjang masa Allah senantiasa menghadirkan para pembela agama-Nya dari ekspresi kebencian orang-orang musyrik. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang beriman, barang siapa diantara kalian berpaling dari agamanya maka Allah akan mendatangkan satu kaum yang Allah cintai, dan merekapun mencintai Allah, bersikap tinggi di hadapan orang-oraang kafir dan merendahkan diri terhadap orang-orang beriman. Mereka berjihad di jalan Allah tanpa takut dicela.Itulah keutamaan Allah yang diberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.” (Q.S Al-Maidah,5 : 54)
Pandu qur’ani hidup dalam tiga kesalehan yaitu: kesalehan ta’abbudi, kesalehan sosial, dan kesalehan prajurit sejati. Ali bin Abi Thalib mengungkapkan kesalehan ini dengan kalimat pendek;”rahib di malam hari penunggang kuda disiang hari (ruhbaanun billail fursaanun binnahar)”
[Sebelumnya]
Sumber : Pandu Keadilan
SUNGGUH menyedihkan ketika kita melihat telah terjadi satu paradoks di tatar Pasundan. Di satu sisi terlintas satu keindahan alam yang menakjubkan, di sisi lain keadaan memprihatinkan sulitnya hidup layak. Berbagai kesulitan hidup seolah tanpa henti menerpa masyarakat di tengah derasnya kenaikan harga. Di saat itu, datanglah bulan Ramadhan menyapa kita dengan berbagai kehangatan.
Satu lintasan sejarah Rasulullah saw., menarik untuk disimak. Suatu ketika di pengujung bulan Saban, lelaki bijaksana yang teladannya mampu menginspirasi banyak manusia di muka bumi dan kata-katanya mampu menggema menembus tabir, Rasulullah saw. tengah memberi pencerahan kepada para sahabatnya, "Wahai manusia! Sungguh telah datang pada kalian bulan Allah dengan membawa berkah rahmat dan magfirah. Bulan yang paling mulia di sisi Allah. Hari-harinya adalah hari-hari yang paling utama. Malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama. Jam demi jamnya adalah jam yang paling utama. Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan rasa lapar dan hausmu di hari kiamat. Bersedekahlah kepada kaum fakir dan miskin. Muliakanlah orang tuamu, sayangilah yang muda, sambungkanlah tali persaudaraanmu, jaga lidahmu, tahan pandanganmu dari apa yang tidak halal kamu memandangnya dan pendengaranmu dari apa yang tidak halal kamu mendengarnya. Kasihilah anak-anak yatim, niscaya dikasihi manusia anak-anak yatimmu. Bertobatlah kepada Allah dari dosa-dosamu." (H.R. Ibnu Huzaimah) Sepenggal khotbah Rasulullah menjelang Ramadhan menjelaskan makna, kedudukan, dan peranan Ramadhan. Bulan Ramadhan berperan penting dalam mendidik kita untuk mengendalikan diri terhadap keinginan duniawi. Ramadhan melatih kita untuk disiplin dan bersabar dalam menghadapi situasi kekurangan. Ramadhan juga mengarahkan kita dapat berempati terhadap penderitaan rakyat miskin. Rasulullah menginginkan agar dalam Ramadhan kita dapat memupuk rasa solidaritas secara lebih baik.
Di bulan Ramadhan, Allah tidak hanya menghendaki umat untuk memperbaiki kehidupan spiritualnya, tetapi meningkatkan kebaikan sosialnya. Kesalehan personal yang tumbuh di bulan yang penuh berkah ini selayaknya dijadikan bagian dari strategi mengatasi persoalan bangsa saat ini.
Rasa saling percaya akan membantu upaya bangsa Indonesia keluar dari krisis multidimensi berkepanjangan. Pada The End of History and the Last Man Francis Fukuyama (1992) memaparkan, kekuatan setiap bangsa akhirnya ditentukan rasa saling percaya. Fukuyama juga berpendapat, saling percaya adalah modal sosial yang paling diperlukan untuk membangun keunggulan dan memenangkan kompetisi global.
Namun, banyak pihak gagal memaknai dan memanfaatkan momentum Ramadhan sebagai titik tolak untuk bangkit dari kondisi keterpurukan. Teramat sering Ramadhan dimaknai hanya sebagai momentum meningkatkan kualitas keimanan secara personal. Padahal, Ramadhan memiliki potensi membangun kesalehan sosial sebagai modal sosial suatu bangsa.
Ramadhan tahun ini harus berbeda dengan sebelumnya. Bangsa Indonesia perlu serius memanfaatkan momentum Ramadhan untuk membangun kesadaran solidaritas sosial, sebuah semangat untuk menghindar dari sikap meminta-minta dan menunggu uluran tangan pihak lain. Solidaritas sosial sendiri tak lepas dari kerangka berpikir tentang kemandirian yang hanya bisa tumbuh pada jiwa-jiwa yang mandiri. Ini mengantarkan seseorang dapat memahami, tangan di atas jauh lebih baik dari tangan di bawah.
Sudah saatnya bagi rakyat Indonesia khususnya yang hidup di tatar Pasundan, memanfaatkan momentum Ramadhan untuk membangun semangat kemandirian dan solidaritas sosial. Pemerintah dan rakyat harus sama-sama bangkit menjadi bangsa yang mandiri, yang mampu keluar dari impitan berbagai persoalan tanpa harus menunggu uluran tangan pihak lain. Jika hal itu hadir, kesejahteraan tidak akan berada jauh dari tanah Pasundan.
Sejarah telah menunjukkan, salah satu teladan tentang kemandirian berawal dari tanah Pasundan. Bukankah pertama kali Soekarno memaparkan gagasannya tentang gerakan kemerdekaan dimulai dari tatar Pasundan. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana lantangnya Soekarno muda menyuarakan pikirannya di depan hakim kolonial pada Pengadilan Landraad Bandoeng (1930):
”…kami menyerahkan segenap raga dengan serela-relanya kepada tanah air dan bangsa, juga kami menyerahkan segenap jiwa kepada Ibu Indonesia dengan seikhlas-ikhlasnya hati. Juga kami adalah mengabdi kepada suatu cita-cita yang suci dan luhur, juga kami adalah berusaha ikut mengembalikan hak tanah air dan bangsa atas peri kehidupan yang merdeka. Tiga ratus tahun, ya walau seribu tahunpun, tidaklah bisa menghilangkan hak negeri Indonesia dan rakyat Indonesia atas kemerdekaan itu. Untuk terlaksananya hak ini maka kami rela menderitakan segala kepahitan yang dituntutkan oleh tanah air itu, rela menderitakan kesengsaraan yang dimintakan oleh Ibu Indonesia itu setiap waktu.”
Sepantasnya api semangat yang dikobarkan Soekarno juga menyalakan api semangat seluruh rakyat Jawa Barat kini, untuk bahu-membahu membangun kemandirian Ramadan bulan yang senantiasa melahirkan semangat dan keinginan kuat untuk melakukan kebaikan. Wajar jika di bulan yang penuh kemuliaan ini, kita berusaha melahirkan semangat dan keinginan kuat untuk membangun Jawa Barat adil dan sejahtera.
Dibutuhkan juga keyakinan kuat untuk mampu mewujudkan cita-cita Jawa Barat yang adil dan sejahtera. Tak hanya oleh segelintir orang, tetapi seluruh elemen masyarakat dan pemerintah di Jawa Barat. Ini akan melahirkan budaya kerja keras yang berdedikasi tinggi, sebagai prasyarat untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
Memang, Jawa Barat adil sejahtera seolah mimpi di tengah keputusasaan. Namun, itu bukanlah mimpi yang tak dapat diraih. Pernahkah kita memerhatikan bumi Pasundan secara saksama? Ketika memerhatikan hingga pelosok satu hal terlintas, tidak layak seorang pun yang hidup dalam kemiskinan di tanah yang subur ini. Ataupun sulit memperoleh pekerjaan, layanan pendidikan, dan kesehatan.
Jika seluruh elemen masyarakat dan pemerintah Jawa Barat mampu mencapai berbagai syarat kebangkitan negeri, bukan tidak mungkin cita-cita Soekarno muda untuk kebangkitan negeri ini dimulai dari tatar Pasundan, semoga. Marhaban Ya Ramadhan.
Sumber : Ahmad Heryawan
Titik tengah antara idealisme yang tidak realistis dengan realisme yang terlalu pragmatis adalah optimisme. Para pahlawan mukmin sejati menyadari dengan baik bahwa mereka lahir untuk sebuah misi besar. Tapi ia juga menyimpan kesadaran lain yang sama, bahwa mereka tetap saja berpijak di permukaan bumi. ltu bukan dua hal yang saling bertentangan. Karena di pertengahannya ada sebuah ruang tempat kedua hal itu bisa saling beririsan: optimisme.
Para pahlawan mukmin sejati memandang misinya sebagai sesuatu yang sakral darimana mereka menemukan perasaan terhormat karena lahir untuk memperjuangkan misi itu. Tapi mereka merasa tenang karena berjuang di bawah bendera Allah. Mereka percaya bahwa di bawah bendera itu mereka pasti mendapatkan kemenangan, walaupun mereka tidak selalu menyaksikan kemenangan itu sendiri. Mereka percaya bahwa berjuang saja sudah merupakan suatu kemenangan. Yaitu kemenangan atas rasa takut, kemenangan atas sifat pengecut, kemenangan atas cinta dunia dan kemenangan atas diri sendiri. Apatah lagi bila kemudian dapat mengalahkan musuh, atau menegakkan daulah dan khilafah. Bahwa kemudian mereka gugur di perjalanan atau hidup dan menyaksikan kemenangan itu, itu semua hanya merupakan cara Allah membagi-bagi keutamaan-Nya kepada para tentara-Nya.
Para pahlawan mukmin sejati memandang misinya sebagai sesuatu yang sakral darimana mereka menemukan perasaan terhormat karena lahir untuk memperjuangkan misi itu. Tapi mereka merasa tenang karena berjuang di bawah bendera Allah. Mereka percaya bahwa di bawah bendera itu mereka pasti mendapatkan kemenangan, walaupun mereka tidak selalu menyaksikan kemenangan itu sendiri. Mereka percaya bahwa berjuang saja sudah merupakan suatu kemenangan. Yaitu kemenangan atas rasa takut, kemenangan atas sifat pengecut, kemenangan atas cinta dunia dan kemenangan atas diri sendiri. Apatah lagi bila kemudian dapat mengalahkan musuh, atau menegakkan daulah dan khilafah. Bahwa kemudian mereka gugur di perjalanan atau hidup dan menyaksikan kemenangan itu, itu semua hanya merupakan cara Allah membagi-bagi keutamaan-Nya kepada para tentara-Nya.
Dari keyakinan-keyakinan seperti inilah mereka menemukan kejujuran iman; dan dari kejujuran iman itulah mereka menemukan mata air kekuatan jiwa yang memberi mereka harapan dan optimisme:
"Di antara orang-orang beriman itu ada orang-orang yang jujur atas apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur dan di antara mereka ada yang menunggu (sampai saat kemenangan), tapi mereka semua tidak mengganti (jalan) yang telah mereka tempuh."(QS. Al-Ahzab: 23)
Tapi mereka sepenuhnya percaya pada sebuah hikmah Allah; bahwa Allah hanya mau memenangkan agama-Nya dengan usaha-usaha manusia, bukan dengan mukjizat demi mukjizat. Sebab jika demikian, Allah tidak perlu mengutus nabi dan rasul, mewajibkan jihad, dan memilih syuhada. Tantangan-tantangan itu diciptakan untuk menguji kejujuran iman yang terpatri dalam jiwa para pahlawan mukmin. Mukjizat atau karomah tentu dibutuhkan pada waktu-waktu tertentu, tapi itu untuk fungsi penguatan, bukan penyelesaian misi. Ketentuan itulah yang membuat mereka harus realistis dalam menata garis perjuangan. Sebab mereka bergerak dalam ruang yang terbatas, waktu dan tempatyang terbatas, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, sumber-sumber finansial yang terbatas, serta tecknical resources yang sama terbatasnya.
Dalam segala hal ada keterbatasan. ltulah sebabnya mereka harus bekerja efektif dan menggunakan tenaga seefisien mungkin. Tapi keterbatasan bukanlah alasan untuk tidak berjuang. Karena Allah berfirman: "Bertaqwalah kepada Allah dalam batas kesanggupan kalian." Bahkan nilai kepahlawanan itu sesungguhnya terletak pada capaian-capaian besar diatas keterbatasan.
Keterbatasan itu ditata dalam konsep yang mereka sebut sebagai hukum alam, atau yang kita sebut sebagai sunnatullah. Kita semua bergerak dalam kerangka sunnatullah itu. Dan, para pahlawan itu bukanlah manusia istimewa yang turun dari langit dengan hak-hak istimewa untuk tidak mentaati sunnatullah. Mereka menjadi istimewa karena mereka menggunakan kaidah yang pemah diucapkan Imam Syahid Hasan AI-Banna: "Jangan pemah melawan sunnatullah pada alam, sebab ia pasti mengalahkanmu. Tapi gunakanlah sebagiannya untuk menundukkan sebagian yang lain, niscaya kamu akan sampai ke tujuan."
Saat ini, jika ditanya tanggal 10 November itu diperingati sebagai hari apa, maka murid SD pun akan serentak berseru, Hari Pahlawan. Demikian hafalnya tanggal tersebut dengan nama peringatannya. Hampir semua orang, dari yang belum dan tidak pernah mengenal huruf dan angka, baik dari murid SD, SMP dan SMA maupun para mahasiswa pegawai, pekerja, pengusaha, apalagi birokrat dan pejabat (sipil dan militer), sampai kepada guru-guru besar, menghapal lekat hal ini. Karena hal tersebut memang sudah menjadi kerutinan, untuk hadir setidaknya mendapatkan informasinya terkait upacara Peringatan Hari Pahlawan.
Momentum yang kini telah berusia 63 tahun, sejak peristiwa pertempuran Sabtu pagi, 10 November 1945, di Surabaya, dijadikan simbol pengorbanan pahlawan seluruh tanah air. Dalam peristiwa tersebut, terkandung nilai sejarah yang patut dihayati sebagai bagian dari proses transformasi sekaligus apresiasi pelestarian nilai-nilai kejuangan dan kepahlawanan. Pertanyaannya adalah; Bagaimana nilai dan citra keteladanan yang telah ditunjukkan oleh para pahlawan, pejuang dan perintis serta penegak kemerdekaan dapat dilestarikan, dihayati dan diimplementasikan segenap masyarakat khususnya para generasi muda ??
Momentum yang kini telah berusia 63 tahun, sejak peristiwa pertempuran Sabtu pagi, 10 November 1945, di Surabaya, dijadikan simbol pengorbanan pahlawan seluruh tanah air. Dalam peristiwa tersebut, terkandung nilai sejarah yang patut dihayati sebagai bagian dari proses transformasi sekaligus apresiasi pelestarian nilai-nilai kejuangan dan kepahlawanan. Pertanyaannya adalah; Bagaimana nilai dan citra keteladanan yang telah ditunjukkan oleh para pahlawan, pejuang dan perintis serta penegak kemerdekaan dapat dilestarikan, dihayati dan diimplementasikan segenap masyarakat khususnya para generasi muda ??
Dalam kehidupan hari ini, nyatanya dapat dilihat kedinamisan ala barat, yang sangat mendewakan individu. Orang-orang, terutama di lingkungan perkotaan, semakin menunjukkan sifat individualisme; kurang mempedulikan orang lain di sekitarnya dan hanya berpusat pada kepentingan diri sendiri, membiarkan orang lain seperti apa adanya, merana dan susah, asal mereka sendiri dapat hidup dengan enak. Mereka tidak merasa bahwa kehidupan orang lain adalah bagian dari kehidupan mereka juga. Ditambah semakin melebarnya gap antara si kaya dan si miskin. Yang kaya semakin makmur, yang miskin semakin melarat. Juga tidak dinikmatinya kekayaan alam Indonesia yang konon berlimpah secara merata oleh masyarakat. Dan adanya pengelolaan kekayaan alam dengan tidak layak dan tidak adil. Sementara pada saat yang sama sebagian orang dengan kesewenangannya menjual aset bangsa kepada asing, melakukan korupsi besar-besaran, menggadaikan negeri ini dengan harga murah melalui UU, dengan kekuasaannya menggusur rakyat tak berdaya dengan menggantinya bangunan mall-mall dan swalayan yang di modali asing, dll.
Itulah gambaran Indonesia kini dengan sekelompok orang, dan oknum yang sok mengaku berjiwa nasionalis dan sok menasehati pentingnya menghargai jasa para pahlawan.
Sungguh ironis dan kasihannya para pahlawan kita, yang jiwa, raga dan jerih payahnya disalahtafsirkan bahkan disalahgunakan oleh para opurtunis, pragmatis dan kapitalis. Jiwa, darah dan nyawanya ternyata hanya dihargai dengan seonggok gedung bertingkat atas nama pembangunan, bangunan museum dan bangunan monumen.
Lalu apa sebenarnya dan arti pentingnya Kepahlawanan tersebut ??
Kepahlawanan atau Pahlawan, tentu tak bisa dilepaskan dari pengertian tentang pahlawan itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pahlawan berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Jadi ada tiga aspek kepahlawanan, yakni; keberanian, pengorbanan dan membela kebenaran. Sedangkan menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pahlawan didefiniskan sebagai sosok orang (biasa) yang tidak egois dan berbuat sesuatu yang luar biasa, memiliki tindakan atau perbuatan (pengorbanan) untuk orang lain, dan adanya penghormatan sebagai imbalan atas pengorbanannya.
Persepsi yang Benar Terhadap Sejarah
Mereka yang lahir sebagai generasi baru, yang bukan hanya tidak mengalami masa kolonial dan pendudukan tentara Belanda atau Jepang, tetapi juga tidak mengalami masa pergolakan mempertahankan kemerdekaan, dan generasi berikutnya pun (apalagi) yang hidup pada masa sesudah kemerdekaan hingga era reformasi pasti memiliki pengalaman yang beragam yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pandangan dan persepsinya tentang arti kepahlawanan sekaligus tentang Indonesia ke depan. Untuk itu, satu-satunya penghubung dengan masa lalu bangsanya adalah ‘sejarah’. Oleh karena itu, betapa pentingnya pengalaman yang diikuti dengan pemahaman yang berupa ingatan kolektif masa lalu tersebut diperoleh serta bagaimana memperolehnya secara benar dan utuh. Disamping itu, sejarah juga mesti dijadikan ‘cemeti’, pemicu sekaligus pemacu untuk melangkah ke tahap kehidupan yang lebih baik. Sejarah yang gelap, tidaklah perlu ditutupi, namun dijadikan pembelajaran dan hikmah yang sangat berarti agar tidak sampai berulang.
Untuk itu, sejarah perlu ditulis dan didokumentasikan dengan baik dan benar, disamping dibutuhkannya forum-forum sosialisasi, berupa pelatihan, workshop, sarasehan atau forum lainhya, agar dapat menjadi pedoman sekaligus guru bagi generasi penerus dalam memberikan informasi serta kejelasan peristiwa yang terjadi pada masa-masa sebelumnya, apalagi yang terkait dengan keberadaan serta persisnya kelahiran sebuah negeri dan berikutnya diterbitkan sedemikian rupa sehingga tidak dapat menimbulkan salah tafsir atau multi tafsir bagi yang membacanya.
Pahlawan yang Sesungguhnya
Pahlawan, tentunya sangat dipengaruhi situasi, warna dan kontekstual perjuangan bangsa pada masanya. Pahlawan pada masa kolonial tidak sama dengan pahlawan masa kemerdekaan, yang tidak sama juga dengan pahlawan pada masa pembangunan kemerdekaan, dan tidak akan sama dengan pahlawan pada masa (pasca) reformasi, saat ini. Kita tidak mesti bertempur dengan menyandang senjata atau bambu runcing melawan penjajah untuk menjadi pahlawan. Pahlawan masa kini dan masa depan adalah mereka yang sanggup menangani dan menyelesaikan masalah-masalah aktual yang mengganggu roda perjalanan kehidupan anak bangsa menuju masyarakat adil dan sejahtera.
Pahlawan masa kini dan masa depan adalah pahlawan pembangunan yang memiliki karakter unggul dan tangguh (bersih, peduli dan profesional) serta sanggup menyatu dengan masyarakat untuk membangun dalam mencapai kehidupan anak bangsa yang lebih layak dan bermartabat. Bisa saja Pahlawan adalah yang lahir di kesunyian ruang laboratorium, atau yang lahir dari lingkungan pabrik-pabrik yang pengap dan berpolusi, atau pengabdian seorang guru yang sabar dan ulet di daerah terpencil. Atau disebut pahlawan pembangunan, karena dianggap berhasil menemukan varietas padi baru yang sanggup memberi makan para penduduk Indonesia dengan ongkos produksi yang murah, atau disebut pahlawan karena kesanggupannya menghasilkan tenaga listrik yang tidak tergantung pada minyak dan gas, serta hanya memerlukan ongkos produksi yang murah sehingga rakyat desa terpencil bisa menikmati aliran listriknya, atau pahlawan yang telah berhasil menemukan atau minimal mampu menyediakan alat perhubungan dan komunikasi yang murah dan sanggup menghubungkan pusat-pusat produksi terpencil kepada pasaran yang luas sehingga rakyat terpencil dengan kemampuan luar biasa dapat menikmati hasil pertanian yang digelutinya tanpa harus memusnahkan tanamannya karena hasil produksinya tidak memadai.
Revitalisasi makna memperingati dan mengenang jasa-jasa kepahlawanan yang telah memberikan segalanya untuk berdirinya bangsa ini, memang tidak boleh ditinggalkan. Namun yang penting adalah, dalam memperingati dan mengenang itu tidak lah sampai ‘terjebak’ dalam ritual-ritual perayaan peringatan, sehingga akhirnya makna kepahlawanan tersebut menjadi pudar bahkan sirna.
Sejarawan Dr.Anhar Gonggong berpendapat, “Kita masih perlu memperingati dan mengenang jasa pahlawan, tetapi seharusnya kita tidak boleh terjebak dalam gaya peringatannya dan meninggalkan inti kepahlawanan mereka. Ada beberapa hal yang menjadi rancu ketika memperingati Hari Pahlawan saat ini, seperti makna pengorbanan dan perjuangan adalah dianggap semata mengusir musuh dari bumi Indonesia, padahal maknanya tidak sebatas itu saja.” Beliau mengambil contoh sosok Soekarno-Hatta dan pahlawan-pahlawan lainnya yang memang menjadi fenomenal di tengah kondisi saat itu. Mereka memiliki kehendak dan usaha yang mampu membawa seluruh rakyat Indonesia ke dalam tahap kehidupan yang lebih baik. Padahal kalau mereka mau, mereka bisa mendapatkan kehidupan pribadi dan keluarga yang baik dari pemerintah kolonial tanpa harus dipenjara atau mendapat siksaan hidup. Tetapi mereka memilih berkorban untuk membuat rakyat agar mendapat kehidupan yang lebih bermartabat.
Siapa Lagi Pahlawan Indonesia
Dalam kondisi ekonomi yang masih labil, apalagi dengan adanya ancaman krisis keuangan dengan anjloknya pasar modal yang berakibat turunnya nilai rupiah, masih mudahnya bentrok antar pendukung pasca Pilkada di daerah-daerah, maraknya budaya preman di kalangan pelajar dan pemuda (mahasiswa), sehingga masih mudahnya untuk melakukan tawuran atau perang saudara / perang antar kampung, ditambah semakin merajalela perilaku sadis yang ditunjukkan oleh anak bangsa, dengan kejahatan pembunuhan mutilasi, perampokan di siang bolong, maupun perkosaan dan pelecehan seksual, dan masih menjamurnya tindakan maksiat yang mudah ditemui di daerah perkotaan, seperti perjudian, togel, minuman keras, narkoba, juga dengan mudahnya terusik emosional kita jika ada provokasi dari luar. Pertanyaan berikutnya, adalah apakah masih ada rasa kepahlawanan kita untuk mengantisipasi, mencegah dan mencarikan solusi terhadap fakta-fakta sosial yang sudah menjadi ‘penyakit sosial’ di depan mata kita tersebut ?, sehingga mampu memunculkan semangat untuk membela negara sampai titik darah penghabisan.
Masih adakah dan siapa lagi pahlawan Indonesia yang baik dan yang memiliki kesungguhan untuk membela dan mempertahankan jati diri bangsa ini dari segala godaan, kehinaan, maupun kekacauan yang tampil di hadapan kita semua.
Tentunya harapan masih ada, Bangkitlah !
Meskipun tidaklah mudah, karena memang pahlawan pada dasarnya tidaklah hadir begitu saja, tapi ’dilahirkan’. Perlu dengan semangat kebersamaan membangun bangsa serta mengurangi perbedaan-perbedaan, kemudian dengan lebih adanya kesediaan untuk menolong dan berbuat kebaikan terhadap orang lain tanpa pamrih, akan menjadi sandaran awal untuk memajukan kehidupan bangsa yang lebih adil, sejahtera dan bermartabat. Kita tentunya berkeyakinan, bahwa semangat ramadhan dengan segala perjuangan dan pengorbanan, yang baru saja kita tinggalkan tidak pudar di tengah jalan dan terlebih dengan semakin dekatnya Idul Adha, sebagai momen berkorbannya kaum muslimin bisa menginspirasi kita untuk terus mengobarkan semangat kepahlawanan dengan jalan berbuat dan menyebarkan kebaikan secara lebih berarti lagi di tengah masyarakat dan kancah kehidupan.
Sumber : Irwan Prayitno